Memastikan mereka sudah pergi, aku segera ke warung Mbak Mira untuk berbelanja bahan pesanan martabak telur. Benar-benar kumanfaatkan uang pemberian ayah mertua untukku.
"Mbak, bahan martabak telur seperti biasanya ya?""Siap, Rin. Jualan lagi?" Tanya Mbak Mira sambil menyiapkan pesananku."Ada pesanan, Mbak. Alhamdulillah masih ada rejeki untukku!""Alhamdulillah, Rin. Kamu hebat bisa bertahan di keluarga super aneh. Bapak mertua kamu aja nggak tahan, kamu masih bertahan!" Aku tersenyum mendengar ucapan Mbak Mira. Siapapun pasti menyayangkan dengan sikapku yang tetap bertahan."Bagaimana lagi, Mbak. Kita lihat kedepannya saja, jika masih sanggup ya aku lanjutkan. Tapi, jika suatu saat nanti aku sudah lelah, maka aku akan mundur!" Mbak Mira tersenyum dengan rencanaku. Memang begitulah rencanaku. Aku hatus menabung demi masa depanku, setidaknya aku bisa lebih sukses setelah melepaskan ikatan pernikahan yang cukup menyakitkan ini.Usai mengemas pesananku aku segera pulang dan meracik semuanya. Tidak butuh waktu lama, martabak telur siap kugoreng. Aroma telur ketika digorenh tentu membuatku lapar. Aku selesaikan semua pesanan Bu Asti sebelum aku sarapan. Kumasukkan satu persatu ke dalam mika seukuran supaya lebih rapi. Bahkan aku juga sudah mencuci semua wadah bekas pembuatan martabak telur supaya tidak ada yang curiga. Tepat sebelum dhuhur, aku mengantarkan pesanan Bu Asti ke musholah yang dekat dengan rumah.[Assalamu alaikum, Bu. Pesanan sudah saya kirim ke mushollah][Terima kasih, Arin. Uangnya saya titipkan di Mbak Mirah. Bisa diambil langsung]Gegas aku ke warung Mbak Mirah untuk mengambil uang yang dititipkan Bu Asti sekalian membeli nasi bungkus yang dijual Mbak Mira."Mbak, nasi cumi satu ya," aku mengambil satu nasi bungkus dengan lauk cumi hitam. Lauk cumi yang paling kusukai apalagi dimasak pedas."Rin. Ada titipan dari Bu Asti!" Mbak Mira mengeluarkan sebuah amplop dan satu kantung kresek berwarna hitam yang entah berisi apa.Aku terkejut saat membuka pemberian Bu Asti, terdapat beberapa camilan dan gula. Aku sungguh tidak enak karena Bu Asti sampai mengirim seseuatu untukku."Jangan merasa nggak enak ya, Rin. Bu Asti memang begitu, meski berjualan mainan di sekolahan tetapi orangnya sangat dermawan!" Mbak Mira mengambilkan air putih dan sendok untukku. Aku menikmati sarapan sekaligus makan siang di warung Mbak Mira."Terima kasih, Mbak Mira," nasi cumi hitam benar-benar enak sekali. Biasanya aku hanya makan seadanya di rumah. Kadang sisa lauk dari ibu mertua yang tidak habis. Aku bisa merasakan makanan enak saat berjualan di sekolah, hanya saja tidak bisa bertahan lama.Usai menikmati nasi cumi, aku kembali ke rumah. Kusimpan gula di tempatnya dan camilan di kamarku. Nanti akan kunikmati saat aku sedang lapar.Sekitar pukul dua siang, aku mendengar suara deru mobil memasuki halaman rumah. Tidak perlu aku membukan pintu karena mereka semua sudah membawa kunci cadangan."Arin!" Aku gegas keluar setelah mendengar teriakan Ibu mertuaku. Aku terkejut melihat belanjaan Ibu mertua dan Stellah cukup banyak."Bukankah tadi pamitnya hanya membeli sepatu? Sedangkan Ibu hanya membeli tas, tapi kenapa jadi sebanyak ini?" Aku hanya bisa bergumam melihat sikap mereka. Apalagi hari ini Stella tidak libur sekolah namun rela bolos demi bisa berbelanja."Ngapain bengong disitu? Cepat ambilkan aku air