Share

Part 4

“Mas, kenapa hari ini toko sepi banget nggak kayak biasanya ya?” tanyaku, kami sudah ada di depan rumah.

“Masa ramai  terus sih, Dek. Ada saatnya toko kita sepi dong.”

“Iya Mas, tapi baru kali ini merasakan sepi banget begini ‘kan Mas?”

“Udah lah, jangan di pikirin. Kalau laris terus nggak mungkin dong, Dek. Ya, semoga saja besok tokonya ramai.”

“Assalamualaikum!” ucap kami di depan pintu. Biasanya pintu sudah dikunci dari dalam. Kami jarang membawa kunci cadangannya.

“Ya, waalaikumsalam.” Ibu menjawab salam kami, langkahnya terdengar mendekat kearah pintu.

“Tokonya ramai tidak?” tanya beliau.

Sudah menjadi kebiasaan beliau bertanya begitu. Padahal kaki ini belum masuk ke dalam rumah.

“Hari ini lumayan sepi, Bu,” jawabku, apa adanya.

“Lho? Kok bisa?”

“Kita masuk dulu, Bu.” Mas Lutfan menyela pembicaraan kami.

Kami melangkah ke dalam rumah dengan raut wajah capek. Meski sepi, justru malah membuat semakin lesu karena tidak banyak uang yang terkumpul. Beda dengan capek karena ramai, hati ini pasti akan tetap merasa bahagia. Lesu pun tak akan menghampiri dan tak akan terasa.

“Kok bisa sepi?” Ibu kembali menanyakan hal yang sama.

“Bu, namanya jualan, ada saatnya sepi ‘kan?” jawab mas Lutfan santai.

“Tidak bisa begitu dong, Fan. Ibu sudah bersusah payah lho, Fan.”

Kami berdua bergeming, tidak paham dengan apa yang dimaksud oleh perkataan beliau.

“Ibu susah payah kenapa?” tanya mas Lutfan.

“Eh, itu Fan. Maksud Ibu, itu Ibu maksudnya sudah susah payah mendoakan kalian agar toko selalu ramai.”

Aku kembali melihat gelagat aneh yang tertangkap oleh mataku.

“Iya Bu, ada saatnya nanti toko kita akan ramai lagi. Ibu nggak usah khawatir ya? Ibu doakan saja terus. Sudah ya, Bu. Kami mau istirahat dulu. Ibu juga istirahat ya?”

Kami berpamitan dan segera meninggalkan beliau ke dalam kamar.

“Kamu mandi dulu sana, Dek,” perintah mas Lutfan.

“Dingin, Mas.”

“Ntar gantian mandinya Dek. Habis mandi pakai minyak angin biar hangat.”

“Hmmm, biasanya aku hanya membasuh badan saja, kamu nggak protes gini Mas.”

“Udah sana. Keburu tambah malam, Dek.”

Seperti biasa, mas Lutfan sukanya menyuruhku ini dan itu. Sedangkan dia bisa duduk bersantai untuk sejenak.

“Iya ….” Aku menurutinya.

Aku mengambil handuk dan pergi ke kamar mandi yang ada di dalam kamar.

Setelah sekitar sepuluh menit, aku sudah selesai mandi. Tidak mau berlama-lama di sana, hari sudah semakin malam. Udara pun semakin terasa dingin.

“Oke, Sayang … jangan bobo dulu ya?”

Dia mengucapkannya dengan senyum yang mengembang. Ada apa sih? Dia aneh hari ini.

Sembari menunggu mas Lutfan selesai mandi, aku melumuri leher dan dadaku dengan minyak angin. Lumayan ada rasa hangat saat melumurinya dengan minyak angin. Bisa mencegah masuk angin .

“Dek, yuk ….”

Mas Lutfan baru saja keluar dari kamar mandi. Tiba-tiba dia berkata seperti itu. Matanya memberikan isyarat tertentu kepadaku.

“Apaan sih, Mas?” tanyaku, pura-pura polos.

