Sungguh sangat berat beban yang dirasa oleh Rania saat ini. Dia benar-benar bingung bagaimana dia akan menghadapi sang ibu mertua yang sangat mempercayai dirinya akan berhasil. Dia sadar ini adalah kesalahannya yang sangat yakin akan berhasil sehingga dia pun memaksa sang ibu mertua untuk percaya kepadanya juga dan menghilangkan semua keraguan yang ada di dalam hatinya. Dia tidak tahu kalau selama ini dia tidak mengenal dengan baik bagaimana sifat dan tingkah laku keluarga dari suaminya itu. Dia hanya mengenal Ayah Ridho dan Ibu Tyas saja. Dia hanya meyakini sesuai dengan apa yang diajarkan oleh bunda Nayla, Ibu panti asuhan dimana selama ini ia tinggal bahwa semarah apapun setiap anggota keluarga, rasa kasih sayang diantara mereka tidak akan pernah menghilang.
Sekarang ia hanya bisa mematung di tempat ia berdiri, merasa bingung harus kemana lagi sekarang. Sebuah suara dering ponsel miliknya membuyarkan lamunan Rania saat itu. Dengan segera dia mengambil ponsel yang sedari tadi teronggok manis di dalam tas kecil miliknya. Ibu Tyas, nama itu yang muncul dari layar depan ponsel sederhana miliknya hadiah dari gaji pertama sang suami.
“Assalamualaikum,” sapa Rania mengangkat panggilan tersebut.
“Waalaikumsallam,” jawab suara serak dari sesorang paruh baya di balik telepon itu.
“Kamu dimana sayang?” tanya Ibu Tyas.
“Rania ini sudah mau pulang, Bu. Rania...” Belum sempat gadis itu menyelesaikan ucapannya, Ibu Tyas memotong dengan kata-kata yang seketika membuat Rania semakin hancur.
“Nak, cepat pulang, Yusuf semakin kritis. Dokter menyuruh keluarga untuk bisa datang semua,” ucap sang ibu mertua sambil menangis.
“Apa?”
Lemas, sakit, hancur, itulah yang sekarang dirasakan oleh Rania. Air matanya terus saja mengalir semakin deras, menghadapi ujian yang sangat bertubi-tubi ini.
“Apa yang terjadi dengan Yusuf, Bu? Apa yang terjadi?”
“Sudahlah Nak, pokoknya kamu cepat pulang saja. Ibu mohon.”
“Iya Bu, Rania segera pulang,” kata penutup dari gadis itu yang langsung menutup panggilan tersebut.
Rania kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas kecil yang sedari tadi tergantung asyik di bahunya. Kedua tangannya mengusap air yang terus jatuh dari kedua sudut matanya. Dia kembali melangkahkan kakinya yang sedari tadi terasa begitu berat melangkah namun kali ini berubah seperti melayang saking ingin sekali secepatnya pulang ke rumah.
Baru beberapa langkah saja Rania berjalan, tiba-tiba sebuah mobil mewah berwarna hitam menghadangnya, membuat gadis itu terpaksa menghentikan langkahnya kembali. Matanya terus menatap kaca mobil itu, ingin mengetahui siapakah gerangan seseorang yang sudah menghalanginya. Tak berapa lama, pintu mobil hitam itu pun terbuka, mengeluarkan sosok seorang laki-laki yang tentu saja Rania kenal. Siapa lagi kalau bukan Bian.
Rania menghembuskan nafas kasar. Dia tidak tahu apa lagi yang laki-laki ini inginkan darinya. Setelah apa yang sudah dia dan keluarganya lakukan, apakah itu masih belum cukup? Itulah beberapa pertanyaan yang terbesit di dalam pikiran Rania saat itu.
Bian berjalan perlahan, mendekat ke arah Rania. Membuka kacamata hitamnya dan menyimpannya di belahan dada kaos birunya hingga laki-laki itu pun kini sudah berdiri tepat di hadapan Rania. Kedua tangannya terlipat di depan perutnya. Senyum menyeringai yang penuh dengan nafsu dan ejekan kembali tersaji di mata Rania.
“Kamu mau apa lagi Bian?” tanya Rania. Entah mendapatkan keberanian darimana tapi kali ini, Rania berani menatap wajah Bian dan berbicara dengan nada yang sedikit tinggi.
“Waw, si kucing yang manis dalam sekejap berubah menjadi singa betina rupanya. Tapi aku semakin menyukainya,” oceh Bian tanpa menjawab pertanyaan Rania. Rania pun membalas dengan senyuman sinis.
“Hmm, suka? Bukannya tadi di depan Papih kesayanganmu itu kamu bilang kamu sudah tidak menyukaiku? Karena aku adalah barang bekas Yusuf?” ucap Rania dengan senyum mengejek. Namun hal itu malah membuat Bian ketawa.
