Seperti katanya semalam, pagi-pagi sekali Barta sudah datang ke tempat praktek Dokter bernama Lucky.
Barta menjadi pasien pertama dengan nomor antrian satu yang langsung masuk ke ruangan Dokter spesialis andrologi atau spesialis urologi. Dokter andrologi adalah spesialis yang fokus pada masalah reproduksi pria, termasuk disfungsi ereksi, while Dokter urologi fokus pada sistem kemih dan reproduksi pria. Sambil menghela napas panjang, Barta membuka pintu lalu masuk ke ruang Dokter setelah nomor antriannya dipanggil. "Selamat pagi, Dokter Barta," sapa Dokter Lucky dengan senyuman ramah. "Silakan duduk." Ia menunjuk kursi di depan meja kerja. "Terima kasih, Dok." Dokter spesialis Bedah itu duduk di depan Dokter Lucky. Seperti biasa, Barta masih saja terlihat canggung dan gugup setiap kali berhadapan dengan Dokter spesialis andrologi. Meskipun sudah bertahun-tahun dia menjalani pengobatan, perasaannya tetap sama ... malu. "Belum ada perubahan, Dok?" tanya Dokter Lucky pada lelaki sesama Dokter di depannya. Barta menggeleng pelan. Kedua tangan saling menggenggam di atas pangkuan. "Belum Dok. Obat yang kemarin Dokter berikan sama saya, cuma bikin saya tidur pulas. Bahkan Istri saya sampai khawatir karena saya susah dibangunin." Dokter Lucky tersenyum kecil. "Hmm." Ia mengangguk paham. "Seperti yang saya katakan lewat chat kemarin siang, saya baru saja mendapatkan obat dari Amerika. Obat ini jauh lebih keras dari kemarin. Efek samping obat ini cukup berat. Dan saya ingin memastikan, apa Anda mau menanggung resikonya?" Barta mengangkat alisnya tinggi-tinggi. "Efek sampingnya seperti apa, Dok?" tanyanya, mengingat chat kemarin Dokter Lucky tidak menjelaskan apapun soal efek samping obat yang dimaksud. Dokter Lucky mengeluarkan kertas dari map lalu memberikan pada Barta. "Di sini ada penjelasan tentang efek samping obat yang biasanya digunakan untuk merangsang kekuatan Kuda Pacuan. Setelah dikembangkan dengan baik, obat itu bisa dimanfaatkan untuk manusia. Salah satunya untuk merangsang gairah seksual pada pria. Namun perlu digaris bawahi, sebelum mengkonsumsi obat itu, Anda harus menandatangani beberapa surat persetujuan yang di dalamnya dijelaskan untuk tidak menuntut Dokter jika terjadi sesuatu." Barta terdiam sambil membaca selembar kertas yang diberikan Lucky dengan wajah pucat. Butiran keringat sebesar biji jagung mulai membasahi keningnya yang mulus. Sesekali ia meneguk air liur untuk membasahi tenggorokan yang tiba-tiba terasa kering. "Silakan dipikirkan matang-matang dan konsultasikan dulu dengan Istri Anda," saran Dokter Lucky. Barta menghela napas panjang, lalu mengalihkan pandangan pada Lucky. "Untuk keberhasilan dari obat tersebut, berapa persen Dok?" Dokter Lucky tersenyum kecil. Satu tangannya kembali membuka map dan mengeluarkan selembar kertas. "Untuk keberhasilannya sendiri, tergantung pada seberapa besar respon tubuh Anda terhadap obat itu. Kalau dilihat dari beberapa catatan medis, ada sekitar seratus dari seribu laki-laki di berbagai negara yang mencobanya. Seratus laki-laki yang berhasil itu menjelaskan mereka hanya mengkonsumsi satu kali dan bisa menyembuhkan mereka selama bertahun-tahun." "Seratus banding seribu?" tanya Barta tercengang. "Iya," angguk Lucky. "Dan beberapa orang yang gagal karena daya tahan tubuh mereka lemah, berakhir meninggal dunia. Ada juga yang koma selama bertahun-tahun." Deg! Barta kembali menelan saliva keras. Keringat yang mengalir semakin deras membanjiri wajah hingga kemeja putihnya. "Bagaimana Dokter? Apa Anda berani mencobanya?" tanya Dokter Lucky. "Kalau Anda berani, silakan tandatangani beberapa berkas persetujuan ini." Ia mengeluarkan lima lembar kertas dari dalam laci dan meletakkan ke depan Barta. *** "Yang bener aja