Share

Mangsa

 

Akhirnya Eva bersama teman-temannya dapat menikmati bekal istirahat kali ini tanpa takut diganggu oleh hantu Qotsa lagi. Mereka memakan dengan lahap lauk seadanya tersebut. Sesekali bertukar lauk satu sama lain hingga sangat banyak sekali beraneka ragam lauk di atas piring.

Mengenai air minum Eva yang habis dipakai untuk menyembur Melly tadi, ia menggantinya dengan mengambil air galon yang ada di ruang OSIS. Bersama Ana pergi ke sana yang ternyata air cewek itu hanya tinggal setengah dan ingin dipenuhi lagi.

"Ehm. Lain kali kita bisa kali ya bikin video mukbang bareng hahaha. Liat nih makanannya banyak banget," celetuk Riska sambil menggigit sotong yang ada di tangannya.

"Eh, iya ya?" Uma mengangguk setuju. Gadis manis itu meminum minumannya sebelum lanjut bicara. "Bisa kali dipost ke YouTube. Siapa tau viewers-nya jadi banyak. Bisa dapet duit deh," girang cewek itu.

"Hehe, tidak semudah itu ferguso!" komentar Ana.

"Pertama kita gak punya kamera buat bikin videonya. Kedua gak punya laptop buat editnya. Ya kali semuanya di hape. Ngebug kentang gue!" Yana berseru.

"Gue ada laptop," tukas Eva. Hanya mengingatkan kalo ia punya benda itu.

"Laptop ada, kamera nggak ada," balas Yana tak mau kalah. "Kalo videonya pake laptop, buriq. Kalo pake hape, ngebug. Kalo kameranya bagus, hasilnya juga bagus. Jadi tuh ada lah daya tarik orang buat mampir nonton gituu."

"Omong-omong spanduk peraturan kok bisa ancur parah gitu ya?" gumam Uma mengingat spanduk peraturan sekolah yang berdiri pada setiap sudut tempat sekolahan ini hancur entah siapa pelakunya. Entah digigit atau diapakan sampai bisa bolong-bolong.

Eva menjentikkan jari yang mana kuah yang menempel pada jari itu jadi muncrat ke wajah Yana yang duduk di hadapannya.

"Anjim!" kaget Yana dan sontak memejamkan matanya.

"Heh!" Eva jadi ikut kaget dan teman-teman yang lain pun ikut kaget jadinya. "Ampun dah, gak sengaja gue, Na. Maaf-maaf," serunya meminta maaf sambil tertawa ngakak yang tak bisa ia tahan. Kenapa jadi nyembur begini hah?!

"Gue tadi tuh cuma mau bilang. Pas Uma ngomong soal spanduk tadi gue langsung keinget niat gue dari kemarin. Jentikin jari tuh refleks aja, gak tau kalo bakal nyiprat ke elo. Maaf, Na, maaf!" Permintaan maaf tak pernah absen, tapi Eva tak jua menyudahi tawanya yang justru semakin menjadi.

Tak hanya Eva yang tertawa, yang lain pun sama. Menyisakan Yana dengan muka mupengnya. Namun akhirnya ia tak tahan dan ikut tertawa keras juga.

"Abis ini kita ke kelas Ninda, ya? Bahas buat bikin spanduk yang baru lagi."

Pas 'kan? Ninda adalah anak kelas 11 IPA 1. Ia merupakan sekre di OSIS.

Eva ketosnya, Yana bendaharanya. Cocok sekali membahas masalah ini dengan mereka.

⋆•・ั⋆ᩡ🌸ꦿᩡ⋆・ั•⋆

Hanya tersisa beberapa orang saja di dalam kelas 11 IPA 1 itu. Wajar saja sih, saat ini masih waktunya istirahat dan memang biasanya anak-anak akan keluar dari kelas sekedar refreshing berjalan-jalan mengelilingi TB yang besarnya 80,1 he. Biasanya menggunakan kendaraan. Parkiran yang disediakan pun sangat banyak, tergantung gedung mana yang dipakai untuk belajar.

"Kemana Ninda, Put?" tanya Eva pada Putra yang diam di kelas menyalin catatan.

"Kantin kayaknya sama temen-temennya tadi. Soalnya gue kek denger mereka pada ngomong laper gitu."

