Aku merasa ayah sangat kecewa dengan Stella dan istrinya. Sangat kentara ketika menghubungiku barusan. Ayah mana yang rela anak gadisnya belum lulus sekolah sudah berpacaran dengan pria seusia dengannya.
"Kasihan ayah," aku menggeleng pelan, menyayangkan sikap Stella dan Ibu mertua.Menjelang sore tidak kulihat Stella dan Ibu mertua di ruang tamu atau ruang keluarga. Padahal, biasanya mereka lebih banyak menghabiskan waktu di ruang keluarga sambil menonton televisi jika sedang tidak keluar.Pekerjaanku membuat asinan akhirnya selesai menjelang jam pulang Mas Angga. Sengaja membuatnya lebih dulu karena besok aku harus menyiapkan pesanan Pak Parno. Selanjutnya aku memasukkan ke dalam lemari es untuk diantar besok. Usia menyelesaikan semuanya, gegas aku membersihkan diri dan membuat mie instan untukku.Mie instan hanya dengan campuran sawi yang kutanam di dalam pot. Sederhana namun sudah sangat mengenyangkan untukku."Kamu makan sendiri, Rin?" Aku terkejut melihat Ibu mertua melihatku menikmati mie instan sendiri."Arin cuma punya satu, Bu. Tidak mungkin harus Arin bagi, karena sedang lapar, Bu!" Aku melirik sekilas ke arah ibu mertuaku. Sungguh lucu, mirip anak yang ingin marah karena tidak kebagian makanan.Ibu berlalu entah kemana. Hanya kudengar suara pintu depan ditutup kasar olehnya. Sampai sore ini, Stella juga tidak kunjung keluar. Entah apa yang dilakukannya di kamar.Tidak berapa lama suara deru motor Mas Angga datang. Aku menyambutnya dan berlalu begitu saja. Memang tidak ada lagi yang harus ku lakukan untuknya. Masak juga tidak karena nggak ada nafkah.Wajahnya terlihat pucat dan lesu hari ini. Entah apa yang terjadi padanya."Kamu kenapa, Mas?" Dia menyandarkan tubuhnya di sofa sambil memijid pelipisnya."Pergi sana, jangan ikut campur!" Kemudian dia pindah ke kamarnya.Gemas sekali aku mendengarnya, aku sengaja berniat baik padanya supaya hatinya bisa kembali lembut seperti dulu. Sengaja tak kuhiraukan lagi dan duduk di teras menikmati indahnya malam. Tiba-tiba saja Ayah mertua datang, wajahnya sangat muram sekali. Aku rasa akan ada perdebatan besar di rumah ini."Arin, apakah semua ada di rumah?""I-iya, Ayah. Semua ada di rumah, kecuali Ibu."Tanpa basa basi, ayah masuk ke rumah, entah siapa yang ditemuinya terlebih dahulu. Aku menguping meski berada di depan pintu."Kemana ibumu, Angga? Cepat cari ibumu sekarang juga!" Mas Angga tidak bisa membantah perintah ayah sehingga memilih keluar mencari keberadaan Ibunya.Ayah kemudian ke kamar Stella dan mengetuk pintu kamarnya. Jantungku berdegup kencang, khawatir jika Ayah sampai marah-marah atau bertindak kekerasan kepada Stella."Stella, cepat keluar! Ayah mau bicara!" Stella membukakan pintu setelah ayah memanggilnya. Stella dengan wajah cemberut karena terpaksa menemui Ayahnya, kini berjalan ke ruang keluarga berhadapan dengan ayah. Tatapan ayah terlihat seperti sedang menyelidiki."Kamu hamil?" Aku hampir tersedak mendengar pertanyaan ayah. Bisa-bisanya Ayah mertua mengajukan pertanyaan seperti itu pada Stella."Tidak, hanya prasangka ayah saja!" Sahut Stella tanpa menatap wajah Ayah.Tidak ada sopan-sopannya menjawab pertanyaan ayah. Padahal ayah kandung yang ingin tahu kondisi anak perempuannya. Ayah mertua menatap postur tubuh Stella penuh seksama. Seperti ada tanda yang aneh dari tubuh Stèlla. Begitulah kira-kira yang menjadikan Ayah seperti ini."Jawab dengan jujur!" Suara Ayah mertua terdengar lebih keras. Aku dan Stella sama-sama terkejut karena selama ini tidak pernah mendengar ayah sekeras ini berbicara. Kulihat wajah Stella tidak berani menatap Ayahnya dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Aku merasa jika Ayah sudah mengetahui sesuatu mengenai Stella.CeklekIbu mertua datang membawa satu kantong kresek