Share

Part 5

Penulis: Khanna
last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-29 11:53:23

Aku mengernyitkan kening mendengar pertanyaan ibu seperti itu.

“Wa, kamu masih minum pilnya ‘kan?” Kembali ibu menanyakannya.

“Kenapa sih Bu?” Aku bertanya kembali sebelum menjawab pertanyaan anehnya.

“Tidak kenapa-kenapa sih, katanya kalian mau memajukan toko kalian dulu. Kata Lutfan kalian mau menunda kehamilan.”

Mas Lutfan memang sering bercerita banyak hal kepada ibunya itu. Hal terkecil pun terkadang tak luput diceritakan kepada beliau. Maklum mas Lutfan anak satu-satunya. Sedari kecil mungkin saja sangat dimanja oleh orang tuanya, terutama ibunya. Jadi hubungan mereka menjadi sangat dekat.

“Itu Bu, kata mas Lutfan aku nggak boleh lagi minum pilnya. Dia sudah mau punya anak, Bu.” Kukatakan yang sejujurnya kepada beliau.

“Ah masa sih? Pasti kamu yang meminta untuk cepat-cepat punya anak ‘kan? Mana mungkin Lutfan yang ngomong begitu. Itu pasti kamu yang memaksanya.”

Ibu mengatakannya dengan ekspresi wajah tidak suka.

“Mas Lutfan Bu, yang ngomong begitu. Bukan aku.” Aku masih mencoba membela diriku yang memang tidak melakukan hal itu.

“Halah! Tidak usah membeladirimu Wa, Lutfan tidak mungkin berbicara seperti itu. Pasti kamu yang memaksanya. Apa kamu tidak mau usaha kalian sukses, Wa? Kenapa minta punya anak sekarang sih? Ditunda setahun lagi, Ibu tidak mempermasalahkannya kok.”

Aku membuang napas kasar. Kenapa aku punya ibu mertua seperti beliau sih? Segala macam selalu saja dikomentari. Harus sesuai dengan keinginannya. Benar-benar bisa jadi gila kalau tiap hari begini terus. Astaghfirullah! Semoga selalu diberi kesabaran.

“Dek, masak apa? Baunya harum banget.”

Mas Lutfan tiba-tiba datang menghampiri kami. Aku sudah merasa resah akan menjawab apalagi kepada ibu mertua, untung saja mas Lutfan datang. Jika ibu masih saja mengungkitnya, sudah ada mas Lutfan yang akan menjawab semua pertanyaan ibu yang menyakitkan hatiku. Selalu saja aku yang dipersalahkan.

“Ayam kecap Mas,” jawabku seraya tersenyum.

“Fan, kenapa Salwa tidak minum pilnya, kamu diam saja? Harusnya kamu menyuruh Salwa untuk meminumnya dong, Fan. Pasti kamu dipaksa punya anak sama Salwa ‘kan? Kamu mau menunda sampai tokomu benar-benar sukses ‘kan? Jangan mau kalau punya anak sekarang. Tokomu belum sukses banget lho. Besok-besok, Salwa harus minum pilnya lagi.”

Ibu mengatakannya dengan menyeringai. Beliau merasa menang sudah mengatakan semuanya kepada anak tersayangnya itu. Silakan saja, dikira aku yang meminta untuk cepat punya anak apa? Padahal aku hanya mematuhi perintahnya mas Lutfan saja.

“Ibu … kenapa Ibu ikut campur sampai hal sensitive seperti itu sih, Bu? Itu hak kami, Bu. Bukan Salwa yang memaksa mau punya anak sekarang, tapi aku Bu. Aku sudah ingin punya keturunan. Kalau tunggu toko sampai benar-benar sukses, entah kapan Bu. Tolong Ibu dipilah-pilah lagi ya, kalau mau ikut campur urusan kami. Kasihan Salwa Bu, dia nggak salah.”

Ya, meski mas Lutfan sangat sayang kepada orang tuanya, namun dia selalu bisa mengambil sikap dengan adil. Sekiranya istrinya yang benar, dia pasti akan membelaku.

“Ah kamu ini, selalu saja membela istrimu. Ibu ini yang melahirkanmu lho, Fan. Kamu sudah tidak mau mendengar nasehat dari Ibu ya? Sekarang Salwa terus yang dibela.”

“Bukan begitu, Bu. Aku hanya ingin berlaku adil kepada kalian berdua.”

“Adil dari mananya, Fan? Akhir-akhir ini kamu selalu membela istrimu.”

Ibu mertua seperti biasa, beliau tidak akan mungkin mengalah. Ternyata orang tua belum tentu dewasa. Aku bisa mengambil kesimpulan dari kehidupanku sendiri. Dewasa tidak ditentukan dengan banyaknya jumlah umur pada orang itu, dewasa adalah karakter milik orang itu sendiri yang sudah tertanam di dalam hati terdalamnya. Meski usianya masih sangat muda, bisa saja orang itu punya karakter yang dewasa. Dan orang yang dewasa selalu bisa menghadapi maslahanya dengan tenang tanpa emosi yang meledak-ledak.

