Vero menarik nafas dalam untuk beberapa detik, sebelum mengeluarkannya secara perlahan. Ia mencoba mengumpulkan tenaga di kedua otot lengannya untuk menaikkan posisi Stefany yang terlelap dalam gendongan laki-laki itu. Dalam hati Vero mengumpat, merasakan berat badan Stefany yang ternyata cukup ampuh untuk membuat seluruh tubuhnya pegal.
Kebanyakan dosa nih cewek! Makanya jangan nolak gue, biar dosa lo berkurang Stef, gerutu Vero dalam hati lalu kembali berjalan untuk melangkahkan kaki menaiki anak tangga pertama rumahnya.
"Eits! Mau dibawa kemana itu anak orang, Bang?" cegah Mellia bertindak bak begal yang siap menghadang mangsa buruannya.
"Kamar Abang Vero, Mom." Jawab Vero menjelaskan kemana tujuan kakinya akan melangkah. Vero mengerang kala sang Mommy justru merentangkan kedua tangan seolah benar-benar niat untuk menghadang dirinya.
"Mom, ini berat. Awas ih!” pinta Vero. Ia benar-benar nggak like sama kerjaan mommynya saat ini. Jika Stefany jatuh lalu masuk neraka, ia akan menjadi duda bahkan sebelum melakukan pernikahan.
His! Amit-amit! No! Vero nggak like beneran kalau gitu, Ya Tuhan!
"No, no, no, no! Taruh di kamar tamu samping kamar Mommy. Mommy bisa gila kalau kamu aneh-aneh nanti. Cepetan!" titah Mellia. Wanita itu tak akan memberikan celah apalagi kesempatan untuk Vero merusak masa depan anak orang. Sebagai wanita ia pernah hancur karena seorang laki-laki dan hal itu tak akan Mellia biarkan terjadi pada diri orang lain- terlebih karena putra kesayangannya.
"Mom!" rengek Vero yang mendapatkan tatapan tajam tanda jika sang Mommy tak mau dibantah.
"His, Mommy nggak asik!" kesal Vero membalikkan lalu tubuh, melaksanakan perintah Mellia yang jelas bertentangan dengan hati dan nuraninya.
Mellia menggelengkan kepala. Diantara semua sifat suaminya, mengapa harus sikap keras kepala dan bodoh dalam memperjuangkan wanita yang menurun. Mellia mengutuk keras perbuatan Raynald yang menghamili dirinya secara paksa dulu. Jadi gila kan anak yang ia lahirkan ke dunia. Bikin stres aja bisanya, pikir Ibu kandung Vero itu.
"Loh, Vero udah sampai?" Vero menganggukkan kepalanya dengan gerakan lemah untuk menjawab pertanyaan sang Daddy yang baru saja keluar dari kamar.
"Mom, Vero kenapa? Kok lesu gitu?" Mellia mendengus. Ia menjawab jika Vero saat ini tengah melancarkan aksi marah karena dilarang satu kamar dengan gadis yang ia bawa pulang ke rumah mereka pada Ray.
"Biarin aja kenapa sih." Tegur Ray. Raynald Husodo memang terlalu menyayangi Vero. Apapun akan laki-laki itu lakukan demi membuat putra tercintanya bahagia. Kesalahan di masa lalu, sampai saat ini pun Raynald merasa belum bisa menebusnya. Itulah alasan mengapa ia begitu mengistimewakan Vero dibandingkan Vallery.
"Jangan kebiasan belain anak salah. Disahin dulu. Kamu nggak tahu kan setan apa nanti yang lewat. Mau kamu punya cucu otaknya juga nggak beres kaya anak kamu!” sembur Mellia dengan suara keras. Masa lalu mengenai lahirnya Vero memang telah diketahui anak itu. Ray secara khusus telah meminta maaf karena kekhilafannya dulu karena menelantarkan Vero dan Mellia.
"Mommy ih! Vero denger ya." Jerit Vero tak terima.
Mellia mengedikkan bahu cuek. Kenyataan memang seperti itu. Tak perlu mengadakan survei untuk membuktikan kegeseran posisi otak Vero, karena setiap detik pun anak itu selalu memperlihatkannya secara terang-terangan pada semua orang.
