“Apa syaratnya?” Nisa terdiam entah syarat apa yang akan dia berikan, tapi apakah aku tidak sedang bermimpi dia benar-benar mengizinkanku untuk menikah lagi?
“Menikahlah bulan depan, jangan sekarang!” kata Nisa setelah itu dia meninggalkanku begitu saja, tanpa penjelasan apa pun lagi. Hanya itu syarat yang dia ajukan. Itu artinya tinggal 20 hari lagi. Aku menghentikan langkahnya yang semakin menjauh.
“Kamu mengikhlaskanku menikah lagi?”
“Iya.”
“Apa alasannya?”
“Apa itu perlu dijelaskan, bukannya Abang yang terus memaksaku buat setuju?” Nisa melepaskan lenganku dengan perlahan.
“Khalid nangis, aku ke atas duluan. Telepon saja calon istri Abang, pastikan dia bersedia.” Nisa mengusap pundakku dengan lembut. Senyumnya lagi-lagi mengembang sempurna. Aku tahu itu hanya senyum palsu,
“Belum tentu juga Santi mau jadi istri ke dua.” ucap istriku.“Siapa bilang?” Tentu saja dia mau kulihat dia sepertinya menyukaiku.“Kalau Santi malah menyuruh Abang menceraikanku. Apa yang bakal Abang lakukan?” Pertanyaan macam apa ini. Meski rasa cintaku pada Nisa kian memudar, tapi tak sampai hati kalau harus berpisah dengannya, terlebih anak-anakku.“Ah sudahlah enggak usah dibahas. Kemarin Abang menemukan obat di tumpukan baju Khalid, itu punya siapa?”“Obatku, Bang.”“Oh.”“Cuma Oh?”“Syukurlah Abang pikir Khalid yang sakit.”“Abang enggak mau tanya aku sakit apa?”“Bukannya kamu memang sering minum obat itu sejak melahirkan?” Nisa malah tersenyum, tapi di sana ada garis kecewa yang terukir jelas. Apa lagi ini, kenapa dia jadi begitu emosional?“Iya.”“Memangnya kam
“Sayang enggak boleh begitu, anak-anak saliha Mamah, harus berbakti sama siapa ya?”“Orang tua.” Mereka serentak menjawab.“Nah, orang tua Reina sama Raina siapa?”“Mamah sama Papah,” jawab mereka lagi.“Kalau begitu dijawab dong pertanyaan Papah. Dosa loh, masa orang tua lagi ngomong ditinggal. Nanti Allah enggak sayanglagi sama Reina dan Raina mau?”“Enggak mau.” Mereka langsung tertunduk lagi.“Sayang, Reina sama Raina memangnya kenapa kok enggak mau kalau salatnya diimami Papah?” Aku sudah gemas, langsung saja kutanyakan langsung. Si kembar ini bukannya cepat menjawab malah saling sikut satu sama lain“Kamu aja!”“Kamu aja!”“Aku enggak suka Papah dekat sama tante baju merah.” Tante baju merah … apakah yang dia maksud Santi? Dia menggunakan setelan merah waktu itu. Pandanganku
“Makan Bang, cobain!” Nisa menaruh potongan roti bakar di dekatku.“Enak.” Apa pun yang dia buat selalu enak. Semuanya sesuai dengan seleraku. Wanita di hadapanku hanya mengulum senyum. Kini tangannya beralih pada buah jeruk yang sudah terpotong jadi dua. Tangannya cekatan memeras buah jeruk itu hingga keluar sarinya.“Jus jeruknya Bang, bibirmu sariawan.”“Dari mana kamu tahu?”“Kita ini suami istri Bang, hal kecil kayak begitu aku pasti tahu.”“Perasaan aku enggak pernah kasih tahu kamu.”“Waktu tidur semalam mulut Abang terbuka. Aku jadibisa lihat ada luka di bibir Abang.” Refleks aku mengatupkan kedua bibirku yang kebetulan memang tengah terbuka.“Mangapnya ‘kan semalam Bang, bukan sekarang.” Kumakan saja roti bakar di depanku, dari pada jadi salah tingkah. Nisa hanya tersenyum melihatku yang makan sepotong roti dalam satu k
“Sa, beneran deh, nanti Abang susul kamu.” “Wassalamualaikum.” Telepon pun ditutup oleh Nisa. Aku tahu dia pasti kecewa, apa aku sudah keterlaluan? Ah sudahlah lebih baik segera pamit dan menyusulnya ke sana, lagi pula Santi juga tidak apa-apa. Aku pikir sakitnya parah. Aku segera kembali ke kamar Santi untuk mengambil tas kerjaku yang tertinggal di sana, sekalian pamit pulang juga, tapi sepertinya ada Ibunya Santi di dalam sana. Aku menghentikan langkah, tertahan di balik daun pintu saat melihat Santi dan Ibunya yang tengah berseteru. “Bagaimana sih Bu, aku jadi jatuh ‘kan?” Nisa terduduk di lantai, sepertinya dia terjatuh karena lantai yang licin. “Ibu ngepelnya sudah kering kok San.” Raut wajah sedih seorang Ibu terukir jelas di wajah tua perempuan itu. Tangannya berusaha membantu Santi berdiri tapi karena lantai yang licin Santi jadi terjatuh lagi. Aku refleks memajukan kakiku melangkah mendekati mereka tapi begitu Santi bersuara lagi
