Suasana kantor belum juga tenang sejak gosip tentang kedekatanku dengan Rayyan merebak. Sudah hampir dua minggu aku menahan diri, berusaha membuktikan dengan kerja keras bahwa semua itu tidak benar. Tapi ternyata, semakin aku berusaha, semakin gosip itu mencari jalannya untuk berkembang.
Dan pagi ini, gosip itu seperti dilemparkan tepat ke wajahku. --- “Aisyah, ikut saya ke ruangan,” suara Rayyan terdengar di balik meja. Aku menghela napas, mencoba menetralkan ekspresi. Kali ini aku sudah bersiap agar tidak tampak ‘spesial’ ketika dipanggil. Tetap saja, aku bisa merasakan tatapan menusuk dari kanan-kiri. Di ruangannya, Rayyan menyerahkan map tebal berisi dokumen. “Ini proyek klien baru. Saya ingin kamu yang memimpin tim penyusunan proposal awal.” Aku mengerutkan kening. “Saya, Pak? Bukannya biasanya hal seperti ini ditangani oleh staf senior?” Rayyan menatapku lekat, lalu berkata datar, “Saya butuh orang yang bisa berpikir cepat, detail, dan mampu bekerja di bawah tekanan. Kamu sudah membuktikan itu.” Aku membuka-buka map itu dengan tangan bergetar. Proyek ini besar. Kalau berhasil, nama perusahaanku pasti melambung. Tapi di saat yang sama, aku bisa membayangkan apa yang akan terjadi begitu rekan-rekan kerjaku tahu aku yang memimpin. “Pak… dengan segala hormat, apakah tidak akan menimbulkan… salah paham lagi kalau saya yang memimpin proyek ini?” tanyaku hati-hati. Rayyan menyandarkan diri di kursinya, menautkan jari-jari. “Kamu mau menolak kesempatan emas hanya karena takut pada gosip?” Aku tercekat. Tatapannya menusuk, dingin, tapi ada tantangan di baliknya. “…Baiklah,” jawabku akhirnya, suara nyaris berbisik. --- Sore itu, ketika pengumuman resmi dikeluarkan bahwa aku ditunjuk sebagai koordinator proposal, kantor seperti mendidih. “Serius? Staf baru langsung dapat proyek besar? Ini keterlaluan.” “Udah jelas kan, pasti ada ‘perlakuan khusus’ dari atas.” “Halah, rajin banget sih senyum-senyum di depan bos. Pantas aja.” Bisikan itu menusuk telingaku meski mereka mencoba menutupi dengan tawa. Aku menahan napas panjang, berusaha fokus pada tugas. Tapi saat aku melangkah ke pantry, dua staf perempuan menatapku dari ujung kepala sampai kaki, lalu mendengus. “Cari muka aja terus. Lihat aja nanti kalau gagal.” Aku berhenti sejenak, ingin sekali menegur, tapi lidahku kelu. Rasanya seperti ditampar tanpa bisa membalas. --- Malam itu aku pulang lebih larut dari biasanya. Hana menemaniku sampai halte. Di wajahnya tampak jelas kekhawatiran. “Sya… kamu nggak apa-apa? Aku dengar tadi siang ada yang nyeletuk nggak enak.” Aku menghela napas berat. “Nggak apa-apa, Han. Aku cuma… muak.” “Muak gimana?” Aku berhenti melangkah, menatap lampu jalan yang temaram. Suaraku pecah. “Muak dianggap cari muka! Muak seolah-olah semua kerja keras aku itu cuma karena aku dekat sama Pak Rayyan! Padahal aku bahkan… aku bahkan nggak dekat sama dia! Aku cuma karyawan biasa yang berusaha sebaik mungkin. Kenapa semua orang nggak bisa lihat itu?” Hana terdiam, lalu menepuk pundakku. “Aku tahu, Sya. Aku yang lihat sendiri bagaimana kamu kerja keras. Kalau orang lain nggak mau percaya, itu masalah mereka, bukan kamu.” Air mataku menggenang. Aku berusaha menahannya, tapi akhirnya menetes juga. “Kenapa sih aku harus jadi sasaran? Aku cuma ingin bekerja dengan tenang.” Hana merangkul bahuku. “Kadang orang paling kuat diuji dengan gosip paling kejam. Tapi kamu jangan kalah, ya.” --- Keesokan paginya, aku memberanikan diri mengetuk pintu ruangan Rayyan. Ia sedang menatap layar laptop, tapi mengangkat wajah begitu aku masuk. “Ada apa?” tanyanya datar. Aku menarik napas panjang, menahan gejolak dalam dada. “Pak, saya ingin bicara soal proyek ini.” “Kenapa? Ada masalah?” Aku menggenggam tangan di pangkuan, menahan emosi. “Masalahnya bukan di proyek, tapi di kantor. Semua orang menganggap saya dapat