Share

Bertemu Lagi

Author: YuRa
last update Last Updated: 2025-09-25 10:00:10

Sesaat setelah senyum itu muncul, Dennis menatapnya lekat-lekat, nyaris tanpa berkedip.

“Pasaran, ya?” gumamnya pelan, suaranya rendah tapi cukup untuk membuat Saras merinding. “Aneh sekali, soalnya menurutku wajahmu terlalu istimewa untuk sekadar mirip orang lain.”

Saras terdiam, bibirnya kelu.

Dennis mencondongkan tubuh sedikit, suaranya menurun, nyaris seperti bisikan.

“Dan ada sesuatu di matamu yang membuatku yakin, kita memang pernah bertemu. Hanya saja entah kenapa, aku tidak bisa mengingat di mana.”

Ia lalu menarik diri ke belakang, kembali berdiri tegak dengan ekspresi santai, seolah kalimat barusan tak lebih dari obrolan ringan.

“Tidak apa-apa,” ujarnya datar, senyum tipis masih tergantung di bibirnya. “Mungkin nanti aku akan mengingatnya.”

Saras menunduk cepat, pura-pura merapikan berkas di meja untuk menyembunyikan wajahnya yang pucat. Tapi di dalam hati, kegelisahan itu makin menjadi-jadi.

Setelah kalimat menggantung itu, Saras hanya bisa menunduk, pura-pura sibuk menata katalog. Jantungnya berdegup tak beraturan, seakan seluruh tubuhnya menolak keberadaan pria itu terlalu dekat.

Dennis terdiam beberapa detik, menatapnya dengan sorot mata yang sulit ditebak. Lalu, tanpa mengatakan apa-apa lagi, ia berbalik. Langkah-langkahnya terdengar mantap di lantai showroom, menjauh perlahan hingga lenyap di antara deretan mobil.

Saras menggenggam ujung meja begitu erat hingga buku jarinya memutih. Ada firasat kuat dalam dirinya, pertemuan ini bukanlah kebetulan.

Bahkan setelah pria itu menghilang dari pandangan, Saras tetap merasa seolah dia masih ada, mengawasinya dari balik bayangan.

“Siapa dia, Saras?” tanya Rina, matanya berbinar penuh rasa penasaran.

Saras menghela napas panjang, berusaha menyingkirkan rasa gelisah yang terus menempel sejak pertemuannya dengan Dennis.

“Aku juga nggak tahu, Rin. Tapi rasanya ada yang janggal.”

“Janggal gimana maksudmu?”

Saras menggigit bibirnya, mencoba merangkai kata.

“Waktu di minimarket, dia memang sempat memperhatikanku. Tapi tadi tatapannya berbeda. Seolah dia sudah tahu sesuatu tentang aku.”

Rina mengernyit.

“Maksudmu, dia seperti mengenalmu?”

“Itu dia masalahnya.” Saras menggeleng pelan, wajahnya tegang. “Aku yakin belum pernah bertemu dengannya sebelumnya. Tapi tatapan itu seperti seseorang yang sengaja mencari aku.”

Rina kini melipat tangan di dada, ekspresinya serius. “Jadi menurutmu, dia siapa? Bisa jadi dia memang tertarik sama kamu.”

Saras menoleh cepat, suaranya terdengar lebih keras dari yang ia maksud.

“Bukan itu, Rin! Waktu di minimarket aku lihat jelas, dia datang sama anak dan istrinya. Jadi jelas dia sudah berkeluarga. Aku nggak mungkin mikir ke arah itu.”

Rina mengangkat alis. “Oh, jadi kamu yakin yang bersamanya itu istrinya?”

“Ya, mereka saling panggil papa-mama. Anak mereka pun ada,” jawab Saras sambil mengendikkan bahu. Tapi raut wajahnya tetap muram.

Ia menarik napas panjang sebelum melanjutkan, suaranya merendah. “Aku cuma punya firasat buruk. Pertemuan ini sepertinya bukan kebetulan.”

Rina menatapnya beberapa detik, lalu menepuk bahunya pelan.

“Kalau gitu, kamu harus hati-hati. Jangan gampang percaya sama orang asing. Apalagi kalau dia terlihat terlalu tertarik sama kamu.”

Saras mengangguk pelan.

“Iya. Aku juga nggak mau cari masalah. Apalagi tadi aku jelas melihat istrinya menatapku sinis seperti aku sengaja cari perhatian suaminya.”

