Home / Romansa / Ketika Sang Adipati Berlutut di Bawah Kakiku / Bab 141 : Perdebatan Receh Kedai Teh

Share

Bab 141 : Perdebatan Receh Kedai Teh

Author: Xiao Chuhe
last update Huling Na-update: 2025-08-10 22:33:33
Aku menarik tangan Xin Jian dan segera membelakangi Chuanyan. Pintu keluar hanya berjarak kurang dari sepuluh meter.

Langkahku sudah separuh melewati jarak yang singkat itu, napasku tiba-tiba tertahan di tenggorokan saat suara nyaring yang tajam seperti bilah pisau yang diadu memotong udara sore yang hampir membeku di kepalaku.

"Eh, eh, Nona sekalian! Kalian mau ke mana?!"

Langkahku terhenti. Xin Jian mengangkat alisnya tipis-tipis, sementara aku hanya menoleh perlahan. Seorang pria paruh baya, mengenakan rompi kain kasar dengan sulaman lambang kedai di dada, berdiri tegak di samping pintu.

Wajahnya merah padam, bukan karena malu, tapi karena marah, terlihat seperti marah karena masalah kecil yang sengaja dibesarkan agar terdengar dramatis di telinga semua orang di ruangan ini.

Aku memijat pangkal hidungku, tahu betul kalau sebuah perdebatan receh akan meletus di depan pintu ini. Gerak-gerik pengurus toko ini, aku sudah sangat hafal.

"Apa maksudnya ini?" suaraku datar, tap
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Locked Chapter

Pinakabagong kabanata

  • Ketika Sang Adipati Berlutut di Bawah Kakiku   Bab 142 : Dua Jalan

    Udara sore itu menggigit kulit seperti ujung jarum yang direndam es. Jalan Bailiang mulai dilahap senja, matahari sudah tenggelam perlahan, menyisakan warna emas yang merembes di tepi atap dan kain spanduk perlahan tertelan bayangan. Di tengah hiruk pikuk itu, aku berlari. Rok sutra yang diselipkan tinggi hingga batas lutut membuat gerakanku bebas, meski tetap membatasi napas dengan ketat. Angin sore memukul pipi, mengaduk rambut yang lepas dari sanggul tipis—aku tak peduli. Bahkan suara hiruk-pikuk pasar sore hari pun terasa jauh. Yang kupedulikan hanyalah satu sosok. Sosok yang telah melangkah lebih dahulu, lima belas menit sebelum aku tiba.Sosok yang selama ini berjalan di tepiku tanpa pernah menampakkan wajahnya secara utuh …, dan entah mengapa, selalu meninggalkan jejak rasa curiga yang menggerogoti pikiranku.Langkahku terhenti menatap sekeliling dan menilai dengan cepat. Xin Jian menghentikan langkah di sampingku dan segera mengatur napas. "Ke mana dia melangkah, Jingxi?"P

  • Ketika Sang Adipati Berlutut di Bawah Kakiku   Bab 141 : Perdebatan Receh Kedai Teh

    Aku menarik tangan Xin Jian dan segera membelakangi Chuanyan. Pintu keluar hanya berjarak kurang dari sepuluh meter. Langkahku sudah separuh melewati jarak yang singkat itu, napasku tiba-tiba tertahan di tenggorokan saat suara nyaring yang tajam seperti bilah pisau yang diadu memotong udara sore yang hampir membeku di kepalaku. "Eh, eh, Nona sekalian! Kalian mau ke mana?!" Langkahku terhenti. Xin Jian mengangkat alisnya tipis-tipis, sementara aku hanya menoleh perlahan. Seorang pria paruh baya, mengenakan rompi kain kasar dengan sulaman lambang kedai di dada, berdiri tegak di samping pintu. Wajahnya merah padam, bukan karena malu, tapi karena marah, terlihat seperti marah karena masalah kecil yang sengaja dibesarkan agar terdengar dramatis di telinga semua orang di ruangan ini. Aku memijat pangkal hidungku, tahu betul kalau sebuah perdebatan receh akan meletus di depan pintu ini. Gerak-gerik pengurus toko ini, aku sudah sangat hafal. "Apa maksudnya ini?" suaraku datar, tap

