LOGIN"Kamu beli obat itu? Harganya dua puluh juta?"
Sisca melepas pelukan setelah mendengar pengakuan sang suami tentang pembelian obat kuat itu. Ia menatap suaminya dengan sorot mata kecewa berat. Bukan hanya karena nominalnya sama seperti uang belanja yang diberikan Barta untuknya setiap bulan, tetapi soal kejujuran sang suami. Semalam Barta hanya menjelaskan ingin membeli obat kuat yang direkomendasikan oleh Dokter Lucky, tanpa memberitahu berapa harga obat itu. Andai dia tahu dari awal, pasti dia tidak akan mengijinkan suaminya datang ke sana. Apalagi setelah melihat efek samping obat yang bisa membunuh tanpa menyentuh. "Dua puluh juta itu duit belanja aku yang kamu kasih untuk sebulan, Mas," engah Sisca. Kedua manik matanya berkaca-kaca. Kesal, kecewa, sedih, bercampur menjadi satu seperti adonan kue. "Maaf, By. Aku cuma mau sembuh dan aku mau menjadi suami yang bisa menafkahi kamu seperti suami pada umumnya." Barta merosot turun dari sofa, berlutut di depan kedua kaki istrinya. Melihat yang dilakukan Barta, bagaimana Sisca bisa marah? Suaminya laki-laki baik, yang tak pernah menyakiti dia selama dua tahun pernikahan. Hanya karena uang, tidak mungkin rumah tangganya yang harmonis jadi berantakan. "Maafin aku, By. Aku janji aku akan ganti uang itu. Uang itu aku ambil dari tabungan pribadi aku untuk anak kita kelak," lanjut Barta dengan suara parau, menahan tangis. Sisca mengusap pundak suaminya, meminta lelaki itu untuk kembali duduk. Namun, Barta menggeleng dan tetap berlutut. "Mas, jangan kayak gini. Kesannya aku kayak Istri yang kejam. Tolong duduk. Aku ngga marah lagi kok. Aku cuma syok aja. Abis kamu ngga bilang sejak awal kalau obatnya mahal." Barta mendongak, menatap wajah istrinya yang mulai menunjukkan senyum. "Aku juga ngga tahu kalau harga obatnya semahal itu. Awalnya aku ragu, tapi keinginan untuk sembuh memaksaku membelinya." "Jangan bilang kamu mau minum obat itu!" Sisca melotot. "Daripada kamu kenapa-kenapa gara-gara minum obat ngga jelas itu, mending kamu berobat ke Mak Erot aja, Mas!" "Aku yakin obat itu mujarab, By. Sudah banyak yang mencoba obat itu dan berhasil." "Iya kalau berhasil, Mas! Kalau ngga? Kamu mau aku jadi janda? Kamu rela aku nikah sama laki-laki lain nantinya?" tanya Sisca, emosi. Barta terdiam, berpikir. Mana mungkin dia rela Sisca menikah dengan laki-laki lain. Selama ini dia cinta mati pada istrinya itu. "Mau?" tanya Sisca dengan nada tegas, sedikit membentak. Barta menggeleng. "Kalau ngga mau, ngga usah macam-macam deh! Mending kamu balikin aja obat itu. Suruh Dokter Lucky jual ke orang lain. Aku sebagai Istri kamu ngga rela kamu jadi kelinci percobaan Dokter itu!" "Ngga bisa dibalikin, By. Obatnya udah aku beli dan aku udah tandatangani surat perjanjian berlisensi." Sisca mendengus. Ia raih kertas dan obat di atas meja lalu memasukannya ke dalam tas sang suami. "Kamu mau apa, By?" tanya Barta, bingung. "Ngembaliin obatnya. Aku ngga rela suami aku ditipu sama Dokter gadungan." Mendengar jawaban Sisca, Barta langsung duduk di sofa. Ia ambil tas dari tangan istrinya. "Jangan By, ikhlasin aja duit itu. Aku ngga mau kamu melanggar perjanjian yang sudah aku sepakati dengan kesadaran penuh. Semua salah aku. Kalau kamu ngelarang aku meminum obat itu, aku ngga akan minum." "Tapi Mas, uang sebanyak itu kalau hilang begitu aja 'kan sayang. Nyari uang sekarang itu susah lho. Daripada uangnya hangus, mending aku minta lagi dan kita gunain uang itu untuk berobat ke tempat