Share

Saya temannya Al.

Eugene mengamati sekelilingnya, kedai soto betawi ini cukup ramai. Ia selalu menyukai makan di kedai-kedai pinggir jalan tanpa merasa risih saat terkadang menjadi pusat perhatian. Entah sudah berapa banyak tempat kuliner yang ia kunjungi bersama Elena. Baginya orang-orang Indonesia sangat ramah dan menyenangkan. Dan aneka ragam kulinernya tak habis membuat ia berdecak nikmat.

Dulu, ia pernah beberapa kali makan di sini. Bersama Elena. Ia seringkali menghabiskan porsi Elena karena daya tampung perempuan itu kecil sekali. Katanya nafsu makannya selalu berkurang setiap kali makan di dekatnya, sesekali Eugene berseloroh mungkin nafsu yang lain yang bertambah. Dan ia tak tahan untuk tidak tersenyum mengingat wajah Elena yang bersemu merah karena malu.

Selain karena menyukai tempat dan menu-menu yang luarbiasa nikmat menurutnya. Juga karena ia hobi memasak. Baginya berwisata kuliner merupakan salah satu cara yang menyenangkan untuk menambah pengetahuan dan keahliannya. Dan Elena, mahluk yang selalu terlihat indah di matanya itu ... tidak bisa memasak sama sekali! Lagi-lagi Eugene tersenyum-senyum sendiri. Tetiba ia rindu menyiapkan makan malam untuk mereka berdua seperti dulu.

Eugene menghabiskan dua porsi soto betawi tanpa nasi dan teh hangat. Setelah membayar ia lalu beranjak pergi. Ia melangkah menuju sebuah pusat perbelanjaan. Selama berhubungan dengan Elena, sedikit banyak ia telah menjelajahi kota ini.

Sejak melihat gambar Al, Eugene sudah tau persis hadiah apa yang akan diberikannya pada anak itu. Tapi ternyata menemukan yang terbaik membutuhkan waktu yang lumayan lama. Setelah memasuki beberapa toko akhirnya ia menemukan yang cocok.

Hari sudah gelap ketika Eugene keluar dari pusat perbelanjaan membawa hadiah untuk Al. Ia merasa sedikit letih dan memutuskan kembali ke hotel dengan naik taksi.

Sesampainya di kamar hotel, ia merebahkan tubuhnya di atas ranjang bertelanjang dada hanya mengenakan celana boxer. Matanya terpejam tapi tidak tidur. Ia tak sabar menunggu besok. Wajah Al melintas lalu berganti bayangan Elena yang menghampiri.

Elena. Perempuan itu ... ia sudah mengenalnya lama. Tapi terlalu lama sampai akhirnya terlambat menyadari bahwa ia sangat mencintainya. Ia mengikuti setiap metaforsa Elena. Dari mulai gadis manja, selalu bercelana jeans dan kaos oblong ke mana-mana. Lalu tiba-tiba Elena memutuskan menikah dengan lelaki pilihan orangtuanya. Sampai akhirnya yang paling mengejutkan yang ia lihat siang tadi. Elena terlihat anggun keibuan bersahaja dengan baju panjang dan penutup kepala lebarnya. Ia begitu ... terjaga ... sampai-sampai Eugene tak berani menyentuhnya walaupun sangat ingin. Baginya Elena sudah melewati masa metamorfosa dan mencapai bentuk terindahnya. Apakah ini berhubungan dengan telepon terakhirnya tujuh tahun lalu? Ia ingin hijrah dan meninggalkannya. Apa itu hijrah? Elena tak pernah menjelaskannya dan ia sendiri belum pernah mencari tau.

Lalu Al? Bagaimana dengan Al? Apakah ia tak berhak tau tentang Al? Eugene menutup wajahnya dengan bantal. Tapi semakin dalam ia menenggelamkan wajahnya semakin ingatannya tentang Elena tujuh tahun lalu sebelum akhirnya perempuan itu mengilang, berdesakan di kepala.

*** tujuh tahun lalu ***

Elena baru bersiap pulang kantor ketika telepon genggamnya berbunyi.

"Elena!" seru suara yang sangat dikenalnya.

"Eugene! Di mana kau?"

"Masih di apartemen. Tunggu, aku jemput kau setengah jam lagi di tempat biasa."

"Aku pikir kau sudah terbang pulang ke Kanada siang tadi."

"Tidak, aku menambah cutiku sampai besok. Aku masih ingin bersamamu. Tunggu aku." lalu telepon di tutup.

