“Mas, aku hamil,” kata Rani kepada kekasihnya Adit.
Adit yang baru saja mengenakan pakaian menghentikan gerakannya dan menatap sang kekasih.
“K- kamu hamil? Kamu yakin?” tanya Adit sambil memicingkan matanya.
Rani, gadis cantik berusia 21 tahun itu menganggukkan kepalanya. Perlahan ia mengeluarkan tespack dari dalam tasnya, lalu memberikannya kepada Adit.
“Ini, sudah aku tes, Mas,” ujarnya.
Adit menggelengkan kepalanya perlahan.
“Ini kan bisa saja kamu meminjam tespack orang dan mau mengerjaiku. Kamu lagi bikin prank, kan?” kata Adit sambil memakai celana pendeknya.
Pemuda itu kemudian memeluk Rani dan mulai mengecup teruk leher sang kekasih berusaha untuk memancing gairah Rani kembali.
Saat ini mereka memang sedang bersama di sebuah kamar hotel. Hubungan Adit dan Rani sudah berjalan 5 bulan. Tetapi, Adit sudah mengincar Rani sejak lama. Hampir setahun ia mengejar cinta sang kembang desa itu sebelum akhirnya Rani bertekuk lutut dalam pelukannya.
Rani berusaha mendorong tubuh Adit untuk menjauh.
“Aku serius, Mas. Ini aku masih memiliki dua alat tes lagi. Kita lihat hasilnya bersama. Supaya kamu bisa tahu aku sedang berbohong atau tidak,” kata Rani.
Gadis itu pun kembali mengeluarkan dua buah alat tes kehamilan yang berbeda merek.
“Ini, kamu lihat sendiri alatnya belum aku buka. Kamu tunggu di sini, atau mau ikut ke kamar mandi?” kata Rani.
Adit menghela napas panjang.
“Aku mau lihat,” katanya.
Pemuda itu pun mengikuti Rani ke kamar mandi. Ia melihat sendiri Rani menampung air seninya ke dalam wadah kecil kemudian secara bersamaan mencelupkan kedua alat tes kehamilan yang baru saja ia buka.
Adit dan Rani menunggu selama beberapa saat. Adit masih berharap jika hasilnya hanya garis 1. Tetapi, setelah beberapa menit menunggu, yang muncul ada dua garis. Itu pertanda Rani memang hamil dan tidak sedang berdusta.
“Apa kamu masih mau mengatakan aku berdusta?” tanya Rani dengan air mata yang mulai jatuh di pipinya.
Adit langsung memeluk tubuh Rani dengan erat. Ia membiarkan gadis pujaannya itu menangis dalam pelukannya.
“Aku takut, Mas. Sudah banyak masalah yang terjadi di keluargaku. Jika aku sampai hamil tanpa suami, apa kata orang-orang nanti?” kata Rani.
“Sttt ... jangan bilang begitu, Sayang. Ada aku di sini. Aku akan bertanggung jawab atas anak ini,” kata Adit.
Perlahan pemuda itu membawa Rani kembali ke ranjang. Mereka duduk berhadapan. Adit mengelus perut Rani yang masih rata kemudian mengecupnya dengan mesra.
Perlahan, gerakan Adit menjadi semakin liar dan pada akhirnya berujung pada penyatuan keduanya. Kamar itu menjadi saksi bisu desahan demi desahan kenikmatan duniawi keduanya.
“Aku akan bertanggung jawab atas anak ini, kamu jangan khawatir,” kata Adit setelah mereka puas melakukan hal itu sambil memeluk tubuh Rani.
Rani hanya menganggukkan kepalanya perlahan. Dalam hati, sebenarnya ia sangat menyesali semua ini. Kenapa ia sampai terbuai dalam alunan cinta Adit dan menyerahkan semua kepada pemuda itu.
Seharusnya ia lebih bisa menahan diri dan mempertahankan kehormatannya sebagai seorang wanita. Tetapi, nasi sudah menjadi bubur. Semuanya sudah terjadi dan ia hanya bisa pasrah. Yang penting Adit mau bertanggung jawab dan menikahinya sehingga anak yang ada di dalam kandungannya ini memiliki status yang jelas.
“Bagaimana dengan kedua orang tuamu, Mas? Mereka pasti tidak akan setuju jika kamu menikah dengan gadis miskin seperti diriku,” kata Rani.
Adit membelai wajah Rani dan mengecupinya dengan mesra.
“Apa pun yang terjadi, aku akan bertanggung jawab. Aku sangat mencintai kamu. Sudah, sekarang kita nikmati saja kebersamaan kita. Malam ini kamu nggak usah pulang. Besok pagi baru aku antar,” kata Adit.
