Share

Part 6

“Oh ibu, ya benar ini rumah beliau. Anda siapa ya? Ada urusan apa datang kemari?” tanyaku, mencaritahu.

“Oh itu Mbak, anu ---“

“Siapa Wa?”

Belum sempat wanita itu menjelaskan siapa dirinya, ibu sudah muncul di belakangku memotong ucapannya.

“Ini Bu, ada yang mencari Ibu.”

“Siapa?” Beliau melihat ke balik pintu. “Oh, pasti keponakannya bu Susi ‘kan? Ayo masuk.”

Ibu menyambutnya dengan wajah bahagia. Sebenarnya siapa wanita muda ini? Kenapa ibu sangat antusias menyambut kedatangannya? Banyak tanda tanya di dalam kepalaku. Namanya saja aku belum mengetahui, tapi ibu langsung membawanya ke dalam rumah dengan sangat akrab. Beliau merangkul pundaknya, membimbingnya untuk masuk ke dalam rumah ini. 

“Kenalkan, ini Eliza, dia akan membantu ibu untuk merawat rumah ini.” Ibu mengulas senyum, terlihat seperti seseorang yang sedang sangat bahagia.

“Maksud Ibu apa? Ada Salwa yang biasa membantu Ibu ‘kan?” tanya mas Lutfan, dia menjadi orang pertama yang  memprotes ulah ibunya.

“Tidak apa-apa, Salwa fokus sama toko kalian saja. Biar Liza yang akan membantu Ibu di rumah. Iya ‘kan Eliza?”

“Iya Bu, terimakasih sudah memperkenankan saya untuk kerja di sini.”

Wanita yang bernama Eliza itu, mengatakan rasa berterimakasihnya kepada ibu dengan sangat sopan. Senyum tak lupa disematkan di bibirnya.

“Ibu ini ada-ada saja, sudah ada Salwa yang membantu Ibu kok pakai cari orang lain untuk ikut membantu.”

Bapak mertua ikut menyuarakan isi hatinya. Beliau sama halnya dengan mas Lutfan, merasa keberatan dengan keputusan yang ibu buat sepihak.

“Justru Ibu kasihan sama Salwa, Pak. Dia sudah capek mengurus tokonya. Pulang-pulang harus masih mengerjakan pekerjaan rumah. Bapak ini gimana sih!”

“Ck! Ibu selalu saja menang sendiri.”

Lagi-lagi bapak mertua hanya berdecak, ucapan dari mulut beliau sudah tidak akan didengar oleh istrinya.

“Iya Pak, nggak apa-apa kok. Salwa justru senang Ibu memperhatikanku sampai seperti itu. Makasih Bu.”

Di dalam hatiku ada perasaan kecewa. Sebagai seorang menantu satu-satunya seperti tidak pernah benar di mata ibu. Sampai-sampai urusan rumah harus diserahkan kepada wanita lain. Oke, dia memang hanya bekerja di sini. Namun kenapa ibu memilih wanita muda seumuranku? Apa beliau tidak khawatir anaknya akan tertarik pada wanita bernama Eliza itu? Bukan hanya masih muda, parasnya bisa dikatakan cantik. Ya, semoga saja mas Lutfan tidak akan pernah berpaling dariku.

“Tuh ‘kan. Salwa saja tidak merasa keberatan. Ibu ini mikirin mereka, Pak. Ibu mertua mana yang bisa sebaik Ibu. Pasti tidak ada, Pak.”

Raut wajah beliau mengisyaratkan kehebatan dirinya. Sifat jumawa yang dimiliki beliau semakin menjadi sampai lupa diri.

“Astaghfirullah, Bu, Bu.”

Bapak hanya bisa beristighfar melihat sifat istrinya yang semakin susah untuk dinasehati.

“Liza, sini yuk. Ibu tunjukan kamarmu.”

Sifat ibu berbanding terbalik saat bersama dengan Eliza, wanita yang katanya akan membantu beliau mengerjakan pekerjaan rumah. Bahasa kasarnya adalah hanya seorang pembantu. Namun mengapa ibu begitu lembut memperlakukannya? Sebenarnya ada apa diantara mereka berdua?

