Sejak subuh aku sudah bersiap mengemas semua perlengkapan barang dagangan. Aku sudah nekat dan aku siap mendapat resikonya meski pernikahanku menjadi taruhannya. Bukan karena aku ingin menjadi istri durhaka, aku ingin mendapat kebahagiaan dengan caraku sendiri. Hal ini terpaksa kulakukan karena memang aku tidak pernah mendapat hak selama menikah."Kamu jualan lagi?" Tumben sekali Ibu mertuaku sudah bangun sepagi ini. "Iya, Bu. Percuma saja diam di rumah menjadi istri yang baik tetapi tidak mendapatkan apapun termasuk nafkah. Lebih baik cari sendiri aja, yang nantinya bisa kunikmati!" Aku tidak menghiraukan Ibu mertua di sampingku."Dasar bandel, lebih baik kamu tinggal sendiri daripada mempermalukan kami sekeluarga!" "Tidak masalah jika aku harus tinggal sendiri, Bu. Asalkan aku tenang!" Aku mengangkat peralatan dagang ke sebuah motor butut. Tidak lupa kupanjatkan doa untuk hari ini. Jika nanti suamiku menginginkanku pergi, maka aku ikhlas melakukannya. Suasana masih sepi karena wa
Aku sebenarnya terkejut karena mereka semua berada disini. Apalagi aku juga sudah meninggalkan rumah setelah melihat perselingkuhan Mas Angga dengan wanita cantik itu."Jangan terkejut seperti itu, Rin. Kami tahu kalau kamu pergi dari Angga sebelum--"Jangan sebut namanya lagi, Mbak. Aku benci dengan nama itu!" "Baiklah. Tetap tenangkanlah dirimu! Jangan pernah berbuat apapun yang bisa membuatmu celaka!" Aku hanya mengangguk pelan. Sungguh, aku hampir saja naik darah mendengar nama lelaki itu disebut."Arin, sementara tinggal saja disini!" Bapak mertuaku menuntunku masuk ke rumah sederhana ini. Rumah memiliki satu kamar, satu kamar mandi dan dapur terletak di sebelah kamar mandi. Sungguh, di balik kesedihan ternyata masih ada dukungan di balik ini semua.Rumah yang bakalan aku tinggali untuk sementara waktu. Jika sudah saatnya, mungkin aku akan kembali ke kampung halamanku dan menetap disana seperti saat aku kecil."Jika ada apa-apa segera hubungi kami, Arin. Jangan pernah merasa jik
Kepalaku mulai mencari sebuah jawaban dari ucapan ayah dan juga Mbak Mira. Apa yang disembunyikan mereka saat ini.[Katakan saja, Mbak. Apa yang terjadi?][Apa kamu yakin ingin mendengarnya? Mbak tidak tega denganmu] jujur saja, ini semakin membuatku penasaran.[Apapun yang terjadi, memang sudah ditakdirkan. Jadi katakan saja][Ibu mertuamu menjamin kebebasan Angga. Besok pagi Angga dan selingkuhannya akan dinikahkan!] Sungguh lemas tubuhku, rasanya tulang seperti dilepas satu-satu hingga tidak mampu menopang beban tubuhku. Aku terkulai bersandar di dinding merasakan sakit yang kuterima.Sakit, sungguh sakit sekali. Ingin beranjak pindah tempat saja rasanya aku tidak kuat. Mas Angga, lelaki yang pernah memintaku menjadi penggantinya ternyata mampu menghempaskan aku begitu saja.Cukup lama aku menangis, aku mencoba berdiri kembali. Mau tidak mau aku harus kuat menghadapinya. Kutatap cermin yang hanya sebesar setengah badan. Wajahku terlihat kusam, bahkan terdapat flek hitam di beberap
Rizky membawa Arin tepat akad nikah akan segera dimulai. Karena pernikahan ini bukanlah pernikahan biasa melainkan pernikahan setelah digrebek. Tidak terlihat sosok ayah mertua di lokasi. Akad nikah kali ini hanya didatangi keluarga dekat saja. Di sudut sana, terlihat kedua orang tua Widya. Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan saya bahagia. Terlihat sekali mereka dari keluarga berada. "Aku takut, Riz!" "Terus, kamu mau nangis lagi?" Dia selalu menyebalkan. "Tenanglah, dan tetaplah menjadi pemenang. Tunjukkan siapa dirimu saat ini!""Aku?" Aku menunjuk diriku sendiri."Bukan, itu monyet yang disana!" Aku memanyunkan bibirku. Selalu saja begini. Aku mengedarkan pandanganku ke beberapa rumah tetangga. Terlihat beberapa ibu-ibu sedang mengobrol. Sudah bisa dipastikan jika mereka pasti membicarakan Mas Angga dan keluarganya."Masuklah dan jangan menangis! Memalukan sekali!" Rizky memintaku masuk ke dalam. Seseorang menatapku pertama kali adalah Stella. Aku melihat jelas mulut Stell