entah berisi apa. Wajahnya muram mendengar suara mantan suaminya yang berteriak."Apa yang kamu lakukan pada Stella?" Wajahnya terlihat angkuh dan marah melihat kedatangan mantan suaminya."Anak perempuan ini hamil!" Kedua mata Ibu mertua membola sempurna."Tidak mungkin, Stella bisa menjaga harga dirinya!" Begitulah Ibu mertua yang akan membela Stella meski salah."Tanyakan saja pada anakmu!""Tidak perlu, lebih baik kamu pergi. Aku tahu apa yang pantas untuk anak-anakku!" Ayah kecewa bercampur kesal. Terpaksa ayah keluar dari rumah ini. Aku juga sangat menyayangkan sikap Ibu mertua pada Stella.Kini tinggal berdua, Stella duduk di samping Ibu mertua. Sangat terlihat sekali jika dirinya sedang gelisah. Aku heran, Mas Angga tidak terbangun atau keluar kamar saat ayah membentak Stella seperti itu. Ah, mungkin saja dia sakit atau apa."Kamu benar hamil?" Ibu mertua menatap Stella. Benar saja, Stella baru mengakuinya dengan anggukan kepala. Sungguh sanhat menyedihkan sekali nasib Stella. Belum lulus sekolah sudah harus merasakan menjadi Ibu sebentar lagi."Tapi Stella nggak mau hamil, Bu?" Ibu mertua mendekap Stella yang menangis sesenggukan."Tenang saja, besok kita ke temannya Ibu. Kita gugurkan kandungan kamu!"Sungguh pemikiran di luar nalar. Bisa-bisanya Ibu mertua memberikan usul yang cukup mengerikan. Setelah menyetujui hubungan terlarang Stella, kini Ibu mertua akan merencanakan menggugurkan kandungan Stella."Bagaimana jika Mas Angga tahu?" Stella sepertinya takut dengan Mas Angga."Jangan pikirkan Angga. Nanti jika sudah selesai, kamu pacaran lagi dan minta rumah sama Priyono. Biar kita bisa punya rumah sendiri!"Aku menepuk jidatku. Bersyukur sekali aku memiliki Ibu yang penyayang. Tidak pernah sekalipun memaksa kehendak kepada anak-anaknya sendiri.Kugelar sajadah berwarna cokelat, kulantunkan harapan untuk kebaikan keluargaku dan keluarga suamiku. Sungguh aku tidak ingin jika nanti anak turunku memiliki sikap yang sama seperti ipar dan mertuaku.Kulihat jam dinding menunjukkan pukul delapan malam dan gegas aku membeli bahan untuk pesanan Pak Parno. Tidak masalah besok belum bisa memulai gelar lapak lagi di depan sekolahan karena memang ada pesanan yang harus dikerjakan."Mbak, bahan kue dan martabak telur ya!" Mbak Mira gegas menyiapkan semua kebutuhan untuk membuat kue."Belum tidur, Rin?""Baru juga jam delapan, Mbak. Sekalian nyiapin untuk pesanan besok!""Semoga lancar dan sukses ya. Ngomong-ngomong kamu udah beneran nggak jualan di sekolahan lagi?""Sebenernya masih ingin sekali dan rencanaku besok lusa. Aku juga sudah bilang Mas Angga kalau akan nekat jualan di depan sekolahan karena dia nggak pernah ngasi nafkah ke aku!""Bagus deh, semangat terus buatmu, Rin!" Memang belum lama saling mengenal tetapi menurutku Mbak Mira sosok kakak yang baik. Mbak Mira selalu mendukung semua keinginanku selagi masih dalam hal positif. Usai belanja aku memasukkan semua ke dalam lemari dapur. Rencana usai sholat subuh kue sudah bisa dibuat. Aku melihat Mas Angga tidur dengan lelapnya, mungkin memang sedang lelah setelah bekerja. Ibu mertua dan Stella juga sudah masuk ke kamarnya masing-masing. Andai Mas Angga selalu berpihak padaku, aku akan membicarakan semua yang direncanakan Ibu mertua dan Stella.Sejak pukul lima pagi, aku sudah berkutat dengan mengolah adonan donat. Sengaja adonan donat kubuat terlebih dahulu karena prosesnya cukup rumit. Ada jeda waktu yang harus digunakan untuk proses pemeraman adonan supaya tidak bantat dan bisa mengembang sempurna. Dilanjut dengan membuat kue selanjutnya supaya waktu tidak terbuang sia-sia. Apalagi membuat kue putu ayu tidak perlu waktu lama, setelah adonan jadi bisa dimasukkan cetakan sebelum dikukus."Wangi sekali, Rin. Masak apa?" Tiba-tiba saja Ibu mertuaku sudah berada di dapur."Membuat pesanan orang, Bu!" Jawabku tanpa memperhatikan keberadaan Ibu mertuaku."Bagi dong!" "Etss! Tidak bisa!" Aku tangkap tangannya ketika akan meraih kue putu ayu yang sudah matang. Seenaknya saja minta bagi kue padaku setelah beberapa hari yang lalu mempermalukanku di depan orang banyak dengan mengobrak abrik daganganku."Pelit amat jadi menantu!" "Ibu juga, gengsi amat punya menantu bisa menggelar lapak di depan sekolahan!" Sengaja kubalik hinaannya