"Kamu balik ke kamar kamu sana! Mommy malem ini mau tidur sama cewek kamu. Apa kamu mau tidur sama Daddy juga boleh di kamar Mommy."
Vero membulatkan mata, tak menyangka jika sang Mommy akan setangguh itu dalam memisahkan jalinan cinta yang tadi sempat terputus di apartemen.
"Vero nggak like ya Mommy!”
"I don't care! Daddy, seret anak kamu sebelum kita punya cucu hasil dari hubungan terlarang. Cepet!" Ray mengangguk. Ia bersiap menarik lengan Vero, menyeret anak itu agar mau menuruti keinginan sang Mommy.
"Aaaaa, Daddy Nooooo! Vero nggak doyan pisang, Vero masih doyang Stefany. Noooo!"
Mellia hanya bisa mengelus dada mendengar teriakan Vero. Semoga saja setelah mendapatkan apa yang anak itu inginkan, anaknya bisa segera waras dan tidak perlu dibawa ke salah satu rumah sakit di Grogol, Jakarta Barat.
"Miris ya Tuhan!" lirih, Ibu dua anak itu membayangkan anaknya ia masukkan sendiri ke rumah sakit jiwa.
**
Stefany meremas jemari tangan Vero. Bukan, bukan karena gadis itu ketakutan sedang disidang oleh orang tua Vero. Namun karena Vero meremas jarinya lebih kencang terlebih dahulu. Ia kan kesakitan.
"Kalian tahu kan apa yang kalian lakuin itu udah melanggar batas?" Mellia menatap kedua anak muda berbeda jenis kelamin dihadapannya.
"Tahu Mommy. Nikah kan hukumannya?" sahut Vero melayangkan pertanyaan balik pada Mellia.
Mendengar kata nikah, Stefany menancapkan jarinya pada punggung tangan Vero. Membuat laki-laki itu meringis karena menahan sakit.
'Gue nggak mau nikah sama lo,' ujar Stefany dengan gerakan bibir tanpa suara. Mata gadis itu menatap tajam Vero yang malah mengedip pada dirinya.
"Kamu! Rumah kamu dimana?" kali ini Mellia mengabaikan sikap kekanakan Vero. Ia lebih fokus pada asal usul Stefany karena harus secepat mungkin melamarkan anaknya yang tengah dimabuk asmara. Bisa gawat kalau Mellia sampai kecolongan.
"Saya indekos Tante."
"Bukan orang Jakarta?" pepet Mellia terus. Keujung dunia akan Mellia hampiri rumah orang tua Stefany. Jiwa putranya sudah tidak tertolong lagi. Jika mau gadis itu, maka ya hanya si pemilik nama saja yang Vero inginkan. Mellia takut Vero gila.
Stefany menggeleng. Ia memang bukan orang asli Jakarta karena Mamah dan Papahnya orang Batang. Salah satu Kabupaten di daerah Jawa Tengah.
"Orang tua kamu tinggal dimana?"
"Anu.. Anu Tante." Gagap Stefany. Ia tentu tak ingin jika wanita yang ia ketahui sebagai Mamah Vero sampai tahu alamat orang tuanya. Bisa gawat! Stefany tidak ingin seumur hidup terjebak dengan pria sinting macam Vero.
"Anu-anu! Saya tahu kamu semalam mau anu-anu sama anak saya. Nggak usah pakai kamu ceritain lagi." bibir Stefany yang terbuka seketika terkatup. Pantas saja anaknya gila, orang tuanya ternyata nggak waras, batin Stefany. Sekarang Stefany tahu dari mana gen tak waras Vero menurun.
"Cepetan dimana alamat orang tua kamu. Saya mau datang kesana buat lamar kamu. Kamu sadar nggak sih, kalian tuh hampir buat cucu saya tanpa ikatan apapun. Kesel saya!” Vero dan Stefany sama-sama menelan ludah ketika melihat arah mata pisau buah yang Mellia arahkan kepada mereka berdua.
"Batang, Tante. Orang tua saya tinggal di Batang Jawa Tengah." jawab Stefany jujur karena takut akan dihabisi oleh Mommy Vero jika terus saja berkelit.