dingin!" Begitulah Ibu mertuaku jika menyuruhku. Aku segera mengambil segelas air dingin dan memberikan kepada Ibu mertua."Untuk aku mana?" Gemas sekali aku melihat Stella. Jika saja dia bukan adik iparku, mungkin aku sudah mengacak-acak rambutnya dan menjambaknya.Aku gegas kembali ke dapur dan mengambil satu gelas air dingin dan kuberikan kepada Stella yang sibuk melihat belanjaannya."Siapkan makan!""Makanan apa, Bu? Aku saja tidak punya uang untuk belanja makanan."Sengaja aku berpura-pura tidak memiliki uang. Enak saja, punya uang buat foya-foya giliran lapar minta gratisan."Dasar, miskin!" Aku berlalu meninggalkannya dan ke dapur melihat asinan mangga yang kubuat semalam. Benar-benar segar jika sudah masuk ke lemari es. Asinan mangga tanpa campuran buah apapunMuncul ide untuk menjual asinan dengan menitipkan ke warung Mbak Mira. Siapa tahu akan ada pembeli yang minat dengan asinan milikku. Aku ke warung Mbak Mira membeli plastik kemasan untuk mengemas asinan manggaku."Mbak Mira, aku boleh titip sesuatu nggak?""Titip apa, Rin? Titip aja nggak apa-apa. Kalau laku kan lumayan!" Aku senang sekali mendengar Mbak Mira mengijinkanku menitipkan dagangan padanya.Usai mendapatkan plastik kemasan, aku segera pulang untuk mengemas asinan mangga. Betapa terkejutnya ketika mereka berdua melahap asinan manggaku hingga tinggal setengahnya."Kenapa Ibu dan Stella menghabiskan jualanku?" Aku benar-benar emosi pada kedua wanita beda generasi ini."Apa masalahmu?" Kulihat Ibu mertua berkacak pinggang di depanku.BrugStella mendorong kuat tubuhku hingga terjengkang dan kepalaku terbentur dinding. Sedikit nyeri sebenarnya. Terlintas ide untuk mengerjai mereka. Aku pura-pura memejamkan kedua mataku."Stel, si Arin mati!" Aku mendengar suara Ibu mertua panik. Aku merasakan Stella mendekat ke arahku dan meletakkan tangannya ke hidungku."Masih nafas, Bu. Paling juga pingsan," Stella terlihat santai melihatku pingsan. Benar-benar anak otaknya miring sebelah."Kita bawa ke kamarnya aja!" Stella dan Ibu mertua mengangkat tubuhku ke kamar. Aku menyipitkan kedua mataku melihat Ibu mertua panik.Setelah melihat mereka keluar dari kamarku, aku duduk bersandar. Setidaknya aku bisa beristirahat hari ini tanpa gangguan apapun. Setidaknya sampai Mas Angga pulang."Stel, jika Arin tidak bangun juga saat Angga pulang bagaimana? Apa dia marah nantinya pada kita?""Aku mana tahu, Bu. Lihat saja nanti!""Apa? Bisa-bisanya kamu bilang seperti ini. Jika nanti Arin gila dan hilang ingatan bagaimana?""Ibu kenapa sih heboh dari tadi!""Kamu sih pakai dorong-dorong segala!" Masih terdengar jelas percakapan mereka yang khawatir dengan nasibku."Kan Stella bantuin Ibu!" Stella tetap merasa tidak bersalah."Iya juga sih, tapi kalau begini bagaimana?" Ibu mertua masih panik sampai saat ini.Sebenarnya aku ingin tertawa, tetapi bagaimana jika ketahuan. Kubiarkan menahan tawa dengan kedua mata memejam. Jaga-jaga jika mereka tiba-tiba datang ke kamarku."Aku mau telponan sama pacarku dulu, Bu. Malas ngurus beginian!"Kudengar Stella bilang mau menelpon pacarnya. Pasti Ibu mertua panik sendiri di luar kamarku. Menjelang sore kudengar deru motor Mas Angga datang. Pasti Ibu akan heboh bercerita karena aku pingsan."Angga, tadi Arin terjatuh dari kamar mandi dan pingsan!" Benar-benar pintar berbohong Ibu mertuaku ini. Jelas-jelas aku didorong Stella