Kami terus berjalan bergandengan, menyusuri trotoar jalanan kota Purwakarta. Kami memang masih tinggal di sini. Mengingat Zifia masih belum pulih, juga Santi yang masih bermalam di kota ini. Entah dia tinggal di mana, dari sekian banyak tempat kenapa harus bertemu dengannya di sini. Semoga Tuhan tak bermaksud menjadikan kami berjodoh, karena itu berarti untuk kesekian kalinya. Aku akan membuat perempuan di sampingku terluka lagi dan lagi. Sengaja kuayunkan lengan kami, menikmati ramainya kota yang letaknya bersebelahan dengan kota tempat kami tinggal, semilir angin sejuk memeluk kami di pagi hari.
“Dingin?” tanyaku.
“Hmm.” Wanitaku mengangguk.
“Cari sarapan dulu ya sambil ngeteh.”
“Boleh.” Kuraih pundaknya, hingga tak ada lagi jarak yang tersisa diantara kami, wajahnya malah tertunduk lalu tersenyum malu-malu, tenggelam dalam dada bidangku yang merengkuhnya. Bisa kulihat dengan jelas di pantulan cermin toko
“Aku kan udah bilang Abang gak perlu lakuin ini! Kenapa Abang malah nekat? Sekarang aku sama siapa? Aku bener-bener sendirian.”Samar-samar kudengar suara perempuan terus mengoceh. Sepertinya letaknya tak jauh, tetapi karena telingaku yang sedikit berdengung jadi membuyarkan segalanya. Benarkah kamu takut kehilanganku, Sa? Sebagai apa, papahnya anak-anak atau suamimu? Aku masih berusaha membuka mata yang asih terasa berat sedang wanita di sampingku masih saja terus menangisi diriku, ah dia pikir aku selemah itu, hanya donor darah saja akan membuatku kehilangan nyawa.Rendah sekali penilaianmu padaku Nisa!“Abang jahat tahu gak, di saat aku benar-benar ingin...hiks hiks hiks.”Akhirnya aku berhasil membuka mataku pelan-pelan, bisa kulihat dengan jelas kalau wanita itu benar-benar Nisa, dia tengah duduk di sampingku sembari menunduk ke dekat lenganku.Kuusap pucuk kepalanya den
Baru saja kaki ini melangkah beberapa kali, tiba-tiba sosok laki-laki dengan perawakan tinggi datang mendekat ke arah Nisa, dari kejauhan bisa kulihat laki-laki itu seolah tengah memberi kekuatan pada Nisa. Entah apa yang mereka bicarakan terlalu sakit untuk mendekat bahkan jika itu hanya satu langkah.Kau tak butuh aku kah Nisa? Jika memang kamu bahagia bersama dia, aku ikhlas!“Bang Irwan, tunggu!” Baru saja kuputar tubuh ini untuk kembali ke mobil. Suara perempuan yang amat akrab di telinga, malah berteriak memanggilku. Gegas kuputar kembali badanku menghadap ke arah sumber suara.“Abang!” Kenapa, ada apa sebenarnya mata Nisa mengembun, lalu tak lama dia malah berlari ke arahku.“NISA!” Hampir saja dia tertabrak motor yang melintas dengan cepat.Bukannya segera menghindar Nisa malah tetap berdiri mematung di tengah jalan. Dia ini kenapa, raut wajahnya kenapa begitu frustasi? Bahunya bahkan sampai naik turun. Pengend