Mellia bangkit dari sofa. Ia melirik dua sejoli yang kini justru saling berpelukan macam drama India. "Ayo kesana! Ngapain kalian malah pelukkan. Bangun!" sentak Mellia dengan gaya bossy-nya.
"Tante.. tante! Rumah saya jauh." Stefany masih bersikeras ingin menggagalkan aksi Mommy Vero. Ia benar-benar tak ingin dinikahkan.
"Kamu hina saya? Pakai pesawat pribadi! Nanti saya suruh suami saya cari landasan. Cepetan ayo!" Dalam hati Stefany memaki Mellia. Wanita itu sungguh arogan dalam bersikap. Entah mengapa Stefany jadi takut jika nanti Mommy Vero akan bercerita yang tidak-tidak dan membuat Mamahnya di rumah sana murka.
Oh, God! Gue belum siap nikah, hiks!
Blitz kamera para wartawan langsung bermunculan menyambut kedatangan tiga keluarga besar yang memasuki ballroom hotel milik salah satunya. Para wartawan seakan berlomba untuk mengambil gambar dari tempat mereka. Mengabadikan sebanyak-banyaknya momen langka yang baru saja tercipta.Husodo, Darmawan dan Dirgantara– Ketiga nama itu terlalu besar untuk dilewatkan. Kapan lagi mereka bisa menangkap dalam satu acara yang memang ditujukan untuk ketiganya.Malam ini, pesta akbar digelar untuk memperkenalkan pasangan muda yang resmi bergabung pada ketiganya. Memamerkan ikatan erat yang terjalin tidak hanya sebagai rekanan semata, melainkan sebagai keluarga besar utuh yang kelak tak dapat dipisahkan oleh apapun– termasuk itu maut. Katakanlah, Husodo pemenang dari segalanya. Keluarga bertamengkan baja berlapiskan emas tersebut mendapatkan menantu spektakuler– berasalkan putri-putri yang kekayaannya bahkan sebanding dengan milik mereka. Ini merupakan durian runtuh yang nilainya tidak terkira mesk
“Anak kesayangan Papa, mentang-mentang udah jadi bagian Husodo nggak pernah sekali-kalinya nengokin!” Melihat Princess berada di ruang keluarga rumahnya– Justine yang baru saja pulang dari kantor langsung melancarkan sindiran keras. Sebagai ayah, hatinya terluka. Putrinya seakan lupa jika dia memiliki orang tua setelah menikah. Jujur Justin kecewa, tapi dirinya juga tak dapat melakukan apa-apa. Jika saja bisa– Justine ingin protes. Menggerakkan massa untuk demo besar-besaran di depan rumah Vero. Berorasi agar Keluarga Husodo mau mengembalikan putri kesayangannya. Terdengar gila memang– Namun begitulah adanya. Justine ingin membuat keributan supaya putrinya di depak dan kembali padanya. Ia belum siap kehilangan Princess. Rasanya baru kemarin putrinya terlahir ke dunia.Seharusnya Justine telah terbiasa dengan alpanya Princess dari kehidupannya. Hampir empat tahun lamanya Princess tinggal memisahkan diri, memilih apartemen sebagai tempat bernaung. Namun kini kasusnya berbeda. Raga dan
“Jesseeeen!! Musuh bebuyutan gue!!” Mian berjalan cepat, ia menangkap pergelangan tangan Princess. “You are a pregnant woman! Nggak usah lari-lari. Jessen nggak akan kemana-mana!” Peringat Mian dengan wajahnya yang memerah.“Sorry..” Lirih Princess– menyesal karena tak mengingat keadaannya. “Thank you for reminding me, Buy.”“It’s okay. Jangan diulangi. Sini gandengan aja turunnya.” Mian menyatukan tangan mereka dalam genggaman. Ia tidak bisa memarahi Princess karena istrinya terlalu excited setelah bangun tidur. Ketika pertama kali membuka mata– Princess mencari-cari adiknya. Mungkin efek pemberitaan yang Oma Buyutnya sampaikan. Semalam Princess dan Marchellia diantarkan langsung oleh Marchellino. Keduanya terlelap begitu damai, sampai-sampai tak terusik pada pergerakannya dengan Jessen yang memindahkan tubuh mereka.“Sarapan Ces.. Papi denger kamu hari ini ada jadwal bimbingan? Isi tenaga dulu.” Ucap Vero sembari memindahkan sayuran ke piring Marchellia, “harus dimakan. Untuk keseh
