Share

Bab 4. Razia

Memastikan mereka sudah pergi, aku segera ke warung Mbak Mira untuk berbelanja bahan pesanan martabak telur. Benar-benar kumanfaatkan uang pemberian ayah mertua untukku.

"Mbak, bahan martabak telur seperti biasanya ya?"

"Siap, Rin. Jualan lagi?" Tanya Mbak Mira sambil menyiapkan pesananku.

"Ada pesanan, Mbak. Alhamdulillah masih ada rejeki untukku!"

"Alhamdulillah, Rin. Kamu hebat bisa bertahan di keluarga super aneh. Bapak mertua kamu aja nggak tahan, kamu masih bertahan!" Aku tersenyum mendengar ucapan Mbak Mira. Siapapun pasti menyayangkan dengan sikapku yang tetap bertahan.

"Bagaimana lagi, Mbak. Kita lihat kedepannya saja, jika masih sanggup ya aku lanjutkan. Tapi, jika suatu saat nanti aku sudah lelah, maka aku akan mundur!" Mbak Mira tersenyum dengan rencanaku. Memang begitulah rencanaku. Aku hatus menabung demi masa depanku, setidaknya aku bisa lebih sukses setelah melepaskan ikatan pernikahan yang cukup menyakitkan ini.

Usai mengemas pesananku aku segera pulang dan meracik semuanya. Tidak butuh waktu lama, martabak telur siap kugoreng. Aroma telur ketika digorenh tentu membuatku lapar. Aku selesaikan semua pesanan Bu Asti sebelum aku sarapan. Kumasukkan satu persatu ke dalam mika seukuran supaya lebih rapi. Bahkan aku juga sudah mencuci semua wadah bekas pembuatan martabak telur supaya tidak ada yang curiga. Tepat sebelum dhuhur, aku mengantarkan pesanan Bu Asti ke musholah yang dekat dengan rumah.

[Assalamu alaikum, Bu. Pesanan sudah saya kirim ke mushollah]

[Terima kasih, Arin. Uangnya saya titipkan di Mbak Mirah. Bisa diambil langsung]

Gegas aku ke warung Mbak Mirah untuk mengambil uang yang dititipkan Bu Asti sekalian membeli nasi bungkus yang dijual Mbak Mira.

"Mbak, nasi cumi satu ya," aku mengambil satu nasi bungkus dengan lauk cumi hitam. Lauk cumi yang paling kusukai apalagi dimasak pedas.

"Rin. Ada titipan dari Bu Asti!" Mbak Mira mengeluarkan sebuah amplop dan satu kantung kresek berwarna hitam yang entah berisi apa.

Aku terkejut saat membuka pemberian Bu Asti, terdapat beberapa camilan dan gula. Aku sungguh tidak enak karena Bu Asti sampai mengirim seseuatu untukku.

"Jangan merasa nggak enak ya, Rin. Bu Asti memang begitu, meski berjualan mainan di sekolahan tetapi orangnya sangat dermawan!" Mbak Mira mengambilkan air putih dan sendok untukku. Aku menikmati sarapan sekaligus makan siang di warung Mbak Mira.

"Terima kasih, Mbak Mira," nasi cumi hitam benar-benar enak sekali. Biasanya aku hanya makan seadanya di rumah. Kadang sisa lauk dari ibu mertua yang tidak habis. Aku bisa merasakan makanan enak saat berjualan di sekolah, hanya saja tidak bisa bertahan lama.

Usai menikmati nasi cumi, aku kembali ke rumah. Kusimpan gula di tempatnya dan camilan di kamarku. Nanti akan kunikmati saat aku sedang lapar.

Sekitar pukul dua siang, aku mendengar suara deru mobil memasuki halaman rumah. Tidak perlu aku membukan pintu karena mereka semua sudah membawa kunci cadangan.

"Arin!" Aku gegas keluar setelah mendengar teriakan Ibu mertuaku. Aku terkejut melihat belanjaan Ibu mertua dan Stellah cukup banyak.

"Bukankah tadi pamitnya hanya membeli sepatu? Sedangkan Ibu hanya membeli tas, tapi kenapa jadi sebanyak ini?" Aku hanya bisa bergumam melihat sikap mereka. Apalagi hari ini Stella tidak libur sekolah namun rela bolos demi bisa berbelanja.

"Ngapain bengong disitu? Cepat ambilkan aku air dingin!" Begitulah Ibu mertuaku jika menyuruhku. Aku segera mengambil segelas air dingin dan memberikan kepada Ibu mertua.

"Untuk aku mana?" Gemas sekali aku melihat Stella. Jika saja dia bukan adik iparku, mungkin aku sudah mengacak-acak rambutnya dan menjambaknya.

Aku gegas kembali ke dapur dan mengambil satu gelas air dingin dan kuberikan kepada Stella yang sibuk melihat belanjaannya.

