Hari yang cerah seakan menambah semangat baru. Tak terkecuali bagi Miranda. Ia mencoba mengikhlaskan segala masalah yang belakangan ini menyesaki pikirannya. Senyum tulus kini menghiasi wajahnya, memancarkan kecantikan alami yang selama ini tersembunyi. Sambil mencuci sayur-sayuran yang baru dibelinya di pasar, ia berusaha menikmati pagi yang damai.
Dari ambang pintu, Yunita berdiri dengan kedua tangan bersilang, memperhatikan Miranda dalam diam. Tatapannya menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak. Setelah beberapa saat, ia melangkah mendekat, memasang senyum tipis yang samar di bibir mungilnya.
"Hai, kamu lagi apa?" tanyanya dengan suara lembut.
Miranda menoleh sekilas dan membalas dengan senyum kecil. "Lagi mencuci sayuran."
Yunita mengangguk, tapi sorot matanya tetap menyimpan misteri. Tanpa banyak bicara, ia berpura-pura tak ingin mengganggu dan berbalik pergi. Namun, bukannya benar-benar menjauh, ia justru berhenti di balik pintu, mengintip Miranda dengan ekspresi penuh perhitungan.
"Aku akan membuatmu semakin dibenci olehnya," gumamnya pelan sebelum berlalu.
Di teras rumah, Kelvin duduk termenung. Pikirannya masih dipenuhi bayang-bayang kepergian kedua orang tuanya, meninggalkan luka yang belum juga sembuh. Di tengah kesedihannya, kobaran dendam mulai merayapi hatinya.
Yunita melangkah mendekatinya tanpa ragu. Tanpa banyak basa-basi, ia duduk di samping Kelvin dan menatapnya penuh pengertian. "Aku yakin, kedua orang tuamu sudah tenang di surga," ucapnya lirih.
Kelvin menarik napas panjang, seolah berharap beban di dadanya ikut luruh bersama hembusannya. Yunita meraih pergelangan tangannya, memberi sentuhan lembut yang menenangkan. Kelvin menatapnya, matanya sedikit melembut.
"Terima kasih, Yunita. Kamu memang sahabat terbaikku."
Sementara itu, Miranda mulai menggoreng bayam yang telah dibumbui. Aroma khas masakan mulai memenuhi udara, merayap hingga ke teras rumah. Kelvin yang masih duduk di sana mengernyit saat mencium aroma menggugah selera itu.
"Yunita, siapa yang masak di dalam?" tanyanya penasaran.
Yunita tersenyum tipis. "Istrimu."
Mendengar jawaban itu, ekspresi Kelvin berubah. Wajahnya yang semula tenang mendadak mengeras, seolah kehilangan selera makan. Yunita menatapnya penuh arti.
"Ayo, masuk. Makan bersama," ajaknya.
Kelvin menggeleng. "Aku tidak mau makan masakan Miranda."
Yunita berpura-pura membujuknya hingga akhirnya Kelvin luluh. "Aku cek dulu, ya," katanya sebelum masuk ke dapur.
Saat tiba di meja makan, ia melihat Miranda telah menyusun hidangan dengan rapi. "Wah, sudah selesai memasak?" tanyanya ceria.
Miranda meneguk ludah, merasa gugup. Sejak dulu, hanya Cleo yang mencicipi masakannya. Kini, ia harus menyajikannya di hadapan Kelvin dan Yunita, sesuatu yang membuatnya ragu.
"Coba kamu panggil Kelvin," pinta Yunita tiba-tiba.
Miranda tersentak. Ia menggeleng, merasa belum siap. Namun, Yunita hanya tersenyum penuh arti. "Aku tidak punya hak untuk itu, Miranda. Kamu istrinya, bukan aku."
Akhirnya, Miranda mengumpulkan keberanian dan melangkah ke teras. Begitu ia pergi, Yunita beraksi. Ia merogoh kantong celananya, mengeluarkan bubuk halus, lalu menaburkannya ke atas hidangan dengan gerakan cepat dan penuh kepuasan. Setelah itu, ia pura-pura masuk ke kamar tidur.
Tak berselang lama, Miranda datang kembali bersama Kelvin. Yunita menyambut mereka dengan senyum lebar. "Wah, kalian akhirnya makan bersama. Ini kemajuan besar!" candanya.
Miranda tersipu malu, sementara Kelvin tetap dingin. "Ayo, mulai makan," ujar Miranda, mencoba mencairkan suasana.
"Aku tidak mau makan tanpa kamu," sahut Kelvin tanpa ekspresi.
Yunita tersenyum, tapi Miranda merasa ada sesuatu yang janggal. Ia menepis perasaan itu dan mulai makan. Masakannya ternyata begitu lezat, hingga Kelvin pun melahapnya dengan lahap. Yunita pun mengakui kelezatannya, meski dalam hati ia menahan diri.
Beberapa saat kemudian, Kelvin tiba-tiba merasakan sakit di perutnya. Wajahnya menegang, dan ia buru-buru berdiri. Hal yang sama terjadi pada Yunita dan Miranda. Ketiganya bergegas ke kamar mandi terpisah, bergantian keluar masuk dengan wajah pucat.