posisi ini karena ‘kedekatan’ dengan Anda. Mereka bilang saya cari muka.” Alis Rayyan terangkat sedikit. “Dan kamu peduli?” “Tentu saja saya peduli!” suaraku meninggi tanpa bisa ditahan. “Reputasi saya dipertaruhkan, Pak. Saya kerja keras bukan untuk dapat cap buruk seperti itu.” Rayyan menatapku lama, matanya tajam tapi suaranya tetap tenang. “Aisyah, kamu harus belajar memilah mana yang penting dan mana yang tidak. Kalau kamu benar-benar yakin dengan kemampuanmu, buktikan dengan hasil. Biar mereka diam sendiri.” Aku menggertakkan gigi. “Mudah bagi Anda bilang begitu. Anda tidak pernah dipandang rendah seperti saya. Anda tidak pernah dicap cari muka hanya karena atasan Anda memberi kepercayaan.” Ada keheningan panjang. Untuk pertama kalinya, Rayyan terlihat kehilangan kata-kata. Ia menatapku, dan aku bisa melihat kilatan sesuatu 'mungkin pengakuan' di matanya. “Aisyah,” katanya pelan, “saya memberi proyek ini bukan karena kasihan, apalagi karena gosip. Saya percaya kamu mampu. Itu saja.” Dadaku berdegup keras mendengar kata-katanya. Tapi amarahku masih terlalu besar untuk luluh. “Saya akan buktikan, Pak. Tapi jangan salahkan saya kalau suatu hari saya benar-benar menyerah karena hal yang tidak logis ini, permisi” ucapku sebelum berbalik meninggalkan ruangan. --- Di meja kerjaku, aku menatap map proyek itu lama sekali. Tanganku masih gemetar, tapi kali ini bukan karena takut, melainkan karena tekad. Baiklah. Kalau mereka ingin melihat aku jatuh, aku akan buktikan justru sebaliknya. Aku akan berdiri, membuktikan kalau aku tidak butuh ‘kedekatan’ dengan siapa pun untuk meraih hasil. Dan entah kenapa, meski marah, kata-kata Rayyan terus terngiang: “Saya percaya kamu mampu.” Aku menutup mata sejenak. Rasanya getir, tapi di balik semua gosip, ada sesuatu yang membuatku ingin berjuang lebih keras lagi.Aisyah duduk lama di pantry kantor, menatap cangkir kopinya yang sudah dingin. Pikiran masih berputar—email tawaran luar negeri di satu sisi, surat penugasan dari Rayyan di sisi lain.Hana, yang baru masuk membawa camilan, langsung mendeteksi keganjilan itu. “Hey, kamu dari tadi bengong terus. Ada apa, Sya?”Aisyah mengangkat wajah, tersenyum samar. “Aku lagi bingung, Han. Ada tawaran kerja baru.”Hana duduk di kursi seberang, mencondongkan badan dengan antusias. “Serius? Dari perusahaan luar? Itu kan mimpimu sejak dulu!”Aisyah mengangguk pelan. “Iya. Jonny, yang dulu pernah presentasi bareng Pak Rayyan, mengajakku bergabung. Gajinya besar, fasilitas lengkap. Aku bisa dapat exposure internasional.”“Lalu kenapa bingung? Bukankah itu kesempatan emas?”Aisyah menghela napas panjang. “Karena di saat yang sama, Pak Rayyan memberiku kepercayaan besar juga. Dia menunjukku memimpin tim ekspansi kerja sama dengan firma Dubai. Itu setara, bahkan mungkin lebih menantang… hanya saja, aku tetap
Hari itu, kantor masih ramai ketika Aisyah baru saja menyelesaikan serangkaian rapat. Tubuhnya lelah, tapi hatinya hangat. Sejak proyek besar terakhir sukses, ia sering mendapat ucapan selamat dari berbagai pihak.Namun, sore itu berbeda. Seorang tamu dari perusahaan konsultan internasional datang. Namanya Jonny, seorang ekspatriat ramah dengan senyum percaya diri. Ia sengaja menemuinya setelah rapat bersama direksi selesai.“Miss Aisyah, boleh saya bicara sebentar?” tanyanya dengan bahasa Indonesia yang cukup fasih.Aisyah menoleh, sedikit kaget. “Tentu, Pak.”Mereka pun berbincang di lobi. Jonny langsung menyampaikan maksud kedatangannya. “Kami sudah lama memperhatikan presentasi dan kontribusi Anda. Perusahaan kami sedang mencari konsultan muda untuk proyek besar di Singapura. Anda punya kualifikasi yang cocok.”Kata-kata itu membuat Aisyah terdiam. Ia hampir tak percaya dengan apa yang ia dengar. Tawaran internasional? Itu kesempatan yang sulit ditolak oleh siapa pun di posisinya.
