Hari sudah beranjak sore. Jarum jam yang melingkar di tangan kiri Rania sudah menunjukkan pukul 3 sore. Rania pun menghela nafas panjang.
Hmm, tinggal beberapa jam lagi sebelum mengambil keputusan untuk Yusuf. Sedangkan sampai sekarang, aku belum tahu harus bagaimana? Aku belum tahu harus pergi ke mana? Ya Allah, hamba mohon berikan petunjuk-Mu. Apa yang harus hamba lakukan? Berilah keajaiban-Mu Ya Allah. Hamba mohon, ucap Rania di dalam hatinya.
Dia menangis merasakan saat ini dirinya begitu tidak berdaya, begitu lemah. Langit yang semula terlihat cerah kini tiba-tiba saja berubah menjadi mendung. Tidak tahu apa karena sudah masuk musim pancaroba ataukah sang langit juga ikut bersedih melihat apa yang sudah dialami oleh gadis itu, entahlah.
Langkah Rania terhenti di salah satu sudut jalan yang masih sepi dari ribuan kendaraan. Tentu saja karena kaki Rania masih berada di dalam sebuah perumahan elite. Jarak yang sebenarnya tidak terlalu jauh untuk sampai ke persimpangan jalan raya namun kali ini benar-benar menguras tenaganya tanpa sisa.
Dengan lesu, Rania menengadahkan wajahnya, menatap langit senja yang sudah diselimuti banyaknya awan hitam. Apakah akan segera turun hujan? Aahh, dia sungguh tidak peduli. Rasa semangat di dalam hati Rania kini sudah benar-benar mati.
Rania terduduk di samping trotoar. Wajahnya dia tenggelamkan di kedua kakinya. Hatinya merasa sangat sakit. Disaat dia sedang diterpa ujian yang begitu berat sedangkan dirinya tidak bisa berbuat apa-apa, disitulah Rania sadar kalau setiap manusia itu lemah. Setiap manusia itu tidak patut menyombongkan dirinya sendiri. Lagipula apa yang mesti disombongkan, bila bernafas saja masih meminta udara kepada Allah.
Pikiran Rania kini kembali ke kejadian tadi malam. Kejadian di Rumah Sakit saat sang dokter mengatakan sebuah lomba berlari melawan waktu.
***
“Saya harap Anda bisa mengambil keputusan secepatnya karena kondisi pasien benar-benar gawat. Kita harus segera melakukan operasi karena gumpalan darah di otak itu sangat berbahaya. Jika terlambat sedikit saja maka kita akan kehilangan pasien,” ucap dokter tegas.
“Tapi dokter, darimana kami bisa mendapatkan uang sebanyak itu?” tanya Ibu Tyas menangis. Setelah dirinya kehilangan suami, dia tidak mau jika harus kehilangan sang anak juga.
“Kami mohon maaf, Bu. Tapi kita semua harus menjalankan sesuai prosedur yang ada. Saya hanya bisa memberikan waktu 1 x 24 jam untuk kalian mencari biayanya. Jika lebih dari itu, saya tidak bisa menjamin. Saya permisi dulu karena masih ada pasien lain yang harus saya tangani,” ujar dokter itu sambil berjalan keluar ruangannya diikuti Rania dan juga Ibu Tyas.
Hancur sudah semangat di dalam diri Rania mendengar sosok sang suami yang selama ini selalu ada sebagai penyemangat, sebagai kekuatan di dalam dirinya kini sedang kritis. Yusuf sedang berada diantara hidup dan mati. Air matanya pun terjatuh sangat deras saat itu juga. Merasakan rasa pedih dan sakit di dalam hatinya yang seolah ditusuk oleh ribuan jarum.
Sepasang kaki yang selama ini sangat kuat menopang berat tubuhnya, kini mendadak lemas bagaikan tak ada tenaga sama sekali, membuatnya terjatuh, terduduk lemas di atas lantai rumah sakit yang teramat dingin. Begitu banyak pasang mata yang memperhatikan dirinya namun tidak dia pedulikan sama sekali. Ini tentang hidupnya, ini tentang nafasnya, ini tentang jantung kehidupannya.
Seperti hal nya Rania, sang ibu mertua pun menangis tak berdaya. Rasanya dia ingin sekali menjerit. Kedua wanita ini benar-benar merasa kehilangan satu-satunya lelaki yang selama ini telah menjadi penopang hidupnya, telah menjadi tulang punggung keluarga. Tidak! Bukan kehilangan tapi sedang diambang kehilangan. Bukankah kehilangan dan diambang kehilangan adalah dua kata yang berbeda? Itulah yang ada di dalam pikiran Rania saat itu. Dia akan berusaha sekuat tenaga untuk bisa menyelamatkan sang suami yang begitu dia cintai itu.