Setelah berkali-kali bolak-balik, Yunita menghubungi seorang teman. Tak lama kemudian, seorang perempuan bernama Mulan datang, membawa obat diare.
"Ini obatnya," ucapnya sambil menyerahkan kepada Yunita.
Kelvin hendak membayar, tetapi Mulan menolaknya dengan halus. Setelah meminum obat, perlahan mereka merasa lebih baik. Namun, Kelvin masih diliputi kecurigaan. Ia menatap Miranda dengan tajam, lalu tiba-tiba mencengkeram lehernya.
"Ini pasti ulahmu! Kamu sengaja meracuni kami!" bentaknya penuh amarah.
Miranda tercekik, wajahnya memucat. Yunita dengan sigap berusaha melepaskan tangan Kelvin. Setelah berhasil, Miranda terbatuk-batuk, matanya berkaca-kaca.
Kelvin tidak meminta maaf. Tanpa berkata apa pun, ia melangkah pergi, meninggalkan Miranda yang masih terguncang.
Saat itu juga, raut wajah Yunita berubah. Dari penuh kepedulian menjadi penuh kepuasan. Bibirnya menyunggingkan senyum menyeringai. Aktingnya berjalan sempurna. Tidak ada seorang pun yang mencurigai dirinya.
"Terima kasih, Yunita," lirih Miranda, suaranya lemah.
"Kamu baik-baik saja? Perlu aku antar ke rumah sakit?" tanya Yunita, pura-pura khawatir.
Miranda menggeleng. "Aku hanya butuh istirahat. Dan... aku benar-benar minta maaf. Aku tidak pernah berniat meracuni kalian."
Yunita tersenyum lembut, menepuk pundaknya dengan ringan. "Istirahatlah, Miranda. Aku yakin ini semua hanya kesalahpahaman."
Begitu Miranda masuk ke kamar, Yunita menatap pintu yang tertutup. Matanya menyipit, bibirnya berbisik, "Dasar bodoh... begitu mudahnya aku menipumu."
Saat hendak ke kolam renang, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk. Yunita membaca isinya dan tersenyum puas sebelum membalasnya cepat.
"Kamu tidak akan mendapatkan harta secuil pun, meskipun aku sudah berjanji," gumamnya.
Rupanya, baik Yunita maupun Mulan, mereka sama-sama terlibat dalam rencana licik. Segala sesuatu sudah diatur, termasuk obat diare yang dijual oleh Mulan sendiri. Namun, Yunita tak pernah benar-benar berniat membagi hartanya dengan Mulan.
"Kamu hanya membantuku sekarang, tapi maaf, aku sudah merencanakan akhir yang berbeda untukmu," bisiknya seraya melangkah pergi, meninggalkan bayangan rencana jahat yang semakin matang di kepalanya.
Olivia nekat menemui mantan pembantu yang pernah bekerja di rumah Jessika. Dengan berharap ia akan menemukan jawaban yang bisa membebaskan Andra dari tuduhan-tuduhan yang tidak benar. Hanya saja, rumah yang dituju cukup jauh dari perkotaan tempat Olivia tinggal dan gak inilah yang menyebabkan Olivia tidak bisa mendampingi Andra selama proses persidangan berlangsung. Selama perjalanan yang berliku-liku itu akhirnya membuahkan hasil. Pembantu tersebut mengaku siap menjadi saksi mata tanpa dibayar sepeserpun. Pembantu itu pun bahkan mengaku telah menyimpan bukti rekaman cctv yang menangkap rekaman saat Olivia dan Andra terjebak dan di sekap di rumah Jessika. “Kalau begitu kita harus ke kota sekarang Bik. Kita harus tunjukkan bukti cctv ini” ujar Olivia dengan penuh harap. “Mohon maaf Non, bukannya saya tidak mau membantu tapi untuk saat ini saya belum bisa ke kota Non. Kemarin Mama saya meninggal dunia dan saya masih dalam suasana berduka” ujar si mantan pembantu Jessika. “Lalu ka
“Aku tidak bisa menceritakan ini sama kamu karena waktu kita tidaklah banyak! Olivia, aku telah berkorban untuk kamu dan sekarang kamu harus menuruti apa yang aku katakan. Sekarang, kamu harus pergi sejauh mungkin dan minta pertolongan pada orang lain. Lupakan aku, aku pasti akan kembali” ujar Andra sambil memegang jari tangan Olivia dengan erat. Seakan ia tak ingin dipisahkan dengan wanita yang sangat dicintai. “Tapi kamu berjanji akan menyusul aku Ndra?” tanya Olivia.“Aku berjanji” Andra menunjukkan jari kelingkingnya agar Olivia mempercayainya. Sembari menitikkan air mata, Olivia mencoba membalas dengan menunjukkan jari kelingkingnya dan kemudian Andra menghapus air mata yang telah membengkak kan mata Olivia. "Kamu tidak pantas menangis, kamu harus bisa melawan tangisan itu demi aku" pinta Adra.Olivia dengan berat hati meninggalkan Andre seorang diri. Hatinya sakit namun ini juga demi Andra. Andra memerintahkannya untuk pergi tanpa tahu alasan yang sebenarnya mengapa Andra tidak
