Share

Bab 128 : Sebarkan Rumornya

Author: Xiao Chuhe
last update Huling Na-update: 2025-08-03 22:54:22

Keheningan turun seperti kabut tipis yang menyesakkan. Udara di kamar terasa beku, seolah waktu berhenti berjalan. Tak ada suara. Tak ada gerakan. Hanya detak jantungku yang berdentam seperti palu godam di dalam dada.

Xin Jian beranjak dari tempatnya berdiri, lalu berlutut di depanku. Kepalanya tertunduk, tubuhnya nyaris tak bergerak. Seakan menungguku menjatuhkan palu keputusan atas dosa yang baru saja diungkapkannya.

Dia bahkan tak berani mengangkat kepala. Bukan karena hormat—tapi karena takut. Takut pada sesuatu yang baru saja dia bangkitkan di dalam diriku.

Aku memandangnya. Mata itu, mata yang biasanya penuh keyakinan dan kepastian, kali ini redup, seperti api yang nyaris padam di tengah badai.

Tapi sebaliknya, aku merasa diriku semakin bersemangat, seolah hasil akhir yang gelap ini justru membawakan lentera merah dengan api yang menerangi jalan di depanku.

Aku, sungguh tidak tahu bagaimana harus menggambarkan perasaan ini. Aku merasa hatiku menggeliat seperti ular. Pikiran-pik
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Locked Chapter

Pinakabagong kabanata

  • Ketika Sang Adipati Berlutut di Bawah Kakiku   Bab 140 : Tertangkap Basah

    Tidak …, ini tidak mungkin kebetulan.Udara sore yang merayap masuk lewat jendela kayu bercat merah tua membawa aroma teh melati yang baru saja diseduh. "Asap tipis naik dari cangkir-cangkir porselen, berputar sebelum menghilang di antara balok langit-langit yang tua. Meja-meja di lantai dua kedai ini dipenuhi oleh para nona muda—sebagian membetulkan hiasan rambut gioknya, sebagian lagi berbisik-bisik sambil sesekali menutup mulut dengan lengan baju sutra.Aku hanya datang untuk minum teh dan, mungkin, mendengar gosip kecil yang biasa menjadi bumbu sore hari. Sesederhana itu. Tapi pandanganku terpaku pada satu sosok di ujung ruangan—sosok yang tidak seharusnya berada di sini, apalagi sendirian.Dan yang membuat darahku tersentak… bukan hanya kehadirannya.Chuanyan berdiri di hadapan meja yang dikelilingi oleh beberapa nona bangsawan, dengan postur tubuh tegak dan dagu sedikit terangkat. Tatapannya seperti berkata,'Aku tidak takut." Tapi aku mengenal matanya …, di balik keberanian yan

  • Ketika Sang Adipati Berlutut di Bawah Kakiku   Bab 139 : Rumor

    Karena sudah berada di luar, aku dan Xin Jian memutuskan untuk berkeliling kota terlebih dulu sebelum kembali ke kediaman. Udara sore di Bailiang terasa hangat, matahari condong ke barat, memantulkan cahaya keemasan di atap-atap bangunan, dan suara roda kereta kuda berbaur dengan riuh obrolan para pedagang. Aroma manis dari penjual kue dan harum rempah dari kedai-kedai makan bercampur di udara.Di lorong kedua Jalan Bailiang yang ramai, ada kedai teh yang sangat populer di kalangan nona-nona muda bangsawan. Jendela-jendela kayu berukirnya terbuka, menampilkan meja-meja bundar yang tertata rapi, dan dari dalamnya keluar aroma teh yang lembut. Aku memutuskan mendatangi kedai itu setelah Jiang Xinxin sempat merekomendasikannya padaku dulu, katanya, "Tempat ini punya teh Osmanthus yang paling wangi di seluruh Bailiang."Sebelum turun dari kereta kuda, aku mengamati gerakan Xin Jian. Dia duduk santai, tangan bersedekap, tatapannya menyapu keramaian di luar seakan mencari ancaman.Merasa

  • Ketika Sang Adipati Berlutut di Bawah Kakiku   Bab 138 : Kakek Tua

    "Pakai ini, Jingxi." Xin Jian tiba-tiba menyodorkan sebuah kain cadar padaku saat hendak keluar dari aula utama. Aku menatapnya. "Wajahmu tidak boleh sampai terlihat oleh ayahmu, kan?" Setidaknya kalau memakai cadar ini, kau tidak perlu menyembunyikan diri sampai membuat Xishui curiga." Aku mengangguk. Perkataannya ada benarnya. Aku menerima cadar itu dan memakaikannya menutupi separuh wajah. Kainnya lebih tebal dari cadar yang sebelumnya pernah kupakai. Ayah pasti tidak akan mengenaliku kalau aku menutup wajahku seperti ini. Meski pun mataku terlihat, Ayah tidak pernah benar-benar mengenalku sampai bisa menghafal bentuk mataku dan bagaimana caraku menatap. Xin Jian memapahku berjalan layaknya seorang suami yang mengkhawatirkan istri dan calon bayinya. Dalam situasi ini, aku tidak punya pilihan selain mengikuti tindakannya. Xishui mengantar kami sampau luar aula. Aku sebenarnya sedikit khawatir karena dia sedikit kesulitan berjalan karena kakinya mulai membengkak. "Cukup sampa

