Aku mengernyitkan kening mendengar pertanyaan ibu seperti itu.
“Wa, kamu masih minum pilnya ‘kan?” Kembali ibu menanyakannya.
“Kenapa sih Bu?” Aku bertanya kembali sebelum menjawab pertanyaan anehnya.
“Tidak kenapa-kenapa sih, katanya kalian mau memajukan toko kalian dulu. Kata Lutfan kalian mau menunda kehamilan.”
Mas Lutfan memang sering bercerita banyak hal kepada ibunya itu. Hal terkecil pun terkadang tak luput diceritakan kepada beliau. Maklum mas Lutfan anak satu-satunya. Sedari kecil mungkin saja sangat dimanja oleh orang tuanya, terutama ibunya. Jadi hubungan mereka menjadi sangat dekat.
“Itu Bu, kata mas Lutfan aku nggak boleh lagi minum pilnya. Dia sudah mau punya anak, Bu.” Kukatakan yang sejujurnya kepada beliau.
“Ah masa sih? Pasti kamu yang meminta untuk cepat-cepat punya anak ‘kan? Mana mungkin Lutfan yang ngomong begitu. Itu pasti kamu yang memaksanya.”
Ibu mengatakannya dengan ekspresi wajah tidak suka.
“Mas Lutfan Bu, yang ngomong begitu. Bukan aku.” Aku masih mencoba membela diriku yang memang tidak melakukan hal itu.
“Halah! Tidak usah membeladirimu Wa, Lutfan tidak mungkin berbicara seperti itu. Pasti kamu yang memaksanya. Apa kamu tidak mau usaha kalian sukses, Wa? Kenapa minta punya anak sekarang sih? Ditunda setahun lagi, Ibu tidak mempermasalahkannya kok.”
Aku membuang napas kasar. Kenapa aku punya ibu mertua seperti beliau sih? Segala macam selalu saja dikomentari. Harus sesuai dengan keinginannya. Benar-benar bisa jadi gila kalau tiap hari begini terus. Astaghfirullah! Semoga selalu diberi kesabaran.
“Dek, masak apa? Baunya harum banget.”
Mas Lutfan tiba-tiba datang menghampiri kami. Aku sudah merasa resah akan menjawab apalagi kepada ibu mertua, untung saja mas Lutfan datang. Jika ibu masih saja mengungkitnya, sudah ada mas Lutfan yang akan menjawab semua pertanyaan ibu yang menyakitkan hatiku. Selalu saja aku yang dipersalahkan.
“Ayam kecap Mas,” jawabku seraya tersenyum.
“Fan, kenapa Salwa tidak minum pilnya, kamu diam saja? Harusnya kamu menyuruh Salwa untuk meminumnya dong, Fan. Pasti kamu dipaksa punya anak sama Salwa ‘kan? Kamu mau menunda sampai tokomu benar-benar sukses ‘kan? Jangan mau kalau punya anak sekarang. Tokomu belum sukses banget lho. Besok-besok, Salwa harus minum pilnya lagi.”
Ibu mengatakannya dengan menyeringai. Beliau merasa menang sudah mengatakan semuanya kepada anak tersayangnya itu. Silakan saja, dikira aku yang meminta untuk cepat punya anak apa? Padahal aku hanya mematuhi perintahnya mas Lutfan saja.
“Ibu … kenapa Ibu ikut campur sampai hal sensitive seperti itu sih, Bu? Itu hak kami, Bu. Bukan Salwa yang memaksa mau punya anak sekarang, tapi aku Bu. Aku sudah ingin punya keturunan. Kalau tunggu toko sampai benar-benar sukses, entah kapan Bu. Tolong Ibu dipilah-pilah lagi ya, kalau mau ikut campur urusan kami. Kasihan Salwa Bu, dia nggak salah.”
Ya, meski mas Lutfan sangat sayang kepada orang tuanya, namun dia selalu bisa mengambil sikap dengan adil. Sekiranya istrinya yang benar, dia pasti akan membelaku.