“Intinya kami sudah mau punya anak, Bu. Khususnya aku. Aku melarang Salwa untuk meminum pilnya. Ibu jangan salahkan Salwa.”

Keduanya mempunyai sifat yang keras kepala, jadi tidak heran mereka mempertahankan pendapatnya masing-masing. Aku seperti biasa, semua kuserahkan kepada suamiku tercinta.

“Ck! Pasti kamu yang sudah mencuci otak Lutfan ‘kan Wa?”

Ibu tetap saja menyalahkanku ketika mas Lutfan sudah pergi dari dapur. Dasar mertua yang menyebalkan.

“Aku bawa ke meja makan dulu ya, Bu?”

Sengaja aku tidak menghiraukan ocehannya. Aku tinggalkan beliau sendiri ke ruang makan.

“Dek, ibu masih menyalahkanmu?” tanya mas Lutfan saat aku sedang meletakan lauk di atas meja makan.

Aku membuang napas sebelum menjawab pertanyaannya.

“Masih Mas, aku capek Mas kalau begini terus. Ibu selalu saja ikut campur urusan kita.”

Di ruang makan itu hanya ada kami berdua, jadi aku bebas berkeluh kesah kepada mas Lutfan.

“Iya, ibu memang keterlaluan sih. Apa saja beliau campuri. Tapi harus bagaimana lagi, Dek. Kita ga mungkin pergi dari sini.”

Hah! Sudah kuduga jawabannya akan seperti itu. Tidak mungkin mas Lutfan akan tega meninggalkan ke dua orang tuanya sendirian di rumah sebesar ini. Tidak ada lagi yang akan merawat mereka kalau bukan mas Lutfan dan aku--istrinya.

“Iya Mas.”

Jawabanku pasrah, istri hanya bertugas untuk taat dan patuh kepada suaminya.

Ting tong, ting tong ….

Baru saja kami selesai sarapan, bel pintu rumah terdengar di telinga.

“Pagi-pagi sudah ada yang mau bertamu, siapa ya?” gumamku.

“Tolong Wa, buka pintunya,” perintah ibu.

“Iya Bu.” Kakiku melangkah menuju pintu depan.

Cklek!

Aku membuka pintunya, di sana ada seorang wanita muda, ya mungkin seumuran denganku. Dia membawa tas besar bersamanya.

“Maaf, mencari siapa ya?” tanyaku ramah.

“Maaf Mbak, apa benar ini rumahnya Bu Yuni?”

Aku mengernyitkan dahi, bu Yuni adalah nama ibu mertuaku. Kenapa dia mencari ibu? Tidak mungkin dia teman beliau karena dia terlalu muda, paling umurnya tidak jauh denganku. Dan selama aku menjadi menantu di rumah ini tidak sekali pun aku mengenal wanita ini. Jadi ada urusan apa dia ke rumah ini?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ketika Mertua Ikut Campur   Part 55

    “Dek, Zidan belum bangun?”Pertanyaan yang wajib bagi mas Lutfan saat pagi hari. Setelah menyelesaikan sholat subuh, dia akan menghampiriku dan mempertanyakan hal tersebut.“Belum dong, Mas. Tau sendiri ‘kan? Jadwal Zidan bangun pagi jam berapa? Agak siang biasanya.”“Hehe, tau sih. Kalau nggak tanya rasanya ada yang kurang, Dek.”“Kamu ini, Mas.”Aku sudah ada di dapur memasak untuk sarapan mumpung Zidan—anak kami masih terlelap tidur.“Dek, ternyata enak ya punya rumah sendiri. Bisa bermesraan dimana aja. Hehehe,” ucapnya seraya memeluku dari belakang.“Iya ‘kan? Kamu suka ‘kan, Mas?”“Iya Dek. Lebih enak kayak gini. Bebas, hati juga tenang.”“Tapi Mas, apa kamu mau memeluku begini terus? Aku mau masak dulu lho, mumpung Zidan belum bangun. Kalau bangun m

  • Ketika Mertua Ikut Campur   Part 54

    Cklek!Mas Lutfan membuka pintu.“Ayo, kalian langsung saja masuk ke rumah.”“Iya Fan, kami bermaksud datang ke sini kalau sudah pagi. Ternyata kamu menelponku untuk segera datang ke sini. Kebetulan, kami sudah mendapatkan bukti dan jawaban atas penyelidikan ini.”“Bagus, Fif. Sekalian jelaskan di depan kami semua. Ada kejadian lain yang harus kuusut agar semua menjadi bertambah jelas. Ayo masuk dulu.”“Iya, ini sekalian aku bawa tersangka yang menaburkan tanah kuburan itu, Fan.”Mereka memasuki ruang tamu. Semua sudah berkumpul.“Bu Susi … ada apa ini? Kenapa Bu Susi datang dengan teman-teman Lutfan?”Wajah ibu mertua terlihat sangat khawatir. Apa semua akan terbuka hari ini? Ya, semoga saja semua terungkap. Aku capek dengan apa yang sudah terjadi.“Aku sudah ngomong ‘kan, Bu. Ibu akan men