Rania yang sudah sangat kesal dengan tingkah Bian, berusaha berjalan ke arah samping untuk melewati laki-laki itu. Di dalam pikirannya saat ini dirinya sedang tidak ada waktu untuk meladeni laki-laki gila itu. Dia harus segera pulang untuk menemui Yusuf. Sedangkan untuk sampai ke rumahnya memakan waktu hingga 5 jam perjalanan. Itu pun dengan menggunakan bus yang tidak setiap saat ada di terminal. Bus itu biasanya muncul setiap satu jam sekali. Jika Rania melewatkan bus yang sekarang, otomatis dia harus menunggu bus selanjutnya.
“Rania, aku akan memberikanmu uang untuk biaya operasi Yusuf,” Teriak Bian yang seketika menghentikan langkah Rania.
Menyadari gadis itu berhenti, laki-laki itu pun berjalan mendekatinya. Kembali berdiri di depan Rania dan melanjutkan kata-katanya.
“Iya, aku akan membantumu untuk bisa mengobati Yusuf,” ucap Bian kembali meyakinkan.
Rania terkejut sekaligus merasa aneh. Bagaiamana bisa Bian mau menolong Yusuf? Bagaimana bisa Bian bersedia menolong laki-laki yang selama ini sangat dia benci dan menjadi rivalnya untuk mendapatkan Rania dulu?
“Kenapa kaget?” tanya Bian sambil tersenyum, namun Rania masih saja diam mendengarkan.
“Aku tahu Papihku sangat keras. Dia tidak akan mau membantu Yusuf dan juga keluarganya. Tapi aku bisa membantu mereka, namun itu semua tidaklah gratis,” jelas Bian.
Sudah Rania duga, semuanya tidaklah segampang yang dia pikirkan. Bian tidak mungkin mau menolong Yusuf jika tidak ada maksud dibalik itu semua. Akan tetapi apa yang laki-laki itu inginkan dari Rania?
“Apa maumu Bian?” tanya Rania pelan. Bian kembali menyeringai.
“Sejak dari tadi aku melihatmu begitu kebingungan. Bahkan lihatlah sekarang, matamu saja sudah sangat bengkak akibat terlalu banyak menangis. Aku perhatikan demi uang itu kamu rela melakukan apa saja bahkan hingga berlutut dihadapan Papih dan Mamih.”
Bian menarik nafasnya sejenak sebelum dirinya kembali melanjutkan kata-katanya.
“Baiklah begini saja Rania, bagaimana kalau kita melakukan sebuah kesepakatan. Aku akan memberikanmu uang berapa pun yang kamu butuhkan tapi sebagai gantinya kamu harus menuruti apapun yang aku katakan.”
“Apa maksudmu?” tanya Rania masih tidak mengerti.
"Baiklah, singkatnya begini. Berapa jumlah uang yang kamu butuhkan saat ini? Aku akan memberikanmu, cash. Tapi sebagai gantinya, aku ingin kamu menemani aku tidur malam ini.”
DEG
Syarat apa itu? Bagaiamana bisa Bian berfikir sampai ke arah situ? Rania terkejut. Dia tidak pernah menyangka kalau Bian akan memberikan syarat yang begitu menjijikan. Dia masih bisa menerima ketika Paman Luki memintanya untuk berlutut di kakinya, dia masih bisa menuruti hal itu. Tapi tidur bersama Bian? Apa dia sudah gila? Rania tahu kalau dia sangat membutuhkan uang itu tapi dia tidak mau memberikan apa yang sudah menjadi milik suaminya kepada orang lain. Apalagi orang lain itu adalah Bian. Sampai kapanpun Rania tidak mau melakukan hal itu. Sampai kapan pun dia tidak mau mengkhianati cinta suaminya.
PLAK
Tangan kanan Rania melayang begitu saja, menampar pipi Bian dengan sangat keras, membuat laki-laki itu sedikit meringis kesakitan.
“Apa kamu gila? Aku memang butuh uang itu tapi aku tidak akan mau menjual diri ini kepada siapapun juga. Apalagi kepada laki-laki bejat sepertimu,” teriak Rania penuh emosi, namun lagi-lagi Bian hanya tersenyum.
“Baiklah. Aku sudah memberikan penawaran kepadamu tapi jika kamu menolak, ya terserah saja. sekarang kamu tinggal menunggu saja suami tercintamu itu terkubur di dalam tanah.”
“Aku akan terus berusaha untuk menyelamatkan suamiku. Dengan atau tanpa bantuan darimu.”
Rania yang emosi, pergi berjalan dengan sangat cepat meninggalkan Bian yang masih terus menatap gadis itu.