Rania pun berdiri, berjalan mendekati Yusuf yang masih terbaring lemas tak sadarkan diri. Tangannya yang gemetar mengusap lembut pipi laki-laki yang selama ini selalu ada di dalam hatinya itu. Bibir yang bergetar maju mendekati wajah sang suami dan mendarat di atas kening laki-laki tersebut. Setelah menatap lekat wajah pucat sang suami, Rania kembali melangkahkan kakinya mendekati sang ibu mertua. Rania berjongkok untuk mensejajarkan badannya dengan sang ibu. Tangan kecilnya mengusap lembut buliran air mata yang sedari tadi tak berhenti mengalir dari kedua sudut kelopak mata tuanya.
“Bagaimana ini, Nak? Bagaimana ini?” ucap Ibu Tyas terus menangis.
“Ibu tenanglah dulu. Kita akan mencari jalan untuk bisa menyelamatkan Yusuf.”
“Ibu tidak mau kehilangan Yusuf, Nak. Ibu tidak mau.”
“Ibu, siapa yang ingin kehilangan Yusuf? Rania juga tak ingin kehilangan Yusuf, Bu. Rania juga sayang Yusuf. Dia suami Rania,” ucap Rania. Ibu Tyas pun memeluk sang menantu dan menangis di bahunya.
“Ibu tenanglah! Ibu percaya sama Rania. Yusuf kita pasti selamat,” ucap Rania dengan pasti. Dia ingin memberikan rasa semangat ke dalam tubuh sang ibu walaupun sebenarnya dia juga masih terus berusaha membangkitkan semangat itu sendiri di dalam tubuhnya. Namun dia tidak bisa terus terpuruk seperti ini. Kini hanya dia satu-satunya yang bisa menyelamatkan Yusuf. Dia yang harus berusaha mencari biaya agar sang suami bisa melaksanakan operasi secepatnya.
Rania berlari ke rumah, dia mencari apa saja yang sekiranya bisa dia jual. Para masyarakat di sekitar rumah Rania juga bergotong royong memberikan sumbangan untuk membantu meringankan beban biaya Yusuf. Sejak awal keluarga Tyas dan Ridho tinggal di rumah itu, tingkah lakunya sangat baik terhadap orang lain. Itu sebabnya mereka pun mau membantu dengan ikhlas untuk membantu keluarga Tyas.
Rania sudah mengeluarkan semua apa yang dia punya. Dia sudah menguras habis semua tabungannya, hasil dirinya menyisihkan uang nafkah dari sang suami. Selain itu dia juga terpaksa menjual sebuah cincin yang selama ini melingkar di jari manisnya. Satu-satunya kenangan pernikahannya dengan Yusuf. Uang hasil sumbangan dari para warga pun sudah ada di tangannya. Namun sayang, setelah semua itu digabungkan hasilnya masih belum cukup. Jangankan untuk biaya operasi, untuk biaya kamar dan obat saja masih jauh dari kata cukup.
Gadis itu benar-benar bingung. Dia benar-benar tidak tau lagi apa yang harus dia lakukan untuk menyelamatkan suaminya. Sampai akhirnya terbesit suatu ide di dalam otaknya untuk meminta tolong kepada Paman Luki. Dia berfikir kalau Paman Luki pasti akan mau menolongnya. Dia tau kalau hubungan diantara keluarga ayah mertuanya dan sang paman memang tidak terlalu baik, tapi apapun yang terjadi mereka adalah keluarga, memiliki satu darah yang sama.
Mendengar ide Rania sebenarnya Ibu Tyas menolak. Dia sangat tau bagaimana kelakuan adik iparnya itu. Dia tidak mungkin mau membantu keluarganya. Namun Rania tetap bersikeras untuk mencoba meyakinkan paman Luki. Dia sangat yakin kalau dirinya bisa meluluhkan hati sang paman.
Namun ternyata apa yang dikatakan sang ibu mertua benar. Paman Luki tidak mau membantu mereka sama sekali dan sekarang yang ada malah Rania mengetahui satu rahasia di dalam keluarga suaminya itu. Sebuah rahasia yang entah itu benar atau tidak.