  • Ketika Mertua Ikut Campur   Part 53

    Tok, tok, tok!Kencang mas Lutfan mengetuk pintu kamar ibu mertua. Wajahnya benar terlihat sangat marah. Apa dia jujur dan tidak membohongiku?“Ibu! Keluar!”Suara mas Lutfan sangat lantang. Tangannya tak henti menggedor pintu kamar beliau.Cklek!“Ada apa ini, Fan? Kenapa tengah malam begini kamu berisik banget sih?”Sepertinya ibu mertua sudah bangun tidur dari tadi. Wajahnya tidak memperlihatkan jika beliau baru saja bangun, matanya sudah terlihat segar.“Bu jelaskan segala yang Ibu perbuat pada kami. Maksud Ibu apa?”“Maksud kamu apa sih? Ibu nggak paham dengan semua ucapanmu.”Tangan mas Lutfan meraih lengan Eliza. Dia melemparnya kehadapan ibu.“Eliza! Bicara sama Ibu!”“Maksud kamu apa sih, Fan? Eliza kenapa?”“Ada apa ini?”Ba

  • Ketika Mertua Ikut Campur   Part 52

    Aku berjalan menyusuri setiap ruangan. Mataku fokus mencari keberadaan mas Lutfan.“Dimana dia? Sebenarnya apa yang sedang terjadi?”Dari ruang tamu sampai ke ruang tengah sudah kutelusuri, tidak ada batang hidungnya di sana. Aku semakin gusar.“Kamu dimana sih, Mas?”Sepanjang langkah ini, mulutku terus bergumam. Kini aku melangkah ke dapur. Entah mengapa langkahku justru tertuju ke kamar Eliza.“Kenapa aku berjalan ke sini sih?”Telingaku samar mendengar suara seseorang yang sedang mendesah. Kepalaku menjadi berpikir yang bukan-bukan. Apa mungkin mas Lutfan ada di dalam kamar ini? Dia yang setia apa mungkin melakukan perzinahan di belakangku? Lemas rasanya jika semua benar terjadi.Tanganku mencoba memutar gagang pintu. Siapa tahu pintu ini tidak dikunci. Rasa penasaranku terpanggil dan ingin segera mengetahui apa yang terjadi di dalam kamar.

  • Ketika Mertua Ikut Campur   Part 51

    POV Afif****Mobilku mulai memasuki halaman rumah bu Susi yang memang cukup luas. Damar yang dari tadi di belakang mobil kini memarkirkan motor di depan kami.“Ayo turun,” ucap Hari pada pak Dito.Terlihat jelas jika dia sangat ragu dan tidak ingin turun dari mobil.“Aku takut, Pak.”“Nggak usah takut. Dia polisi. Pasti akan menggunakan jalur hukum. Ayo turun. Nggak usah takut,” ucapku.Dengan raut wajah yang terlihat khawatir, akhirnya dia mau turun juga. Kami turun dari mobil. Ada Damar yang sudah menunggu kami.“Lama banget,” protesnya.“Dia takut, Mar.”“Oh, ada pak polisi, nggak usah takut. Ayo, Pak Dito jalan di depan.”Dengan begitu, pak Dito memandu jalan kami. Tangannya masih terborgol. Kami tidak mau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, lebih baik sem

  • Ketika Mertua Ikut Campur   Part 50

    POV Afif****“Bagus kamu bisa ikut sama kami, Har. Kita tunggu beberapa saat lagi, pasti orang itu akan muncul.”Kami sudah berada di dalam mobil. Kini kami tidak membawa motor. Ada Hari—teman polisiku juga yang sekarang ikut dalam penyelidikan. Aku sudah berbicara dengan Lutfan sebelumnya, dia sangat setuju dan ingin langsung diusut.“Iya, aku jadi ikut penasaran. Buat apa ada orang yang menabur tanah kuburan di depan toko seperi itu. Mendengar ceritamu saja, aku jadi ingin tau alasannya apa.”“Kamu ini ‘kan aparat keamanan, aku jadi merasa aman kalau melakukan penyelidikan kayak gini. Kalau Cuma aku dan Damar kayaknya kurang gereget.”“Iya, tapi ‘kan aku nggak pakai seragam. Pasti dia mengira aku orang biasa saja, bukan polisi maksudnya.”“Nggak apa-apa. Yang penting kami tau kamu siapa. Hehe.”

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status