dong, Mas! Masa cuma mau itunya bisa berdiri kamu mempertaruhkan nyawa! Aku ngga setuju! Lebih baik kita ngga usah punya anak aja sekalian!" Sisca meninggikan suaranya. Sedikit membentak sang suami yang baru saja pulang dari tempat praktek Dokter Lucky. Barta yang duduk di sofa panjang ruang tamu, hanya diam sambil menundukkan kepala. Sementara Sisca, berkacak pinggang di depan lelaki tampan itu sambil meremas kertas di tangan. Setelah membaca berkas-berkas keterangan tentang obat yang direkomendasikan Dokter Lucky. Taring dan tanduk Iblis Sisca keluar. Barta hanya diam sambil menundukkan kepala, tak berani menatap mata merah istrinya yang menyala seperti api unggun. "Aku ngga setuju! Lebih baik kamu buang obat itu! Kamu belum menandatangani surat persetujuan 'kan? Belum beli obat itu 'kan?" tanya Sisca dengan nada semakin tinggi. Selama dua tahun pernikahan, baru kali ini dia dibuat emosi sampai marah-marah seperti Nenek Lampir. Barta menghela napas panjang. Setelah mengeluarkan kertas dan memberikan pada istrinya, ia kembali mengeluarkan sesuatu dari dalam tas tenteng hitam yang selalu dibawa kemana-mana. Dar! Mata Sisca melotot semakin besar saat melihat suaminya mengeluarkan obat sebesar kelereng yang dibungkus plastik bening lalu diletakkan di atas meja. "Kamu beli obat itu, Mas?" tanya Sisca sambil menggeleng, kehabisan kata-kata. "Maaf By, aku cuma mau melakukan yang terbaik untuk rumah tangga kita," ucap Barta dengan suara berat sambil menundukkan kepala. Sisca mengusap wajahnya berkali-kali sambil beristighfar. "Aku mau punya anak Mas, tapi aku ngga mau kehilangan suami." Ia duduk di samping Barta, memeluk suaminya itu. "Buang obatnya, Mas!" "Tapi By, harga obatnya dua puluh juta." "APA?!" Makin mengepul asap di kepala Sisca.Malam ini seperti malam biasanya, Sisca sudah memasak berbagai hidangan kesukaan sang suami.Ayam goreng dan tumis buncis menjadi masakan yang wajib ada di meja makan.Meskipun Barta seorang Dokter, namun makanan kesukaannya bukan makanan sehat. Ia lebih suka makanan yang digoreng dan sayuran yang ditumis.Saat tiba di ruang makan dan melihat menu-menu di atas meja, Barta tersenyum simpul. Ia melirik istrinya lalu memeluk mesra."Makasih, By," ucapnya dibarengi kecupan lembut di pucuk kepala."Ngga usah bilang makasih terus, Mas. Udah kewajiban aku memasak buat kamu, daripada kamu lebih suka makanan di luar. Rugi di aku dong," canda Sisca.Keduanya duduk di depan meja makan, bersebelahan. Kemudian Sisca menyiapkan makanan di atas piring untuk suaminya."Kamu belajar masak dari mana, By?" tanya Barta. Matanya terus memandang kagum pada sang istri.Mereka memang sudah menikah selama dua tahun, tetapi momen kebersa
Barta terhenyak kaget mendengar ucapan Dokter Lucky soal 'Ganti Wanita?'Gila! Tidak mungkin Barta mau mengkhianati pernikahannya dengan Sisca_wanita yang dia cintai setengah mati. Bahkan dia sangat menggilai wanita itu."Anda gila, Dok!" Barta tertawa getir. Menolak keras usul Dokter Lucky yang menurutnya sudah di luar akal sehat. Lucky tersenyum kecil. Satu tangannya menarik map merah di atas meja lalu memasukan ke dalam laci."Hanya metode itu yang kemungkinan akan berhasil tanpa efek samping berbahaya. Kemungkinan taruhannya hanya jika Istri Anda tahu, dia pasti meminta cerai."Barta tersenyum kecut. "Saya tidak akan mau mencoba pengobatan seperti itu! Saya tidak akan mau mengkhianati Istri saya!"Lucky mengangguk paham. "Saya mengerti dan saya tidak akan memaksa, meskipun banyak laki-laki yang memiliki masalah seperti Anda, melakukan pengobatan seperti itu dan rata-rata berhasil. Kemungkinan berhasil jauh lebih be