  • Ketika Sang Adipati Berlutut di Bawah Kakiku   Bab 140 : Tertangkap Basah

    Tidak …, ini tidak mungkin kebetulan.Udara sore yang merayap masuk lewat jendela kayu bercat merah tua membawa aroma teh melati yang baru saja diseduh. "Asap tipis naik dari cangkir-cangkir porselen, berputar sebelum menghilang di antara balok langit-langit yang tua. Meja-meja di lantai dua kedai ini dipenuhi oleh para nona muda—sebagian membetulkan hiasan rambut gioknya, sebagian lagi berbisik-bisik sambil sesekali menutup mulut dengan lengan baju sutra.Aku hanya datang untuk minum teh dan, mungkin, mendengar gosip kecil yang biasa menjadi bumbu sore hari. Sesederhana itu. Tapi pandanganku terpaku pada satu sosok di ujung ruangan—sosok yang tidak seharusnya berada di sini, apalagi sendirian.Dan yang membuat darahku tersentak… bukan hanya kehadirannya.Chuanyan berdiri di hadapan meja yang dikelilingi oleh beberapa nona bangsawan, dengan postur tubuh tegak dan dagu sedikit terangkat. Tatapannya seperti berkata,'Aku tidak takut." Tapi aku mengenal matanya …, di balik keberanian yan

  • Ketika Sang Adipati Berlutut di Bawah Kakiku   Bab 139 : Rumor

    Karena sudah berada di luar, aku dan Xin Jian memutuskan untuk berkeliling kota terlebih dulu sebelum kembali ke kediaman. Udara sore di Bailiang terasa hangat, matahari condong ke barat, memantulkan cahaya keemasan di atap-atap bangunan, dan suara roda kereta kuda berbaur dengan riuh obrolan para pedagang. Aroma manis dari penjual kue dan harum rempah dari kedai-kedai makan bercampur di udara.Di lorong kedua Jalan Bailiang yang ramai, ada kedai teh yang sangat populer di kalangan nona-nona muda bangsawan. Jendela-jendela kayu berukirnya terbuka, menampilkan meja-meja bundar yang tertata rapi, dan dari dalamnya keluar aroma teh yang lembut. Aku memutuskan mendatangi kedai itu setelah Jiang Xinxin sempat merekomendasikannya padaku dulu, katanya, "Tempat ini punya teh Osmanthus yang paling wangi di seluruh Bailiang."Sebelum turun dari kereta kuda, aku mengamati gerakan Xin Jian. Dia duduk santai, tangan bersedekap, tatapannya menyapu keramaian di luar seakan mencari ancaman.Merasa

  • Ketika Sang Adipati Berlutut di Bawah Kakiku   Bab 138 : Kakek Tua

    "Pakai ini, Jingxi." Xin Jian tiba-tiba menyodorkan sebuah kain cadar padaku saat hendak keluar dari aula utama. Aku menatapnya. "Wajahmu tidak boleh sampai terlihat oleh ayahmu, kan?" Setidaknya kalau memakai cadar ini, kau tidak perlu menyembunyikan diri sampai membuat Xishui curiga." Aku mengangguk. Perkataannya ada benarnya. Aku menerima cadar itu dan memakaikannya menutupi separuh wajah. Kainnya lebih tebal dari cadar yang sebelumnya pernah kupakai. Ayah pasti tidak akan mengenaliku kalau aku menutup wajahku seperti ini. Meski pun mataku terlihat, Ayah tidak pernah benar-benar mengenalku sampai bisa menghafal bentuk mataku dan bagaimana caraku menatap. Xin Jian memapahku berjalan layaknya seorang suami yang mengkhawatirkan istri dan calon bayinya. Dalam situasi ini, aku tidak punya pilihan selain mengikuti tindakannya. Xishui mengantar kami sampau luar aula. Aku sebenarnya sedikit khawatir karena dia sedikit kesulitan berjalan karena kakinya mulai membengkak. "Cukup sampa

  • Ketika Sang Adipati Berlutut di Bawah Kakiku   Bab 137 : Suami Xishui

    1Sore hari itu salju benar-benar sudah mencair dan membuat jalan-jalan dipenuhi kubangan air kotor. Aku berjalan keluar dari kediaman dengan pakaian yang sedikit lebih mencolok daripada yang biasa kukenakan. Xin Jian berjalan di belakangku. "Kau mau ke mana?" "Temani aku menemui Xishui," aku menjawab singkat. Xin Jian menyejajarkan langkahnya dengan langkahku. Tatapannya terlihat bingung. "Berinisiatif menemuinya sendiri?"Aku menghentikan langkah dan menoleh padanya, tersenyum. "Kalau melihat penanggalannya, seharusnya dia sudah hampir tiba di hari kelahiran putranya, kan?"Karena dia adalah wanitanya ayahku, bukankah seharusnya aku lebih mendekatkan diri lagi padanya? Aku tidak akan membenci seseorang tanpa alasan. Dan aku hanya membenci keluarga itu saja. Dalam hal ini, Xishui jelas hanya korban. Dia bahkan sampai harus merelakan pekerjaannya yang gemilang dan kehidupan penuh gemerlap itu demi mengandung anak dari pria tua enam puluhan yang tidak tahu diri itu. Aku menghela n

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status