“Ah kamu ini, selalu saja membela istrimu. Ibu ini yang melahirkanmu lho, Fan. Kamu sudah tidak mau mendengar nasehat dari Ibu ya? Sekarang Salwa terus yang dibela.”
“Bukan begitu, Bu. Aku hanya ingin berlaku adil kepada kalian berdua.”
“Adil dari mananya, Fan? Akhir-akhir ini kamu selalu membela istrimu.”
Ibu mertua seperti biasa, beliau tidak akan mungkin mengalah. Ternyata orang tua belum tentu dewasa. Aku bisa mengambil kesimpulan dari kehidupanku sendiri. Dewasa tidak ditentukan dengan banyaknya jumlah umur pada orang itu, dewasa adalah karakter milik orang itu sendiri yang sudah tertanam di dalam hati terdalamnya. Meski usianya masih sangat muda, bisa saja orang itu punya karakter yang dewasa. Dan orang yang dewasa selalu bisa menghadapi maslahanya dengan tenang tanpa emosi yang meledak-ledak.
“Intinya kami sudah mau punya anak, Bu. Khususnya aku. Aku melarang Salwa untuk meminum pilnya. Ibu jangan salahkan Salwa.”
Keduanya mempunyai sifat yang keras kepala, jadi tidak heran mereka mempertahankan pendapatnya masing-masing. Aku seperti biasa, semua kuserahkan kepada suamiku tercinta.
“Ck! Pasti kamu yang sudah mencuci otak Lutfan ‘kan Wa?”
Ibu tetap saja menyalahkanku ketika mas Lutfan sudah pergi dari dapur. Dasar mertua yang menyebalkan.
“Aku bawa ke meja makan dulu ya, Bu?”
Sengaja aku tidak menghiraukan ocehannya. Aku tinggalkan beliau sendiri ke ruang makan.
“Dek, ibu masih menyalahkanmu?” tanya mas Lutfan saat aku sedang meletakan lauk di atas meja makan.
Aku membuang napas sebelum menjawab pertanyaannya.
“Masih Mas, aku capek Mas kalau begini terus. Ibu selalu saja ikut campur urusan kita.”
Di ruang makan itu hanya ada kami berdua, jadi aku bebas berkeluh kesah kepada mas Lutfan.
“Iya, ibu memang keterlaluan sih. Apa saja beliau campuri. Tapi harus bagaimana lagi, Dek. Kita ga mungkin pergi dari sini.”
Hah! Sudah kuduga jawabannya akan seperti itu. Tidak mungkin mas Lutfan akan tega meninggalkan ke dua orang tuanya sendirian di rumah sebesar ini. Tidak ada lagi yang akan merawat mereka kalau bukan mas Lutfan dan aku--istrinya.
“Iya Mas.”
Jawabanku pasrah, istri hanya bertugas untuk taat dan patuh kepada suaminya.
Ting tong, ting tong ….
Baru saja kami selesai sarapan, bel pintu rumah terdengar di telinga.
“Pagi-pagi sudah ada yang mau bertamu, siapa ya?” gumamku.
“Tolong Wa, buka pintunya,” perintah ibu.
“Iya Bu.” Kakiku melangkah menuju pintu depan.
Cklek!
Aku membuka pintunya, di sana ada seorang wanita muda, ya mungkin seumuran denganku. Dia membawa tas besar bersamanya.
“Maaf, mencari siapa ya?” tanyaku ramah.
“Maaf Mbak, apa benar ini rumahnya Bu Yuni?”
Aku mengernyitkan dahi, bu Yuni adalah nama ibu mertuaku. Kenapa dia mencari ibu? Tidak mungkin dia teman beliau karena dia terlalu muda, paling umurnya tidak jauh denganku. Dan selama aku menjadi menantu di rumah ini tidak sekali pun aku mengenal wanita ini. Jadi ada urusan apa dia ke rumah ini?
