“Oh ibu, ya benar ini rumah beliau. Anda siapa ya? Ada urusan apa datang kemari?” tanyaku, mencaritahu.
“Oh itu Mbak, anu ---“
“Siapa Wa?”
Belum sempat wanita itu menjelaskan siapa dirinya, ibu sudah muncul di belakangku memotong ucapannya.
“Ini Bu, ada yang mencari Ibu.”
“Siapa?” Beliau melihat ke balik pintu. “Oh, pasti keponakannya bu Susi ‘kan? Ayo masuk.”
Ibu menyambutnya dengan wajah bahagia. Sebenarnya siapa wanita muda ini? Kenapa ibu sangat antusias menyambut kedatangannya? Banyak tanda tanya di dalam kepalaku. Namanya saja aku belum mengetahui, tapi ibu langsung membawanya ke dalam rumah dengan sangat akrab. Beliau merangkul pundaknya, membimbingnya untuk masuk ke dalam rumah ini.
“Kenalkan, ini Eliza, dia akan membantu ibu untuk merawat rumah ini.” Ibu mengulas senyum, terlihat seperti seseorang yang sedang sangat bahagia.
“Maksud Ibu apa? Ada Salwa yang biasa membantu Ibu ‘kan?” tanya mas Lutfan, dia menjadi orang pertama yang memprotes ulah ibunya.
“Tidak apa-apa, Salwa fokus sama toko kalian saja. Biar Liza yang akan membantu Ibu di rumah. Iya ‘kan Eliza?”
“Iya Bu, terimakasih sudah memperkenankan saya untuk kerja di sini.”
Wanita yang bernama Eliza itu, mengatakan rasa berterimakasihnya kepada ibu dengan sangat sopan. Senyum tak lupa disematkan di bibirnya.
“Ibu ini ada-ada saja, sudah ada Salwa yang membantu Ibu kok pakai cari orang lain untuk ikut membantu.”
Bapak mertua ikut menyuarakan isi hatinya. Beliau sama halnya dengan mas Lutfan, merasa keberatan dengan keputusan yang ibu buat sepihak.
“Justru Ibu kasihan sama Salwa, Pak. Dia sudah capek mengurus tokonya. Pulang-pulang harus masih mengerjakan pekerjaan rumah. Bapak ini gimana sih!”
“Ck! Ibu selalu saja menang sendiri.”
Lagi-lagi bapak mertua hanya berdecak, ucapan dari mulut beliau sudah tidak akan didengar oleh istrinya.
“Iya Pak, nggak apa-apa kok. Salwa justru senang Ibu memperhatikanku sampai seperti itu. Makasih Bu.”
Di dalam hatiku ada perasaan kecewa. Sebagai seorang menantu satu-satunya seperti tidak pernah benar di mata ibu. Sampai-sampai urusan rumah harus diserahkan kepada wanita lain. Oke, dia memang hanya bekerja di sini. Namun kenapa ibu memilih wanita muda seumuranku? Apa beliau tidak khawatir anaknya akan tertarik pada wanita bernama Eliza itu? Bukan hanya masih muda, parasnya bisa dikatakan cantik. Ya, semoga saja mas Lutfan tidak akan pernah berpaling dariku.
“Tuh ‘kan. Salwa saja tidak merasa keberatan. Ibu ini mikirin mereka, Pak. Ibu mertua mana yang bisa sebaik Ibu. Pasti tidak ada, Pak.”
Raut wajah beliau mengisyaratkan kehebatan dirinya. Sifat jumawa yang dimiliki beliau semakin menjadi sampai lupa diri.
“Astaghfirullah, Bu, Bu.”
Bapak hanya bisa beristighfar melihat sifat istrinya yang semakin susah untuk dinasehati.
“Liza, sini yuk. Ibu tunjukan kamarmu.”
Sifat ibu berbanding terbalik saat bersama dengan Eliza, wanita yang katanya akan membantu beliau mengerjakan pekerjaan rumah. Bahasa kasarnya adalah hanya seorang pembantu. Namun mengapa ibu begitu lembut memperlakukannya? Sebenarnya ada apa diantara mereka berdua?
“Mas, kamu kenal sama wanita itu nggak sih? Ibu kok kayaknya sudah sangat akrab sama dia. Mana perhatian banget lagi.”
Aku kembali duduk di kursi meja makan, sedangkan mas Lutfan sibuk dengan gawai di tangannya duduk di sebelahku.
“Aku nggak tau siapa dia, Dek. Ya, mungkin ibu diluar sana memang sudah dekat sama Eliza. Jadi mereka sudah terlihat akrab.”
“Tapi Mas, kenapa ibu nggak bisa akrab kayak gitu kepadaku? Aku ‘kan mantunya, istrimu Mas. Masa lebih akrab sama wanita lain.”