Sosok lelaki yang kubenci kini berada di depanku. Kedua matanya terlihat jelas dipenuhi rasa sesal, hanya saja aku sudah tidak peduli. Sorot matanya seakan ingin aku kembali padanya."Ada apa, Mas? Kenapa kamu kemari?" Dia bahkan masih menggunakan pakaian yang dikenakan saat akad nikah. Sungguh sangat memalukan, baru tadi mengikrarkan talak, sekarang"A-aku, aku--"Sudahlah, Mas. Balik saja ke rumahmu. Bukannya hari ini hari kebahagiaan kalian semua! Aku ucapkan semoga kalian berbahagia!" "Arin. Aku ingin kamu tetap bersamaku lagi!" Aku terbelalak mendengar ucapannya. Sudah cukup banyak luka yang dia torehkan padaku dan sekarang bicara seperti itu? Sungguh memalukan sekali."Ingin aku jadi babu gratisan untuk keluargamu, Mas?" Dia diam seketika. Mungkin baru menyadari jika aku selama ini tidak lain dan tidak lebih dari seorang pembantu."Angga! Ngapain kamu kemari?" Ternyata Ibunya ikutan datang juga. Sorot matanya terlihat sama sekali tidak suka padaku."Aku ingin bicara dengan Arin
Anga terpaksa kembali ke rumah ibunya. Disana, Widya sedang asik bercengkerama bersama Stella. Stella merasa dirinya sangat pantas bisa sederajat dengan keluarga Widya."Widya! Mama mau kalian tinggal di rumah saja. Ajak saja suamimu tinggal di rumah kita!" Stella terkejut dengan sikap mertua Angga. "Tidak bisa dong, Tante. Istri itu wajib ikut suami. Nantinya si istri harus mengerjakan semua pekerjaan rumah dan menuruti semua permintaan suaminya!" Stella dengan percaya diri mengucapkan sesuatu yang paling dibenci orang tua Widya."Sekali lagi kamu mengucapkan seperti itu, akan kurobek mulutmu, Bocah. Orang miskin aja belagu! Cocoknya si Angga itu jadi pembantu di rumahku. Gaji segitu mana cukup untuk memenuhi kebutuhan Widya. Widya aja gajinya sepuluh kali lipat dari Angga!" Stella terperangah. Ditambah lagi sekarang memiliki saingan.Widya memang dari kalangan orang berada. Widya adalah manager sekaligus membanti orang tuanya melanjutkan usahanya. Namun sangat disayangkan karena Wi
Kini kami saling berhadapan. Dan sama-sama terbawa rasa senang setelah lama tidak bertemu dengannya. Entah, sekarang masih seperti Mas Aldi yang dulu atau tidak."Arin, bagaimana kabarmu?" Dia memperhatikanku dari atas ke bawah."Alhamdulillah, Mas. Mas Aldi bagaimana kabarnya?" Senyumnya selalu membuat siapaphn akan tergoda. Semoga aku tidak tergoda lagi dengan senyum andalannya ini."Kamu belanja buat apa, Arin? Banyak bener."Aku tersenyum kecil mendengar ucapan Mas Aldi. Aku sudah membawa belanjaan yang cukup banyak termasuk beberapa makanan ringan yang nantinya bisa kujual sebagai pendamping martabak telurku."Belanjaan buat jualan besok, Mas. Semenjak kena PHK aku bosan menganggur, apalagi aku tidak punya pemasukan pribadi. Akhirnya aku putuskan untuk berjualan di depan sekolahan, Mas. Lumayan bisa buat jajan Arin sendiri!" Aku terkekeh sendiri bercerita keseharianku di depannya."Begitu ya, bagaimana kabar suamimu?" Sedikit nyeri saat dia bertanya tentang Mas Angga. "Kita suda
Mata begitu sembab karena kurangnya tidur semalam. Berkali-kali aku menghubungi Rizky namun tidak diresponnya sama sekali. Pagi ini aku sudah mulai berjualan. Hari ini sudah bersiap menyambut rejeki untuk masa depanku.Seperti biasa, aku datang lebih lagi dari anak-anak yang datang. Supaya nanti bisa bersiap menyambut mereka yang ingin jajan dulu sebelum masuk kelas. Tidak lupa aku membentangkan tikar yang nantinya bisa digunakan Ibu-ibu muda yang mengantar anaknya sekolah. Aku juga mulai meracik bahan-bahan martabak telur supaya bisa lebih cepat saat ada yang beli."Tante Arin, martabak dong!" Salah satu pelangga setiaku. Anak kecil berusia sepuluh tahun yang tidak pernah melewatkan martabak telur. Terkadang dia gunakan sebagai teman nasi katika waktunya istirahat. "Siap, Sayang!" Aku tinggal menggoreng bahan yang sudah aku racik. Hanya beberapa menit saja martabak telur pun sudah matang sempurna."Wah, Mbak Arin sudah gelar lapak lagi. Mbak, mau dua dong! Kebetulan belum sarapan d