“Mas, kamu kenal sama wanita itu nggak sih? Ibu kok kayaknya sudah sangat akrab sama dia. Mana perhatian banget lagi.”

Aku kembali duduk di kursi meja makan, sedangkan mas Lutfan sibuk dengan gawai di tangannya duduk di sebelahku.

“Aku nggak tau siapa dia, Dek. Ya, mungkin ibu diluar sana memang sudah dekat sama Eliza. Jadi mereka sudah terlihat akrab.”

“Tapi Mas, kenapa ibu nggak bisa akrab kayak gitu kepadaku? Aku ‘kan mantunya, istrimu Mas. Masa lebih akrab sama wanita lain.”

Mas Lutfan behenti melihat gawainya, sekarang sorot matanya tertuju kepadaku.

“Kamu kenapa sih, Wa? Biarin aja lah, ibu mau gimana sama siapa. Kamu tau sendiri ‘kan ibu itu kayak apa?”

“Iya Mas, tapi aku takut ….” Aku lirih mengatakannya.

“Ha? Takut kenapa?”

Matanya menyipit saat mendengar ucapanku.

“Iya Mas, aku takut kalau ---“

“Fan, tolongin Ibu dulu sebentar sini.”

Belum selesai aku mengatakan kegelisahanku kepada mas Lutfan, ibu muncul dari kamar belakang memanggil mas Lutfan.

“Oh, iya Bu!” jawab mas Lutfan. “Sebentar ya Dek.”

Dia meninggalkanku pergi menuju ke kamar milik Eliza, pembantu cantik yang akan bekerja di rumah ini. Entah mengapa perasaanku merasa tidak enak saat wanita itu hadir di sini. Apalagi dia sudah akrab dengan ibu mertuaku. Sebenarnya ada apa? Atau aku hanya berpikiran negatif saja. Ya, semoga kekhawatiranku tidak akan pernah terjadi.

Aku berinisiatif untuk pergi melihat mereka di kamar milik Eliza, sebenarnya apa yang sedang dilakukan oleh mereka di sana.

“Eh, Za, Za … awas hati-hati. Ya ampun!”

Aku mendengar suara ibu yang lumayan keras dari dalam kamar. Segera langkah kaki ini kupercepat untuk melihat apa yang sebenarnya sedang terjadi.

Sesampainya di muka pintu, aku melihat tangan mas Lutfan sedang memegang kedua lengan milik Eliza.

“Ada apa, Mas!” Aku mengatakannya dengan perasaan yang berkencambuk.

“Ini Dek, Eliza mau jatuh. Tanganku refleks menolongnya.” Dia mengatakannya seraya melepas genggaman erat di lengan wanita itu.

“Oh, ayo Mas, kita siap-siap.” Tanpa bertanya lebih lanjut, aku langsung mengajak mas Lutfan pergi dari sana.

“Eh tunggu, Wa. Ini belum ada jam delapan lho. Lutfan mau bantuin Ibu dulu sama Liza di sini.” Ibu menyergah dan menolak ucapanku.

Aku membuang napas berat, memalingkan wajah tanpa ekspresi.

‘Pembantu macam apa, beres-beres kamarnya sendiri harus dibantu sama majikannya. Sebenarnya ibu sedang merencanakan apa?’ batinku.

“Aku tunggu di kamar Mas,” ucapku seraya meninggalkan kamar itu.

“Iya Dek.”

“Ayo diselesaikan secepatnya. Lutfan sudah harus pergi ke tokonya. Ayo, ayo … biar kamarnya secantik orangnya.”

Sayup-sayup aku mendengar perkataan ibu mertua yang terlihat begitu sangat bahagia, beliau juga memuji pembantunya itu. Hah! Sebenarnya siapa wanita bernama Eliza itu? Mana ada pembantu diperlakukan sangat manis seperti itu, mengingat ibu mertua berperangai yang sangat menyebalkan menurutku. Entahlah, semoga tidak terjadi apa-apa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status