Sisca menunggu balasan chat dari Dokter Lucky, namun pesannya hanya dibaca, tidak dibalas.Kesal! Sisca menghubungi nomor ponsel itu, namun tidak diangkat oleh sang Dokter. "Darimana dia tahu nomor hape aku?" gumam Sisca mengingat-ingat.Sekian menit berdiri di depan pintu rumah sambil mengingat tentang nomor ponselnya, Sisca mengingat darimana Dokter Lucky mendapatkan nomor ponselnya.Saat berbicara dengan petugas resepsionis di tempat praktek tadi, ia diminta untuk menuliskan nomor ponsel dan data diri. "Apa maksudnya ngirim chat itu?" Sisca membaca kembali pesan yang dikirim oleh Dokter Lucky.Beberapa kali ia baca, tetap saja tidak menemukan jawaban kenapa Lucky mengatakan itu.Malas meladeni kegilaan Dokter Lucky, Sisca mengabaikan pesan tersebut lalu masuk ke dalam rumah.Dring! Suara ponselnya berdering, Sisca menerima telepon itu tanpa melihat siapa yang menghubungi. "Mau
Wajah Sisca terlihat ketakutan, tapi penasaran. Ia pun menguping pembicaraan suaminya dengan Dokter Lucky."Halo. Selamat siang Dokter, ada apa menghubungi saya di jam makan siang?" tanya Barta dengan nada ramah. "Selamat siang Dokter Barta, maaf menggangu waktu makan siang Anda. Kalau boleh tahu, apa Anda punya waktu untuk menemui saya sore ini?"Barta mengangkat kedua alisnya. Pandang matanya beralih pada jam di atas dasbor mobil. Biasanya dia pulang pukul lima sore, kalau tidak lembur. Jika hari ini dia diminta lembur, kemungkinan jam pulangnya lebih malam."Bagaimana Dok? Bisa?" tanya Dokter Lucky, menunggu jawaban. "Hmm, kalau sore sekitar jam berapa ya Dok?" tanya Barta. Seingatnya, praktek Dokter Lucky tutup jam lima sore. "Jam empat, atau jam lima pas, bisa Dok?" Barta menggaruk alis yang tidak gatal. "Kalau jam empat saya tidak bisa Dokter. Kalau jam lima pas juga sepertinya tidak bisa karena saya pulang sekitar jam lima sore.""Oh begitu, oke .... ""Maaf sebelumnya, Do
Selesai marah-marah di tempat praktek Dokter Lucky. Sisca melanjutkan perjalanan menggunakan mobil hadiah sang suami, menuju rumah sakit.Selama dua tahun menikah, entah barang apa yang tidak dibelikan oleh Barta untuk hadiah anniversary dan ulang tahun. Semua Sisca dapatkan, meskipun harganya tidak semahal barang-barang milik Istri Pejabat. Namun, mendapatkan apresiasi seperti itu sudah cukup membuat Sisca merasa beruntung memiliki suami sebaik Barta. Dari semua kelebihan Barta, hanya satu kekurangan lelaki tampan itu, penyakit reproduksi."Mas, aku udah ada di parkiran. Aku bawa makan siang untuk kamu," ucap Sisca di dalam telepon."Makasih By, aku jemput kamu di parkiran ya. Jangan turun dari mobil dulu. Cuaca hari ini panas, nanti kulit kamu rusak.""Apaan sih Mas! Lebay banget. Kamu lupa ya kalau aku ini cuma gadis Desa yang kebetulan dinikahin sama Dokter dari Kota? Jangan berlebihan deh, biasanya di kampung, jam segini tuh aku nyuci baju di sungai."Barta terkekeh pelan. "Itu
"Bagaimana, Bu Sisca? Apa Anda yakin ingin melaporkan saya ke Polisi dengan tuduhan tanpa bukti seperti itu? Saya tunggu laporan Anda," tantang Dokter Lucky sambil tersenyum kecil. Ia menatap wajah Sisca yang pucat. Wanita itu hanya diam, kehabisan kata-kata mendengar tantangan sang Dokter.Bukan Lucky yang takut, justru malah sebaliknya ... nyali Sisca menciut.Dokter Lucky menghela napas panjang, masih menyunggingkan senyuman manis dengan kedua tangan bertumpu di atas meja sambil menopang dagunya.Ia menatap Sisca tanpa berkedip. Entah mengapa, semakin ditatap wajah Sisca terlihat semakin cantik dan memesona. Beruntung laki-laki seperti Barta memiliki istri spek bidadari seperti Sisca, pikir Lucky."Saya hanya menjalankan tugas saya sebagai Dokter. Tidak ada yang salah dengan hal itu," lanjut Lucky.Wanita yang terus ditatap Dokter tampan itu, menarik napas panjang. Sadar apa yang dilakukan akan menjadi bumerang untuk rumah tangganya.Kalau dia menuruti ego, bukan tidak mungkin Ba