sampai kepala kebentur dinding, eh malah berpura-pura ini kesalahanku."Masa sih, Bu?""Iya, lihat aja di kamar. Arin belum sadar!" Aku memejamkan kedua mataku ketika Mas Angga masuk ke kamar. Kurasakan tangan Mas Angga menyentuh tanganku."Rin, Arin. Bangunlah, Rin!" Aku masih berpura-pura memejamkan mata."Belum sadar ya, Ngga? Mungkin nanti malam sadarnya, Ngga!" Ingin sekali aku tertawa karena perkiraan Ibu mertuaku ini. Sungguh lucu jika sedang panik begini.Mas Angga dan Ibu mertua kemudian meninggalkan aku. Aku bisa bernafas lega karena hanya ada aku sendiri di kamar ini.TingSebuah pesan masuk ke ponselku. Untung saja Mas Angga dan Ibu mertua sudah keluar dari kamarku.[Rin, Stella digrebek satpol PP]Hampir satu tahun pernikahan, kehidupan rumah tanggaku nyaris sempurna. Rizky begitu perhatian dan memberiku banyak cinta. Meski sampai sekarang aku belum mendapatkan tanda-tanda kehamilan, Rizky tidak pernah menanyakan atau membahas buah hati. Disini kami hanya berusaha dan berikhtiar. Urusan buah hati, mutlak kuasa Allah.Usaha Rizky semakin hari semakin berkembamg pesat. Penginapan dan restoran hampir tidak pernah sepi. Sekarang dia membuka usaha baru berupa minimarket."Melamun aja," lagi-lagi dia melingkarkan kedua tangannya di perutku ketika aku sedang menatap indahnya pagi hati di balkon. Meski usaha bertambah, tetapi untuk tempat tinggal kami masih sama. Hanya ada renovasi sedikit membuat area balkon di teras rumah. Balkon untuk tempat aku bertanam. Aku menyibukkan diri dengan bertanam sayur di balkon selain membuat asinan buah andalanku."Kok sudah pulang, Mas?" Hendak aku lepaskan kedua tangannya yang melingkar di perutku, tetapi dia malah mengeratkan pelukannya."Aku bosnya
Baru saja Stella tenang, kami kembali dikejutkan dengan keramaian warga di depan rumah. Kami semua keluar rumah kecuali Pak Hadi yang menjaga Stella di dalam kamarnya."Dia menculik Stella dari rumah sakit!" "Hadi gila!" Brak brak brakBu Marni benar-benar tidak beretika sama sekali. Harusnya dia masuk dan bicara baik-baik. Malah sebaliknya, berteriak di luar seperti orang kesetanan ditambah pakaiannya yang compang camping. Masih terlihat bekas kecelakaan di kepalanya. "Bu Marni, apa yang anda lakukan disini?" Terpaksa aku bertanya atas tujuannya datang kemari."Lihatlah! Dua orang wanita ini adalah selingkuhan Hadi. Dan dua lelaki di sampingnya adalah anak buah Hadi. Hahahahah!" Aku merasa ada yang aneh dengan keadaan Bu Marni saat ini. Mas Anton meraih ponselnya dan menghubungi seseorang. Entah siapa yang akan dihubungi."Bu Marni yang cantik dan baik hati!" Seketika senyum Bu Marni mengembang karena rayuan Mas Anton. "Kita duduk dulu disana yuk! Kita minum teh bareng!" Bu Marni
Hari ini hari minggu bertepatan dengan jadwalnya kepulangan Stella dari rumah sakit. Aku dan Mbak Mira sudah berencana untuk mengantar makanan matang saat mereka bertiga sampai di rumahnya supaya Bu Asti tidak lagi memasak makanan sepulang dari rumah sakit. Sejak subuh aku sudah berkutat dengan beberapa menu makanan. Ada sayur lodeh, bakwan jagung dan ayam goreng. Menu inilah yang nantinya akan aku bawa ke rumah Pak Hadi. Sedangkan Mbak Mira bertugas membuat jajanan pasar atau cemilan lainnya."Sayang!" Selalu saja mengejutkanku dari belakang dengan kedua tangan yang melingkar di perutku."Ada apa? Aku sedang masak, jadi belum bisa diganggu!" Sahutku sambil mengaduk sayur lodeh yang mulai mendidih."Nggak ada apa-apa. Seneng aja peluk kamu dari belakang!" Sesekali dia mencium leher jenjangku jika sudah seperti ini."Sudah nanti aja cium-ciumnya. Duduk saja di kursi, biar semua masakan ini cepat selesai!" Akhirnya dia duduk di kursi. Desain dapur mirip seperti mini bar membuatku selal
