Share

Dia Eugene!

※Elena※

Elena masih memeluk Al di dalam taksi, seolah takut kehilangan.

"Ibu, kenapa kita terburu-buru pergi? Al sampai tak sempat pamit ke Om tadi." tanya Al keheranan.

Elena tidak menjawab. Ia hanya tersenyum sambil menciumi rambut Al. Dipejamkan matanya mendapati aroma Eugene masih tertinggal.

"Stop di sini, Pak." ujar Elena.

"Di sini, Bu? Ternyata dekat ya tujuannya." kata pak supir sambil tersenyum masam.

Elena keluar dari taksi masih dengan menggandeng tangan Al, tanpa mengatakan apa-apa. Bergegas membuka pintu rumah dan menemukan dompetnya tergeletak di atas sofa. Ia mengambil selembar uang seratus ribu dan kembali menghampiri taksi.

"Iya, maaf ya Pak. Saya sedang buru-buru. Ini, ambil saja kembaliannya."

"Ah terima kasih, Bu." mata pak supir berbinar.

"Alhamdulillaah sampai rumah." gumam Elena. 

"Ibu ... siapa nama Om tadi?" Al kembali membuka percakapan sambil melepaskan sepatu dan baju seragam sekolahnya.

"Namanya Eugene ..."

"Siapa???"

"Eugene."

"Nama yang sulit ..." Al dan Elena sama-sama tertawa. "Tapi Al suka padanya, Ibu."

Elena tersenyum sambil memberikan baju ganti kepada Al. Dalam hati ia berkata, 'Ibu juga suka'.

"Apakah Ibu juga suka?" Al menyelidik. Elena terkejut, membelalakan matanya jenaka kemudian tertawa.

"Menurutmu?" Elena balik bertanya kepada Al.

"Al tidak tau, tapi Om itu benar-benar menyukai Ibu." 

"Ah anak kecil, sok tau kau Al." Elena tergelak sambil menyapukan kelima jarinya dengan lembut ke wajah Al.

"Ya, Al tau karena di bukunya tertulis banyak sekali nama Ibu ..."

Elena terdiam sesaat, mendadak mulutnya terasa kering. Dipandanginya Al yang ternyata sedang memandanginya juga. Hati Elena meleleh, Al haus kasih sayang seorang ayah.

"Memangnya Al sudah bisa membaca?"

"Tentu saja, aku kan sudah pandai menulis dan membaca. Apa sulitnya mengeja nama Ibu. E-L-E-N-A." 

"Kalo Eugene bisa kau mengejanya?"

"Hahahaha tidak bisa." Al tergelak sendiri.

"Sudah, sudah. Ke kamar mandi sana, buang air kecil, cuci tangan dan kaki. Ibu tunggu di meja makan ya." Elena bangkit, beranjak ke dapur.

"Ibu ..."

"Ya ... apalagi Al?"

"Apakah ayah pulang malam ini? Apakah ayah bisa datang besok ke sekolah Al? Jangan-jangan Ibu lupa memberitahu ayah kalau besok ada 'Hari Profesi'?" 

Elena memutar langkahnya, berlutut, mensejajarkan matanya dengan mata Al. Lalu memeluknya.

"Ibu tidak lupa. Hanya saja ayah ada pekerjaan penting yang tidak bisa ditinggalkan besok ... Mungkin ayah baru bisa pulang pekan depan. Maaf ya Al ..."

"Kalau begitu biar Om Eugene saja yang datang ..."

"Mana bisa begitu ..."

"Bisa saja kalau Om Eugene mau."

"Apa maksudmu, Al?"

"Bukan apa-apa ..." 

Al tidak mengindahkan perkataan ibunya, ia malah masuk kamar dan menutup pintu. Elena menghela napas panjang, nampaknya makan siang kali ini terpaksa dilewatkan.

Perasaan Elena tidak enak. Ia curiga diam-diam Al melakukan sesuatu tadi siang.

-----

※Eugene※

"Bodoh!" Eugene memaki dirinya sendiri sambil berjalan kaki kembali ke hotel yang tidak terlalu besar tempat ia menginap, tak jauh dari mini market tadi. Ah seharusnya ia tidak gegabah menanyakan hal itu pada Elena di pertemuan pertama. Tapi ia tidak kuasa menahan keingintahuannya. 

