Share

Bab 8. Hamil

Aku merasa ayah sangat kecewa dengan Stella dan istrinya. Sangat kentara ketika menghubungiku barusan. Ayah mana yang rela anak gadisnya belum lulus sekolah sudah berpacaran dengan pria seusia dengannya.

"Kasihan ayah," aku menggeleng pelan, menyayangkan sikap Stella dan Ibu mertua.

Menjelang sore tidak kulihat Stella dan Ibu mertua di ruang tamu atau ruang keluarga. Padahal, biasanya mereka lebih banyak menghabiskan waktu di ruang keluarga sambil menonton televisi jika sedang tidak keluar.

Pekerjaanku membuat asinan akhirnya selesai menjelang jam pulang Mas Angga. Sengaja membuatnya lebih dulu karena besok aku harus menyiapkan pesanan Pak Parno. Selanjutnya aku memasukkan ke dalam lemari es untuk diantar besok. Usia menyelesaikan semuanya, gegas aku membersihkan diri dan membuat mie instan untukku.

Mie instan hanya dengan campuran sawi yang kutanam di dalam pot. Sederhana namun sudah sangat mengenyangkan untukku.

"Kamu makan sendiri, Rin?" Aku terkejut melihat Ibu mertua melihatku menikmati mie instan sendiri.

"Arin cuma punya satu, Bu. Tidak mungkin harus Arin bagi, karena sedang lapar, Bu!" Aku melirik sekilas ke arah ibu mertuaku. Sungguh lucu, mirip anak yang ingin marah karena tidak kebagian makanan.

Ibu berlalu entah kemana. Hanya kudengar suara pintu depan ditutup kasar olehnya. Sampai sore ini, Stella juga tidak kunjung keluar. Entah apa yang dilakukannya di kamar.

Tidak berapa lama suara deru motor Mas Angga datang. Aku menyambutnya dan berlalu begitu saja. Memang tidak ada lagi yang harus ku lakukan untuknya. Masak juga tidak karena nggak ada nafkah.

Wajahnya terlihat pucat dan lesu hari ini. Entah apa yang terjadi padanya.

"Kamu kenapa, Mas?" Dia menyandarkan tubuhnya di sofa sambil memijid pelipisnya.

"Pergi sana, jangan ikut campur!" Kemudian dia pindah ke kamarnya.

Gemas sekali aku mendengarnya, aku sengaja berniat baik padanya supaya hatinya bisa kembali lembut seperti dulu. Sengaja tak kuhiraukan lagi dan duduk di teras menikmati indahnya malam. Tiba-tiba saja Ayah mertua datang, wajahnya sangat muram sekali. Aku rasa akan ada perdebatan besar di rumah ini.

"Arin, apakah semua ada di rumah?"

"I-iya, Ayah. Semua ada di rumah, kecuali Ibu."

Tanpa basa basi, ayah masuk ke rumah, entah siapa yang ditemuinya terlebih dahulu. Aku menguping meski berada di depan pintu.

"Kemana ibumu, Angga? Cepat cari ibumu sekarang juga!" Mas Angga tidak bisa membantah perintah ayah sehingga memilih keluar mencari keberadaan Ibunya.

Ayah kemudian ke kamar Stella dan mengetuk pintu kamarnya. Jantungku berdegup kencang, khawatir jika Ayah sampai marah-marah atau bertindak kekerasan kepada Stella.

"Stella, cepat keluar! Ayah mau bicara!" Stella membukakan pintu setelah ayah memanggilnya. Stella dengan wajah cemberut karena terpaksa menemui Ayahnya, kini berjalan ke ruang keluarga berhadapan dengan ayah. Tatapan ayah terlihat seperti sedang menyelidiki.

"Kamu hamil?" Aku hampir tersedak mendengar pertanyaan ayah. Bisa-bisanya Ayah mertua mengajukan pertanyaan seperti itu pada Stella.

"Tidak, hanya prasangka ayah saja!" Sahut Stella tanpa menatap wajah Ayah.

Tidak ada sopan-sopannya menjawab pertanyaan ayah. Padahal ayah kandung yang ingin tahu kondisi anak perempuannya. Ayah mertua menatap postur tubuh Stella penuh seksama. Seperti ada tanda yang aneh dari tubuh Stèlla. Begitulah kira-kira yang menjadikan Ayah seperti ini.