Sejenak kami menikmati saat kedua mata itu saling menatap. Kami sama-sama rindu, tetapi kenapa rasanya sulit sekali bersatu. Aku tahu bukankah kamu juga rindu Sa, dari sorot mata aku bisa tahu ada kerinduaan yang mendalam.Kenapa malah memilih jalan yang sulit, kalau kita bisa kembali? Masih ada waktu sebelum sidang keputusan itu di gelar seminggu lagi.“Masih ada waktu Sa, pikirikan semuanya baik-baik! Datang ke persidangan sekali saja, aku pamit. Jaga kesehatan ya!” ucapku.“Boleh kucium keningmu sekali Sa ....”“Enggak, berhenti jadi orang yang enggak tahu diri!”“Kenapa memangnya? Aku bakal lakuin apa pun selagi itu bisa membuatmu kembali.”“Anda pikir saya akan luluh dengan semua perlakuan anda, enggak semudah itu.”“Mudah, selama masih ada cinta di hatimu, aku gak akan menyerah.”“Terserah, hiduplah semau Anda!”Nisa pun pergi meneruskan langkahnya yang sempat t
“Bangun!” Suara lembut Nisa membangunkan tidurku, bisa-bisanya aku tidur di sini“Anda mau bangun atau mau saya panggilkan satpam?”“Astaghfirrullah Sa, kamu kok jadi kejam begini?”“Kenapa memangnya? Ini rumah saya, saya berhak menentukan siapa yang boleh masuk,” ucapnya.Aku tahu Sa, kamu hanya sedang berpura-pura kejam. Lihatlah dirimu! Kau bahkan tak berani menatap wajahku, kalau memang benar-benar membenci harusnya kau melihat ke arah mataku memandang, agar aku tahu dengan jelas kalau kamu tengah menantang. Kalau begini, kamu hanya membuatku gemas saja Nisa. Kamu tak cocok berperan jadi wanita jahat.“Kenapa Anda tersenyum?”“Kamu lebih cocok akting jadi bidadari." Dia sedikit mendecak, lalu tak lama mengerlingkan matanya malas, tangannya kini mulai bergerak membuka gembok.“Mau ke mana?” tanyaku.“Macul!”“Hahhaha." Dari sekian banyak kata kenapa juga dia harus
Kata-katanya itu, yang dia ucapkan barusan kenapa begitu menusuk, kalau kamu bisa mempercayaiku sedalam itu lalu kenapa kamu malah jatuh cinta lagi pada wanita lain.“Benar kan kamu yang menyuruhnya ke sini!”Ah perasaan ini kenapa juga mataku tiba-tiba menghangat, kubanting daun pintu dengan keras, menutupnya tanpa peduli dia masih berdiri di luar sana.Tapi tangan Bang Irwan secepat kilat menahan agar pintu itu tak cepat tertutup.“Pergi saya bilang! Anda gak mengerti bahasa manusia! Kalau saya bilang pergi ya pergi!”“Saya akan pergi, kalau kamu berhenti berpura-pura, untuk apa merendahkan dirimu demi membuatku cemburu Nisa?”“Iti hakku! Anda tidak punya hak mengatur hidup saya!”“Cukup Nisa!” Bang Irwan menarik tubuh ini, menenggelamkan pada dada bidang miliknya.“Mau sampai kapan
Luka ini belum pulih seutuhnya, tapi kamu malah hadir membawa belati, menusuknya semakin dalam, mengoyak hingga perih kembali mendera.~~Aku menyerah pada takdir, kalau hanya aku yang berjuang bagaimana bisa rumah yang tiang-tiangnya sudah rapuh di makan usia tetap kokoh berdiri. Apalagi yang kamu lakukan dengan sengaja merobohkan satu persatu tiang itu tanpa kenal ampun pada akhirnya rumah itu akan runtuh, tinggal menunggu waktu. Terlalu banyak kata maaf yang terucap. Sejenak biarkan aku menyendiri, merenungi nasib diri yang juga berhak bahagia. Tak ada pernikahan yang sempurna, akan datang masa di mana kesakitan menyelimuti hari. Memang menyesakkan, tetapi selagi raga mampu di gerakkan maka kehidupan akan terus berjalan.Aku pernah meyakini, ini hanya tentang ujian, bukan akhir sebuah ikatan suci. Sekali lagi, pasti bisa di perbaiki tentu saja harus bisa di kembalikan seperti semula. Kuulangi kalimat itu setiap hari, jam , hingga waktu