"Xi'er, dia orangmu?" Ye Qingyu ikut berdiri terkejut. Aku mengangguk patah-patah. "Dia orangku.""Bawa ke kamar belakang." Xin Jian berseru. Aku menyetujui perintahnya. Ying Qi harus berbaring dan diperiksa lebih dulu. Setidaknya aku harus tahu seberapa parah luka itu sebelum menanyakan alasannya. Sesaat, aku melupakan Ye Qingyu yang sejak tadi berdiri xi belakangku dengan wajah khawatir. Aku menoleh ke belakang. "Ye Qingyu ….""Kau pergilah dulu bersama Xin Jian menemui orangmu. Aku akan melakukan hal lain." Ye Qingyu tersenyum tipis. Aku menatap ketidakrelaan di wajahnya. "Maaf, lagi-lagi aku merusak waktu kita berdua." Ye Qingyu terkekeh. "Sikapmu kembali melembut saat sedang serius rupanya."Aku menatapnya kesal. Ye Qingyu mengusap puncak kepalaku, tersenyum lebar. "Lakukan apa pun, urusan makan bersama, kita masih bisa melakukannya besok dan besoknya lagi." Aku mengangguk, sekilas melupakan kalimat menyebalkannya. Aku segera pergi ke ruang belakang, Xin Jian terlihat su
"Memasak?!" aku berseru terkejut. Chunhua terkekeh kecil. "Beliau bilang, ingin menyiapkan sesuatu yang beliau buat sendiri untuk Anda. Nyonya Muda, beliau sudah mengatakan itu sejak pukul lima pagi, hingga saat ini masih belum keluar dari dapur. Saya tidak yakin beliau mampu melakukannya ….""Memangnya dia tidak bisa memasak?" Aku mengernyit dalam. Aku masih ingat saat Ye Qingyu mengatakan bahwa kehidupan militer memaksanya menguasai banyak hal termasuk memasak. Tapi, kenapa dia sudah berada di dapur sejak pukul lima dan saat ini, telah berlalu dua jam lamanya. Aku menghela napas pelan, pura-pura tidak peduli. Paling-paling dia mengacaukan sesuatu. Tidak perlu terlalu peduli. Chunhua menarik tirai kamar sedikit dan mengintip. "Nyonya Muda, barangkali ingin memeriksa ke dapur sendiri?"Aku menoleh dengan cepat, merasa ada yang aneh dalam intonasinya. "Apa maksudmu?""Bukankah Anda meragukannya? Barangkali Anda ingin memastikan apakah Tuan Muda Ketiga benar-benar bisa memasak atau
Aku menahan tawa, meletakkan sumpitku sambil meliriknya dari ujung meja. "Kau terlalu serius sampai melupakan inspeksi terakhir yang penting itu, hanya karena khawatir aku hamil. Ye Qingyu, apakah kau benar-benar sedemikian ingin menjadi seorang ayah?"Ye Qingyu terbatuk kecil, memalingkan wajah sambil menyuap nasi. "Aku tidak menyangkal kalau aku akan sangat senang jika kau mengandung anakku." Ia tersenyum tipis. "Tapi saat ini …, yang paling kuinginkan hanyalah tetap bersamamu. Apa pun yang kau tentukan, aku akan mengikuti."Aku tersenyum tipis. Dia sangat pandai menjaga perasaanku, dan seolah mengerti semua hal yang aku inginkan. Dia bukan pria yang suka memaksakan kehendak. Aku …, sudah sangat merasa nyaman menyangang status sebagai istrinya.Aku menyeringai setelah suatu pembahasan muncul di kepalaku."Begitu?" aku menyandarkan dagu ke tangan, menatapnya tajam. "Lalu kalau aku ingin punya tiga anak, dua laki-laki satu perempuan?""Aku akan mencatatnya di pikiranku, dan mulai beke
Suasana hening. Cahaya lilin di dekat tempat tidur bergoyang pelan, membentuk bayang-bayang di dinding seperti lukisan usang yang nyaris kehilangan warnanya. Aku duduk memeluk lututku di sisi ranjang, mata masih menyimpan ampas air mata yang belum sempat hilang. Ye Qingyu masih duduk di sampingku. Tangannya—tangan yang tadi begitu hangat di rambutku—kini menggenggam jemariku erat."Aku akan mendampingimu," bisiknya. Suaranya serak dan tenang. "Apa pun yang kau lakukan, kemanapun kau pergi, entah kau membalas dendam, menumpahkan darah, atau memilih menyerah pada semuanya …, aku akan berada di sampingmu."Genggamannya lebih kuat. Jemariku, yang dingin, mulai hangat lagi.Aku menatap wajahnya. Tatapannya tidak berubah. Tidak ada ketakutan. Tidak ada amarah. Tidak ada kecewa. Yang kulihat hanya keteguhan hati. Seseorang yang benar-benar memilih untuk tetap tinggal."Ye Qingyu …," suaraku terdengar bergetar. Napasku tercekat."Kau sungguh tidak masalah meski telah mengetahuinya? Bahwa ak
Pelukan itu datang tiba-tiba. Hangat. Lembut. Tapi juga menyesakkan. Aku terdiam. Nafasku tercekat sesaat, dan detik berikutnya aku menunduk.Dengan suara tenang yang hampir tanpa intonasi, aku bertanya tanpa berbalik, "Apakah kau mendengar semuanya?""Aku mendengar semuanya," jawab Ye Qingyu. Suaranya tetap, tapi ada getir yang sulit disembunyikan.Ia tidak melepas pelukannya. Justru semakin erat. Saat kepalaku menyender ke dadanya, aku dapat dengan jelas merasakan detak jantungnya yang cepat. Mungkin apa yang dia dengar hari ini cukup membuatnya terkejut. Aku terkesan seperti sengaja menggunakannya sebagai alat untuk keegoisanku sendiri. Aku memejamkan mata sesaat. "Maafkan aku, Ye Qingyu ….""Maaf untuk apa?" Ye Qingyu menenggelamkan kepalanya di bahuku. "Jangan pernah meminta maaf untuk hal-hal yang tidak termasuk kesalahan, Jingxi.""Bukankah memanfaatkan orang lain adalah kesalahan?" aiu bertanya pelan, sebersit rasa malu melintas di pikiranku. Siapa lagi yang akan menanyakan
Aku kembali berdiri di sisi jendela, berusaha menghindari tatapan terkejut Xin Jian yang semakin membuatku memikirkan kembali kalimat itu. Udara di ruangan ini terlalu sunyi. Bahkan deru napasku sendiri terdengar menggema di telinga. Aku tak tahu harus merasa lega atau bersalah, karena telah menumpahkan semuanya begitu gamblang.Aku menghela napas pelan, matahari mulai tenggelam. Menyisakan cahaya keemasan yang menyiram halaman bersalju di samping kamarku. "Jingxi." Suara Xin Jian terdengar, aku melirik sedikit ke belakang, dia menyudahi posusi berlututnya dan berdiri menatapku. Aku menahan napas. Kenapa suara itu terasa seperti akhir dari sesuatu? Atau …, mungkin awal dari sesuatu yang bahkan lebih sulit diterima?Lantai kayu berderit pelan setiap kali Xin Jian melangkah, seolah waktu pun masih belum sepenuhnya berani bergerak setelah kalimat terakhirku.Perempuan itu mendekat perlahan, dan berhenti beberapa langkah dariku. Aku tidak membalikkan badan. Aku ingin tahu seberapa jau