“Lihatlah Rania, aku tidak akan pernah membuat hidupmu tenang. Tamparan ini, rasa sakit di pipi ini akan selalu mengingatkan aku untuk terus merusak kehidupan bahagiamu. Dari dulu hingga sekarang, aku tidak rela melihatmu bahagia. Lihat saja apa yang bisa aku lakukan.”
***
Sore hari di rumah sakit tepat dimana Yusuf masih dirawat dengan sangat intensif oleh para dokter dan juga suster yang berjaga disana. Sambil menunggu keputusan keluarga tentang langkah selanjutnya kepada pasien, Yusuf pun dipindahkan terlebih dahulu ke ruang perawatan. Hanya Ibu Tyas saja yang selalu menjaganya, di sisinya dan tak sekali pun mau meninggalkan anak tersayangnya itu. Wajah Yusuf masih sangat pucat, dengan selang oksigen yang masih menempel di hidungnya dan jarum infus yang setia menusuk di tangannya. Kembali, melihat kondisi sang anak yang sangat mengkhawatirkan, Ibu Tyas kembali menangis. Ibu Tyas mendorong kursi rodanya untuk mendekat ke arah sang anak pas di samping kepala Yusuf. Tangannya yang sudah mulai mengerut tampak mengusap kepala sang anak. Hatinya benar-benar hancur melihat anak yang selama 9 bulan berada di dalam perutnya, seorang anak yang demi kelahirannya, ia ikhlas melawan hidup dan mati. Seorang anak yang tak pernah lupa disebut naman
Senja yang sangat cerah. Langit berwarana orange dengan angin bertiup sepoy-sepoy membuat beberapa orang sangat senang menghabiskan waktunya bermain di tempat terbuka. Di sebuah taman yang cukup luas, tampak banyak sekali anak-anak kecil berlarian, bermain dengan riangnya. Seolah tidak ada permasalahan sama sekali di dalam pikiran mereka. Namun bukankah memang demikian? Pikiran seorang anak kecil hanya terbebani dengan tugas sekolah saja. Mereka belum diberi beban untuk memikirkan permasalahan dunia yang begitu rumit dan terkadang membuat diri putus asa sampai-sampai ingin mengakhiri hidup.Pikiran seorang anak kecil begitu polos. Mereka belum mengenal permainan dunia yang sangat kejam, penuh intrik dan penuh dengan kebohongan serta kejahatan. Mereka belum mengenal orang-orang munafik yang selalu baik di depan namun buruk di belakang. Mereka hanyalah seorang anak kecil. Di dalam pikiran mereka hanya bermain, bermain, dan bermain.Tiba-tiba tampak sebuah bola berwarna b
Langit yang sedari tadi tampak mendung manahan daya serap awan yang semakin berat akhirnya merasa lelah juga. Menumpahkan titik-titik air hujan yang mulai membasahi jalanan ibu kota. Debu-debu yang semula menumpuk menutupi jalanan beraspal kini menghilang seolah tersapu oleh air hujan dan memunculkan bau yang terasa sangat menyengat di dalam hidung.Orang-orang yang semula berlalu-lalang di tengah jalan mulai menepi mencari tempat yang sekiranya nyaman untuk berteduh. Begitu juga beberapa motor yang sedang melaju, banyak diantaranya yang ikut menepi karena sang pengendara lupa tidak membawa jas hujan. Udara dingin mulai menyeruak menusuk ke sela-sela pori terdalam. Satu kesalahan lagi yang dilakukan oleh Rania kembali membuatnya menyesal. Sejak awal dia berangkat ke kota ini, dia lupa tidak membawa jaket ataupun payung. Rasa paniknya membuat dirinya tidak berfikir sampai ke arah situ.Alhasil Rania pun ikut berkumpul bersama orang-orang yang sedang menghindari air huja
“Halaaaahh, semua pencuri kalau sudah tertangkap pasti bilangnya terpaksa. Udah kita seret saja pencuri ini ke kantor polisi sekarang,” teriak laki-laki lainnya.Salah satu laki-laki yang posisinya paling dekat dengan Rania langsung menarik tangan gadis itu dengan kasar hendak menyeret tubuh Rania. Gadis itu pun memberontak, mencoba melepaskan tangannya dari genggaman laki-laki itu yang dirasa sangat menyakitkan. Bukan hanya rasa sakit di tangan saja, namun juga rasa sakit di dalam hatinya.“Ampun, Pak. Jangan bawa saya ke kantor polisi.”Rania terus saja memohon. Dia terus berusaha menggerakan tangannya agar bisa terlepas dari genggaman laki-laki itu. Air matanya pun sudah tak terbendung lagi. Tiba-tiba saja seorang ibu-ibu paruh baya berjalan mendekati wanita itu danPLAKIbu itu pun mendaratkan sebuah tamparan yang sangat keras kepada Rania, membuat bibir wanita ini sobek dan berdarah.“Pencuri wanita seperti
