Sintya seorang istri yang begitu baik, lembut, dan penurut itu harus menerima kenyataan pahit. Suami yang begitu ia banggakan, telah mengkhianati pernikahan ini, pernikahan yang telah ia bangun selama 16 tahun ini harus berakhir dengan sebuah pengkhianatan. Sintya bahkan menyaksikan sendiri suaminya tengah bertukar peluh dengan wanita lain, hatinya begitu hancur, hatinya begitu sakit, namun sekali lagi, ia harus kuat demi Rizki anak semata wayangnya. Sintya tak rela semua jerih payahnya selama membersamai suaminya, harus jatuh begitu saja ke tangan sang penggoda, ia tak rela saat semua ketulusan dan pengorbanan yang ia berikan untuk suaminya hingga mencapai titik ini, harus jatuh dan di nikmati oleh sang wanita itu. Bagaimana langkah Sintya dalam mengambil sikap selanjutnya? Bagaimana Sintya menjalankan misinya untuk bisa merebut semua aset yang telah ia bangun bersama suaminya agar tak jatuh ke tangan sang penggoda?
View More"Mas, ini tehnya," ucapku meletakkan secangkir teh hangat untuk Mas Yudi suamiku, dan menjatuhkan bobotku di sampingnya.
"Hmm," jawab Mas Yudi tanpa menoleh sedikitpun ke arahku, jemarinya sibuk dengan ponselnya.
Seperti biasa usai pulang kerja, selalu aku suguhkan teh panas untuk lelaki yang sudah membersamaiku selama 16 tahun ini.
Melihat responnya cuek seperti itu membuatku jadi kikuk sendiri, aku menatap lelaki yang duduk di sampingku ini, namun tak juga bergeming. Bahkan seolah tak menganggapku ada, sepertinya gawainya lebih menarik perhatiannya.
"Ya sudah, Aku siapkan makan malam buat Mas, ya!"
Aku bangkit, Mas Yudi hanya mengangguk, sepertinya memang dia sedang sibuk, sampai-sampai untuk menjawab ucapanku saja enggan.
Segera aku panaskan makanan yang sudah aku masak siang tadi, hari ini sengaja aku masak menu spesial, lain dari hari biasanya, berharap Mas Yudi kembali hangat padaku.
Beberapa hari ini memang aku rasakan sikapnya sedikit berubah, entahlah atau mungkin cuma perasaanku saja yang terlalu ingin di perhatikan.
Aku tak boleh suudzon pada suamiku sendiri, batinku.
"Rizki! Sini maem dulu, Sayang!" teriakku pada putra semata wayangku, yang sedari tadi sibuk dengan mainan legonya.
"Iya, Mah!" sahutnya, kemudian berlari ke arahku.
"Mainannya udah di beresin belum, Sayang?"
"Belum, Mah! Nanti aja Mah, abis maem Riski mau lanjut main lagi," jawabnya seraya menarik kursi dan duduk manis menggemaskan.
"Ya sudah, sekarang Rizki panggil Ayah, ajak makan sama-sama ya," titahku dan sekejap kemudian ia sudah berlari menuju ruang tamu tempat ayahnya duduk.
"Ayah, Ayo makan! Aku udah lapar nih!"
"Iya sebentar lagi ya, Nak!"
"Sekarang aja ayo! Ayah Kita makan sama-sama!"
"Kalau Rizki lapar, Rizki makan duluan aja sama Mamah."
"Nggak! Rizki maunya makan sama-sama, Mamah sama Ayah"
Terdengar Rizki merengek membujuk Ayahnya. Kupercepat menuang semur daging, yang telah selesai kupanaskan ke dalam mangkok saji, dan kemudian dengan sedikit berlari aku menghampiri mereka.
Tampak Mas Yudi masih sibuk dengan ponselnya, tak mengindahkan Rizki yang ada di hadapannya.
"Mas! Simpan dulu lah ponselnya,kasihan Rizki dari tadi kamu cuekin!" ucapku ketus.
"Iya, Iya! Ya sudah ayo makan! Jawabnya lalu bangkit mendahului kami, terlihat senyum merekah di wajah mungil Rizki yang mengekor di belakangnya.