lain." Barta tersenyum kecil. Ia peluk istrinya erat sambil berbisik, "Lebih baik uang itu hilang daripada kamu dituntut oleh Dokter Lucky. Kita lupakan soal obat dan soal uang itu, ya." Kening Sisca berkerut, bingung kenapa suaminya seperti ketakutan. Padahal mereka baru saja ditipu oknum Dokter. Masa iya ada obat seharga satu motor matic, pikirnya. "Aku ngga ikhlas suami aku ditipu. Pokoknya aku mau uang itu kembali," keukeh Sisca. Barta melepas pelukan, "Aku ngga ditipu. Obat itu aja belum aku minum. Kita belum tahu apa obat itu manjur atau ngga. Dan Dokter Lucky, dia Dokter spesialis andrologi yang sudah bertahun-tahun menangani penyakit seperti aku." "Gimana mau tahu obat itu manjur atau ngga sih! Orang di sini jelas ditulis kalau efek samping obat itu berbahaya!" geram Sisca. "Iya, semua salah aku, By. Maaf ya, tolong jangan memperpanjang masalah ini. Lebih baik kita cari pengobatan lain." "Pengobatan lain juga butuh duit, Mas! Kamu mau pakai uang siapa lagi? Uang aku?" "Ngga By, aku ngga akan pakai uang kamu. Aku masih punya uang tabungan pribadi, um." Barta kembali memeluk istrinya, meyakinkan semua akan baik-baik saja. Namun, Sisca yang keras kepala, tetap menginginkan uang suaminya kembali~"Kalian sudah punya nama untuk cucu, Mama?" tanya Inggrid pada anak dan menantunya. Setelah mendapat kabar bahwa Sisca sudah melahirkan. Inggrid, Bramanto, Agung dan Innaya datang ke rumah sakit. Mereka terlihat sangat bahagia melihat kelahiran cucu laki-laki mereka yang selama ini ditunggu-tunggu. Bahkan, Innaya tak sanggup menahan air matanya yang terus mengalir deras. Air mata bahagia. "Aku udah kasih nama, Ma," jawab Barta sambil menatap anaknya yang tampan. "Namanya siapa, Nak Barta? Emak penasaran," tanya Innaya. "Iya, Abah juga," imbuh Agung. Barta dan Sisca saling tatap. Keduanya tersenyum lebar. "Namanya Brian Wiyana Putra," jawab Barta. "Bagus. Nama yang bagus." Wajah Agung dan Innaya terlihat semringah, sangat setuju dengan nama pilihan sang menantu. Bayi di gendongan Inggrid sudah mulai risih, seperti meminta untuk dipindahkan ke atas ranjang. Inggrid sangat bahagia mendapatkan cucu dari Barta, meskipun bukan cucu pertamanya, karena kakak perempu
Barta mendekati istrinya yang hanya menggunakan handuk menutupi tubuh polos itu. Tatapannya tak beralih sedetikpun dari posisi Sisca berdiri. "Mas, kamu kenapa?" Kening Sisca berkerut, menatap bingung melihat suaminya berkeringat di ruangan full AC. Tidak menjawab apa-apa, Barta melangkah perlahan semakin mendekati istrinya. Mata Dokter tampan itu melebar, melihat sosok cantik tanpa busana di depannya. Di bawah sana, ujung tombaknya sudah berdiri tegak, efek obat yang direkomendasikan Lucky. Obat kuat itu benar-benar bereaksi sesuai keinginan. Setelah sekian lama pusakanya mati suri, kini ia bangkit dan mengeras. "Mas, kamu kenapa?" tanya Sisca, yang belum mendapatkan jawaban dari sang suami. Barta menggeleng sambil tersenyum mesum. Ia berdiri di depan Sisca, memegang kedua lengan istrinya erat. "By," panggilnya dengan napas terengah-engah. "Iya, kenapa?" Sisca mendongak, menatap suaminya lekat. "Kamu sakit?" Ia menempelkan punggung tangan di kening sang suam