Sudah tiga hari ini ia di Jakarta, mencari Elena ke tempat-tempat yang biasa mereka datangi. Berpindah-pindah tempat menginap dari satu hotel ke hotel lain. Tapi hasilnya nihil. Diluar dugaan ia malah menemukannya secara tidak sengaja di mini market saat ia kehabisan rokok dan ingin membelinya di sana. Keterkejutannya bertambah melihat Elena bersama Al. 

Entah mengapa ia begitu yakin Al adalah darah dagingnya. Ia begitu ingin mengenal Al lebih dekat tapi Elena tidak memberikannya kesempatan sama sekali. Padahal ia terlanjur jatuh cinta pada anak itu saat pertama mengelus rambutnya.

Cutinya sisa empat hari, ia harus segera kembali ke Taipei atau kehilangan pekerjaannya. Lalu bagaimana cara menemukan mereka lagi?

Eugene memasuki lobi hotel, seketika keringatnya serasa diusap oleh udara dingin penyejuk ruangan. Ia mampir sebentar ke meja resepsionis untuk menanyakan apakah ada pesan atau telepon masuk untuknya. Ia tak pernah terbiasa membawa handphone, menurutnya benda itulah yang membuat manusia terjajah. Dulu Elena pernah marah-marah karena ia tak kunjung membeli satu untuk sekedar mempermudah komunikasi.

Ada dua telepon masuk untuknya. Satu dari ibunya di Kanada. Satu lagi dari Mary Ann di Taipei, ia akan meneleponnya nanti. Ia mengucapkan terima kasih lalu masuk ke lift naik ke kamarnya di lantai tiga.

Tiba di kamarnya, Eugene langsung meraih handuk lalu mandi. Ia membuka kran shower dan merasakan kesejukan airnya menerpa tubuhnya yang berdebu dan terasa penat sekali. 

Selesai mandi. Masih menggunakan handuk, ia membuka kulkas kecil yang tersedia di pojok kamarnya. Mengambil sekaleng bir ditaruhnya di atas kulkas lalu duduk di tepi tempat tidur. Diraihnyaj tas selempang, mengeluarkan semua isinya. Ia mencari sebungkus rokok yang sempat dibelinya setelah Elena pergi.

Sebatang rokok diselipkan di antara dua jemarinya sementara tangan yang satunya mencari-cari pemantik. Tapi yang terpegang justru buku yang siang tadi dipinjamkannya pada Al.

Hatinya mendadak tertarik, teringat Al. Dibukanya dengan tak sabar, ah baru kali ini ia sebegitu penasaran dengan apa yang anak kecil gambar.

Ia menemukan gambar-gambar gerbong dan lokomotif dengan asap membumbung dari cerobongnya. Nampaknya Al suka sekali kereta. 

Di halaman berikutnya ia menemukan tulisan Al, naik turun tak beraturan, huruf-hurufnya ada yang terlalu besar dan terlalu kecil. Eugene tertawa tertahan. Ia mencoba membacanya, tapi ia tak memahami artinya.

Eugene sudah tak menginginkan bir dan rokoknya. Berpakaian lalu bergegas turun ke lobi hotel. Ditemuinya lagi resepsionis, sambil menyodorkan bukunya.

"Bisakah tolong kau bacakan ini untuk saya?" tanyanya dalam bahasa Inggris pada resepsionis yang mengangguk tersenyum ramah.

"Aku menyukaimu. Maukah kau jadi ayahku satu hari? Datanglah ke sekolahku besok." Resepsionis itu berhenti membaca sebentar untuk menterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Ia menatap Eugene sesaat lalu melanjutkan kembali dengan menyebutkan satu nama sekolah.

"Di mana sekolah itu? Jauhkah?" tanya Eugene bersemangat.

"Dekat, hanya beberapa blok dari sini. Kami bisa mengantar jika kau mau."

"Sempurna. Oke, besok pagi aku akan siap berangkat jam tujuh."

"Baiklah."

"Terima kasih banyak."

"Sama-sama."

Kembali ke kamar, Eugene membuang semua persediaan bir dan rokoknya. Jika ia ingin menjadi ayah yang baik, tentu ia tidak akan membawa pengaruh buruk untuk anaknya. Tak apa hanya menjadi ayahnya sehari, daripada tidak sama sekali. Matanya berbinar, besok ia akan bertemu Al!

Tetiba perutnya berbunyi, ia baru menyadari rasa laparnya. Setelah memasukkan beberapa barang yang diperlukan ke dalam tas selempang, ia turun lagi untuk keluar makan dan berniat membeli sesuatu hadiah untuk Al.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status