"Wajar, kan nge-ASI-innya? ASI kamu lancar?" kata Ulfa menanggapi sebelum kemudian mendekatkan dirinya ke ranjang Rani. "Aku nggak tepat banget ya, dateng jelang sore gini? Harusnya kamu kan banyak istirahat apa lagi kamu lahirannya cesar."“Ya, aku tidur sebentar aja ya, kalo gitu.” kata Rani. Ulfa mengangguk dan membiarkan sahabatnya itu tidur. Ya, Rani memang sulit tidur. Tadi, beberapa belas menit yang lalu, Adit memaksanya untuk tidur. Rani butuh istirahat juga kan, supaya kondisinya lekas pulih.Sementara itu, Tatia sudah meronta ingin diturunkan dari gendongan papanya, "Daddy, aku mau liat dedek bayinya!" pintanya agak sedikit keras. Ulfa melihat ke arah anaknya itu kemudian membuat gestur 'jangan berisik' dengan satu jarinya yang ia taruh di depan bibir. "Jangan teriak-teriak, Tatia. Nanti Tante Rani sama dedek bayinya bangun!" peringat Ulfa pada Tatia. Bocah itu mengangguk, mengerti, hingga akhirnya diturunkan Bima. Bersama Ulfa, Tatia melihat dengan takjub bayi mungil y
"Kenapa, sih? Kok kamu nggak ngantuk-ngantuk?" tanya Adit kepada RaniRani tersentak saat lengan Adit mengelilingi perutnya. Dagu suaminya itu juga ditumpukan di pundak Rani. Seperti malam kemarin, di malam kedua ini Rani masih saja sulit terpejam. Kantuk pun tidak kunjung datang. Minum susu hangat, sudah. Makan manis, sudah. Perut sudah kenyang. Tapi, masih saja segar matanya.Rani menghela napasnya kasar. "Ada yang kamu pikirkan, ya? Apa kamu masih memikirkan tentang Ghea?" Adit dengan sabar memancing Rani untuk menceritakan kegundahannya. Walau bagaimana, saat ini menjaga perasaan Rani jauh lebih penting untuk Adit. Ia memang masih mencintai Ghea, tapi ia tidak mau kehilangan Rani dan Tasya."Sekarang aku jadi tau, gimana perasaan Ibu, Mas," sahut Rani lirih."Hmm. Bagaimana?""Aku bisa bayangin, bagaimana dulu Ibu melahirkan aku. Ibu adalah seorang ibu yang sangat baik dan karena itu ayah terlalu mencintai sehingga saat Ibu tidak ada, Ayah begitu terpuruk hingga pada akhirnya-"Ra
"Nah, Tasya, ini rumahmu," ujar Bu Ana pada Tasya di gendongannya. Anak itu seperti mengerti perkataan Neneknya, matanya mengerjap-ngerjap seperti betul-betul sedang memindai rumah.Mereka baru saja tiba di rumah, dan di sana ada Anjar dan Amel juga. Rani hanya dijemput oleh Adit dan Bu Ana saja. Sementara Pak Tomi seperti biasa tidak pernah mau berinteraksi dengan menantunya yang satu itu.Saat Dokter menyatakan Rani sudah bisa beraktivitas secara normal, mereka tak menunggu lama untuk kembali pulang ke rumah."Non, kangen saya," sambut Mbok Nurrmi memeluk Rani."Kamu sudah siapkan kamar Tasya?" tanya Bu Ana berikutnya, lantas langsung meminta Mbok Nurmi mengantarnya ke kamar cucunya.Rani hanya bisa tersenyum, sepertinya Bu Ana sudah mengambil alih posisinya sebagai ibu Tasya karena perempuan itu banyak sekali terlibat dalam urusan Tasya."Kangen juga sama rumah ini ya," ujar Rani seraya merebahkan kepalanya di dada Adit."He-eh," ujar Adit singkat, "Mana ada sih orang yang betah be
Ya Tuhan, petaka apa yang akan terjadi saat perempuan itu ada di rumahnya? Siapa pula yang sudah mengundang mantan kekasih Adit itu untuk datang."Nah, ini dia sang Nyonya rumah yang baik hati," ujar Anjar saat melihat Rani mendekati mereka, "Ini Rani, istri dari adikku, Adit."Semua orang serentak berdiri –tidak terkecuali Ghea—lantas menyalami Rani saat Anjar memperkenalkan teman-temannya itu satu per satu pada Rani."Dan ini—""Kami sudah saling kenal, Mas Anjar. Waktu aku baru pulang dari Hongkong kemarin aku sudah bertemu dengan Rani," potong Ghea cepat dengan sebuah senyuman manis yang memabukkan. Rani takjub bagaimana Ghea bisa bersandiwara setelah kejadian terakhir yang menimpa mereka dan nyaris membuat Rani celaka karena kontraksi mendadak."Oh ya? Apa Rani juga sudah tau kamu siapa di masa lalu Adit?" tanya Anjar terlihat antusias."It's a long story," ujar Ghea seraya mengibaskan tangan, "Akan membosankan buatmu. Iya kan, Ran?" tanya Ghea dengan sebuah kedipan mata untuk R