Sejak namanya makin dikenal di luar perusahaan, Aisyah merasakan perubahan nyata dalam cara orang-orang memperlakukannya. Rekan kerja yang dulu sempat meremehkan kini mulai menghargai, bahkan beberapa manajer senior yang biasanya hanya berurusan langsung dengan Rayyan, kini juga mengajaknya berdiskusi.Namun, perubahan terbesar justru terasa dalam hubungannya dengan Rayyan.--Suatu pagi, mereka berjalan berdampingan menuju ruang rapat. Biasanya, Aisyah akan berjalan setengah langkah di belakang, membiarkan Rayyan memimpin. Tapi kali ini, seorang klien menyalami Aisyah lebih dulu.“Presentasi Anda minggu lalu benar-benar mengesankan. Saya jarang melihat seseorang bisa begitu lugas sekaligus meyakinkan.”Aisyah menunduk sopan. “Terima kasih, Pak. Semua itu juga berkat arahan Pak Rayyan.”Rayyan melirik sekilas, ekspresi wajahnya nyaris tak terbaca. Tapi di balik tatapan datarnya, ada percikan hangat yang ia sembunyikan. Aisyah tidak sekadar menerima pujian itu untuk dirinya sendiri, ia
Di ruang kerja Rayyan, Aisyah memberanikan diri menyampaikan undangan itu. Ia agak ragu, takut Rayyan merasa ia melangkahi batas.“Pak, ini… ada undangan dari asosiasi bisnis. Mereka meminta saya jadi salah satu pembicara panel.”Rayyan yang tengah membaca laporan berhenti, menatapnya. Ada sekilas cahaya tak terduga di matanya.“Bagus.”“B-bagus?” Aisyah tergagap.“Ya. Kamu layak dapat kesempatan itu. Ambil saja,” jawab Rayyan singkat.Aisyah menatapnya, menunggu komentar tambahan. Tapi Rayyan tidak menambahkan apa-apa, hanya kembali fokus pada dokumen. Namun dari gerak bibir yang sedikit menahan senyum, Aisyah bisa menangkap sesuatu: Rayyan bangga.---Hari panel tiba. Aula hotel berbintang dipenuhi para pebisnis muda, investor, dan jurnalis. Aisyah mengenakan blazer sederhana, kerudungnya ditata rapi. Ia masih merasa grogi, tapi mencoba mengingat kata-kata Rayyan: “Kamu layak dapat kesempatan itu.”Ketika namanya dipanggil, ia melangkah ke panggung bersama beberapa panelis lain. Lam
Pagi itu, Rayyan sudah duduk di ruang kerjanya lebih awal dari biasanya. Layar laptop terbuka, menampilkan draft strategi baru untuk tim pemasaran. Tapi pikirannya melayang kembali pada percakapan dengan Aisyah kemarin."Saya hanya tidak ingin… terlalu bergantung pada Bapak."Kalimat itu terus terngiang. Bagi Rayyan, itu seperti cambuk halus. Ia terbiasa mengambil alih kendali, menyelesaikan masalah, dan memastikan semua berjalan sesuai kehendaknya. Namun, ia menyadari bahwa sikapnya bisa membuat seseorang merasa kecil.Dan itu adalah Aisyah—orang yang diam-diam sudah mengisi ruang di benaknya lebih dari siapapun.---Ketika Aisyah masuk membawa map berisi laporan mingguan, Rayyan menahan diri. Biasanya ia akan langsung memberi catatan detail, bahkan tak jarang mengganti beberapa keputusan. Tapi kali ini ia hanya menatapnya singkat.“Letakkan saja di meja. Nanti saya baca,” ucapnya tenang.Aisyah mengangguk, agak bingung. Biasanya Rayyan akan langsung memberi komentar panjang.Beberap
Kabar Rayyan melaporkan Fadlan ke polisi menyebar cepat. Media menyorotinya, warganet ramai membicarakan. Jika sebelumnya gosip soal dirinya dan Aisyah menguasai headline, kini pemberitaan beralih: “Rayyan Alfarizi Gugat Rival Bisnis Terkait Fitnah dan Pencemaran Nama Baik.”Aisyah membaca berita itu di layar ponselnya dengan tangan bergetar. Di satu sisi ia lega, karena akhirnya ada langkah tegas yang bisa melindungi namanya. Namun di sisi lain, ia khawatir. “Kalau ini malah memicu perang besar?” pikirnya.Di kantor, beberapa rekan kerja mendekatinya.“Wah, hebat ya. Pak Rayyan cepet banget lawan Fadlan di jalur hukum.”“Syukurlah, jadi nama kamu juga ikut bersih, Sya.”Aisyah hanya bisa tersenyum kaku, sementara hatinya berdesir setiap kali nama Rayyan disebut dalam kaitan melindunginya.---Sementara itu, Fadlan tidak tinggal diam. Di ruang kantornya, ia membanting koran dengan kesal.“Dasar brengsek! Dia pikir bisa menang dengan hukum?!” teriaknya.Salah satu asistennya mencoba me