Share

Bab 154 : Tamu Ibukota

Author: Xiao Chuhe
last update Last Updated: 2025-08-16 21:19:02

Langkah-langkah lembut terdengar menuruni panggung utama. Dari balik tirai sutra merah muda, Zhou Chuanyan turun dengan gerakan anggun, wajahnya disinari cahaya senja.

Senyumnya lembut, matanya berkilau, tapi aku tahu senyum itu penuh racun. Dan anehnya, semua tamu undangannya justru tersenyum dan memuji.

"Kakak …," sapanya, nada suara serak-serak manja tapi mengandung ironi yang tersamar rapi. "Kakak perempuanku akhirnya hadir juga. Aku sungguh khawatir kau tak sudi menengokku, setelah semua kesibukanmu di Kediaman Ye."

Aku membalas dengan anggukan tipis. "Mana mungkin aku tidak datang? Bagaimanapun, kau adikku, Chuanyan. Aku harus memberi selamat atas kesembuhanmu. Lagipula …, undanganmu ditulis dengan tinta emas, begitu memaksa hingga sulit untuk ditolak." Senyumku halus, tapi tatapan kami saling menusuk.

Sejenak tatapan para tamu teralih ke arah kami, memperhatikan interaksi yang penuh basa-basi namun terasa tajam seperti pisau tersembunyi.

Chuanyan menahan tawa kecil. "Kakakku
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Ketika Sang Adipati Berlutut di Bawah Kakiku   Bab 175 : Pemimpin Baru

    Barak besar di lapangan luas sisi timur berdiri muram dalam bayangan senja. Tak ada riuh sorak seperti di gerbang utama, di sini hanya sunyi yang menyayat telinga, seolah udara pun bahkan menolak bergerak. Langkah kakiku berat ketika memasuki ruangan, dan seketika pandanganku disergap oleh barisan prajurit wanita yang berjongkok di lantai, wajah mereka muram dan mata sembab. Ada sekitar tujuh ratus orang, aku tahu siapa mereka. Mereka adalah prajurit wanita yang dilatih sendiri oleh Xin Jian selama bertahun-tahun demi peperangan hari ini. Begitu melihatku, mereka spontan berdiri. Beberapa menunduk dengan mata basah, yang lain menatapku dengan sorot luka, seakan kepergian pemimpin mereka adalah luka yang tak bisa dijahit. Dada ini terasa diremas, napasku tercekat.Melihat mereka semua, membuatku tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Aku merasa bersalah karena gagal menjauhkan Xin Jian dari kematian. Di sisi lain, aku merasa senang karena sebagian besar dari mereka berhasil bertahan

  • Ketika Sang Adipati Berlutut di Bawah Kakiku   Bab 174 : Pemakaman

    Pemakaman Xin Jian digelar keesokan harinya. Langit Yangzhou masih kelabu, seakan turut berkabung. Asap dupa mengepul tipis, bercampur bau tanah basah dan anyir darah yang masih melekat di udara pasca perang. Gerbang kota yang semalam dipenuhi sorak kemenangan kini berubah senyap; ribuan pasang mata menunduk hening.Aku berdiri di depan keranda sederhana yang ditutup kain hitam. Jantungku berat, dadaku seperti diikat rantai besi. Semalam aku meraung, memeluk jasadnya sampai tubuhku sendiri hampir ikut membeku. Kini, aku harus merelakan dia berbaring di sini, di hadapan pasukan yang datang memberi penghormatan terakhir. Dadaku sesak. Aku merasa gagal. Takdir ini bagai tali besi yang tidak bisa kutarik, tidak bisa kuputuskan.Ye Qingyu berdiri di sampingku, wajahnya tegang. Tangannya sesekali mencoba meraih lenganku, tapi aku menghindar pelan. Bukan karena aku ingin menjauh darinya, melainkan karena aku takut kalau aku bersandar, aku akan benar-benar roboh. Ia hanya bisa memandangku

  • Ketika Sang Adipati Berlutut di Bawah Kakiku   Bab 173 : Duka Kemenangan

    "MENAAAANG!!!" Sorak sorai itu meledak di udara malam seperti guntur yang pecah. Dari puncak benteng hingga ke gerbang, suara ribuan pasukan yang bersorak bersatu menjadi gelombang yang mengguncang tanah. Aku berdiri tegak, tersenyum senang, air mata mengalir tanpa perlu kutahan lagi. Akhirnya. Setelah perjuangan selama berminggu-minggu, kemenangan berhasil kami rengkuh melakui tebasan Ayah Mertua di leher Jenderal Besar terakhir Kekaisaran Han. "Kita menang!" "Hidup Jenderal Besar!" "Hidup keluarga Ye!" Aku berlari ke gerbang untuk menyambut kepulangan para prajurit itu, jantungku ikut berdegup mengikuti teriakan itu. Api obor berkibar di kedua sisi jalan, memantulkan cahaya merah di wajah para prajurit yang kembali. Wajah penuh jelaga, pakaian compang-camping, darah menodai tubuh mereka. Tapi sorot mata mereka menyala, bangga, seakan semua luka dan lelah lenyap oleh satu kata, kemenangan. Aku melihat mereka berjalan masuk, barisan demi barisan, berbaris rapi mesk

  • Ketika Sang Adipati Berlutut di Bawah Kakiku   Bab 172 : Kemenangan?