***
Sungguh sangat berat beban yang dirasa oleh Rania saat ini. Dia benar-benar bingung bagaimana dia akan menghadapi sang ibu mertua yang sangat mempercayai dirinya akan berhasil. Dia sadar ini adalah kesalahannya yang sangat yakin akan berhasil sehingga dia pun memaksa sang ibu mertua untuk percaya kepadanya juga dan menghilangkan semua keraguan yang ada di dalam hatinya. Dia tidak tahu kalau selama ini dia tidak mengenal dengan baik bagaimana sifat dan tingkah laku keluarga dari suaminya itu. Dia hanya mengenal Ayah Ridho dan Ibu Tyas saja. Dia hanya meyakini sesuai dengan apa yang diajarkan oleh bunda Nayla, Ibu panti asuhan dimana selama ini ia tinggal bahwa semarah apapun setiap anggota keluarga, rasa kasih sayang diantara mereka tidak akan pernah menghilang.Sekarang ia hanya bisa mematung di tempat ia berdiri, merasa bingung harus kemana lagi sekarang. Sebuah suara dering ponsel miliknya membuyarkan lamunan Rania saat itu. Dengan segera dia mengambil ponsel yang sedari ta
Sore hari di rumah sakit tepat dimana Yusuf masih dirawat dengan sangat intensif oleh para dokter dan juga suster yang berjaga disana. Sambil menunggu keputusan keluarga tentang langkah selanjutnya kepada pasien, Yusuf pun dipindahkan terlebih dahulu ke ruang perawatan. Hanya Ibu Tyas saja yang selalu menjaganya, di sisinya dan tak sekali pun mau meninggalkan anak tersayangnya itu. Wajah Yusuf masih sangat pucat, dengan selang oksigen yang masih menempel di hidungnya dan jarum infus yang setia menusuk di tangannya. Kembali, melihat kondisi sang anak yang sangat mengkhawatirkan, Ibu Tyas kembali menangis. Ibu Tyas mendorong kursi rodanya untuk mendekat ke arah sang anak pas di samping kepala Yusuf. Tangannya yang sudah mulai mengerut tampak mengusap kepala sang anak. Hatinya benar-benar hancur melihat anak yang selama 9 bulan berada di dalam perutnya, seorang anak yang demi kelahirannya, ia ikhlas melawan hidup dan mati. Seorang anak yang tak pernah lupa disebut naman
Senja yang sangat cerah. Langit berwarana orange dengan angin bertiup sepoy-sepoy membuat beberapa orang sangat senang menghabiskan waktunya bermain di tempat terbuka. Di sebuah taman yang cukup luas, tampak banyak sekali anak-anak kecil berlarian, bermain dengan riangnya. Seolah tidak ada permasalahan sama sekali di dalam pikiran mereka. Namun bukankah memang demikian? Pikiran seorang anak kecil hanya terbebani dengan tugas sekolah saja. Mereka belum diberi beban untuk memikirkan permasalahan dunia yang begitu rumit dan terkadang membuat diri putus asa sampai-sampai ingin mengakhiri hidup.Pikiran seorang anak kecil begitu polos. Mereka belum mengenal permainan dunia yang sangat kejam, penuh intrik dan penuh dengan kebohongan serta kejahatan. Mereka belum mengenal orang-orang munafik yang selalu baik di depan namun buruk di belakang. Mereka hanyalah seorang anak kecil. Di dalam pikiran mereka hanya bermain, bermain, dan bermain.Tiba-tiba tampak sebuah bola berwarna b
Langit yang sedari tadi tampak mendung manahan daya serap awan yang semakin berat akhirnya merasa lelah juga. Menumpahkan titik-titik air hujan yang mulai membasahi jalanan ibu kota. Debu-debu yang semula menumpuk menutupi jalanan beraspal kini menghilang seolah tersapu oleh air hujan dan memunculkan bau yang terasa sangat menyengat di dalam hidung.Orang-orang yang semula berlalu-lalang di tengah jalan mulai menepi mencari tempat yang sekiranya nyaman untuk berteduh. Begitu juga beberapa motor yang sedang melaju, banyak diantaranya yang ikut menepi karena sang pengendara lupa tidak membawa jas hujan. Udara dingin mulai menyeruak menusuk ke sela-sela pori terdalam. Satu kesalahan lagi yang dilakukan oleh Rania kembali membuatnya menyesal. Sejak awal dia berangkat ke kota ini, dia lupa tidak membawa jaket ataupun payung. Rasa paniknya membuat dirinya tidak berfikir sampai ke arah situ.Alhasil Rania pun ikut berkumpul bersama orang-orang yang sedang menghindari air huja