Elena duduk di sebuah kedai kopi sambil memainkan gawainya ketika merasakan ubun-ubunnya dikecup seseorang dari belakang. Ia hapal betul siapa yang melakukannya.

Eugene tersenyum, duduk berhadap-hadapan. Elena tak pernah bisa berhenti jatuh cinta pada sosok di depannya, bahkan setelah ia menikah sekalipun.

"Kau sudah selesai dengan kopimu? Ayo kita pergi." Ajak Eugene bersemangat.

"Kau tak ingin minum dulu?"

"Tidak. Ayolah aku sudah tak sabar ingin menunjukkan sesuatu padamu."

Eugene meninggalkan selembar uang di bawah cangkir kopi dan menggamit lengan Elena keluar dari kedai kopi. Mereka berjalan ke arah apartemen tempat Eugene tinggal sementara selama di Jakarta.

Kantor Elena berada di sebuah area yang cukup lengkap. Selain berjejer ruko-ruko perkantoran, kedai-kedai kopi dan makanan, salon kecantikan, tempat hiburan, terdapat mall terbesar Asia Tenggara, juga tersedia apartemen-apartemen untuk disewakan baik jangka panjang maupun pendek.

Eugene selalu memilih tinggal di apartemen di sekitar kantor Elena selama mengunjunginya di Jakarta. Sehingga ia bisa sering-sering melewatkan waktu bersamanya mulai sarapan pagi, makan siang bahkan makan malam. Seringkali Eugene pamer keahliannya memasak untuk Elena. Entah apa alasan Elena pada suaminya setiap ia pulang larut, ia tidak peduli.

Sampai di depan pintu apartemen, Eugene menutup mata Elena dengan sapu tangan.

"Apa-apaan ini?" Elena tertawa geli.

"Ssst percayalah padaku, masuklah dan cari aku. Kalau kau benar mencintaiku pasti kau akan menemukanku." Eugene berbisik, napasnya terasa hangat di telinga. Lalu Eugene bergerak menjauh.

"Eugene, aku bisa jatuh menabrak sesuatu!"

"Jangan khawatir, aku akan menangkapmu jika kau jatuh."

Elena tertawa kecil, perasaannya campur aduk tak karuan tapi ia menyukai perasaan itu.

Elena melepaskan sepatu pantofelnya. Lalu ia merasakan telapak kakinya menyentuh benda-benda kecil yang lembut, banyak sekali dan wangi ... melati.

Eugene sama sekali tak bersuara. Elena benar-benar mengandalkan ingatannya tentang tata letak ruangan dan penciumannya. Ia berusaha mencari aroma khas dari tubuh Eugene diantara harumnya tebaran bunga melati ia melangkah pelan dan hati-hati.

Bruk! Elena menabrak Eugene lalu mereka tertawa bersama.

"Kau menemukanku." kata Eugene sambil membuka ikatan yang menutup mata Elena. Sejurus kemudian Elena terperangah. Ruangan yang biasanya berantakan kali ini terlihat begitu indah. Seluruh lantainya tertutup bunga melati dan buket-buket mawar merah di setiap sudutnya.

Eugene menggandeng Elena yang masih terus mengitarkan pandangan tak percaya, ke meja makan. Elena semakin terperangah, lampu yang temaram, dua batang lilin, setangkai mawar merekah sempurna di tengah meja. Berikut dua gelas air putih dan peralatan makan yang tertata rapih.

Eugene menarik kursi dan mempersilahkan Elena duduk. Ia lalu bergegas ke dapur, kembali lagi dengan dua porsi besar steak daging sapi. Tentu saja, ia yang memasaknya.

"Makanlah."

"Aku tak bernapsu melihat daging sebesar ini." Elena tertawa.

"Kau ingin langsung ke menu penutup?" kerling Eugene menggoda. Wajah Elena merah padam, malu.

Elena menghabiskan seperempat porsi, perutnya tak kuat lagi. Tapi seperti biasa masakan Eugene selalu pandai menyesuaikan cita rasa sehingga selalu cocok di lidahnya yang asli Indonesia.

Eugene bangkit, memutar instrumen lembut dengan volume pelan. Lalu menghampiri Elena, mengajaknya berdansa.

"Aku tidak bisa dansa." bisik Elena.

"Letakkan kakimu di atas kakiku." Eugene balas berbisik.

Elena menurutinya, Eugene meraih pinggang Elena dan mendekatkan rapat ke tubuhnya. Wajah Elena tepat di dada lelaki itu, ia menempelkan pipi kirinya di sana. Eugene mulai bergerak perlahan.

