LOGINSeperti keinginan sebelumnya, Sisca akan mengambil uang itu dari Dokter Lucky.
Berbekal alamat yang dia dapat dari amplop berisi kertas persetujuan, Sisca mendatangi praktek Dokter andrologi itu. Sebenarnya Dokter Lucky sudah dua tahun ini menangani Barta, tepatnya setelah Barta menikahi Sisca. Biasanya obat dari Lucky tidak terlalu mahal dan tidak memiliki efek samping yang berat sampai kematian. Namun sekarang, obat yang diberikan justru membuat Sisca overthinking, takut suaminya pindah alam. "Maaf Bu, Anda sedang mencari siapa?" tanya petugas resepsionis pada Sisca yang datang di jam makan siang. Ya, sebelum mengantar makan siang untuk suaminya di rumah sakit umum, Sisca menyempatkan diri datang ke tempat praktek Dokter Lucky. Biasanya Barta hanya datang seorang diri, dengan alasan pasien di sana hanya laki-laki. Takut Sisca menjadi pusat perhatian. "Saya ingin bertemu dengan Dokter Lucky! Saya Istri dari salah satu pasien Dokter penipu itu!" kata Sisca dengan nada angkuh dan sorot mata tajam. "Maaf, tapi ada keperluan apa ya, Bu?" tanya petugas itu sambil menatap Sisca dari ujung kepala sampai kaki. Wanita yang terlihat muda, cantik, namun jutek itu berdiri tegak di depan meja resepsionis sambil membawa tas berkas di tangan kiri. Penampilannya tidak aneh, terlihat modis dengan baju kemeja pendek berwarna pink muda dan celana jeans panjang biru, namun sikapnya yang jutek, membuat petugas sedikit takut. "Kenapa ngeliatin saya begitu?" Sisca mendengus kesal sambil melotot. "Tolong beritahu saja dimana ruangan Dokter Lucky, saya ingin bertemu." "Maaf, Bu. Apa sudah membuat janji sebelumnya?" "Ngga! Saya datang ke sini ingin meminta uang suami saya dikembalikan! Dokter Lucky sudah menjual obat palsu! Cepat katakan dimana ruangan dia?" bentak Sisca. Petugas resepsionis yang baru saja bersiap istirahat, langsung mengambil telepon di atas meja, mengkonfirmasikan kedatangan wanita itu pada Lucky. "Selamat siang Dokter, maaf menggangu. Di sini ada wanita yang mengaku sebagai salah satu Istri dari pasien Anda. Dia ingin bertemu dengan Anda." "Siapa namanya?" tanya Dokter Lucky. Petugas itu menatap Sisca sambil tersenyum ramah. "Maaf Bu, bisa sebutkan nama Anda dan suami Anda?" "Nama saya Sisca dan nama suami saya Barta. Suami saya yang kemarin datang ke sini dan membeli obat palsu dari Dokter Lucky!" jawab Sisca dengan suara kencang. Suara nyaring itu didengar langsung oleh Lucky. "Suruh dia masuk!" titah Lucky. "Baik Dokter." Petugas resepsionis menutup telepon lalu kembali berbicara dengan Sisca. "Anda dipersilahkan masuk, Bu. Ruangannya ada di ujung koridor sebelah kanan. Di pintu ada papan nama, 'Dokter Lucky spesialis andrologi.' Anda diminta langsung masuk." "Oke, makasih," sahut Sisca ketus. Ia memutar tubuh, melangkah menuju ruangan itu. Di depan ruang Dokter andrologi, Sisca memegang gagang pintu lalu memutarnya dan membuka lebar. Dokter Lucky tersenyum ramah. "Silakan duduk, Bu Sisca. Ada yang ingin Anda bicarakan dengan saya?" Sisca mendengus kesal. Ia melangkah masuk lalu duduk di kursi, depan meja panjang sang Dokter, lalu mengatakan, "Ngga usah berbasa-basi, Dokter. Saya ke sini karena saya ingin mengembalikan obat dari Anda." Ia mengeluarkan isi tas lalu meletakkan ke atas meja. Dokter Lucky melihat obat darinya yang dibungkus plastik bening lengkap dengan berkas-berkas penjelasan dan persetujuan tentang obat itu. Ia mengangkat alis tinggi-tinggi sambil menatap Sisca. "Anda mungkin bisa menipu suami saya, tapi Anda ngga bisa menipu saya sebagai istrinya! Saya minta kembalikan uang suami saya! Atau saya akan membawa kasus ini ke Polisi! Anda pasti tahu siapa mertua saya. Pak Bramanto, dia itu