Sejak pertama kali menyentuh Rani, Adit memang merasa kecanduan, karena Ranilah perawan pertama yang ia tiduri.
Adit adalah seorang pemuda tampan dan berasal dari keluarga kaya raya. Ayah Adit memiliki toko grosir terbesar di kota itu. Bahkan sudah memiliki dua cabang. Adit adalah anak kedua dari dua bersaudara.
Sebelum bertemu dengan Rani, dia memang terkenal sebagai playboy. Itu sebabnya Rani tidak langsung membuka hati kepadanya.
Malam itu pun berlalu, dan pagi harinya Adit mengantarkan Rani pulang. Ia sendiri pun segera pulang ke rumahnya untuk mengatakan niatnya menikahi Rani.
“Ke mana saja kamu semalaman nggak pulang? Sampai kapan sih kamu mau begini terus, Dit? Lihat itu kakakmu, dia bekerja keras dan hasilnya toko cabang yang ia pegang bisa sukses,” tegur Bu Ana- ibu Adit.
Pemuda itu tersenyum lalu melangkah mendekati sang ibu dan mencium pipi wanita itu.
“Semalam tidur di rumah kawan, Bu. Ayah ke mana?” tanya Adit.
“Ayahmu masih mandi. Sini kamu duduk, sarapan dulu. Ibu sudah memasak nasi goreng favoritmu,” kata Bu Ana.
Adit yang memang belum sempat sarapan di hotel tadi pun duduk dan menyendokkan nasi goreng ke piringnya.
“Bu, ada yang ingin Adit sampaikan kepada ayah dan ibu,” kata Adit.
Bu Ana mengerutkan dahinya. Tidak biasanya sang anak bersikap seperti itu.
“Memangnya apa yang ingin kamu katakan?” tanya Bu Ana.
“Paling mau minta uang lagi, iya kan?Ayah baru saja mentransfer uang bulanan ke rekeningmu.”
Bu Ana dan Adit menoleh. Tampak Pak Tomi Ayah Adit melangkah menghampiri mereka lalu duduk dan mulai menyendokkan nasi goreng ke piringnya.
“Makasih, Ayah. Tapi, yang Adit ingin bicarakan bukan masalah uang,” jawab pemuda itu.
“Ya lalu, kalau bukan uang apa?” tanya Pak Tomi.
Adit menghela napas panjang lalu mengembuskannya perlahan.
“Adit ... maafkan Adit, Ayah, Ibu.”
Bu Ana mengerutkan dahinya, sebagai seorang ibu, ia tentu bisa mengetahui jika saat ini putranya itu sedang menyimpan suatu masalah.
“Apa sih, kamu ini kalau ngomong yang bener dong, belum apa-apa udah minta maaf,” kata Bu Ana.
“Adit minta izin untuk menikah, Bu, Yah.”
Pak Tomi langsung tertawa keras mendengar jawaban putranya itu.
“Astaga, hanya mau menikah saja kok susah,” kata Pak Tomi.
“Iya, Ibu kira ada apa. Memangnya calon kamu itu siapa?” tanya Bu Ana.
Adit menatap kedua orang tuanya.
“Rani, Bu.”
“Rani? Rani anaknya pak Edi yang gila itu? Keponakannya si Yatmi? TIDAK!” kata pak Tomi dengan tegas.
Wajah Pak Tomi yang tadinya penuh dengan senyum dan tawa mendadak mengeras. Semua orang di kampung mereka tahu jika ayah Rani yaitu Pak Edi memang memiliki gangguan jiwa semenjak istrinya meninggal dunia.
“Kamu mau bikin malu Ayah dan Ibu dengan menikahi anak orang gila itu. Dia memang kembang desa, tapi buat apa kalo berasal dari keluarga yang nggak beres,” kata Pak Tomi lagi.
“Tapi, Ayah ... Rani sedang hamil anakku.”