“Jangan sampai kamu tergoda suami orang.” Rina mengingatkan sahabatnya itu.

Ia terdiam sejenak, lalu melanjutkan dengan suara serak, hampir seperti pengakuan.

“Aku merasakan sendiri bagaimana rumah tanggaku dulu hancur karena orang ketiga, Rin. Itu sakitnya nggak terbayangkan. Aku nggak mau, aku nggak akan pernah, jadi orang yang merusak rumah tangga orang lain.”

Keheningan menyelimuti mereka. Hanya suara ramai showroom yang terdengar samar, tapi di dada Saras, rasa was-was itu tetap tak kunjung reda.

***

Keluar dari dealer, Dennis memasang wajah tenang, bahkan sempat menyapa sekuriti dengan senyum tipis. Tapi begitu masuk ke mobil dan pintu tertutup rapat, senyum itu lenyap.

Tangannya meremas setir, matanya menatap lurus ke depan, kosong.

Saras, nama itu bergaung di kepalanya, tak bisa diusir.

Ada sesuatu pada perempuan itu. Bukan hanya wajahnya yang familiar, tapi juga sorot matanya. Sorot yang seakan menyimpan cerita atau rahasia.

Dennis menarik napas panjang, mencoba mengingat. Ia merasa pernah melihat tatapan itu sebelumnya, di masa lalu yang entah kapan. Tapi semakin ia paksa, semakin kabur bayangan itu.

“Aneh sekali,” gumamnya pelan. “Kenapa aku merasa dia bukan orang asing?”

Ia menutup mata sejenak, membiarkan potongan-potongan ingatan melintas, suara tangisan bayi samar, aroma rumah sakit, lalu wajah samar seorang perempuan muda. Tapi gambaran itu buyar sebelum ia bisa mengaitkannya dengan Saras.

Dengan kasar, Dennis memukul setir. “Kenapa aku nggak bisa ingat jelas?”

Hening kembali memenuhi kabin mobil. Namun dalam hening itu, ada satu hal yang pasti, Saras bukan sekadar kebetulan. Dan Dennis tahu, ia tidak akan berhenti sampai menemukan jawabannya.

*

Saras menghentikan langkahnya begitu melihat sosok Dennis berdiri di depan kantor. Jantungnya langsung berdegup tak karuan.

Apa yang dia lakukan di sini?

Langit sore sudah menggelap, lampu jalan mulai menyala satu per satu. Hanya beberapa karyawan yang masih sibuk di dalam dealer, sementara jalanan di depan kantor tampak lengang. Suasana itu justru membuat bulu kuduk Saras meremang.

Dennis berdiri santai, bersandar di mobil hitamnya yang berkilau. Kedua tangannya terselip di saku celana, seolah tak terburu-buru. Begitu mata mereka bertemu, senyum tipis terukir di wajahnya, senyum yang membuat Saras semakin yakin bahwa pria itu memang menunggunya.

“Kita bertemu lagi,” ucap Dennis dengan nada santai, seakan pertemuan ini sesuatu yang biasa.

Saras mengeratkan genggamannya pada tas yang ia bawa.

“Pak Dennis? Ada yang bisa saya bantu?”

Dennis melirik jam tangannya sekilas, lalu kembali menatapnya tajam.

“Aku hanya ingin berbicara sebentar. Kamu sudah selesai kerja, kan?”

Ada jeda sejenak. Saras menelan ludah, mencoba menjaga suaranya tetap tenang.

“Apa ada yang penting, Pak?”

Senyum Dennis mengembang lebih lebar, namun sorot matanya menyiratkan sesuatu yang tak bisa ditebak.

“Anggap saja aku penasaran tentang kamu, Saras.”

Kata-kata itu meluncur pelan, tapi cukup untuk membuat hawa di sekitar mereka terasa semakin menekan.

“Maaf, Pak. Saya buru-buru,” kata Saras, melangkah setengah mundur dengan gugup.

Dennis mencondongkan tubuh sedikit, matanya tak lepas dari wajahnya.

“Aku antar, ya?”

Pertanyaan sederhana. Namun Saras tahu, jika ia menjawab iya, maka ada pintu masalah baru yang terbuka. Masalah yang bisa menghantuinya seumur hidup.

“Jangan, Pak. Maaf, saya mau pulang sekarang,” ucapnya hati-hati, menolak sehalus mungkin agar pria itu tak tersinggung.

Saat itu juga, suara motor berhenti tepat di depan mereka. Seorang driver ojek online menurunkan kaca helmnya dan bertanya sopan,

“Dengan Kak Saras?”

