Bab 74Garis Dua"Mas Gilang...."Pria itu menoleh. Aku melempar senyum sambil merentangkan tangan Keisha, mengajak putri kecilku untuk melambai. Bagaimanapun, mas Gilang adalah ayah kandungnya, dan aku tidak mau merusak hati dan pandangan polos Keisha tentang ayah kandungnya.Ayahnya memang pernah menyakiti kami, tetapi jangan sampai rasa dendam dan benci menyelimuti jiwa putriku yang masih bersih."Kayla." Pria itu mendekat, dengan masih memegang kardus di tangannya."Iya, aku mau belanja keperluan Keisha," ucapku."Aku akan membantumu belanja, tapi tunggu sebentar ya. Aku harus menata barang di kardus ini." Dia memperlihatkan isi kardus yang berisi satu merk mie instan."Aku duluan ke area perlengkapan bayi ya," pamitku."Iya, silakan." Pria itu mengangguk dan membiarkan aku pergi sambil mendorong troli. Sekilas aku melihat dia tergesa-gesa membereskan pekerjaannya."Keisha makan bubur bayi instan?" tanya mas Gilang saat mengamati troli di hadapanku yang sudah terisi dengan beberap
Bab 75Diluar Dugaan Aku belum menyelesaikan ucapanku, tapi tubuhku sudah melayang. Pria itu menggendong dan menciumku, lalu merebahkan tubuhku di pembaringan dengan sangat hati-hati.Kutatap wajahnya. Jarak diantara kami hanya tersisa satu jengkal. Dua titik bening itu membuat dadaku terasa sesak. Sebegitu inginkah dia memiliki seorang anak, sehingga sampai menangis? "Aku tidak menyangka, Sayang. Mas sama sekali tidak menyangka. Mas pikir Tuhan sudah menghukum Mas, karena lalai menjaga Shakila dan buah hati kami, tapi ternyata Allah begitu pemurah, masih mempercayakan kepada Mas untuk mendapatkan keturunan." Lagi-lagi pria itu menciumku, lalu mengusap perutku yang masih rata.Mas Ibra turut berbaring dengan posisi miring sembari terus memelukku."Kamu nggak perlu sebegitunya merasa bersalah, Mas. Semua yang sudah terjadi dalam hidupmu adalah takdir. Kita nggak bisa menghindari apa yang harus terjadi dalam hidup kita. Hidup itu terus berjalan dan sekarang di hidupmu ada aku, Keisha
Bab 76Ciuman Untuk GilangGilang memacu kendaraannya dengan kecepatan sedang. Hari sudah petang. Dia harus segera sampai di rumah sebelum maghrib tiba karena sudah janji dengan Gita malam ini untuk jalan-jalan.Di sebuah warung, ia membeli nasi bungkus untuk makan malamnya dan Gita."Sepertinya Kayla tidak tahu soal perceraianmu dengan Evan," ujar Gilang. Pria itu sudah sampai di rumah dan kini keduanya tengah makan bersama setelah selesai shalat magrib."Mungkin, tapi aku nggak peduli. Aku udah pasrah, Mas. Lagi pula perceraianku dengan Mas Evan bukan salah Mbak Kayla kok," sahut Gita."Iya, Mas tahu, tapi ini sebenarnya nggak adil.""Adil nggak adil sih, Mas." Gita tersenyum getir. Dia baru dua hari tinggal bersama sang kakak. Gita merasa nyaman, karena setidaknya ia punya teman yang bisa diajak bicara dan mau mengerti dirinya. Tidak masalah tempatnya yang sempit, yang penting mereka punya tempat untuk berteduh. Ini lebih baik daripada tinggal bersama ibu mereka yang terlalu bany
Bab 77Hormon KehamilanMatanya nanar melihat berkas yang disodorkan oleh Gita. Itu adalah surat adopsi dari panti asuhan yang mengatakan jika status Gita sebenarnya hanyalah adik angkatnya.Dia benar-benar tidak menyangka.Ingatan Gilang seketika menerawang. Sewaktu ia masih kecil, memang ayah dan ibunya pernah menitipkannya ke rumah kakek dan neneknya dalam waktu yang cukup lama, dengan alasan ayahnya akan membawa ibunya, mama Kumala untuk berobat keluar kota. Memang ada sedikit keanehan ketika ayah dan ibunya kembali menjemputnya. Seorang bayi mungil yang diakui ayahnya sebagai adiknya ikut serta bersama dengan mereka.Pikiran polos Gilang sama sekali tidak membantah. Dia hanya mengiyakan dan menyayangi adiknya sebagaimana layaknya seorang kakak. Apalagi bayi itu begitu cantik dan menggemaskan. Gilang bahkan ikut membantu mengurus adiknya, karena mama Kumala lebih sering pergi dan mengabaikan Gita. Gilang lah yang sering memandikan Gita, memakaikannya baju dan mendandaninya. Waktu