Mas Lutfan behenti melihat gawainya, sekarang sorot matanya tertuju kepadaku.
“Kamu kenapa sih, Wa? Biarin aja lah, ibu mau gimana sama siapa. Kamu tau sendiri ‘kan ibu itu kayak apa?”
“Iya Mas, tapi aku takut ….” Aku lirih mengatakannya.
“Ha? Takut kenapa?”
Matanya menyipit saat mendengar ucapanku.
“Iya Mas, aku takut kalau ---“
“Fan, tolongin Ibu dulu sebentar sini.”
Belum selesai aku mengatakan kegelisahanku kepada mas Lutfan, ibu muncul dari kamar belakang memanggil mas Lutfan.
“Oh, iya Bu!” jawab mas Lutfan. “Sebentar ya Dek.”
Dia meninggalkanku pergi menuju ke kamar milik Eliza, pembantu cantik yang akan bekerja di rumah ini. Entah mengapa perasaanku merasa tidak enak saat wanita itu hadir di sini. Apalagi dia sudah akrab dengan ibu mertuaku. Sebenarnya ada apa? Atau aku hanya berpikiran negatif saja. Ya, semoga kekhawatiranku tidak akan pernah terjadi.
Aku berinisiatif untuk pergi melihat mereka di kamar milik Eliza, sebenarnya apa yang sedang dilakukan oleh mereka di sana.
“Eh, Za, Za … awas hati-hati. Ya ampun!”
Aku mendengar suara ibu yang lumayan keras dari dalam kamar. Segera langkah kaki ini kupercepat untuk melihat apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Sesampainya di muka pintu, aku melihat tangan mas Lutfan sedang memegang kedua lengan milik Eliza.
“Ada apa, Mas!” Aku mengatakannya dengan perasaan yang berkencambuk.
“Ini Dek, Eliza mau jatuh. Tanganku refleks menolongnya.” Dia mengatakannya seraya melepas genggaman erat di lengan wanita itu.
“Oh, ayo Mas, kita siap-siap.” Tanpa bertanya lebih lanjut, aku langsung mengajak mas Lutfan pergi dari sana.
“Eh tunggu, Wa. Ini belum ada jam delapan lho. Lutfan mau bantuin Ibu dulu sama Liza di sini.” Ibu menyergah dan menolak ucapanku.
Aku membuang napas berat, memalingkan wajah tanpa ekspresi.
‘Pembantu macam apa, beres-beres kamarnya sendiri harus dibantu sama majikannya. Sebenarnya ibu sedang merencanakan apa?’ batinku.
“Aku tunggu di kamar Mas,” ucapku seraya meninggalkan kamar itu.
“Iya Dek.”
“Ayo diselesaikan secepatnya. Lutfan sudah harus pergi ke tokonya. Ayo, ayo … biar kamarnya secantik orangnya.”
Sayup-sayup aku mendengar perkataan ibu mertua yang terlihat begitu sangat bahagia, beliau juga memuji pembantunya itu. Hah! Sebenarnya siapa wanita bernama Eliza itu? Mana ada pembantu diperlakukan sangat manis seperti itu, mengingat ibu mertua berperangai yang sangat menyebalkan menurutku. Entahlah, semoga tidak terjadi apa-apa.
“Dek, Zidan belum bangun?”Pertanyaan yang wajib bagi mas Lutfan saat pagi hari. Setelah menyelesaikan sholat subuh, dia akan menghampiriku dan mempertanyakan hal tersebut.“Belum dong, Mas. Tau sendiri ‘kan? Jadwal Zidan bangun pagi jam berapa? Agak siang biasanya.”“Hehe, tau sih. Kalau nggak tanya rasanya ada yang kurang, Dek.”“Kamu ini, Mas.”Aku sudah ada di dapur memasak untuk sarapan mumpung Zidan—anak kami masih terlelap tidur.“Dek, ternyata enak ya punya rumah sendiri. Bisa bermesraan dimana aja. Hehehe,” ucapnya seraya memeluku dari belakang.“Iya ‘kan? Kamu suka ‘kan, Mas?”“Iya Dek. Lebih enak kayak gini. Bebas, hati juga tenang.”“Tapi Mas, apa kamu mau memeluku begini terus? Aku mau masak dulu lho, mumpung Zidan belum bangun. Kalau bangun m