Bu Endang kembali pulang, namun mulutnya tidak berhenti menggerutu karena gagal mendapat info dari kami. Aku lihat sesekali dia merapikan jambul kebanggaannya ketika berpapasan dengan warga. Begitulah sosok Bu Endang di kampung kami yang mirip sekali dengan wartawan."Akhirnya si Nenek gayung pulang juga!" Celetuk Mbak Mira melihat Bu Endang yang pergi meninggalkan warung Mbak Mira. "Iya, pengen aku lurusin aja itu jambulnya!" "Jadi apa nanti kalau jambulnya lurus!" Kami semua tertawa usai melihat aksi Bu Endang. Kami menikmati sajian makan siang dari Mbak Mira. Sungguh, ini sangat enak sekali. Aku lihat, Rizky juga sangat menikmati gulai nangka muda buatan Mbak Mira, sama seperti Mas Anton. Lauk apapun akan enak rasanya asalkan ada gulai nangka. Sepertinya aku harus belajar resep ini pada Mbak Mira supaya aku bisa memuaskan perut Rizky."Mbak juga sudah siapkan di rantang untuk kalian bawa pulang!" Ternyata di sampingku sudah ada rantang berisi gulai nangka."Ah, terima kasih Mbak
Sesuai dengan rencana kami sebelumnya, Rizky mengantar aku, Mbak Mira dan juga Bu Asti ke rumah sakit sebelum bekerja. Awalnya dia berencana untuk tetap ambil cuti, hanya saja ada pertemuan penting dengan salah satu rekannya hari ini. Terpaksa Rizky mengurungkan niatnya menemani kami semua. Mbak Mira dan Bu Asti membawakan baju ganti kepada Mas Anton dan juga Pak Hadi. Tidak lupa makanan juga sudah disiapkan para istri dari rumah. Kami menikmati sarapan di ruang tunggu kecuali Pak Hadi yang memilih sarapan di dalam ruang rawat inap."Apakah semalam Stella sudah sadar, Mas?" Tanyaku pada Mas Anton. "Sudah, tetapi hanya sebentar saja setelah itu kembali tertidur!" Sahut Mas Anton. Pasti Pak Hadi merasa terpukul melihat kondisi anaknya saat ini."Semalam Stella bahkan menangis dan meminta maaf kepada ayahnya!" Berita ini benar-benar cukup membahagiakan. Apalagi Stella meminta maaf kepada Ayahnya. Selama ini jarak Stella dengan Pak Hadi cukup jauh. Itulah sebabnya Stella sering membanta
Keesokan harinya, Rizky sudah kembali bekerja di salah satu restoran miliknya. Sedangkan aku, menikmati kegiatanku membuat asinan sebagai kesibukanku di rumah. Rencana nanti sore, aku dan Rizky akan berkunjung ke warung Mbak Mira sekalian mengirim asinan buatanku.Sore sepulang kerja, aku dan Rizky berkunjung ke warung Mbak Mira. Kami menggunakan motor matic karena lokasi tidak terlalu jauh. Kedatangan kami disambut hangat oleh Mas Anton, Pak Hadi dan Mbak Mira. Aku melihat rumah mantan suamiku sudah terlihat bersih. Mungkin sudah laku oleh pembelinya."Pengantin baru, jalan-jalan pakai motor biar tambah romantis!" Celetuk Mas Anton membuatku malu."Kau selalu menggodaku, Bang!" Sahut Rizky sambil melempar kulit kacang ke arah Mas Anton. Mereka berdua sudah seperti kakak adik."Mbak, ini ada tiga puluh bungkus!" Aku meletakkan semua asinan milikku di lemari es yang ada di warung. "Siap, Arin!" Sahut Mbak Mira tengah sibuk mengaduk teh.Tiba-tiba terdengar suara ramai dari salah satu