Share

Ketika Rumah Tanggaku Masih Di Setir Oleh Mertua
Ketika Rumah Tanggaku Masih Di Setir Oleh Mertua
Author: Mimi Galuh

1. Hamil Duluan.

“Mas, aku hamil,” kata Rani kepada kekasihnya Adit. 

Adit yang baru saja mengenakan pakaian menghentikan gerakannya dan menatap sang kekasih. 

“K- kamu hamil? Kamu yakin?” tanya Adit sambil memicingkan matanya. 

 Rani, gadis cantik berusia 21 tahun itu menganggukkan kepalanya. Perlahan ia mengeluarkan tespack dari dalam tasnya, lalu memberikannya kepada Adit. 

“Ini, sudah aku tes, Mas,” ujarnya. 

 Adit menggelengkan kepalanya perlahan. 

“Ini kan bisa saja kamu meminjam tespack orang dan mau mengerjaiku. Kamu lagi bikin prank, kan?” kata Adit sambil memakai celana pendeknya. 

Pemuda itu kemudian memeluk Rani dan mulai mengecup teruk leher sang kekasih berusaha untuk memancing gairah Rani kembali. 

Saat ini mereka memang sedang bersama di sebuah kamar hotel. Hubungan Adit dan Rani sudah berjalan 5 bulan. Tetapi, Adit sudah mengincar Rani sejak lama. Hampir setahun ia mengejar cinta sang kembang desa itu sebelum akhirnya Rani bertekuk lutut dalam pelukannya. 

Rani berusaha mendorong tubuh Adit untuk menjauh.

“Aku serius, Mas. Ini aku masih memiliki dua alat tes lagi. Kita lihat hasilnya bersama. Supaya kamu bisa tahu aku sedang berbohong atau tidak,” kata Rani. 

 Gadis itu pun kembali mengeluarkan dua buah alat tes kehamilan yang berbeda merek. 

“Ini, kamu lihat sendiri alatnya belum aku buka. Kamu tunggu di sini, atau mau ikut ke kamar mandi?” kata Rani. 

 Adit menghela napas panjang. 

“Aku mau lihat,” katanya. 

 Pemuda itu pun mengikuti Rani ke kamar mandi. Ia melihat sendiri Rani menampung air seninya ke dalam wadah kecil kemudian secara bersamaan mencelupkan kedua alat tes kehamilan yang baru saja ia buka. 

 Adit dan Rani menunggu selama beberapa saat. Adit masih berharap jika hasilnya hanya garis 1. Tetapi, setelah beberapa menit menunggu, yang muncul ada dua garis. Itu pertanda Rani memang hamil dan tidak sedang berdusta. 

“Apa kamu masih mau mengatakan aku berdusta?” tanya Rani dengan air mata yang mulai jatuh di pipinya. 

 Adit langsung memeluk tubuh Rani dengan erat. Ia membiarkan gadis pujaannya itu menangis dalam pelukannya. 

“Aku takut, Mas. Sudah banyak masalah yang terjadi di keluargaku. Jika aku sampai hamil tanpa suami, apa kata orang-orang nanti?” kata Rani. 

“Sttt ... jangan bilang begitu, Sayang. Ada aku di sini. Aku akan bertanggung jawab atas anak ini,” kata Adit. 

 Perlahan pemuda itu membawa Rani kembali ke ranjang. Mereka duduk berhadapan. Adit mengelus perut Rani yang masih rata kemudian mengecupnya dengan mesra. 

 Perlahan, gerakan Adit menjadi semakin liar dan pada akhirnya berujung pada penyatuan keduanya. Kamar itu menjadi saksi bisu desahan demi desahan kenikmatan duniawi keduanya. 

“Aku akan bertanggung jawab atas anak ini, kamu jangan khawatir,” kata Adit setelah mereka puas melakukan hal itu sambil memeluk tubuh Rani. 

 Rani hanya menganggukkan kepalanya perlahan. Dalam hati, sebenarnya ia sangat menyesali semua ini. Kenapa ia sampai terbuai dalam alunan cinta Adit dan menyerahkan semua kepada pemuda itu.

 Seharusnya ia lebih bisa menahan diri dan mempertahankan kehormatannya sebagai seorang wanita. Tetapi, nasi sudah menjadi bubur. Semuanya sudah terjadi dan ia hanya bisa pasrah. Yang penting Adit mau bertanggung jawab dan menikahinya sehingga anak yang ada di dalam kandungannya ini memiliki status yang jelas.