“Oh ibu, ya benar ini rumah beliau. Anda siapa ya? Ada urusan apa datang kemari?” tanyaku, mencaritahu.“Oh itu Mbak, anu ---““Siapa Wa?”Belum sempat wanita itu menjelaskan siapa dirinya, ibu sudah muncul di belakangku memotong ucapannya.“Ini Bu, ada yang mencari Ibu.”“Siapa?” Beliau melihat ke balik pintu. “Oh, pasti keponakannya bu Susi ‘kan? Ayo masuk.”Ibu menyambutnya dengan wajah bahagia. Sebenarnya siapa wanita muda ini? Kenapa ibu sangat antusias menyambut kedatangannya? Banyak tanda tanya di dalam kepalaku. Namanya saja aku belum mengetahui, tapi ibu langsung membawanya ke dalam rumah dengan sangat akrab. Beliau merangkul pundaknya, membimbingnya untuk masuk ke dalam rumah ini.“Kenalkan, ini Eliza, dia akan membantu ibu untuk merawat rumah ini.” Ibu mengulas senyum, terlihat seperti seseorang yang sedang sangat bahagia.
“Udah, Mas?” tanyaku ketus.“Ih! Kok jutek gitu sih, Dek?”“Nggak kok.”Mataku masih tak melihat mata milik mas Lutfan. Aku tak mau jika dia tahu aku sedang cemburu padanya. Dia pasti senang melihat istrinya yang sedang cemburu seperti ini.“Tuh ‘kan? Kok aneh gitu sih? Aku nggak lama kok bantu-bantu mereka. Jangan marah dong Sayang ….”Huh! Bukan karena lama atau tidaknya kamu membantu mereka, mas! Tapi aku cemburu kamu dekat-dekat dengan wanita lain. Meski dia hanya pembantu. Batinku meraung-raung karena ketidakpekaan mas Lutfan dengan segala perkiraannya yang salah terhadap tingkahku.“Aku nggak marah kok, Mas.”“Terus kenapa dong, Dek? Oh atau … kamu cemburu ya, Dek? Hehehe.”Tuh ‘kan, apa kataku. Dia pasti bahagia kalau tahu istrinya ini sedang cemburu kepadanya. Akhirnya dia memahami juga apa yang saat ini sedang kurasakan. T
“Mas, kira-kira Eliza udah tidur belum ya?” tanyaku saat di dalam mobil.“Hmmm, mana aku tau, Dek. Dari tadi ‘kan aku bareng terus sama kamu. Kamu ini, tanyanya aneh-aneh saja deh.”“Iya, iya … pertanyaanku aneh … aku ‘kan penasaran. Apa nggak boleh kalau tanya begitu?”Bibirku sedikit manyun saat respon mas Lutfan seolah memojokkanku. Tinggal ngomong ‘nggak tau, Dek’ gitu aja kenapa sih? Tidak usah diembel-embeli dengan ucapan lain yang membuat perasaan ini menjadi merasa sebal.“Boleh Sayang … maksudnya bukan gitu. Kamu ‘kan tau sendiri, sejak tadi aku selalu bersamamu, Dek. Kok kamu jadi manyun gitu sih?”“Kamu sih, Mas. Tinggal ngomong nggak tau aja apa susahnya? Kenapa menganggapku aneh sih?”“Ya ampun Sayang … kayak gitu aja kok dipermasalahin sih, Dek? Iya, iya … aku salah, aku minta maaf.”Sa
Saat aku berdiri melihat ke arah mobil yang sedang dicuci, di sana ada mas Lutfan yang masih belum melanjutkan hobby mencucinya itu. Dia masih berbicara dengan Eliza. Aku berinisiatif untuk mendekati mereka.“Mas …,” panggilku.Perbincangan mereka berhenti seketika. Terlihat dari raut wajah mas Lutfan terlihat ketidaksukaan.“Dek, tumben kamu mau mendatangiku pas lagi cuci mobil begini,” tanyanya.“Ya … pengin lihat kamu aja, Mas. Kalian ngomongin apa?”Eliza hanya terdiam, terlihat sungkan kepadaku.“Ini ibu aneh-aneh aja. Masa si Liza disuruh membantuku mencuci mobil. Aku bisa sendiri lho, Dek," sungutnya, terlihat jelas dari raut wajahnya jika dia benar-benar tidak suka.“Mungkin takut kamu capek kali, Mas. Jadi ibu menyuruh Liza untuk bantuin kamu.”Aku berusaha tenang meski hatiku ikut bergemuruh karena ulah ibu mertuaku itu.“Capek gimana, De