Sudah diputuskan, lima persen saham Darmawan diakuisisi oleh Husodo. Saham itu diberikan secara khusus beratasnamakan Jessen Husodo sebagai pemilik saham yang sah. Saham tersebut didapatkan dari milik Ardira Darmawan yang mempunyai lebih dari dua puluh persen saham di perusahaan suaminya. Meski berita resmi dan berkas perpindahan belum diselesaikan secara legal– keluarga besar Darmawan telah mengetahui bergulirnya saham tersebut ke tangan Jessen. “Pilihan yang sangat baik Bu Dira.. Saya mengapresiasi pengorbanan Ibu untuk cucu-cucu kita.” Ucap Mellia. Michell yang mengantarkan Mamanya, memainkan kaki. Mamanya sedang diberikan lawan yang tangguh dalam bermain peran kehidupan. Baru kali ini Michell melihat Mamanya kalah selain dari Mami istri kakaknya.“Di keluarga Darmawan pantang hukumnya menceraikan atau diceraikan oleh pasangan, Merlliana Haryo. Sesuatu yang dipersatukan Tuhan, tidak sepantasnya dipisahkan manusia. Terlebih dalam kasus ini, anak dan cucu saya memang keterlaluan. M
Jessen terengah. Dadanya naik turun karena napas yang tak berjalan mulus keluar dari paru-parunya. Pria muda yang melarikan diri dari jerat saudara, papi dan sahabatnya tersebut mendudukan diri pada sebuah pohon besar dipinggir lapangan bola. Jessen merasa telah berlari sangat jauh, jadi kemungkinan untuk ditangkap sangatlah tipis.“Tega bener mereka,” hela Jessen sembari meluruskan kaki-kakinya. Kepalanya mengadah, bersandar pada batang pohon dengan mata terpejam.Tidak.. Jessen tak mau pernikahannya hancur. Sekuat hati ia memaklumi tingkah Papi dan Abang Marchellia. Menahan letupan amarah yang kadang singgah karena perkataan menjatuhkan mereka. Ia tidak ingin usahanya sia-sia.Jessen sendiri bukannya tidak mengetahui jika kata-kata sinis yang kerap kali ditujukan padanya merupakan bentuk ketidaksukaan mereka. Jessen mengetahuinya. Ia juga memiliki perasaan sama seperti kebanyakan orang. Terlebih mereka menunjukkannya tanpa aling-aling— tidak ditutup-tutupi atau diperhalus. Mereka m
“Kedainya masih lurus lagi Pi. Belokan pertama ke kanan,” Mian memberikan arahan kepada Vero. Mereka berniat untuk menjemput Jessen setelah mengetahui keberadaan anak itu dari balasan pesan Dodit.“Ini kalian seriusan kenapa kalau cari basecamp ngumpul! Nggak habis thinking Papi.” Omel Vero. Ia mengenal baik lingkungan yang sedang mereka lalui. Vero sendiri tidak akan pernah melupakan jalanan menuju indekos yang sempat ia tinggali. “Ini area kos-kosan, Yan! Papi belum pernah liat kedai bintang lima juga di area ini.”“Nggak ada yang namanya kedai berbintang, Papi. Ini warung yang sempet Papi liat pas VCall-an sama Jess.” Terang Mian agar Vero tidak salah paham kemana tujuan mereka yang sebenarnya. Papinya yang kasta bangsawan tidak boleh terkejut karena itu akan menggagalkan misi mereka untuk ke rumah Opa Ray.“Kalian kebanyakan ngumpul sama di Dodit, Dodit itu! Begini jadinya.” Vero melirik gerbang rumah berlantai dua di sisi kanan yang baru saja ia lewati. Pria itu tersenyum, ‘kosan