“Ayo, kita bikin anak, hehe.”

“Ih, apaan sih Mas? Katanya mau ditunda dulu,” jawabku tersipu.

“Ditundanya udahan aja Dek. Aku sudah ingin punya keturunan. Kamu sudah siap ‘kan?”

“Hehe, pasti dong, Mas. Aku ikut kamu aja, Mas.”

“Ya udah, matiin lampunya. Kita berdoa semoga secepatnya diberi momongan. Kamu jangan minum pilnya lagi ya? Aku sudah melarangnya, jadi jangan sekali-kali kamu meminumnya lagi, Dek.”

“Iya Mas.”

Dalam keheningan malam, kami mencoba beribadah dengan khusuk. Beribadah yang hanya bisa dilakukan oleh sepasang suami istri yang sudah sah diikat oleh janji suci sebuah perkawinan. Malam yang lumayan dingin tidak terasa oleh kami, justru peluh kami bercucuran membasahi tubuh. Meski pulang kerja terasa capek, namun ketika beribadah bersama rasa itu seketika hilang tak tersisa.

“Sudah Mas, capek banget,” lirihku.

“Lagi dong, Sayang. Aku masih ingin.”

Ya, meski merasa sudah lelah, jika suami menginginkannya lagi, sudah pasti aku tidak bisa untuk menolaknya.

“Iya, Mas.”

Kami melakukannya beberapa kali, sampai benar-benar tenaga yang ada di dalam tubuh habis terkuras. Mas Lutfan memang sering membuatku kewalahan, dia memang istimewa. Eits, yang belum menikah tidak boleh berpikir aneh-aneh ya? Karena ini rahasia ranjang kami, jadi sampai di sini saja penjelasannya. Intinya, mas Lutfan laki-laki perkasa yang membuatku bahagia. Wkwkwkwk ….

Kring, kring, kring ….

Alarm sudah terdengar di telinga kami. Hari ini untuk pertamakalinya, ibu mertua tidak membangunkan kami. Beliau menuruti permintaan anaknya. Akhirnya beliau mau juga mendengar pendapat anaknya meski hanya baru sekali.

“Mas, bangun. Mandi dulu sana.”

“Hmmm.” Mas Lutfan hanya bergumam.

“Ihh, mandi sana! Keburu ibu datang membangunkan kita karena nggak sabaran.”

“Kamu dulu Dek.”

“Nggak mau, pokoknya kamu dulu, Mas.”

Aku sengaja menggoyangkan badannya agar dia mau bangun dari tempat tidur.

“Ya udah, aku mengalah.”

Mas Lutfan segera membasuh sekujur tubuhnya agar kembali suci dan bisa mengerjakan sholat. Setelah selesai giliran aku yang akan mandi.

“Mas, sebenarnya aku malu kalau rambutku pagi-pagi basah begini,” ucapku.

Kami bersiap untuk memulai kegiatan kita masing-masing sebelum berangkat ke toko.

“Nggak usah malu, Dek. Wajar lah, namanya suami istri. Aku mau persiapkan kebutuhan di toko dulu, Dek. Kamu masak dulu sama ibu.”

“Iya Mas.”

Aku pergi menuju dapur. Di sana sudah ada ibu yang sedang sibuk membuat masakan untuk sarapan.

“Masak apa hari ini, Bu?” tanyaku ramah. Semua yang ada di dalam rumah ini, berjalan dengan peraturan yang ibu mertua buat. Tidak terkecuali dengan menu masakan.

“Ayam kecap, Wa. Eh, kamu keramas?” Tiba- tiba ibu bertanya hal sensitive seperti itu.

“Hehe, iya Bu,” jawabku, getir.

“Kamu masih minum pilnya ‘kan?”

Pertanyaan macam ini, seharusnya ibu tidak mempertanyakan hal seperti itu kepadaku. Apa harus banget, beliau mengetahui seluruh kegiatanku? Meski kegiatan itu terjadi di dalam kamarku sendiri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status