“Iya.” Saras segera meraih helm yang disodorkan, memasangnya dengan cepat. Sebelum naik motor, ia menoleh sejenak ke arah Dennis.

“Terima kasih, Pak.”

Dennis tak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan, senyum samar menggantung di bibirnya. Namun tatapan matanya, tatapan itu tajam, penuh tanya, seakan ingin menembus balik helm yang kini melindungi wajah Saras.

Motor melaju, menjauh di jalanan sore yang kian temaram. Tapi Dennis masih berdiri di tempat, matanya mengikuti hingga hanya tinggal siluet lampu belakang yang memudar dalam gelap.

Baru setelah itu ia berbalik menuju mobilnya. Namun pikirannya tertinggal, tersangkut pada bayangan wajah dan suara Saras.

“Kenapa aku merasa seperti pernah melihatnya? Tapi kapan dan dimana?”

Dennis meraih ponselnya, menekan satu nama yang sudah lama jadi andalannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ketika Takdir Menyapa   Ingin Hidup Tenang

    Begitu pintu apartemen terbuka, aroma lembut kayu dan kopi langsung menyambut mereka. Ruangan itu luas, rapi, dengan pencahayaan hangat dan sentuhan modern minimalis.Saras tak bisa menyembunyikan kekagumannya. “Tempatnya indah sekali,” gumamnya tanpa sadar.Dennis menatapnya dengan senyum samar. “Aku sering ke sini kalau lagi suntuk, banyak pikiran, atau butuh waktu buat tenang,” katanya sambil meletakkan kunci mobil di meja kecil dekat pintu.Saras hanya mengangguk pelan. Matanya menelusuri ruangan itu, rak buku dengan deretan novel dan dokumen, jendela besar dengan tirai abu-abu, dan cahaya sore yang masuk lembut dari balik kaca.Apartemen ini terasa asing, tapi entah kenapa menenangkan.Dennis mengisyaratkan Saras untuk duduk di sofa lembut berwarna krem.“Mau minum apa? Teh, kopi?” tanyanya dari dapur kecil di sisi ruangan.“Air putih saja, Pak,” jawab Saras, suaranya masih terdengar hati-hati.Dennis mengangguk. “Baik.”Ia melangkah menuju dapur, membuka lemari kaca dan menuan

  • Ketika Takdir Menyapa   Terlihat Kuat

    Mobil Dennis berhenti di depan sebuah supermarket yang masih ramai meski sore mulai meredup. Lampu-lampu di dalamnya berpendar hangat menembus kaca depan mobil.“Ayo turun,” kata Dennis pelan.Saras menoleh cepat. “Saya mau langsung ke kantor, Pak. Nanti dimarahi Bu Dita.”Dennis tersenyum tenang. “Jangan khawatir, kamu aman.”“Aman bagaimana?” Nada Saras meninggi sedikit, menunjukkan kekesalannya.Dennis menatapnya, sorot matanya lembut tapi dalam. “Kamu cantik kalau marah,” katanya begitu saja.Saras terdiam sejenak, wajahnya langsung memanas. Ia berusaha menutupi kegugupannya dengan mendengus pelan. “Bapak ini, bisa aja.”Dennis tertawa kecil. “Kamu bahkan lebih cantik waktu berusaha menahan senyum.”Saras meliriknya, antara malu dan kesal. Ia membuka pintu mobil lebih cepat, mencoba mengakhiri momen canggung itu. “Saya turun duluan.”Tapi sebelum ia sempat keluar sepenuhnya, Dennis menahan dengan suara yang lebih lembut, nyaris berbisik,“Saras, jangan salah paham. Aku cuma in

  • Ketika Takdir Menyapa   Ikut Terjebak

    Suasana restoran siang itu awalnya terasa canggung. Hanya denting sendok dan musik lembut yang terdengar di antara mereka bertiga, Dennis, Saras, dan tentu saja Aldo.Namun perlahan, percakapan ringan mulai mencairkan udara. Saras berusaha menata nada suaranya, menahan debar yang tak mau tenang setiap kali Dennis menatapnya.Dennis menatap Saras dengan pandangan yang sulit dijelaskan, tajam, namun hangat. Aldo, di sisi lain, hanya memperhatikan. Dalam hati ia ingin pindah meja, tapi Saras melarang. "Takut fitnah," katanya pelan.Perbincangan santai terus berlanjut, sesekali ada tawa kecil diantara mereka. Aldo permisi untuk ke belakang sebentar.Tiba-tiba, suara nyaring seorang perempuan memecah suasana.“Oh, jadi ini perempuan yang menggantikan Risa? Aku kira lebih dari Risa. Ternyata seleramu rendah juga, Dennis.”Dennis spontan menoleh. Wajahnya menegang. Saras mematung, darahnya seakan berhenti mengalir.Perempuan setengah baya itu berdiri di ambang restoran, tatapannya tajam Wik