“Bagaimana dengan kedua orang tuamu, Mas? Mereka pasti tidak akan setuju jika kamu menikah dengan gadis miskin seperti diriku,” kata Rani. 

Adit membelai wajah Rani dan mengecupinya dengan mesra. 

“Apa pun yang terjadi, aku akan bertanggung jawab. Aku sangat mencintai kamu. Sudah, sekarang kita nikmati saja kebersamaan kita. Malam ini kamu nggak usah pulang. Besok pagi baru aku antar,” kata Adit. 

Sejak pertama kali menyentuh Rani, Adit memang merasa kecanduan, karena Ranilah perawan pertama yang ia tiduri. 

Adit adalah seorang pemuda tampan dan berasal dari keluarga kaya raya. Ayah Adit memiliki toko grosir terbesar di kota itu. Bahkan sudah memiliki dua cabang. Adit adalah anak kedua dari dua bersaudara. 

Sebelum bertemu dengan Rani, dia memang terkenal sebagai playboy. Itu sebabnya Rani tidak langsung membuka hati kepadanya. 

Malam itu pun berlalu, dan pagi harinya Adit mengantarkan Rani pulang. Ia sendiri pun segera pulang ke rumahnya untuk mengatakan niatnya menikahi Rani. 

“Ke mana saja kamu semalaman nggak pulang? Sampai kapan sih kamu mau begini terus, Dit? Lihat itu kakakmu, dia bekerja keras dan hasilnya toko cabang yang ia pegang bisa sukses,” tegur Bu Ana- ibu Adit. 

Pemuda itu tersenyum lalu melangkah mendekati sang ibu dan mencium pipi wanita itu. 

“Semalam tidur di rumah kawan, Bu. Ayah ke mana?” tanya Adit. 

“Ayahmu masih mandi. Sini kamu duduk, sarapan dulu. Ibu sudah memasak nasi goreng favoritmu,” kata Bu Ana. 

Adit yang memang belum sempat sarapan di hotel tadi pun duduk dan menyendokkan nasi goreng ke piringnya. 

“Bu, ada yang ingin Adit sampaikan kepada ayah dan ibu,” kata Adit. 

 Bu Ana mengerutkan dahinya. Tidak biasanya sang anak bersikap seperti itu. 

“Memangnya apa yang ingin kamu katakan?” tanya Bu Ana.

“Paling mau minta uang lagi, iya kan?Ayah baru saja mentransfer uang bulanan ke rekeningmu.” 

Bu Ana dan Adit menoleh. Tampak Pak Tomi Ayah Adit melangkah menghampiri mereka lalu duduk dan mulai menyendokkan nasi goreng ke piringnya. 

“Makasih, Ayah. Tapi, yang Adit ingin bicarakan bukan masalah uang,” jawab pemuda itu. 

“Ya lalu, kalau bukan uang apa?” tanya Pak Tomi. 

Adit menghela napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. 

“Adit ... maafkan Adit, Ayah, Ibu.” 

Bu Ana mengerutkan dahinya, sebagai seorang ibu, ia tentu bisa mengetahui jika saat ini putranya itu sedang menyimpan suatu masalah. 

“Apa sih, kamu ini kalau ngomong yang bener dong, belum apa-apa udah minta maaf,” kata Bu Ana. 

“Adit minta izin untuk menikah, Bu, Yah.” 

Pak Tomi langsung tertawa keras mendengar jawaban putranya itu. 

“Astaga, hanya mau menikah saja kok susah,” kata Pak Tomi. 

“Iya, Ibu kira ada apa. Memangnya calon kamu itu siapa?” tanya Bu Ana. 

Adit menatap kedua orang tuanya. 

“Rani, Bu.” 

“Rani? Rani anaknya pak Edi yang gila itu? Keponakannya si Yatmi? TIDAK!” kata pak Tomi dengan tegas. 

 Wajah Pak Tomi yang tadinya penuh dengan senyum dan tawa mendadak mengeras. Semua orang di kampung mereka tahu jika ayah Rani yaitu Pak Edi memang memiliki gangguan jiwa semenjak istrinya meninggal dunia. 

“Kamu mau bikin malu Ayah dan Ibu dengan menikahi anak orang gila itu. Dia memang kembang desa, tapi buat apa kalo berasal dari keluarga yang nggak beres,” kata Pak Tomi lagi. 

“Tapi, Ayah ... Rani sedang hamil anakku.”

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status