"Apa maksud kamu Adit? Kamu mau menikahi wanita miskin itu?" Tanya Pak Tomi dengan penuh emosi. Tangan lelaki itu sudah terkepal menahan amarah. Bagaimana bisa Adit memilih Rani di antara sekian banyak wanita yang ada? "Iya Pak, aku mau menikah dengan Rani," jawab Adit dengan tenang."Tidak!""Ingat baik-baik perkataan Bapak, jika kamu nekat menikahi wanita miskin itu ... sampai kapan pun Bapak tidak akan pernah merestui pernikahan kalian berdua!" Ancam Pak Tomi. Lelaki separuh baya itu berharap dengan ancaman, Adit akan menuruti kemauannya. Ia tidak mungkin berani hidup tanpa fasilitas apa pun."Maaf Pak. Tapi, aku nggak bisa lepas tanggung jawab seperti itu. Rani sedang hamil anakku, jadi aku harus bertanggung jawab," jawab Adit. Pemuda itu masih berharap jika sang ayah akan luluh dan memberikan restunya. Tetapi, Pak Tomi adalah seorang lelaki yang keras. Sifat itulah yang kini menurun kepada Adit- keras kepala.“Kamu yakin anak itu adalah anakmu?” tanya bu Ana. Wanita itu mem
“Bagaimana para saksi, sah?”“Sah!”“Sah!” Seminggu setelah peristiwa pengusiran Adit dari rumah pernikahan Rani dan Adit pun dilaksanakan. Mereka memang melaksanakan pernikahan itu dengan sedikit terburu-buru. Karena tidak ingin perut Rani terlihat besar .Meski pun begitu, beberapa orang sudah tahu jika Rani hamil sebelum ia menikah.Sementara itu kedua orang tua Adit tidak menghadiri pernikahan yang sederhana itu. Tetapi, Bu Ana memberikan beberapa barang sebagai mas kawin kepada menantunya itu, tidak lupa Ia juga memberikan uang kepada Adit. Selama ini Adit membantu Pak Tomi di toko grosir milik Pak Tomi. Dan jika dia diusir, otomatis Adit tidak memiliki penghasilan. Itulah sebabnya, Bu Ana memberikan uang kepada sang anak. Walau bagaimana pun, Adit adalah anak kesayangannya. Sehingga, ia juga tidak mau jika Adit nantinya akan kesusahan.Rani yang merasa sangat sedih karena kedua mertuanya tidak datang dan memberikan restu mulai menangis. Air mata mulai menetes di pipinya.Bah
Sekarang kita mau ke mana?” tanya Rani. Adit dan Rani sudah berjalan ke sana kemari mencari kamar kos. Tetapi, mereka belum mendapatkan yang sesuai budget. “Kita ke hotel saja dulu, Sayang. Ini sudah mau maghrib juga. Kamu harus istirahat,” kata Adit. Ia tahu jika saat ini Rani pasti sudah lelah. “Dekat sini ada hotel, gimana kalo kita ke sana?” kata Adit. Rani pun menganggukkan kepalanya, ia juga sudah merasa sangat lelah. Adit pun menggandeng tangan Rani dan membawanya ke hotel. Mereka langsung booking kamar. Setelah menerima kunci, Adit dan Rani pun segera masuk ke dalam kamar untuk beristirahat. “Besok pagi, biar aku saja yang mencari kontrakan untuk kita,” kata Adit. “Lalu aku?” “Ya, kamu tunggu di sini aja, Sayang. Nanti kalau sudah dapat baru kita cek out dari hotel ini,” kata Adit. Rani menganggukkan kepalanya, pasrah. “Gimana kamu aja, Mas.” “Kamu lapar?” tanya Adit saat tak sengaja mendengar perut Rani berbunyi. Istrinya itu hanya tersipu malu. “Iya, Mas. Aku l
Waktu berlalu, dan keuangan Adit dan Rani pun mulai menipis. Hal itu karena uang yang ada tidak mereka putar. Adit terlalu gengsi untuk berjualan sate seperti usul Rani.Adit sibuk mencari pekerjaan ke sana kemari yang sesuai dengan ijazah S1 yang ia miliki. Sehingga hanya dalam waktu 6 bulan uang mereka pun menipis, sementara Adit belum juga mendapatkan pekerjaan. “Bagaimana ini, Mas? Usia kehamilanku sudah delapan bulan, tapi kamu belum juga mendapatkan pekerjaan. Uang yang kita miliki sudah sangat menipis. Bagaimana aku melahirkan nanti?” tanya Rani pada suatu malam. “Lalu aku harus bagaimana? Aku sudah berusaha untuk mencari pekerjaan ke sana kemari tapi memang belum dapat,” kata Adit. Rani menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan.“Coba seandainya kita dulu gunakan uangnya untuk usaha, Mas,” kata Rani. Adit memicingkan matanya, ia menatap Rani dengan tajam. “Maksudmu aku jualan sate seperti yang kamu katakan? Kamu sadar jika aku ini sarjana? Jika aku memiliki to