“Halaaaahh, semua pencuri kalau sudah tertangkap pasti bilangnya terpaksa. Udah kita seret saja pencuri ini ke kantor polisi sekarang,” teriak laki-laki lainnya.Salah satu laki-laki yang posisinya paling dekat dengan Rania langsung menarik tangan gadis itu dengan kasar hendak menyeret tubuh Rania. Gadis itu pun memberontak, mencoba melepaskan tangannya dari genggaman laki-laki itu yang dirasa sangat menyakitkan. Bukan hanya rasa sakit di tangan saja, namun juga rasa sakit di dalam hatinya.“Ampun, Pak. Jangan bawa saya ke kantor polisi.”Rania terus saja memohon. Dia terus berusaha menggerakan tangannya agar bisa terlepas dari genggaman laki-laki itu. Air matanya pun sudah tak terbendung lagi. Tiba-tiba saja seorang ibu-ibu paruh baya berjalan mendekati wanita itu danPLAKIbu itu pun mendaratkan sebuah tamparan yang sangat keras kepada Rania, membuat bibir wanita ini sobek dan berdarah.“Pencuri wanita seperti
Beberap tahun yang lalu.Pada suatu malam yang sangat mencekam karena sang langit tengah menurunkan hujan yang sangat deras ditemani halilintar yang berbunyi berkali-kali. Di salah satu daerah di kota B, tepatnya di sebuah panti asuhan yang bernama Panti Asuhan Generasi Mandiri, semua anak sudah tertidur dengan sangat lelap sedari tadi. Bisingnya air hujan yang jatuh di atas genting nyatanya tidak membuat para anak-anak panti itu terbangun dari tidurnya. Mata mereka tetap saja tertutup seolah sedang asyik bermain di dunia mimpi sampai tidak sadar dengan apa yang terjadi di dunia nyata.Lain halnya para anak-anak, lain juga dengan orang dewasa. Di rumah panti itu kebetulan ada tiga orang manusia dewasa yang tinggal disana. Agung, sang pemilik rumah panti, Nayla istrinya, dan Reni adik dari Nayla. Usia Reni masih muda. semenjak orangtuanya meninggal gadis ini ikut tinggal bersana sang kakak dan kakak iparnya sambil mengurus anak-anak panti itu. Selain membantu sang kakak
“Ren, tolong jaga anak-anak ya! Mbak mau ke pasar dulu sebentar,” ucap Nayla kepada sang adik yang masih sedang sibuk menata makanan di atas meja makan. Iya, mereka baru saja selesai memasak sarapan untuk anak-anak semua. Sedangkan Agung sudah berangkat dari subuh ke tempat kerjanya karena sedang menyiapkan proyekan di luar pulau bersama atasannya.“Iya Mbak. Mbak hati-hati di jalan.”Dengan berbekal sebuah keranjang sayur yang dia pegang, Nayla pun berangkat ke arah pasar yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumahnya. Seperti layaknya pasar-pasar tradisional lainnya, setiap pagi pasar itu pun selalu saja padat oleh para ibu-ibu yang hendak berbelanja bahan masakan.“Loh Mbak Nayla, si cantik gak diajak lagi?” tanya salah satu pedagang sayur langganan Nayla.“Gak Mbak. Anaknya gak mau ikut lagi katanya,” jawab Nayla sambil tersenyum.“Wah, susah ya Mbak mengurus anak yang tertutup seperti itu?&
“Minumlah.” Dimas menyodorkan sebuah minuman kepada Rania yang saat itu masih duduk sambil tertunduk. Badannya masih saja bergetar merasakan sakit akibat banyaknya luka di sekujur tubuhnya. Walaupun saat ini air matanya sudah tidak lagi mengalir, akan tetapi gadis ini terus saja terdiam tanpa bersuara, melamun, pikirannya terbang jauh entah kemana. Setelah kejadian itu, kejadian yang hampir saja membuat Rania diseret masuk ke kantor polisi dan akhirnya membuat Dimas harus membawanya ke klinik terdekat, kini mereka berdua pun duduk berdua di sebuah kafe and resto sederhana yang ada di sekitaran rumah sakit tersebut untuk menenangkan diri. Karena tidak mendapatkan respon dari wanita di hadapannya, Dimas pun menyimpan minuman itu di atas meja sedangkan dia mendudukkan badannya di kursi tepat di depan Rania. Sedikit meneguk minuman pesanannya lalu kembali menatap wajah ketakutan sahabat sekaligus cinta pertamanya itu. Cinta pertama? Iya, Dimas sudah berteman dengan