"Siapkan makan!"

"Makanan apa, Bu? Aku saja tidak punya uang untuk belanja makanan."

Sengaja aku berpura-pura tidak memiliki uang. Enak saja, punya uang buat foya-foya giliran lapar minta gratisan.

"Dasar, miskin!" Aku berlalu meninggalkannya dan ke dapur melihat asinan mangga yang kubuat semalam. Benar-benar segar jika sudah masuk ke lemari es. Asinan mangga tanpa campuran buah apapun

Muncul ide untuk menjual asinan dengan menitipkan ke warung Mbak Mira. Siapa tahu akan ada pembeli yang minat dengan asinan milikku. Aku ke warung Mbak Mira membeli plastik kemasan untuk mengemas asinan manggaku.

"Mbak Mira, aku boleh titip sesuatu nggak?"

"Titip apa, Rin? Titip aja nggak apa-apa. Kalau laku kan lumayan!" Aku senang sekali mendengar Mbak Mira mengijinkanku menitipkan dagangan padanya.

Usai mendapatkan plastik kemasan, aku segera pulang untuk mengemas asinan mangga. Betapa terkejutnya ketika mereka berdua melahap asinan manggaku hingga tinggal setengahnya.

"Kenapa Ibu dan Stella menghabiskan jualanku?" Aku benar-benar emosi pada kedua wanita beda generasi ini.

"Apa masalahmu?" Kulihat Ibu mertua berkacak pinggang di depanku.

Brug

Stella mendorong kuat tubuhku hingga terjengkang dan kepalaku terbentur dinding. Sedikit nyeri sebenarnya. Terlintas ide untuk mengerjai mereka. Aku pura-pura memejamkan kedua mataku.

"Stel, si Arin mati!" Aku mendengar suara Ibu mertua panik. Aku merasakan Stella mendekat ke arahku dan meletakkan tangannya ke hidungku.

"Masih nafas, Bu. Paling juga pingsan," Stella terlihat santai melihatku pingsan. Benar-benar anak otaknya miring sebelah.

"Kita bawa ke kamarnya aja!" Stella dan Ibu mertua mengangkat tubuhku ke kamar. Aku menyipitkan kedua mataku melihat Ibu mertua panik.

Setelah melihat mereka keluar dari kamarku, aku duduk bersandar. Setidaknya aku bisa beristirahat hari ini tanpa gangguan apapun. Setidaknya sampai Mas Angga pulang.

"Stel, jika Arin tidak bangun juga saat Angga pulang bagaimana? Apa dia marah nantinya pada kita?"

"Aku mana tahu, Bu. Lihat saja nanti!"

"Apa? Bisa-bisanya kamu bilang seperti ini. Jika nanti Arin gila dan hilang ingatan bagaimana?"

"Ibu kenapa sih heboh dari tadi!"

"Kamu sih pakai dorong-dorong segala!" Masih terdengar jelas percakapan mereka yang khawatir dengan nasibku.

"Kan Stella bantuin Ibu!" Stella tetap merasa tidak bersalah.

"Iya juga sih, tapi kalau begini bagaimana?" Ibu mertua masih panik sampai saat ini.

Sebenarnya aku ingin tertawa, tetapi bagaimana jika ketahuan. Kubiarkan menahan tawa dengan kedua mata memejam. Jaga-jaga jika mereka tiba-tiba datang ke kamarku.

"Aku mau telponan sama pacarku dulu, Bu. Malas ngurus beginian!"

Kudengar Stella bilang mau menelpon pacarnya. Pasti Ibu mertua panik sendiri di luar kamarku. Menjelang sore kudengar deru motor Mas Angga datang. Pasti Ibu akan heboh bercerita karena aku pingsan.

"Angga, tadi Arin terjatuh dari kamar mandi dan pingsan!" Benar-benar pintar berbohong Ibu mertuaku ini. Jelas-jelas aku didorong Stella sampai kepala kebentur dinding, eh malah berpura-pura ini kesalahanku.

"Masa sih, Bu?"

"Iya, lihat aja di kamar. Arin belum sadar!" Aku memejamkan kedua mataku ketika Mas Angga masuk ke kamar. Kurasakan tangan Mas Angga menyentuh tanganku.

"Rin, Arin. Bangunlah, Rin!" Aku masih berpura-pura memejamkan mata.

"Belum sadar ya, Ngga? Mungkin nanti malam sadarnya, Ngga!" Ingin sekali aku tertawa karena perkiraan Ibu mertuaku ini. Sungguh lucu jika sedang panik begini.

Mas Angga dan Ibu mertua kemudian meninggalkan aku. Aku bisa bernafas lega karena hanya ada aku sendiri di kamar ini.

Ting

Sebuah pesan masuk ke ponselku. Untung saja Mas Angga dan Ibu mertua sudah keluar dari kamarku.

[Rin, Stella digrebek satpol PP]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status