Rani tercekat, mantan kekasih? "Benar Ghea ini mantan kekasihmu, Mas?" Tanya Rani kepada Adit yang tampak sedang menatap Ghea dengan tatapan penuh kekaguman. "Ghea memang mantan kekasih Adit, dia juga anak pengusaha kaya yang terpandang. Dan dia baru menyelesaikan kuliahnya di Hongkong," kata Tomi. Lelaki itu memang sengaja mengundang Ghea datang ke rumahnya. Ia ingin hubungan Rani dan Adit renggang karena kehadiran Ghea. "Ah, Ayah ini suka melebih-lebihkan saja," kata Ghea. "Ayah kan hanya mengatakan apa adanya saja," kata Tomi. Ana yang melihat ada mendung di wajah Rani langsung berdeham pelan. "Ayo kita makan dulu, ibu sudah memasak buat kita. Dan ini juga ada oleh-oleh dari Ghea dari Hongkong, ada egg tart dan Lo mai gai. Ini makanan dari sana dibawa Ghea sengaja untuk kita," kata Ana. "Ini mirip bakcang ya?" Kata Adit. "Ya beda dong. Lo mai gai ini memang mirip bakcang, tapi kan ini dibawa dari Hongkong langsung. Ya emang sudah aku simpan dulu di freezer, tapi ini enak b
“Ghea, kamu nginep di sini?” tanya Rani.“Iya, soalnya semalam Ayah ngelarang aku untuk pulang karena udah malam banget. Dan Adit juga nggak mungkin nganterin aku, lagian nanti kalau ada nganterin aku kamu jadinya cemburu,” kata Ghea.Rani hanya terdiam, kemudian ia pun mendekati Ibu mertuanya. “Ada yang bisa Rani bantu, Bu?” tanyanya.“Kamu bantu ibu ulek bumbu aja. Oh ya, Ran lain kali jangan seperti semalam ya. Masa lagi makan terus tiba-tiba kamu pergi begitu aja ... nggak sopan. Mungkin ucapan ayahmu itu menyinggung, tapi sebagai seorang menantu yang baik dan juga orang yang memiliki attitude, sebaiknya hal itu jangan diulangi. Kamu kan bisa menahan-nahan diri. Kamu dan Adit itu sudah melakukan kesalahan. Jadi, wajar kalau ayahnya Adit masih merasa emosi kepada kalian berdua. Jangankan ayahnya, saya sendiri sebenarnya masih merasa kesal kepada kalian. Hanya saja saya masih memikirkan cucu saya dalam kandungan kamu itu,” kata Bu Ana dengan kesal.Sebenarnya, Bu Ana yang sudah mera
Rani terpaksa duduk bersama Ghea dan kedua mertuanya di meja makan. Ia tidak banyak bicara, tepatnya tidak berbicara sama sekali. Pembicaraan didominasi oleh Gea Adit dan Pak Tomi.Tampak jelas di mata Rani jika Pak Tomi sangat menyayangi Ghea, bahkan lelaki itu selalu memuji-muji Ghea."Jadi rencananya kamu akan bekerja di mana Ghe?" tanya Pak Tomi kepada Ghea."Sudah ada beberapa perusahaan yang menawari pekerjaan salah satunya sebagai kepala accounting. Tetapi gajinya belum ada yang sesuai. Meskipun fresh graduate, tapi aku kan lulusan luar negeri jadi patut dipertimbangkan. Kalau seandainya gaji di bawah lima juta, mungkin Ghea tidak akan menerimanya, Ayah," kata Ghea."Enak ya kalau lulusan luar negeri bisa tawar-menawar gaji," kata Adit dengan penuh kekaguman."Ya kamu waktu itu mau Ayah sekolahin ke luar negeri kamunya nggak mau. Coba kalau waktu itu kamu mau sekolah di luar negeri bersama Gea, mungkin saat ini juga kamu sudah mendapat pekerjaan yang bagus," kata Pak Tomi."Me
“Aku nggak nyangka kalo kamu bakalan nikah sama gadis polos kayak Rani. Jauh banget dari selera kamu sebelumnya,” kata Ghea. Gadis itu memang sengaja mampir ke toko milik Pak Tomi ketika jam makan siang. “Ya, tadinya aku hanya main-main aja sama dia. Nggak taunya malah kepincut beneran,” jawab Adit.“Kamu nggak curiga kalo dia nikah sama kamu hanya untuk dapetin harta aja? Secara keluarganya itu kan miskin, dan bapaknya dirawat di RSJ,” kata Ghea lagi. Adit menghela napas panjang, ia sama sekali tidak berpikir hal itu. Di matanya Rani adalah gadis yang sangat polos. Jika ia memperlakukan Rani seperti tadi pagi tidak lain karena ia merasa Rani sudah bersikap tidak sopan semalam, apa lagi mereka baru tinggal di rumah lagi. Adit tidak mau jika gara-gara masalah sepele mereka diusir untuk kedua kalinya. Selama beberapa bulan ini, Adit sudah merasakan tidak enaknya mencari pekerjaan di luar.“Rani gadis polos, waktu kami diusir pun dia bisa hidup susah bersamaku,” bela Adit. Ghea tert