Komandan Polisi!" cecar Sisca. Wajahnya memerah seperti udang rebus, sangking emosinya. Mendengar ucapan dan ancaman Sisca, Dokter Lucky hanya tersenyum sambil meletakkan pulpen ke atas meja. "Oh, Anda perlu bukti? Mau saya laporkan Anda sekarang juga?" ancam Sisca. Dokter Lucky menggeleng pelan sambil menggaruk alis yang tidak gatal. Jujur, seumur hidup menjadi Dokter, baru kali ini dia bertemu dengan istri pasiennya yang protes tentang obat. "Maaf Bu Sisca, saya ...." "Saya ngga butuh kata maaf! Saya hanya ingin uang suami saya kembali!" bentak Sisca. Dibentak oleh wanita secantik Sisca, Lucky tak menunjukkan wajah kesal ataupun marah. Yang ada di pikirannya justru ... 'Yakin ada wanita secantik ini yang mau menikah dengan Dokter impoten?' "Dokter! Tolong kembalikan uang suami saya! Saya rela suami saya ngga sembuh daripada dia meninggal dunia karena meminum obat itu!" lanjut Sisca makin emosi, melihat Dokter didepannya hanya diam saja. Dokter Lucky mengulum senyum kecil. "Saya tidak merasa menipu pasien saya, Bu Sisca. Kalau Anda kurang yakin, boleh tanyakan pada suami Anda tentang obat yang saya berikan itu." Sisca meradang, makin emosi mendengar pembelaan Lucky. "Okeh! Kalau itu mau Anda! Saya akan melaporkan Anda ke Polisi dengan tuduhan menggelapkan uang dan penipuan tentang obat!" Ia berdiri sambil menunjuk wajah Dokter di depannya. "Silakan, Bu," tantang Lucky, tersenyum manis. "Kalau Anda melakukan itu, artinya Anda sedang mempermalukan suami Anda di depan banyak orang. Bahkan media bisa meliput berita itu, yang artinya seluruh orang di Indonesia akan tahu kalau suami Anda Impoten." Deg! Sisca terdiam~"Kalian sudah punya nama untuk cucu, Mama?" tanya Inggrid pada anak dan menantunya. Setelah mendapat kabar bahwa Sisca sudah melahirkan. Inggrid, Bramanto, Agung dan Innaya datang ke rumah sakit. Mereka terlihat sangat bahagia melihat kelahiran cucu laki-laki mereka yang selama ini ditunggu-tunggu. Bahkan, Innaya tak sanggup menahan air matanya yang terus mengalir deras. Air mata bahagia. "Aku udah kasih nama, Ma," jawab Barta sambil menatap anaknya yang tampan. "Namanya siapa, Nak Barta? Emak penasaran," tanya Innaya. "Iya, Abah juga," imbuh Agung. Barta dan Sisca saling tatap. Keduanya tersenyum lebar. "Namanya Brian Wiyana Putra," jawab Barta. "Bagus. Nama yang bagus." Wajah Agung dan Innaya terlihat semringah, sangat setuju dengan nama pilihan sang menantu. Bayi di gendongan Inggrid sudah mulai risih, seperti meminta untuk dipindahkan ke atas ranjang. Inggrid sangat bahagia mendapatkan cucu dari Barta, meskipun bukan cucu pertamanya, karena kakak perempu
Barta mendekati istrinya yang hanya menggunakan handuk menutupi tubuh polos itu. Tatapannya tak beralih sedetikpun dari posisi Sisca berdiri. "Mas, kamu kenapa?" Kening Sisca berkerut, menatap bingung melihat suaminya berkeringat di ruangan full AC. Tidak menjawab apa-apa, Barta melangkah perlahan semakin mendekati istrinya. Mata Dokter tampan itu melebar, melihat sosok cantik tanpa busana di depannya. Di bawah sana, ujung tombaknya sudah berdiri tegak, efek obat yang direkomendasikan Lucky. Obat kuat itu benar-benar bereaksi sesuai keinginan. Setelah sekian lama pusakanya mati suri, kini ia bangkit dan mengeras. "Mas, kamu kenapa?" tanya Sisca, yang belum mendapatkan jawaban dari sang suami. Barta menggeleng sambil tersenyum mesum. Ia berdiri di depan Sisca, memegang kedua lengan istrinya erat. "By," panggilnya dengan napas terengah-engah. "Iya, kenapa?" Sisca mendongak, menatap suaminya lekat. "Kamu sakit?" Ia menempelkan punggung tangan di kening sang suam