Eva manggut-manggut. "Oalah, makasih, Put. Omong-omong lo rajin juga, yaa," ujarnya mengerling jahil.

Putra terbahak keras. "Jan gitu ngapa, Va? Gue malu nih sama lo. Ah jadi males kan gue."

"Eh?" Eva melotot. "Kok gitu sih. Sans aja kali. Udah ah, gue pamit ya. Dah ditungguin Yana di depan. Assalamu'alaikum."

"W*'alaikumussalam."

Sebenarnya Eva tak se-humble itu juga sih. Namun saat ini Eva hanya tengah berusaha menempatkan diri. Jika dulu ia bukan siapa-siapa, maka rasanya tak masalah menunjukkan jati diri sebenarnya yang kurang respect pada sekitar dan hanya fokus pada diri sendiri saja. Karena menurut Eva, basa-basi itu hanya membuang waktu saja. Akan lebih baik jika digunakan untuk belajar dan belajar. Lebih berguna 'kan?

Namun sekarang sudah beda lagi. Eva harus mengesampingkan pola pikirnya yang dahulu. Karena sebagai ketos haruslah punya hubungan baik pada siswa dan siswi setidaknya sebagai bukti bahwa ia peduli pada sekitarnya. Eva tahu ia tak bisa jadi ketos yang sempurna seperti yang diinginkan murid TB, tapi Eva akan berusaha semampunya.

"Gimana? Ada?" tanya Yana ketika melihat Eva hanya keluar seorang diri.

Eva menggeleng membenarkan. "Kantin katanya."

"Jadi gimana? Mau ke kantin?"

"Ya gimana? Susulin ajalah."

Yana menghela napas. Sejujurnya ia sudah malas ke kantin jika mengingat kejadian waktu itu. Padahal Eva yang mengalami, tapi rasanya ia yang trauma dan tak mau menginjakkan kaki di tempat itu lagi.

Baru saja hendak beranjak dari sana, Yana langsung melotot. Ia menepuk kencang bahu Eva hingga cewek itu mengaduh sakit dan terkejut.

"Geng Kompeni, Va!" seru Yana sebelum Eva hendak mengeluarkan umpatan kesalnya tadi.

"What?!" Eva ikut kaget. Ia segera mengedar pandang dan membelalakkan matanya menyadari anggota inti geng Kompeni itu berjalan ke arah mereka.

Demi apapun, Taruna Bangsa yang seluas ini kenapa bisa mempertemukan mereka dengan geng itu lagi?! Eva saja masih belum bisa mengobati rasa traumanya pada Arta yang menghajar Bima habis-habisan waktu itu. Jika melihat Arta maka bayang-bayang bagaimana brutalnya cowok itu kembali muncul. Kabarnya Bima sekarang dirawat di Rumah Sakit karena mengalami cedera cukup serius. Bukankah itu sangat keterlaluan?

Jika saja ia tak cepat menghubungi Adam untuk segera melapor pada guru BK mungkin saja Bima akan mati? Bahkan para guru saja kewalahan memisahkan Arta dari mangsanya.

Segera saja ke-dua gadis itu berbalik arah merapalkan berbagai macam do'a. Arta memanglah tampan, tapi dia tetaplah iblis. Teramat mengerikan untuk gadis polos seperti mereka.

"Gimana dong Nindaa?" keluh Eva meraup wajahnya sendiri dengan telapak tangan.

Sudah jauh-jauh ke sini niat bertemu Ninda malah kacau dan gagal semuanya karena geng Kompeni yang muncul tiba-tiba.

"Lo punya nomor dia nggak?" tanya Yana dibalas gelengan oleh Eva membuat Yana harus banyak-banyak beristighfar.

"Sebelumnya juga kita kan gak sedeket itu sama Ninda sampai harus punya nomor dia!" Eva berkilah membela diri. Iya, kali ini Eva memang benar juga.

"Kayaknya lain kali harus simpen semua nomor anggota OSIS deh biar gampang kalo ada apa-apa. Begini apaan dah, cuma capek doang. Udah mager gue, malah hampir papasan sama geng Kompeni." Yana menggerutu kesal.

Eva ikut mendengus juga jadinya. Apa yang dikatakan Yana memang benar. Atau nanti saja mungkin ya, dirinya bicarakan lebih dulu dengan Adam.

"Yang bilang kalo Ninda di kantin siapa?" tanya Yana.