Sejak subuh aku sudah bersiap mengemas semua perlengkapan barang dagangan. Aku sudah nekat dan aku siap mendapat resikonya meski pernikahanku menjadi taruhannya. Bukan karena aku ingin menjadi istri durhaka, aku ingin mendapat kebahagiaan dengan caraku sendiri. Hal ini terpaksa kulakukan karena memang aku tidak pernah mendapat hak selama menikah."Kamu jualan lagi?" Tumben sekali Ibu mertuaku sudah bangun sepagi ini. "Iya, Bu. Percuma saja diam di rumah menjadi istri yang baik tetapi tidak mendapatkan apapun termasuk nafkah. Lebih baik cari sendiri aja, yang nantinya bisa kunikmati!" Aku tidak menghiraukan Ibu mertua di sampingku."Dasar bandel, lebih baik kamu tinggal sendiri daripada mempermalukan kami sekeluarga!" "Tidak masalah jika aku harus tinggal sendiri, Bu. Asalkan aku tenang!" Aku mengangkat peralatan dagang ke sebuah motor butut. Tidak lupa kupanjatkan doa untuk hari ini. Jika nanti suamiku menginginkanku pergi, maka aku ikhlas melakukannya. Suasana masih sepi karena wa
Aku sebenarnya terkejut karena mereka semua berada disini. Apalagi aku juga sudah meninggalkan rumah setelah melihat perselingkuhan Mas Angga dengan wanita cantik itu."Jangan terkejut seperti itu, Rin. Kami tahu kalau kamu pergi dari Angga sebelum--"Jangan sebut namanya lagi, Mbak. Aku benci dengan nama itu!" "Baiklah. Tetap tenangkanlah dirimu! Jangan pernah berbuat apapun yang bisa membuatmu celaka!" Aku hanya mengangguk pelan. Sungguh, aku hampir saja naik darah mendengar nama lelaki itu disebut."Arin, sementara tinggal saja disini!" Bapak mertuaku menuntunku masuk ke rumah sederhana ini. Rumah memiliki satu kamar, satu kamar mandi dan dapur terletak di sebelah kamar mandi. Sungguh, di balik kesedihan ternyata masih ada dukungan di balik ini semua.Rumah yang bakalan aku tinggali untuk sementara waktu. Jika sudah saatnya, mungkin aku akan kembali ke kampung halamanku dan menetap disana seperti saat aku kecil."Jika ada apa-apa segera hubungi kami, Arin. Jangan pernah merasa jik
Kepalaku mulai mencari sebuah jawaban dari ucapan ayah dan juga Mbak Mira. Apa yang disembunyikan mereka saat ini.[Katakan saja, Mbak. Apa yang terjadi?][Apa kamu yakin ingin mendengarnya? Mbak tidak tega denganmu] jujur saja, ini semakin membuatku penasaran.[Apapun yang terjadi, memang sudah ditakdirkan. Jadi katakan saja][Ibu mertuamu menjamin kebebasan Angga. Besok pagi Angga dan selingkuhannya akan dinikahkan!] Sungguh lemas tubuhku, rasanya tulang seperti dilepas satu-satu hingga tidak mampu menopang beban tubuhku. Aku terkulai bersandar di dinding merasakan sakit yang kuterima.Sakit, sungguh sakit sekali. Ingin beranjak pindah tempat saja rasanya aku tidak kuat. Mas Angga, lelaki yang pernah memintaku menjadi penggantinya ternyata mampu menghempaskan aku begitu saja.Cukup lama aku menangis, aku mencoba berdiri kembali. Mau tidak mau aku harus kuat menghadapinya. Kutatap cermin yang hanya sebesar setengah badan. Wajahku terlihat kusam, bahkan terdapat flek hitam di beberap