Bab 78Makan Lontong Sayur "Hah... lontong sayur?! Malam-malam begini?!" Pria itu mengerutkan kening, menatapku dengan pandangan horor."Iya Mas." Aku bergelayut manja di tangannya. "Ayolah, Mas. Belikan aku lontong sayur. Aku pengen makan itu...."Pria itu mengangguk, lalu meraih ponselnya. "Bentar ya, aku telepon Mas Yanto dulu...."Aku merebut ponsel itu dan melemparkannya ke atas ranjang."Aku itu pengen Mas sendiri yang beli, bukannya Mas Yanto. Kalau Mas Yanto mah, udah dari kemarin-kemarin aku suruh. Aku tuh pengen kamu yang membelinya buat aku!" Huh, dasar lelaki nggak peka. Bukankah dulu mantan istri pertamanya juga pernah hamil dan pernah ngerasain rasanya mengidam?Kok mas Ibra jadi begini sama aku? Apa dia udah nggak sayang lagi sama aku? Apa tubuhku jadi jelek saat hamil layak gini?"Sayang... tapi kan Mas belum mandi. Mas juga masih pusing habis lembur. Lain kali aja ya, Sayang. Pasti Mas belikan deh....""Aku pengen malam ini, Mas...."Aku benci air mata ini, tapi kena
Bab 79Perdebatan SengitKami membiarkan Fahda membeli roti bakar itu sebelum menggelendangnya masuk ke dalam mobil. Tak sepatah kata pun terlontar dari mulut Mas Ibra. Pria itu fokus dengan pandangannya ke depan. Kami memutuskan untuk mengantar Fahda terlebih dahulu dan berencana mengintrogasinya ketika sampai di apartemennya, kenapa malam-malam dia sendirian berbelanja makanan. Bukankah seharusnya dia bisa memesan makanan lewat layanan pesan antar?Fahda lagi hamil dan dia tidak boleh berkeliaran di luar, atau dia akan ketahuan publik."Kamu...!"Pintu terbuka dari dalam dan memunculkan sosok laki-laki yang tak ingin Mas Ibra temui.Hamzah, pria blasteran Arab Pakistan yang merupakan ayah biologis dari calon bayi yang tengah di kandung oleh adik angkat suamiku itu."Jangan kaget begitu, Ibra, seperti tidak pernah mengenalku saja. Ayo, masuk." Pria itu mempersilahkan bak seorang tuan rumah. Tingkahnya benar-benar menyebalkan."Sejak kapan kamu berada di sini?" Mas Ibra menatap tajam
Bab 80Jangan Menolakku, MasTidak mungkin aku menceritakan soal kegelisahan di hati ini kepada Mas Ibra, karena bagaimanapun ini adalah hal sensitif. Aku takut mas Ibra tersinggung dengan ucapanku. Keisha sudah mendapatkan kasih sayang, bahkan mas Ibra sekarang sedang membangun sebuah resort untuk Keisha. Seharusnya itu sudah lebih dari cukup. Masa iya aku harus mengganggu pikiran suamiku dengan hal seperti itu?Mungkin Hamzah benar. Anak sambung dan anak kandung itu beda, tapi kurasa mas Ibra sudah bersikap bijaksana. Buktinya ia membangun resort untuk Keisha, sementara Almeera Hotel dan Almeera Travel akan diwariskan kepada anak-anak kami kelak. Setidaknya pembagian aset seperti ini, bisa mencegah anak-anak rebutan warisan."Aku tidak apa-apa, Mas. Hanya lelah saja dan juga mengantuk. Ini sudah tengah malam, bukan?" alibiku."Kita akan segera sampai. Sebentar lagi ya." Pria itu menggunakan tangannya untuk menepuk bahuku, lalu kembali fokus dengan kemudinya. Sepuluh menit kemudian
Bab 81Beda Kasus"Loh, kamu...."Memorinya seketika memutar kembali ingatan berbulan-bulan yang lalu. Dia tidak menyangka niatnya untuk menemui Kayla di apartemen malah dipertemukan dengan wanita ini, wanita yang merupakan istri dari bos pemilik cafe tempat kerjanya dulu.Icha, istri Dicky. Lelaki yang pernah digodanya, karena waktu itu dia dipaksa oleh ibunya untuk mendapatkan uang yang cukup banyak untuk membeli rumah baru. Sebenarnya dia hampir berhasil menggoda pria itu, jika saja Icha tidak segera datang dan mengacaukan rencananya.Mungkin Icha, bahkan Kayla juga tidak tahu jika sebenarnya Dicky memiliki obsesi tertentu. Pria itu sebenarnya adalah pria setia dan suami yang baik, hanya saja sebagai lelaki, dia pasti menginginkan bisa memecah selaput perawan. Dicky ingin merasakan seorang perawan dan Gita berhasil merayunya. Mereka hampir saja melakukan itu, jika saja Icha tidak datang ke ruang kerja Dicky.Sebenarnya Icha merupakan wanita yang baik, hanya saja ada sesuatu hal yan