"Lihat, sekarang kau bisa berdansa." ujar Eugene lirih sambil menciumi kepala Elena. Harum rambutnya membangkitkan gairah. Napasnya mulai tak beraturan. Elena merasakan jantungnya seperti berloncatan di dalam dadanya.

"Elena ..."

"Ya ..."

"Run away with me, would you? (Maukah kau pergi bersamaku?" Eugene menghentikan gerak kakinya, diangkat dagu Elena. Mata keduanya bertemu.

"Kita bisa tinggal di manapun kau suka sampai kau bosan berpindah-pindah dan memutuskan hidup sederhana di tepi pantai. Itu kan yang kau mau dari dulu ..."

"Aku tak bisa ... " mata Elena mulai berkaca-kaca.

Eugene menghapus buliran bening yang jatuh di pipi Elena. Ia merasakan nyeri di dadanya setiap kali perempuan itu menangis.

"I hate to see you cry Elena. I'll wait till you ready. (Aku benci melihatmu menangis, Elena. Aku akan menunggumu sampai kau siap.)"

Eugene mengeluarkan sesuatu dari kantongnya. Sebuah kalung berinisial huruf E yang digandeng menjadi satu. Ia memakaikannya di leher Elena.

"Apa ini?"

"Ini kalung, masa kau tak tau. Hadiah dariku, supaya kau ingat aku selalu menunggumu sampai kapanpun."

Eugene mengelus rambut panjang Elena. Mengecup kedua matanya, hidungnya lalu turun ke bibirnya. Elena memejamkan mata, jemarinya meremas kemeja bagian belakang Eugene. Selanjutnya kedua insan itu lupa segalanya, makin dalam masuk kubangan dosa.

*** Kembali ke kamar hotel Eugene ***

Tok! Tok! Tok! Suara pintu kamar diketuk agak keras. Eugene terlonjak kaget. Ia ketiduran!

"Mister sudah jam tujuh pagi ..." ujar seseorang di balik pintu.

"Oke oke saya akan turun sepuluh menit lagi!" teriaknya dari dalam, panik.

"Baik, mister. Saya tunggu di bawah."

Eugene buru-buru mandi, berpakaian, tidak lupa memakai tas selempangnya dan melesat turun ke lobi hotel.

"I'm ready! (Saya siap!)" ujarnya sambil menghampiri meja resepsionis.

"Ini Pak Udin. Supir hotel, dia yang akan mengantarkan ke tujuan." sahut resepsionis sambil tersenyum ramah.

"Halo Pak Udin. Saya Eugene. Ayo kita berangkat!"

Dua puluh menit sudah terjebak kemacetan. Eugene gelisah.

"Masih jauh, Pak?" tanyanya dalam bahasa Inggris.

"Sebenarnya sudah dekat tapi karena macet jadi agak lebih lama. Mister lihat lampu merah itu? Belok kanan sudah terlihat sekolahannya."

"Baiklah, kalau begitu saya jalan saja. Ini Pak Udin, terima kasih." Eugene memberikan selembar uang kepada Pak Udin dan buru-buru keluar dari mobil.

Sepanjang jalan ia berlari. Tak sulit baginya yang sudah terbiasa berolahraga. Sampai di depan gerbang sekolah bercat merah, ia berhenti. Sejenak mengatur napasnya, lalu membuka pagar. Tampak halaman sekolah tengah ramai dengan anak-anak murid dan para ayah. Mata Eugene mencari-cari sosok Al.

Baru dua langkah masuk halaman, ia dihadang dua orang satpam.

"Maaf, ada yang bisa kami bantu?" tanya salah seorang dari mereka.

"Ya, saya sudah berjanji datang pada Al hari ini."

"Al siapa?"

"Al Fatih, anaknya Elena." terang Eugene mulai tak sabar.

"Anda siapa?"

Rasanya ingin sekali Eugene menjawab, 'Saya ayahnya' tapi tentu saja itu tidak mungkin.

"Saya temannya."

"Hah? Temannya?" kedua satpam itu saling berpandangan, merasakan adalah hal yang konyol anak kelas 1SD berteman dengan lelaki asing usia 40 tahunan.

"Tolonglah, saya sudah berjanji akan datang hari ini pada Al." Eugene setengah memohon.

"Maaf mister, tidak bisa masuk bertemu Al. Kecuali Anda membawa bukti persetujuan dari orangtuanya." Ujar satpam itu tegas.

"Ya Tuhan ..." Eugene meremas rambutnya kesal.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status