Beberap tahun yang lalu.Pada suatu malam yang sangat mencekam karena sang langit tengah menurunkan hujan yang sangat deras ditemani halilintar yang berbunyi berkali-kali. Di salah satu daerah di kota B, tepatnya di sebuah panti asuhan yang bernama Panti Asuhan Generasi Mandiri, semua anak sudah tertidur dengan sangat lelap sedari tadi. Bisingnya air hujan yang jatuh di atas genting nyatanya tidak membuat para anak-anak panti itu terbangun dari tidurnya. Mata mereka tetap saja tertutup seolah sedang asyik bermain di dunia mimpi sampai tidak sadar dengan apa yang terjadi di dunia nyata.Lain halnya para anak-anak, lain juga dengan orang dewasa. Di rumah panti itu kebetulan ada tiga orang manusia dewasa yang tinggal disana. Agung, sang pemilik rumah panti, Nayla istrinya, dan Reni adik dari Nayla. Usia Reni masih muda. semenjak orangtuanya meninggal gadis ini ikut tinggal bersana sang kakak dan kakak iparnya sambil mengurus anak-anak panti itu. Selain membantu sang kakak
“Ren, tolong jaga anak-anak ya! Mbak mau ke pasar dulu sebentar,” ucap Nayla kepada sang adik yang masih sedang sibuk menata makanan di atas meja makan. Iya, mereka baru saja selesai memasak sarapan untuk anak-anak semua. Sedangkan Agung sudah berangkat dari subuh ke tempat kerjanya karena sedang menyiapkan proyekan di luar pulau bersama atasannya.“Iya Mbak. Mbak hati-hati di jalan.”Dengan berbekal sebuah keranjang sayur yang dia pegang, Nayla pun berangkat ke arah pasar yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumahnya. Seperti layaknya pasar-pasar tradisional lainnya, setiap pagi pasar itu pun selalu saja padat oleh para ibu-ibu yang hendak berbelanja bahan masakan.“Loh Mbak Nayla, si cantik gak diajak lagi?” tanya salah satu pedagang sayur langganan Nayla.“Gak Mbak. Anaknya gak mau ikut lagi katanya,” jawab Nayla sambil tersenyum.“Wah, susah ya Mbak mengurus anak yang tertutup seperti itu?&
“Minumlah.” Dimas menyodorkan sebuah minuman kepada Rania yang saat itu masih duduk sambil tertunduk. Badannya masih saja bergetar merasakan sakit akibat banyaknya luka di sekujur tubuhnya. Walaupun saat ini air matanya sudah tidak lagi mengalir, akan tetapi gadis ini terus saja terdiam tanpa bersuara, melamun, pikirannya terbang jauh entah kemana. Setelah kejadian itu, kejadian yang hampir saja membuat Rania diseret masuk ke kantor polisi dan akhirnya membuat Dimas harus membawanya ke klinik terdekat, kini mereka berdua pun duduk berdua di sebuah kafe and resto sederhana yang ada di sekitaran rumah sakit tersebut untuk menenangkan diri. Karena tidak mendapatkan respon dari wanita di hadapannya, Dimas pun menyimpan minuman itu di atas meja sedangkan dia mendudukkan badannya di kursi tepat di depan Rania. Sedikit meneguk minuman pesanannya lalu kembali menatap wajah ketakutan sahabat sekaligus cinta pertamanya itu. Cinta pertama? Iya, Dimas sudah berteman dengan
Malam itu hujan disertai angin dan juga petir menyambar sangat kencang. Malam itu langit benar-benar sangat gelap, tak ada setitik cahaya pun disana. Sinar rembulan ataupun gemerlap bintang seolah bersembunyi karena takut dengan garangnya awan hitam di malam hari. Semua pintu dan jendela di setiap rumah sudah terkunci dengan rapat. Para penghuninya pun lebih memilih untuk segera membaringkan badannya di atas tempat tidur dan memejamkan matanya, berharap saat mereka bangun, hujan deras itu sudah berhenti.Semua anak-anak di panti asuhan sudah tertidur. Bahkan Reni pun sudah berpetualang di alam mimpinya. Hanya Nayla saja yang masih terjaga. Dia duduk bersimpuh dengan balutan mukena berwarna putih dengan tangan yang terus memutar bulatan-bulatan tasbih. Bibirnya tak henti melafadzkan dzikir dan sholawat nabi. Mencoba mengetuk pintu langit ke tujuh untuk meminta keselamatan kepada Sang Maha Pemilik Kehidupan bagi sang suami yang kini sedang dalam perjalanan dinas ke luar pulau.