Rizky membawa Arin tepat akad nikah akan segera dimulai. Karena pernikahan ini bukanlah pernikahan biasa melainkan pernikahan setelah digrebek. Tidak terlihat sosok ayah mertua di lokasi. Akad nikah kali ini hanya didatangi keluarga dekat saja. Di sudut sana, terlihat kedua orang tua Widya. Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan saya bahagia. Terlihat sekali mereka dari keluarga berada. "Aku takut, Riz!" "Terus, kamu mau nangis lagi?" Dia selalu menyebalkan. "Tenanglah, dan tetaplah menjadi pemenang. Tunjukkan siapa dirimu saat ini!""Aku?" Aku menunjuk diriku sendiri."Bukan, itu monyet yang disana!" Aku memanyunkan bibirku. Selalu saja begini. Aku mengedarkan pandanganku ke beberapa rumah tetangga. Terlihat beberapa ibu-ibu sedang mengobrol. Sudah bisa dipastikan jika mereka pasti membicarakan Mas Angga dan keluarganya."Masuklah dan jangan menangis! Memalukan sekali!" Rizky memintaku masuk ke dalam. Seseorang menatapku pertama kali adalah Stella. Aku melihat jelas mulut Stell
Sosok lelaki yang kubenci kini berada di depanku. Kedua matanya terlihat jelas dipenuhi rasa sesal, hanya saja aku sudah tidak peduli. Sorot matanya seakan ingin aku kembali padanya."Ada apa, Mas? Kenapa kamu kemari?" Dia bahkan masih menggunakan pakaian yang dikenakan saat akad nikah. Sungguh sangat memalukan, baru tadi mengikrarkan talak, sekarang"A-aku, aku--"Sudahlah, Mas. Balik saja ke rumahmu. Bukannya hari ini hari kebahagiaan kalian semua! Aku ucapkan semoga kalian berbahagia!" "Arin. Aku ingin kamu tetap bersamaku lagi!" Aku terbelalak mendengar ucapannya. Sudah cukup banyak luka yang dia torehkan padaku dan sekarang bicara seperti itu? Sungguh memalukan sekali."Ingin aku jadi babu gratisan untuk keluargamu, Mas?" Dia diam seketika. Mungkin baru menyadari jika aku selama ini tidak lain dan tidak lebih dari seorang pembantu."Angga! Ngapain kamu kemari?" Ternyata Ibunya ikutan datang juga. Sorot matanya terlihat sama sekali tidak suka padaku."Aku ingin bicara dengan Arin
Anga terpaksa kembali ke rumah ibunya. Disana, Widya sedang asik bercengkerama bersama Stella. Stella merasa dirinya sangat pantas bisa sederajat dengan keluarga Widya."Widya! Mama mau kalian tinggal di rumah saja. Ajak saja suamimu tinggal di rumah kita!" Stella terkejut dengan sikap mertua Angga. "Tidak bisa dong, Tante. Istri itu wajib ikut suami. Nantinya si istri harus mengerjakan semua pekerjaan rumah dan menuruti semua permintaan suaminya!" Stella dengan percaya diri mengucapkan sesuatu yang paling dibenci orang tua Widya."Sekali lagi kamu mengucapkan seperti itu, akan kurobek mulutmu, Bocah. Orang miskin aja belagu! Cocoknya si Angga itu jadi pembantu di rumahku. Gaji segitu mana cukup untuk memenuhi kebutuhan Widya. Widya aja gajinya sepuluh kali lipat dari Angga!" Stella terperangah. Ditambah lagi sekarang memiliki saingan.Widya memang dari kalangan orang berada. Widya adalah manager sekaligus membanti orang tuanya melanjutkan usahanya. Namun sangat disayangkan karena Wi
Kini kami saling berhadapan. Dan sama-sama terbawa rasa senang setelah lama tidak bertemu dengannya. Entah, sekarang masih seperti Mas Aldi yang dulu atau tidak."Arin, bagaimana kabarmu?" Dia memperhatikanku dari atas ke bawah."Alhamdulillah, Mas. Mas Aldi bagaimana kabarnya?" Senyumnya selalu membuat siapaphn akan tergoda. Semoga aku tidak tergoda lagi dengan senyum andalannya ini."Kamu belanja buat apa, Arin? Banyak bener."Aku tersenyum kecil mendengar ucapan Mas Aldi. Aku sudah membawa belanjaan yang cukup banyak termasuk beberapa makanan ringan yang nantinya bisa kujual sebagai pendamping martabak telurku."Belanjaan buat jualan besok, Mas. Semenjak kena PHK aku bosan menganggur, apalagi aku tidak punya pemasukan pribadi. Akhirnya aku putuskan untuk berjualan di depan sekolahan, Mas. Lumayan bisa buat jajan Arin sendiri!" Aku terkekeh sendiri bercerita keseharianku di depannya."Begitu ya, bagaimana kabar suamimu?" Sedikit nyeri saat dia bertanya tentang Mas Angga. "Kita suda