“Liza nggak bisa pakai mesin cuci?” tanya mas Lutfan heran.“Eh itu Mas, soalnya mesin cucinya beda sama yang sering kupakai. Ini lebih bagus, ya jadi—““Benar Fan, Ibu memakluminya kok. Nggak apa-apa, Ibu senang bisa mengajarinya seperti ini.”Mereka benar-benar bersekongkol mengatakan kebohongan ini. Aku bertambah penasaran, kenapa ibu mertua dengan Eliza bisa sekompak itu. Sudahlah … aku harus lolos dari kamar mandi ini terlebih dulu. Perlahan kubuka pintu kamar mandi dan cepat-cepat pergi dari sana.Dengan langkah seperti orang berlari, aku pergi menuju kamar. Tentunya dengan tak mengeluarkan suara. Sesampainya dikamar, aku berusaha mengatur napas yang sedikit ngos-ngosan, padahal tak terlalu jauh tapi tetap saja terasa capek. Mungkin karena takut ketahuan menjadi adrenalinku ikut terkuras.Aku berpura-pura duduk santai seperti tak terjadi apa-apa. Tinggal menunggu mas Lutfan datang saja.
“Ibu bisikin apa ke kamu, Za?” tanya mas Lutfan, kami sudah jalan menuju pasar swalayan terdekat.“Emm … itu Mas. Kata ibu rahasia,” ucap wanita berambut pendek itu.“Hm? Rahasia?” Mas Lutfan semakin penasaran. Aku cukup mendengarkan saja.“Iya, bilangnya gitu. Jadi saya nggak berani kasih tau sama Mas.”Ya, benar juga sih apa katanya. Dia hanya berusaha menjaga rahasia yang ibu amanatkan kepadanya. Tapi kenapa Eliza yang harus menjaga rahasia itu? Semakin tak mengerti aku dengan kedekatan mereka.Kini mas Lutfan hanya diam. Mungkin dia akan menanyakannya langsung kepada
“Ada apa sih, Mas?”Nadaku sedikit ketus. Tentu saja, karena aku ke sini—ke dalam kamar, jadi tidak bisa mencari tahu lebih lanjut apa tujuan mereka ‘kan?“Dek … kok gitu sih? Datang-datang malah kayak orang yang lagi marah?”“Lha kamu ngapain panggil aku. Aku lagi mau bantu ibu di dapur lho?”“Kan udah ada Eliza, Dek. Kamu santailah di sini sama aku.”“Tadi ‘kan katanya boleh, aku mau bantu ibu, Mas. Sekarang malah dipanggil ke sini lagi.”Perasaanku menjadi jengkel karena ul
“Mas, jangan marah dong. Mungkin maksud ibu baik, Mas.”Aku duduk menghampirinya setelah menyelesaikan makan.“Ibu keterlaluan, Dek. Masa cuma makan diatur juga. Mau makan banyak atau sedikit, itu terserah aku lah. Aku bukan anak kecil lagi lho, Dek.”“Namanya orang tua, Mas. Pasti tetap menganggap anaknya seperti anak kecil meski dia sudah dewasa. Udah ya, jangan marah.”“Jangan bela ibu terus, Dek. Emang orang tua nggak bisa salah? Mereka egois, Dek.”“Iya, aku tau Mas. Tapi ‘kan itu orang tua kita. Harus tetap dihormati dong. Aku sering lho Mas, digituin sama ibu.