Ah! Suara jeritan Sisca terdengar memenuhi ruang kamar saat suaminya menekan bagian bawah tubuh ke dalam sana. Akhirnya setelah dua tahun pernikahan mereka, Barta memenuhi kebutuhan nafkah batin untuk istrinya. "Mas, ka-kamu bisa?" Sisca meringis, menahan sakit di bagian inti tubuh. Barta tersenyum. Bulir bening mengalir membasahi wajah. "Iya, By. A-akhirnya aku bisa melakukannya." Ia terisak menahan tangisan haru. Sisca tertawa bahagia. Ekspresi wajah suaminya sukses mengocok perut. "Mas, ini bukan mimpi 'kan? Ini nyata? Kamu bisa?" Barta mengangguk yakin. "Ini bukan mimpi By. Ini kenyataan. Akhirnya aku bisa merasakan ini. Ahhh!" Ia mempercepat gerakannya, membuat suara pekikan Sisca semakin kencang. "Mas, sakit," rintih Sisca. "Maaf, By. Aku tidak bisa menahannya. Maaf ya, tolong tahan sebentar. Aku keenakan, By." Barta mendesah pelan sambil mengigit bibirnya. Sisca mengangguk. "Iya, Mas. Lakukan saja. Aku udah ngga sabar mau punya anak dari kamu." Ia tersen
"Nanya apaan sih kamu, Mas." Sisca berdecak sebal. Malas menjawab pertanyaan suaminya.Padahal dia sudah sering mengatakan kalau dia merasa beruntung mendapatkan suami seorang Dokter, dan dia merasa bahagia. "Jawab, By," desak Barta dengan tatapan lebih dalam. Tangannya menggenggam jemari lentik Sisca erat-erat.Sisca menatap mata suaminya yang mulai berembun. Bulir-bulir bening terlihat menggenang di kedua pelupuk mata sang Dokter."Mau Magrib, Mas. Mending kita masuk ke rumah!" kata Sisca, mengalihkan pembicaraan suaminya. Barta menarik napas panjang. "Katakan By. Aku mau dengar jawaban jujur dari hatimu. Apa selama ini kamu bahagia menikah sama aku? Atau ngga? Beritahu alasannya!" Sisca membuang napas kasar. Menepis genggaman tangan sang suami. "Bukannya aku udah sering bilang sama kamu kalau aku bahagia hidup sama kamu, Mas! Aku beruntung bisa nikah sama kamu."Barta menundukkan kepala. "Aku tahu kamu berbohong, i
Sisca mendadak canggung. Apalagi di ruang tamu rumah mertuanya, ada banyak pasang mata yang menatap. Sejak tadi ia hanya fokus berbicara dengan Alea, untuk menghindari kontak mata dengan Lucky yang terus menatap tanpa berkedip. Malah sekarang, Lucky memberi pertanyaan di depan kedua mertuanya. Tidak mungkin dia diam saja. Namun, ingin menjawab, ia takut Barta cemburu."Sisca memang suka anak-anak. Dia juga punya ponakan dan adik sepupu yang masih kecil. Iya 'kan Nak?" Inggrid mewakilkan Sisca dengan jawaban yang dia ketahui. Sisca mengangguk pelan. Ia menatap sang mertua sesaat lalu kembali fokus pada Alea. Lucky tersenyum simpul, puas mendengar jawaban itu meski bukan keluar dari mulut Sisca. "Pantas sejak bertemu dengan Alea, anak saya itu langsung suka dan dekat dengan Sisca. Biasanya anak kecil itu paling tahu mana orang yang baik dan tulus, sama yang hanya berpura-pura," ujar Lucky. Inggrid dan Wulan menganggu
Setelah permintaan untuk bicara berdua, diiyakan oleh Lucky. Barta melangkah ke luar rumah mewah orang tuanya.Dokter Bedah itu menghentikan langkah kaki di halaman rumah. Berdiri dengan wajah dingin, menunggu kedatangan Lucky.Perlahan tapi pasti, Lucky mendekat lalu menghentikan langkahnya di depan Barta.Lucky tersenyum kecil, hambar, "Ada yang ingin Anda bicarakan dengan saya, Dok? Tentang apa?"Kedua tangan Barta mengepal kuat-kuat di samping tubuhnya. Matanya menatap Lucky dengan sorot mata tajam.Pertanyaan dari lawan bicaranya, tak dijawab sama sekali. Namun, ekspresi wajahnya sudah menjelaskan emosi sang Dokter yang membuncah. Meski ditatap tajam seperti itu, tak membuat Lucky takut. Ia tetap menyunggingkan senyum sinis pada Barta. "Kalau tidak ada keperluan apapun. Lebih baik saya kembali berkumpul dengan orang tua kita," ucap Lucky, memutar tubuhnya.Dengan cepat, Barta memegang bahu Dokter duda itu