  • Ketika Sang Adipati Berlutut di Bawah Kakiku   Bab 137 : Suami Xishui

    1Sore hari itu salju benar-benar sudah mencair dan membuat jalan-jalan dipenuhi kubangan air kotor. Aku berjalan keluar dari kediaman dengan pakaian yang sedikit lebih mencolok daripada yang biasa kukenakan. Xin Jian berjalan di belakangku. "Kau mau ke mana?" "Temani aku menemui Xishui," aku menjawab singkat. Xin Jian menyejajarkan langkahnya dengan langkahku. Tatapannya terlihat bingung. "Berinisiatif menemuinya sendiri?"Aku menghentikan langkah dan menoleh padanya, tersenyum. "Kalau melihat penanggalannya, seharusnya dia sudah hampir tiba di hari kelahiran putranya, kan?"Karena dia adalah wanitanya ayahku, bukankah seharusnya aku lebih mendekatkan diri lagi padanya? Aku tidak akan membenci seseorang tanpa alasan. Dan aku hanya membenci keluarga itu saja. Dalam hal ini, Xishui jelas hanya korban. Dia bahkan sampai harus merelakan pekerjaannya yang gemilang dan kehidupan penuh gemerlap itu demi mengandung anak dari pria tua enam puluhan yang tidak tahu diri itu. Aku menghela n

  • Ketika Sang Adipati Berlutut di Bawah Kakiku   Bab 136 : Rumor

    Aku kembali ke ruang kerja dengan langkah pelan.Tak ada yang aneh di wajahku. Datar, tenang, seperti biasa. Tapi di balik lengan bajuku yang panjang, jemariku sedikit gemetar—bukan karena takut, tapi karena amarah yang dingin …, dan rasa bersalah yang terlalu lama tertahan.Sebagai kakak, apakah aku merasa bersalah?Tentu saja.Tapi perasaan itu sudah lama kukubur. Bersama jasadku yang berakhir tragis di kehidupan sebelumnya. Bersama air mata pertama yang kutahan saat dia menghukum mati aku dengan tangannya sendiri.Sekarang bukan waktunya menangis. Bukan waktunya menyesali darah.Kalau aku goyah sekarang, maka semua yang telah kulakukan … akan menjadi sia-sia.Aku duduk di kursi kerja, menatap tumpukan dokumen tanpa benar-benar membaca satu pun isinya. Pikiran ini terlalu tajam untuk teralihkan."Apa yang kulakukan …, bukanlah dosa," bisikku pada diriku sendiri, tanpa suara.Tapi jika benar itu dosa—biarlah aku jadi iblis pertama yang mengakuinya dengan kepala tegak."Apa rumor itu

  • Ketika Sang Adipati Berlutut di Bawah Kakiku   Bab 135 : Berpisah

    Setelah pembicaraan berakhir, aku segera menyuruh Xin Jian memanggil tabib untuk memeriksa kondisi Ying Qi, aku mungkin harus memaksanya meski pun dia selalu berkata tidak perlu. Tapi kali ini, dia tidak cukup berani untuk membantah setelah Xin Jian menatapnya tajam tanpa banyak bicara. Tatapan Xin Jian itu …, tajamnya seperti ingin mengulitinya hidup-hidup.Tabib itu datang tak lama kemudian, duduk di sisi tempat tidur sambil memeriksa nadi di pergelangan tangan Ying Qi."Dia memiliki daya tahan tubuh yang luar biasa," gumam sang tabib. "Dengan luka seperti ini, sebagian besar orang pasti akan sulit bergerak. Tapi dia …," Tatapannya sedikit heran, namun tak ada keberanian untuk bertanya lebih jauh. "Kalau istirahat cukup dan diberi ramuan penguat, ia akan pulih dengan cepat."Aku mengangguk singkat. "Bagus. Obati dan beri dia yang terbaik."Ying Qi tidak mengenalku. Hanya karena aku menyuruh Xin Jian mempekerjakannya, dia bersedia memberikan loyalitas yang sebesar itu padaku. Pengo

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status