Ah! Suara jeritan Sisca terdengar memenuhi ruang kamar saat suaminya menekan bagian bawah tubuh ke dalam sana. Akhirnya setelah dua tahun pernikahan mereka, Barta memenuhi kebutuhan nafkah batin untuk istrinya. "Mas, ka-kamu bisa?" Sisca meringis, menahan sakit di bagian inti tubuh. Barta tersenyum. Bulir bening mengalir membasahi wajah. "Iya, By. A-akhirnya aku bisa melakukannya." Ia terisak menahan tangisan haru. Sisca tertawa bahagia. Ekspresi wajah suaminya sukses mengocok perut. "Mas, ini bukan mimpi 'kan? Ini nyata? Kamu bisa?" Barta mengangguk yakin. "Ini bukan mimpi By. Ini kenyataan. Akhirnya aku bisa merasakan ini. Ahhh!" Ia mempercepat gerakannya, membuat suara pekikan Sisca semakin kencang. "Mas, sakit," rintih Sisca. "Maaf, By. Aku tidak bisa menahannya. Maaf ya, tolong tahan sebentar. Aku keenakan, By." Barta mendesah pelan sambil mengigit bibirnya. Sisca mengangguk. "Iya, Mas. Lakukan saja. Aku udah ngga sabar mau punya anak dari kamu." Ia tersen
"Nanya apaan sih kamu, Mas." Sisca berdecak sebal. Malas menjawab pertanyaan suaminya.Padahal dia sudah sering mengatakan kalau dia merasa beruntung mendapatkan suami seorang Dokter, dan dia merasa bahagia. "Jawab, By," desak Barta dengan tatapan lebih dalam. Tangannya menggenggam jemari lentik Sisca erat-erat.Sisca menatap mata suaminya yang mulai berembun. Bulir-bulir bening terlihat menggenang di kedua pelupuk mata sang Dokter."Mau Magrib, Mas. Mending kita masuk ke rumah!" kata Sisca, mengalihkan pembicaraan suaminya. Barta menarik napas panjang. "Katakan By. Aku mau dengar jawaban jujur dari hatimu. Apa selama ini kamu bahagia menikah sama aku? Atau ngga? Beritahu alasannya!" Sisca membuang napas kasar. Menepis genggaman tangan sang suami. "Bukannya aku udah sering bilang sama kamu kalau aku bahagia hidup sama kamu, Mas! Aku beruntung bisa nikah sama kamu."Barta menundukkan kepala. "Aku tahu kamu berbohong, i
Sisca mendadak canggung. Apalagi di ruang tamu rumah mertuanya, ada banyak pasang mata yang menatap. Sejak tadi ia hanya fokus berbicara dengan Alea, untuk menghindari kontak mata dengan Lucky yang terus menatap tanpa berkedip. Malah sekarang, Lucky memberi pertanyaan di depan kedua mertuanya. Tidak mungkin dia diam saja. Namun, ingin menjawab, ia takut Barta cemburu."Sisca memang suka anak-anak. Dia juga punya ponakan dan adik sepupu yang masih kecil. Iya 'kan Nak?" Inggrid mewakilkan Sisca dengan jawaban yang dia ketahui. Sisca mengangguk pelan. Ia menatap sang mertua sesaat lalu kembali fokus pada Alea. Lucky tersenyum simpul, puas mendengar jawaban itu meski bukan keluar dari mulut Sisca. "Pantas sejak bertemu dengan Alea, anak saya itu langsung suka dan dekat dengan Sisca. Biasanya anak kecil itu paling tahu mana orang yang baik dan tulus, sama yang hanya berpura-pura," ujar Lucky. Inggrid dan Wulan menganggu
Setelah permintaan untuk bicara berdua, diiyakan oleh Lucky. Barta melangkah ke luar rumah mewah orang tuanya.Dokter Bedah itu menghentikan langkah kaki di halaman rumah. Berdiri dengan wajah dingin, menunggu kedatangan Lucky.Perlahan tapi pasti, Lucky mendekat lalu menghentikan langkahnya di depan Barta.Lucky tersenyum kecil, hambar, "Ada yang ingin Anda bicarakan dengan saya, Dok? Tentang apa?"Kedua tangan Barta mengepal kuat-kuat di samping tubuhnya. Matanya menatap Lucky dengan sorot mata tajam.Pertanyaan dari lawan bicaranya, tak dijawab sama sekali. Namun, ekspresi wajahnya sudah menjelaskan emosi sang Dokter yang membuncah. Meski ditatap tajam seperti itu, tak membuat Lucky takut. Ia tetap menyunggingkan senyum sinis pada Barta. "Kalau tidak ada keperluan apapun. Lebih baik saya kembali berkumpul dengan orang tua kita," ucap Lucky, memutar tubuhnya.Dengan cepat, Barta memegang bahu Dokter duda itu







