Share

Part 5

Aku mengernyitkan kening mendengar pertanyaan ibu seperti itu.

“Wa, kamu masih minum pilnya ‘kan?” Kembali ibu menanyakannya.

“Kenapa sih Bu?” Aku bertanya kembali sebelum menjawab pertanyaan anehnya.

“Tidak kenapa-kenapa sih, katanya kalian mau memajukan toko kalian dulu. Kata Lutfan kalian mau menunda kehamilan.”

Mas Lutfan memang sering bercerita banyak hal kepada ibunya itu. Hal terkecil pun terkadang tak luput diceritakan kepada beliau. Maklum mas Lutfan anak satu-satunya. Sedari kecil mungkin saja sangat dimanja oleh orang tuanya, terutama ibunya. Jadi hubungan mereka menjadi sangat dekat.

“Itu Bu, kata mas Lutfan aku nggak boleh lagi minum pilnya. Dia sudah mau punya anak, Bu.” Kukatakan yang sejujurnya kepada beliau.

“Ah masa sih? Pasti kamu yang meminta untuk cepat-cepat punya anak ‘kan? Mana mungkin Lutfan yang ngomong begitu. Itu pasti kamu yang memaksanya.”

Ibu mengatakannya dengan ekspresi wajah tidak suka.

“Mas Lutfan Bu, yang ngomong begitu. Bukan aku.” Aku masih mencoba membela diriku yang memang tidak melakukan hal itu.

“Halah! Tidak usah membeladirimu Wa, Lutfan tidak mungkin berbicara seperti itu. Pasti kamu yang memaksanya. Apa kamu tidak mau usaha kalian sukses, Wa? Kenapa minta punya anak sekarang sih? Ditunda setahun lagi, Ibu tidak mempermasalahkannya kok.”

Aku membuang napas kasar. Kenapa aku punya ibu mertua seperti beliau sih? Segala macam selalu saja dikomentari. Harus sesuai dengan keinginannya. Benar-benar bisa jadi gila kalau tiap hari begini terus. Astaghfirullah! Semoga selalu diberi kesabaran.

“Dek, masak apa? Baunya harum banget.”

Mas Lutfan tiba-tiba datang menghampiri kami. Aku sudah merasa resah akan menjawab apalagi kepada ibu mertua, untung saja mas Lutfan datang. Jika ibu masih saja mengungkitnya, sudah ada mas Lutfan yang akan menjawab semua pertanyaan ibu yang menyakitkan hatiku. Selalu saja aku yang dipersalahkan.

“Ayam kecap Mas,” jawabku seraya tersenyum.

“Fan, kenapa Salwa tidak minum pilnya, kamu diam saja? Harusnya kamu menyuruh Salwa untuk meminumnya dong, Fan. Pasti kamu dipaksa punya anak sama Salwa ‘kan? Kamu mau menunda sampai tokomu benar-benar sukses ‘kan? Jangan mau kalau punya anak sekarang. Tokomu belum sukses banget lho. Besok-besok, Salwa harus minum pilnya lagi.”

Ibu mengatakannya dengan menyeringai. Beliau merasa menang sudah mengatakan semuanya kepada anak tersayangnya itu. Silakan saja, dikira aku yang meminta untuk cepat punya anak apa? Padahal aku hanya mematuhi perintahnya mas Lutfan saja.

“Ibu … kenapa Ibu ikut campur sampai hal sensitive seperti itu sih, Bu? Itu hak kami, Bu. Bukan Salwa yang memaksa mau punya anak sekarang, tapi aku Bu. Aku sudah ingin punya keturunan. Kalau tunggu toko sampai benar-benar sukses, entah kapan Bu. Tolong Ibu dipilah-pilah lagi ya, kalau mau ikut campur urusan kami. Kasihan Salwa Bu, dia nggak salah.”

Ya, meski mas Lutfan sangat sayang kepada orang tuanya, namun dia selalu bisa mengambil sikap dengan adil. Sekiranya istrinya yang benar, dia pasti akan membelaku.