“Apa bener bini gue sakit, Ris?” Lagi-lagi Haris berdecak kesal.“Bisa-bisanya serumah sampai enggak ketahuan bini lu sakit, pada ngapain aja lu di rumah, heran gue!” Bukannya langsung menjawab saja pertanyaanku. Haris malah terus mengumpat. Membuatku semakin terpojok. Tidak bisa aku ungkiri perkataannya memang benar. Aku tidak bisa lagi buang waktu. Rasa khawatirku semakin memuncak, mengabaikan hujan lebat lengkap dengan angin yang bertiup kencang. Aku menerobos jalanan yang tampak sepi.“Di rumah sakit mana dia periksa?”“Ah, bodoh!” Saking emosinya kupukul setir mobil, merutuki kebodohanku yang lupa menanyakan alamat rumah sakit tempat dia check up. Mungkin di Mitra Sehat? Rumah sakit itu yang terdekat dari rumah. Kususuri jalanan barangkali Nisa ada di sana. Entah kenapa firasatku mendadak tak enak begini, entah karena khawatir atau merasa bersalah rasanya tak karuan. Sampai di rumah sakit. Aku l
“Memangnya kenapa kalau aku pergi? Bukannya abang punya istri baru yang lebih muda dariku?”“Kamu enggak akan pernah terganti Nisa, sampai kapan pun.” Kami terus berjalan menerobos hujan tapi tiba-tiba Nisa malah menghentikan langkahnya, mau tak mau aku juga ikut berhenti.Dia tersenyum, tampak ada ketulusan di sana.“Dengan Abang menikah lagi maka secara otomatis posisiku tergantikan.”“Tidak begitu Nisa.” Kugenggam tangan Nisa, mencoba membuatnya mengerti maksud dari ucapanku sebenarnya.“Udahlah lupakan aja, kita nikmati aja pernikahan monogami ini yang hanya tinggal beberapa hari lagi.”“Dari kemarin kamu selalu bilang beberapa hari, seolah kamu mau pergi jauh terus ga balik lagi, kenapa?”“Maksud Abang aku bakal melarikan diri gitu?”“Ya, jadi benar kan kamu mau pergi dari Abang?”“Enggak, tenang aja.” Nisa ke
Aku mulai menggantikan bajunya pelan-pelan, meski dia sedikit terganggu aku terus memakaikan pakaiannya, dia tak boleh kedinginan seperti ini. Setelah selesai, aku beranjak pergi ke kamar untuk mengambilkan selimut. Kalau aku saja begitu kedinginan apa lagi Nisa. Tapi begitu aku ingin menyelimutinya ternyata Nisa malah terbangun. “Tidurlah lagi, Sa.” “Nanti aja.” “Bagaimana udah enakkan?” “Hm, makasih ya.” Kuusap pucuk kepalanya pelan-pelan. “Sa, boleh Abang tanya sesuatu?” “Tanyalah Bang.” “Bagaimana hasil check up tadi? Sebenernya kamu ini kenapa, obat yang kemarin itu? Bukan obat yang diresepkan pas melahirkan Khalid, kan?” “Sejak kapan Abang jadi peduli begini.” “Abang kan suamimu.” “Memangnya abang lupa, waktu melahirkan Khalid ada pendarahan di rahimku, maka dari itu proses penyembuhannya butuh waktu yang lebih lama.” “Kenapa kamu enggak pernah bilang.” “Gak pernah bilang?” Nisa mal
“Bagaimana Pak? kami memerlukan persetujuan Bapak untuk melakukan tindakan lebih lanjut?”“Apa risiko terburuknya setelah pengangkatan rahim dok?”“Istri Bapa tidak bisa mendapatkan keturunan lagi.”“Bukannya dokter bilang waktu istri saya melahirkan. Enggak perlu sampai melakukan operasi pengangkatan rahim, lalu kenapa sekarang malah melakukannya?”“Istri Bapak beruntung waktu melahirkan dulu, pendarahannya bisa kami tangani dengan baik. Ini karena pasien rutin memeriksakan kandungannya sejak dini, jadi tak sampai melakukan tindakan pengangkatan rahim. Sebagian pasien plasenta akreta bahkan banyak yang langsung diangkat rahimnya setelah melahirkan.”“Apa penyebabnya, kenapa bisa pendarahan lagi?”“Biasanya setelah melahirkan pasien tidak di sarankan melakukan aktivitas yang berat dan ....” Dokter itu malah menjeda ucapannya, dia malah menatap wajahku seperti