Setelah berusaha keras untuk membuka gembok pintu akhirnya gembok itu pun terbuka. Miranda tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan tersebut untuk kabur dan menjauh sejauh mungkin. Bahkan ia belum sempat memakai sendal karena terburu-buru.Hujan badai turun membuat tubuhnya basah dan kedinginan. Tiada lagi tempat yang akan ia berteduh. Hingga seorang ojek online datang menghampirinya. Awalnya Miranda mengira orang itu adalah mata-mata dari Cleo namun setelah berkomunikasi, Miranda yakin bahwa orang itu adalah orang baik.“Tolong saya, antarkan saya ke kantor polisi” pinta Miranda.“Baik Bu, ayo duduk Bu” ujar ojek tersebut ketika sudah memberikan helm pada Miranda.Setelah Miranda duduk membonceng, ia pun bisa bernafas dengan lega. Ia telah ditolong oleh tuhan untuk bisa meloloskan diri. Tidak henti-hentinya ia berdoa agar bisa sampai di kantor polisi.“Bu, sudah sampai ini” ujar si ojek online. Miranda memberikan uang pada si tukang ojek lalu ia masuk ke dalam kantor polisi untuk melap
“Andra bangun!!!” teriak Jessika. Beberapa orang menyarankan Andra harus dibawa ke rumah sakit namun Jessika menolak. Ia yakin bahwa Andra pasti akan sadar sendiri.Selama beberapa detik Andra pingsan Andra pun sadar. Salah satu orang memberikan air putih kepadanya. Merasa lebih baik Andra meminta maaf karena ia mengaku tidak enak badan. Para tamu undangan pun telah pulang dan kini menyisakan kedua belah pihak yakni orang tua Andra maupun orang tua Jessika.“Jeng Siska, nanti putri Jeng Siska pasti akan saya jaga dengan kasih sayang di rumah saya” ujar Yunita yang kini telah resmi menjadi mertua Jessika.“Loh... Tidak perlu susah-susah seperti itu Jeng. Anak saya akan tetap tinggal di rumah ini yang ada si Andra sendiri yang pindah rumah dan tinggal di rumah ini” ujar Siska.Yunita tersentak kaget karena ia tidak diberitahu sebelumnya oleh Andra. Sementara ia sendiri tidak dapat protes karena tahu diri sama siapa ia berhadapan. “Andra, apa benar yang dikatakan Jeng Siska itu?” tanya Y
“Aku tidak bisa menikah sama kamu Jes. Kamu tahu sendiri bahwa aku tidak pernah memiliki perasaan lebih ke kamu” ujar Andra menegaskan.“Kamu tinggal pilih menikah dengan aku atau kamu harus melihat cewek ini akan merasakan kelaparan? Kalau memang kamu mencintai pacar kamu ini maka sebaiknya kamu harus tunjukkan itu dengan cara menikahlah denganku Sayang” ujar Jessika.Andra tertunduk ia tidak bisa menjawab. Jessika tersenyum lalu berkata, “Kamu tenang saja Andra, aku akan memberikan kamu kesempatan untuk memilih hanya malam ini saja kalian bisa merenungkan itu. Untuk besok pagi, aku akan ke sini lagi dan menerima jawaban kamu. Setelah itu aku tidak akan lagi kesini untuk memberikan kamu peluang untuk hidup”“Kamu sudah gila Jessika!!!” teriak Olivia.Jessika tidak menghiraukan teriakan Olivia karena sejujurnya Jessika sudah muak melihat wajah Olivia. Jessika pun keluar dari sana dan meninggalkan Olivia maupun Andra.“Andra, apa keputusan kamu? Aku yakin, kita bisa bebas tanpa harus k
“Apa maksud kamu Jessika?” tanya Olivia.Jessika tersenyum sumringah dan menyentuh rambut Olivia. Tindakan Jessika yang menyentuh rambut Olivia dengan cepat Olivia menghempaskan tangan Jessika dari rambutnya yang lurus.Jessika tidak marah namun ia semakin sumringah hingga tertawa terbahak-bahak. Dalam hati Andra, Jessika sudah tidak normal. Jessika pun memberhentikan tawaanya lalu menatap wajah Olivia dan Andra secara bergantian.“Apa kalian ingin aku menceritakan semuanya?” tanya Jessika dengan santai.Andra mengangguk sementara Olivia sudah hampir tersulut emosi. Syukurlah Andra berhasil menenangkan Olivia agar Olivia bisa lebih sabar lagi menghadapi sikap Jessika yang sudah tidak waras ini. Kini, raut wajah Jessika sudah tidak lagi sumringah karena kini raut wajahnya telah berubah menjadi sedih.“Aku benci sama kalian! Terutama kamu Olivia!!!” teriak Jessika.“Kamu... Sama Papa kamu sama saja! Kalian telah menyakiti hati aku yang rapuh ini khiks. Aku hanya ingin merasa dicintai,