Di mana sih Rani? Tanya Adit dalam hati saat dia sudah berkeliling taman tapi juga tidak menemukan istrinya itu di mana-mana.Saat dilihatnya Bu Ana maupun Bude Yatmi yang tengah asyik mengobrol dengan para tamu tanpa kehadiran Tasya di tangan mereka, membuat Adit berasumsi istri dan anaknya itu saat ini berada di kamar mereka di atas. Mungkin Tasya ingin menyusu, atau anak itu memang sudah mengantuk dan harus segera tidur jauh dari kebisingan ini.Asumsi itu membuat Adit tenang, dia menarik sebuah kursi lantas mendudukinya ingin rehat sejenak setelah sejak tadi harus berbasa basi menyapa setiap tamu.Adit memutuskan untuk menikmati kesendiriannya seraya menonton band kecil yang saat ini sedang menyanyikan lagu All I Want-nya Kodaline. Salah satu lagu kesukaan Rani yang belakangan juga mulai dia sukai.'Cause you brought out the best of meA part of me I'd never seenYou took my soul wiped it cleanOur love was made for movie screensTidak bisa tidak, Adit tersenyum saat mendengarkan
Adit tentu saja langsung menyetujui rencana kencan itu dengan sangat antusias. Dia membatalkan semua janji sore-nya. Tidak ada yang lebih penting dari pada segera pulang ke rumah di jam makan siang untuk bisa bersantap bersama kedua sahabat yang sudah lama tidak bertemu.Tapi itu bisa menunggu, siapa sih yang tidak mau berkencan dengan istrinya sendiri? Adit heran kenapa hal semacam ini tidak terpikirkan olehnya. Kapan terakhir kali dia mengajak Rani dinner romantis berdua? Adit tidak bisa ingat, atau memang mereka belum pernah melakukannya? Ya ampun, mengerikan sekali! Padahal dulu saat ia berpacaran dengan Ghea ia selalu menghabiskan banyak waktu. Tetapi dengan Rani? Apa karena Adit menganggap Rani hanya gadis biasa saja? "Bim, makasih banyak lho hadiahnya," ujar Adit saat mereka sudah kenyang menyantap makan siang. Ucapan terima kasih itu tulus Adit ucapkan, seolah sahabatnya itu tahu bahwa Adit dan Rani memang memerlukan jeda manis semacam ini di antara masalah bertubi-tubi yang
Ghea yang sedang emosi dan cemburu melihat keharmonisan Adit dan Rani, langsung memotret mereka berdua lalu mengirim fotonya ke Pak Tomi. Tidak lama kemudian ponsel milik Ghea pun berdering, ada panggilan masuk dari Pak Tomi, ia pun langsung menjawab panggilan telepon tersebut."Hallo Ayah." Ucap Ghea."Apa sekarang Adit, lagi bersama istrinya yang miskin itu?" Tanya Pak Tomi kepada Ghea."Iya, bahkan kelihatannya Adit malah jadi tambah deket sama dia." Jawab Ghea dengan nada datar, tidak lama kemudian ia pun langsung menanyakan bantuan Pak Tomi. "Katanya Ayah mau bantu hubungan aku sama Adit?" "Kamu tenang saja Nak, Ayah janji akan membuat wanita kampung itu pergi dari rumah Ayah. Karena sampai sekarang Ayah nggak sudi mempunyai menantu kampungan seperti dia, cuma kamu yang cocok buat jadi menantuku dan pendamping Adit!" Jawab Pak Tomi mencoba meyakinkan Ghea.Ghea menyunggingkan senyum liciknya, tidak berhenti di situ saja. Ia juga meminta Pak Tomi untuk menyuruh Adit pulang, agar
Ghea tersenyum senang, melihat Adit yang pergi lebih dulu begitu saja tanpa mengantarkan Rani istrinya, dan melihat Rani yang akhirnya pulang dengan naik ojek."Aku puas banget, ternyata Om Tomi bener-bener bisa di andalkan. Syukurin kamu, akhirnya kamu pulang naik ojek. Macem-macem sih jadi orang, mestinya sadar diri kalau Adit itu enggak bakalan bisa hidup sama kamu." Ucap Ghea sambil meminum kopi yang ia pesan."Ternyata semudah ini, membuat kalian berdua agar jangan terus-menerus sering bersama. Selama Om Tomi masih ada di pihakku, aku harus secepat mungkin membuat kalian berdua hidup terpisah!" Gumam Ghea, yang mencoba untuk memikirkan cara selanjutnya yang akan ia pakai untuk memisahkan Rani dari Adit.***Sekarang Rani sudah sampai di rumah mertuanya, namun saat ia turun dari ojek, ada Ibu Ana yang sedang menggendong Tasya di halaman depan, melihat menantunya datang naik ojek ia pun langsung menanyakan keberadaan putranya."Lho Ran, kok kamu naik ojek? Emang Adit pergi ke mana?