  • Ketika Takdir Menyapa   Bertemu Dennis

    “Dennis…” suara Clarissa pecah, “aku tahu aku salah. Aku tahu aku sudah melukai kalian.”Namun Dennis hanya menghela napas, tanpa menoleh.“Kamu bukan cuma melukai aku, Clar. Kamu juga membuat anak kita belajar kecewa terlalu cepat.”Air mata Clarissa jatuh tanpa ia sadari. Tangannya gemetar, seolah tubuhnya sendiri menolak kenyataan itu.Ia ingin menjelaskan, ingin membela diri, tapi setiap kata terasa sia-sia. Semua yang dulu ia miliki, cinta, keluarga, rasa dihargai, kini terasa seperti bayangan yang perlahan menghilang.Dennis berdiri, mengambil piring Alvin dan membawanya ke dapur. “Aku akan tidurkan Alvin,” katanya singkat, lalu pergi tanpa menoleh.Clarissa menatap punggung suaminya yang menjauh, dan untuk pertama kalinya ia menyadari,keheningan bisa lebih menyakitkan daripada pertengkaran.“Pa, Mama sudah nggak sayang Alvin. Mama lebih sayang pekerjaan.”Suara Alvin pelan, tapi tajam, seperti pisau kecil yang menembus diam di ruang keluarga itu. Matanya berkaca-kaca, bibirnya

  • Ketika Takdir Menyapa   Gagal Sebagai Ibu

    Pagi itu suasana ruang kerja Dennis terasa berbeda. Biasanya wajahnya kaku dan tegang, tapi kali ini ada senyum samar yang belum juga hilang sejak tadi. Aldo, yang memperhatikan dari sisi meja, tak bisa menahan rasa heran.“Pak, sepertinya Anda tampak bahagia hari ini?” tanyanya hati-hati, memilih nada serendah mungkin agar tak menyinggung.Dennis menghentikan ketikan di laptopnya, lalu menoleh. Tatapannya tenang, tapi ada cahaya disana, sesuatu yang sudah lama tak Aldo lihat.“Kamu tahu, Aldo,” ujarnya pelan, namun ada nada ringan dalam suaranya, “ternyata Saras bekerja di perusahaan Papa. Aku bertemu dengannya kemarin.”Senyum kecil muncul di wajah Dennis, senyum yang bukan dibuat-buat. Sekilas, lelaki itu tampak seperti dirinya yang dulu, sebelum amarah dan kekecewaan menutup semua sisi lembutnya.Aldo mengangguk pelan, setengah terkejut, setengah mengerti. “Pantas saja,” gumamnya lirih, nyaris hanya untuk dirinya sendiri.Ia menatap bosnya itu diam-diam. Dalam hati, ia tahu nama

  • Ketika Takdir Menyapa   Pembalasan

    “Saras, ayo kita ke ruangan Pak Handika. Data dan laporan yang aku minta kemarin sudah selesai dikerjakan belum?”Suara Dita terdengar tegas, tapi hangat, saat ia menutup laptop dan berdiri dari kursinya.“Sudah, Bu. Semua sudah selesai,” jawab Saras cepat, senyum tersungging di bibirnya.Sejak pertama kali melangkah ke perusahaan itu, semangat Saras seakan tak pernah padam. Setiap hari baginya adalah kesempatan baru untuk belajar dan tumbuh. Lingkungan kerja yang bersahabat, rekan-rekan yang suportif, dan atasan yang bijak membuatnya merasa dihargai lebih dari sekadar karyawan biasa.Dita dan Pak Handika, dua nama yang begitu berarti baginya. Bagi Saras, mereka bukan hanya atasan, melainkan mentor yang membentuknya menjadi pribadi yang lebih kuat, lebih percaya diri.“Benny, Pak Handika ada?” tanya Dita sambil melangkah cepat ke arah meja resepsionis. Saras menyusul di belakangnya, membawa map tebal berisi laporan.Benny, asisten sekaligus orang kepercayaan Pak Handika, segera berdir

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status