    Aku duduk di sisi ranjang, kain basah di tanganku menempel lembut pada dahi Ye Qingyu. Matanya meremang, tapi masih berusaha terbuka setiap kali aku mengusap peluh di pelipisnya."Suamiku, kau harus minum obat." Aku mengangkat mangkuk kecil berisi ramuan hangat, menyentuhkan bibirnya perlahan dengan tepi mangkuk. Cairan itu pahit, aku tahu, tapi aku menahan tangannya supaya tidak menepis. "Kalau kau menolak, luka di dadamu tidak akan mengering."Dia menatapku samar, dan tersenyum—senyumnya yang menyebalkan itu sudah kembali. "Ah, melihatmu di sini saja sudah cukup membuatku merasa sembuh." Aku menatapnya dengan mata memicing. "Merasa sembuh dan sembuh sungguhan itu berbeda, Ye Qingyu. Kau harus meminumnya agar sembuh sungguhan."Dia terbatuk, tubuhnya berguncang. Aku segera menahan bahunya, menunduk begitu dekat hingga keningku hampir menyentuh wajahnya. Bau obat, bau besi, dan aroma tubuhnya yang masih asing bercampur jadi satu. "Kau lihat, merasa sembuh saja tidak cukup. Kau harus

  • Ketika Sang Adipati Berlutut di Bawah Kakiku   Bab 171 : Tempat Perempuan

    Udara di dalam tenda begitu pengap. Aroma herbal bercampur darah kering menusuk hidungku, membuat napas serasa berat. Aku masih menggenggam tangan Qingyu erat-erat, merasakan jemarinya yang dingin bergetar samar."Xi'er …," suara itu lirih, serak, hampir hilang ditelan dentuman jauh di luar perkemahan. Matanya terbuka hanya setipis celah, tapi cukup untuk menusuk dadaku dengan tatapan yang rapuh. "Xi'er, kenapa …, kau ada di sini?"Aku menunduk, air mataku jatuh satu-persatu ke perban yang melilit dadanya. "Aku tidak mungkin duduk diam di kediaman, YeQingyu. Aku istrimu. Tempatku ada di sini, bahkan jika dunia di luar runtuh sekalipun."Dia tersenyum tipis, tapi segera terbatuk. Darah merembes di sudut bibirnya. Tabib yang berdiri di dekat ranjang segera maju, melotot padaku."Nyonya Muda, saya menyarankan untuk tidak membiarkan Tuan Muda banyak bicara. Luka di dadanya terlalu dalam. Paru-parunya tertusuk. Setiap kata bisa memperburuk pendarahan."Aku tersentak. Tanganku refleks menut

  • Ketika Sang Adipati Berlutut di Bawah Kakiku   Bab 170 : Bertemu Ye Qingyu

    Kereta kuda itu melaju kencang meninggalkan kediaman Ye. Angin malam memukul wajahku, menusuk kulit, tapi sama sekali tidak mampu membekukan pikiranku yang mendidih. Chunhua duduk di hadapanku dengan wajah tegang, kedua tangannya menggenggam erat sisi kursi seolah takut aku sewaktu-waktu meloncat keluar."Nyonya Muda, perjalanan ini sangat berbahaya. Yangzhou sedang kacau. Bagaimana kalau kita tetap menunggu di kediaman saja? Saya yakin Tuan Muda Ketiga dan Nyonya Besar tidak akan suka melihat Anda berada di sana, Nyonya Muda," suaranya penuh kekhawatiran.Aku memejamkan mata, menahan sesak yang terus menghantam dadaku. "Kalau aku hanya duduk diam berpangku tangan di kediaman, aku hanya akan hidup dalam penyesalan karena tidak melakukan hal yang kumampu dalam hal ini.. Aku tidak bisa berdiam diri, Chunhua.""Tapi—""Tidak ada tapi!" aku menajamkan suara, membuka mata dan menatap lurus ke arahnya. "Aku adalah istri Jenderal Ketiga Ye. Jika aku gentar hanya untuk menempuh perjalanan ke

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status