“Ah kamu ini, selalu saja membela istrimu. Ibu ini yang melahirkanmu lho, Fan. Kamu sudah tidak mau mendengar nasehat dari Ibu ya? Sekarang Salwa terus yang dibela.”

“Bukan begitu, Bu. Aku hanya ingin berlaku adil kepada kalian berdua.”

“Adil dari mananya, Fan? Akhir-akhir ini kamu selalu membela istrimu.”

Ibu mertua seperti biasa, beliau tidak akan mungkin mengalah. Ternyata orang tua belum tentu dewasa. Aku bisa mengambil kesimpulan dari kehidupanku sendiri. Dewasa tidak ditentukan dengan banyaknya jumlah umur pada orang itu, dewasa adalah karakter milik orang itu sendiri yang sudah tertanam di dalam hati terdalamnya. Meski usianya masih sangat muda, bisa saja orang itu punya karakter yang dewasa. Dan orang yang dewasa selalu bisa menghadapi maslahanya dengan tenang tanpa emosi yang meledak-ledak.

“Intinya kami sudah mau punya anak, Bu. Khususnya aku. Aku melarang Salwa untuk meminum pilnya. Ibu jangan salahkan Salwa.”

Keduanya mempunyai sifat yang keras kepala, jadi tidak heran mereka mempertahankan pendapatnya masing-masing. Aku seperti biasa, semua kuserahkan kepada suamiku tercinta.

“Ck! Pasti kamu yang sudah mencuci otak Lutfan ‘kan Wa?”

Ibu tetap saja menyalahkanku ketika mas Lutfan sudah pergi dari dapur. Dasar mertua yang menyebalkan.

“Aku bawa ke meja makan dulu ya, Bu?”

Sengaja aku tidak menghiraukan ocehannya. Aku tinggalkan beliau sendiri ke ruang makan.

“Dek, ibu masih menyalahkanmu?” tanya mas Lutfan saat aku sedang meletakan lauk di atas meja makan.

Aku membuang napas sebelum menjawab pertanyaannya.

“Masih Mas, aku capek Mas kalau begini terus. Ibu selalu saja ikut campur urusan kita.”

Di ruang makan itu hanya ada kami berdua, jadi aku bebas berkeluh kesah kepada mas Lutfan.

“Iya, ibu memang keterlaluan sih. Apa saja beliau campuri. Tapi harus bagaimana lagi, Dek. Kita ga mungkin pergi dari sini.”

Hah! Sudah kuduga jawabannya akan seperti itu. Tidak mungkin mas Lutfan akan tega meninggalkan ke dua orang tuanya sendirian di rumah sebesar ini. Tidak ada lagi yang akan merawat mereka kalau bukan mas Lutfan dan aku--istrinya.

“Iya Mas.”

Jawabanku pasrah, istri hanya bertugas untuk taat dan patuh kepada suaminya.

Ting tong, ting tong ….

Baru saja kami selesai sarapan, bel pintu rumah terdengar di telinga.

“Pagi-pagi sudah ada yang mau bertamu, siapa ya?” gumamku.

“Tolong Wa, buka pintunya,” perintah ibu.

“Iya Bu.” Kakiku melangkah menuju pintu depan.

Cklek!

Aku membuka pintunya, di sana ada seorang wanita muda, ya mungkin seumuran denganku. Dia membawa tas besar bersamanya.

“Maaf, mencari siapa ya?” tanyaku ramah.

“Maaf Mbak, apa benar ini rumahnya Bu Yuni?”

Aku mengernyitkan dahi, bu Yuni adalah nama ibu mertuaku. Kenapa dia mencari ibu? Tidak mungkin dia teman beliau karena dia terlalu muda, paling umurnya tidak jauh denganku. Dan selama aku menjadi menantu di rumah ini tidak sekali pun aku mengenal wanita ini. Jadi ada urusan apa dia ke rumah ini?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status