"Anak kelasnya lah," jawab Eva sensi.

Yana langsung menoleh pada cewek itu. Terpancing emosinya. "Maksud gue namanya tuh siapa! Lo jawab tuh lebih spesifik lagilah. Anak kelas banyak kali!" Yana balik ngegas.

"Putra!" Eva membalasnya dengan teriakan kencang .

Membuat Yana menghela napas. "Lo hubungin dia deh sekarang. Suruh dia buat entar kasih tau Ninda kalo kita nyariin dia di kelas. Biar ada konfirmasi gitu aja sih."

Eva menganga. "Jadi maksud lo kita balik lagi ke kelas 11 IPA 1? Ada Kompeni di sana, udah gila lo?" Eva tak habis pikir. Mereka berjalan berlawanan arah begini kan mau menghindari anak Kompeni. Kalau balik ke sana lagi percuma dong jalan ke sini? Kocak!

"Lo telponlah bodoh!" Yana menggeram kesal.

"Mana gue punyalah nomornya!"

Yana memijit pelipisnya yang terasa berdenyut. "Lo bilang nggak tadi ke Putra, suruh dia sampain ke Ninda kalo kita nyari dia?"

"Enggak sih."

"Gue nungguin lo lumayan lama di luar, lo ngomong apa aja di dalam hah?! Astaghfirullahal 'azhim!" Yana hendak meraung saja rasanya benar-benar ingin menangis sekarang, tapi bohong.

"Gak kepikiran. Gue juga gak tau kalo kejadiannya bakal kayak gini," balas Eva mupeng.

"Seenggaknya lo minta nomor dia buat antisipasi, Va. Atau lo bilang ke dia biar kasih tau ke Ninda kalo kita nyariin. Kan belum tentu kita ketemu sama Ninda. Kayak sekarang nah."

"Lupa, gak kepikiran tad–aaaa!!"

Brak!

Pantat Eva seketika mencium lantai. Jantungnya berdegup kencang dengan napas yang memburu. Tak hanya dia, tangan Yana yang membantunya berdiri pun sama dinginnya. Bagaimana bisa Arta sudah tiba-tiba muncul di depan mereka. Membawa pasukan anggota inti Kompeni. Percayalah Eva ingin menangis sekarang. Ia ingin lari, tapi takut kelihatan sekali menghindarnya. Walau kenyataannya ia memang ingin kabur dari pandangan cowok itu.

"Lebay." Cowok bermodel rambut brewok halus berkomentar sinis membuat Eva dan Yana langsung menoleh padanya. Meski yang dipandang justru membuang muka.

Rambut keriting kecil seperti kerebo, tapi halus. Kedua kelopak mata yang sayu, bibir sedikit berisi dan tampak kenyal, hidung mancung, mata tajam, alis tebal, dan bulu mata lentik sangat indah.

Dia Rehan Gunandya. Mulut cowok itu memang tak perlu diragukan lagi bagaimana nyenyesnya.

Ingin rasanya Eva menabok mulut cowok itu jika tak mengingat bahwa dia adalah Rehan, cowok tempramen yang tak pandang bulu pada siapa pun. Bukan tak mungkin ketika Eva menabok mulutnya, ia akan balas menampar Eva detik itu juga.

Memangnya Eva pura-pura terkejut najis begitu hah yang kayak cewek alay biar dikata lemah? Jelas-jelas ia terkejut beneran. Cowok itu tak punya matakah untuk menyaksikannya terjungkal saking terkejutnya!?

Mengabaikannya, Eva memandang Arta. Mendongak untuk melihat wajah cowok tampan yang ada di depannya ini. Rambut klimis, alis mata tebal, mata setajam elang, hidung mancung dan bibir merah tipis serta tindik di tengahnya.

Siapa yang tak terpesona?

Eva pun cewek normal yang nafsu ketika disuguhi beginian. Candaa, Bestiee.

Ia menelan saliva ketika sadar tatapannya terbalas. Cowok itu sedikit merundukkam pandangannya.

"K-kak Arta. B-biarin gue sama temen gue lewat, yah?" pintahnya pelan. Demi apa pun ia dilanda gugup sekarang!

Salah satu sudut bibir Arta tertarik menciptakan senyuman miring. Ahh, mangsanya yang mungil ini.

"Imbalannya, hmm?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status