"Jawab dengan jujur!" Suara Ayah mertua terdengar lebih keras. Aku dan Stella sama-sama terkejut karena selama ini tidak pernah mendengar ayah sekeras ini berbicara. Kulihat wajah Stella tidak berani menatap Ayahnya dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Aku merasa jika Ayah sudah mengetahui sesuatu mengenai Stella.

Ceklek

Ibu mertua datang membawa satu kantong kresek entah berisi apa. Wajahnya muram mendengar suara mantan suaminya yang berteriak.

"Apa yang kamu lakukan pada Stella?" Wajahnya terlihat angkuh dan marah melihat kedatangan mantan suaminya.

"Anak perempuan ini hamil!" Kedua mata Ibu mertua membola sempurna.

"Tidak mungkin, Stella bisa menjaga harga dirinya!" Begitulah Ibu mertua yang akan membela Stella meski salah.

"Tanyakan saja pada anakmu!"

"Tidak perlu, lebih baik kamu pergi. Aku tahu apa yang pantas untuk anak-anakku!" Ayah kecewa bercampur kesal. Terpaksa ayah keluar dari rumah ini. Aku juga sangat menyayangkan sikap Ibu mertua pada Stella.

Kini tinggal berdua, Stella duduk di samping Ibu mertua. Sangat terlihat sekali jika dirinya sedang gelisah. Aku heran, Mas Angga tidak terbangun atau keluar kamar saat ayah membentak Stella seperti itu. Ah, mungkin saja dia sakit atau apa.

"Kamu benar hamil?" Ibu mertua menatap Stella. Benar saja, Stella baru mengakuinya dengan anggukan kepala. Sungguh sanhat menyedihkan sekali nasib Stella. Belum lulus sekolah sudah harus merasakan menjadi Ibu sebentar lagi.

"Tapi Stella nggak mau hamil, Bu?" Ibu mertua mendekap Stella yang menangis sesenggukan.

"Tenang saja, besok kita ke temannya Ibu. Kita gugurkan kandungan kamu!"

Sungguh pemikiran di luar nalar. Bisa-bisanya Ibu mertua memberikan usul yang cukup mengerikan. Setelah menyetujui hubungan terlarang Stella, kini Ibu mertua akan merencanakan menggugurkan kandungan Stella.

"Bagaimana jika Mas Angga tahu?" Stella sepertinya takut dengan Mas Angga.

"Jangan pikirkan Angga. Nanti jika sudah selesai, kamu pacaran lagi dan minta rumah sama Priyono. Biar kita bisa punya rumah sendiri!"

Aku menepuk jidatku. Bersyukur sekali aku memiliki Ibu yang penyayang. Tidak pernah sekalipun memaksa kehendak kepada anak-anaknya sendiri.

Kugelar sajadah berwarna cokelat, kulantunkan harapan untuk kebaikan keluargaku dan keluarga suamiku. Sungguh aku tidak ingin jika nanti anak turunku memiliki sikap yang sama seperti ipar dan mertuaku.

Kulihat jam dinding menunjukkan pukul delapan malam dan gegas aku membeli bahan untuk pesanan Pak Parno. Tidak masalah besok belum bisa memulai gelar lapak lagi di depan sekolahan karena memang ada pesanan yang harus dikerjakan.

"Mbak, bahan kue dan martabak telur ya!" Mbak Mira gegas menyiapkan semua kebutuhan untuk membuat kue.

"Belum tidur, Rin?"

"Baru juga jam delapan, Mbak. Sekalian nyiapin untuk pesanan besok!"

"Semoga lancar dan sukses ya. Ngomong-ngomong kamu udah beneran nggak jualan di sekolahan lagi?"

"Sebenernya masih ingin sekali dan rencanaku besok lusa. Aku juga sudah bilang Mas Angga kalau akan nekat jualan di depan sekolahan karena dia nggak pernah ngasi nafkah ke aku!"

"Bagus deh, semangat terus buatmu, Rin!" Memang belum lama saling mengenal tetapi menurutku Mbak Mira sosok kakak yang baik. Mbak Mira selalu mendukung semua keinginanku selagi masih dalam hal positif. Usai belanja aku memasukkan semua ke dalam lemari dapur. Rencana usai sholat subuh kue sudah bisa dibuat. Aku melihat Mas Angga tidur dengan lelapnya, mungkin memang sedang lelah setelah bekerja. Ibu mertua dan Stella juga sudah masuk ke kamarnya masing-masing. Andai Mas Angga selalu berpihak padaku, aku akan membicarakan semua yang direncanakan Ibu mertua dan Stella.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status