Cklek!Mas Lutfan membuka pintu.“Ayo, kalian langsung saja masuk ke rumah.”“Iya Fan, kami bermaksud datang ke sini kalau sudah pagi. Ternyata kamu menelponku untuk segera datang ke sini. Kebetulan, kami sudah mendapatkan bukti dan jawaban atas penyelidikan ini.”“Bagus, Fif. Sekalian jelaskan di depan kami semua. Ada kejadian lain yang harus kuusut agar semua menjadi bertambah jelas. Ayo masuk dulu.”“Iya, ini sekalian aku bawa tersangka yang menaburkan tanah kuburan itu, Fan.”Mereka memasuki ruang tamu. Semua sudah berkumpul.“Bu Susi … ada apa ini? Kenapa Bu Susi datang dengan teman-teman Lutfan?”Wajah ibu mertua terlihat sangat khawatir. Apa semua akan terbuka hari ini? Ya, semoga saja semua terungkap. Aku capek dengan apa yang sudah terjadi.“Aku sudah ngomong ‘kan, Bu. Ibu akan men
Tok, tok, tok!Kencang mas Lutfan mengetuk pintu kamar ibu mertua. Wajahnya benar terlihat sangat marah. Apa dia jujur dan tidak membohongiku?“Ibu! Keluar!”Suara mas Lutfan sangat lantang. Tangannya tak henti menggedor pintu kamar beliau.Cklek!“Ada apa ini, Fan? Kenapa tengah malam begini kamu berisik banget sih?”Sepertinya ibu mertua sudah bangun tidur dari tadi. Wajahnya tidak memperlihatkan jika beliau baru saja bangun, matanya sudah terlihat segar.“Bu jelaskan segala yang Ibu perbuat pada kami. Maksud Ibu apa?”“Maksud kamu apa sih? Ibu nggak paham dengan semua ucapanmu.”Tangan mas Lutfan meraih lengan Eliza. Dia melemparnya kehadapan ibu.“Eliza! Bicara sama Ibu!”“Maksud kamu apa sih, Fan? Eliza kenapa?”“Ada apa ini?”Ba
Aku berjalan menyusuri setiap ruangan. Mataku fokus mencari keberadaan mas Lutfan.“Dimana dia? Sebenarnya apa yang sedang terjadi?”Dari ruang tamu sampai ke ruang tengah sudah kutelusuri, tidak ada batang hidungnya di sana. Aku semakin gusar.“Kamu dimana sih, Mas?”Sepanjang langkah ini, mulutku terus bergumam. Kini aku melangkah ke dapur. Entah mengapa langkahku justru tertuju ke kamar Eliza.“Kenapa aku berjalan ke sini sih?”Telingaku samar mendengar suara seseorang yang sedang mendesah. Kepalaku menjadi berpikir yang bukan-bukan. Apa mungkin mas Lutfan ada di dalam kamar ini? Dia yang setia apa mungkin melakukan perzinahan di belakangku? Lemas rasanya jika semua benar terjadi.Tanganku mencoba memutar gagang pintu. Siapa tahu pintu ini tidak dikunci. Rasa penasaranku terpanggil dan ingin segera mengetahui apa yang terjadi di dalam kamar.
POV Afif****Mobilku mulai memasuki halaman rumah bu Susi yang memang cukup luas. Damar yang dari tadi di belakang mobil kini memarkirkan motor di depan kami.“Ayo turun,” ucap Hari pada pak Dito.Terlihat jelas jika dia sangat ragu dan tidak ingin turun dari mobil.“Aku takut, Pak.”“Nggak usah takut. Dia polisi. Pasti akan menggunakan jalur hukum. Ayo turun. Nggak usah takut,” ucapku.Dengan raut wajah yang terlihat khawatir, akhirnya dia mau turun juga. Kami turun dari mobil. Ada Damar yang sudah menunggu kami.“Lama banget,” protesnya.“Dia takut, Mar.”“Oh, ada pak polisi, nggak usah takut. Ayo, Pak Dito jalan di depan.”Dengan begitu, pak Dito memandu jalan kami. Tangannya masih terborgol. Kami tidak mau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, lebih baik sem
POV Afif****“Bagus kamu bisa ikut sama kami, Har. Kita tunggu beberapa saat lagi, pasti orang itu akan muncul.”Kami sudah berada di dalam mobil. Kini kami tidak membawa motor. Ada Hari—teman polisiku juga yang sekarang ikut dalam penyelidikan. Aku sudah berbicara dengan Lutfan sebelumnya, dia sangat setuju dan ingin langsung diusut.“Iya, aku jadi ikut penasaran. Buat apa ada orang yang menabur tanah kuburan di depan toko seperi itu. Mendengar ceritamu saja, aku jadi ingin tau alasannya apa.”“Kamu ini ‘kan aparat keamanan, aku jadi merasa aman kalau melakukan penyelidikan kayak gini. Kalau Cuma aku dan Damar kayaknya kurang gereget.”“Iya, tapi ‘kan aku nggak pakai seragam. Pasti dia mengira aku orang biasa saja, bukan polisi maksudnya.”“Nggak apa-apa. Yang penting kami tau kamu siapa. Hehe.”