"Kamu kenapa sih, Mas? Cuekin aku, sikapmu berubah, kalau aku punya salah, kasih tau aku, jangan seperti ini!" cetusku penuh penekanan, rasanya jengah aku dengan perubahan sikapnya.
"Berubah apanya! Aku biasa aja, kamu aja yang lebay! Aku juga capek setelah kerja seharian!" balasnya tanpa menghiraukan aku.
"Tumben kamu masak enak, Sin!" ujar Mas Yudi yang sudah duduk di depan meja makan, dan melihat menu semur daging sapi, cap cay, dan udang goreng tersaji di meja makan.
"Iya, Mas! Sekali-kali bolehkan, kita makan enak!" sahutku sambil mengisi piringnya dengan nasi dan menyerahkan padanya.
"Hmm," Lagi-lagi hanya anggukan yang ia perlihatkan padaku.
Aku sedikit heran dengan sikap suamiku, Mas Yudi yang biasanya hangat saat bercengkrama denganku dan Rizki, kini lebih banyak waktunya tersita untuk menatap benda pipih miliknya itu, dan cenderung cuek pada kami. Ada apa sebenarnya dengan Mas Yudi?
"Mamah ambilin nasi juga donk, buat aku!" seru Rizki mengagetkanku.
"Ah, iya Sayang! Sini piringnya, Sayang," jawabku tersenyum, dan sedetik kemudian pandanganku kembali pada lelaki yang sedang sibuk melahap makanan yang kusuguhkan.
Beberapa kali aku coba tanyakan perihal sikapnya yang dingin, ia selalu menjawab sedang sibuk dengan pekerjaannya.
Mas Yudi seorang dekorator, lebih tepatnya dekorator pernikahan. Mas Yudi memiliki sebuah galeri dekor untuk menjalankan usahanya, ia juga memiliki beberapa pegawai yang membantunya menjalankan bisnisnya, beberapa koleganya seperti tukang rias, MUA dan Wedding Organizer juga kerap kali bekerjasama dengannya.
Suasana di meja makan begitu hening, hanya sesekali ocehan Rizki yang terdengar, Aku hanya tersenyum menanggapi ocehan putraku.
Selera makanku hilang melihat sikap suamiku yang akhir-akhir ini menjadi pendiam.
Aku terus memutar ingatanku, adakah kesalahan yang aku lakukan belakangan ini hingga membuatnya begitu cuek padaku?
Rasanya semuanya baik-baik saja, aku selalu berusaha melayani keperluannya dengan sebaik mungkin.
"Ayah, nanti selesai makan temenin aku main, ya!" ucap Rizki pada ayahnya, mungkin dia juga merasa kangen belakangan ini ayahnya jarang menemaninya bermain.
"Rizki nanti temenin Main sama Mamah, Ya! Ayah mau keluar sebentar, ada urusan sama Om Rizal," jawab Mas Yudi datar menanggapi permintaan putranya.
Rizal salah satu pegawainya yang menjadi orang kepercayaan Mas Yudi.
Rizki hanya mengangguk tanpa protes dengan ayahnya, Rizki memang anak yang cerdas dan penurut, sesuai namanya 'Rizki' merupakan rezeki terbesar dalam hidupku, di anugerahi seorang anak yang sholeh.
"Urusan apa, Mas?" tanyaku penasaran.
"Biasa masalah kerjaan," jawabnya singkat, lalu bangkit terlihat ia sudah melahap habis makanannya.
Aku mengangguk dan tak ingin bertanya apapun lagi, mungkin memang urusan pekerjaan yang penting pikirku.
Mataku terus mengikuti arah suamiku yang menuju keluar, dan terdengar ia menerima telepon dari seseorang.
"Iya, Aku segera kesana, ya!" ucap Mas Yudi pada seseorang di seberang sana, ia terlihat begitu bersemangat.
Siapa kira-kira yang yang menghubungi Mas Yudi, apa Rizal? Atau orang lain?
"Sin! Nanti kamu tidur duluan aja! Nggak usah nungguin aku pulang, aku bawa kunci sendiri," ucapnya tiba-tiba menghampiri kami yang masih di meja makan.
"Iya, Mas! Siapa tadi yang menghubungimu, Mas?" tanyaku. Lebih baik aku tanyakan langsung daripada penasaran atau menduga-duga.
Mas Yudi terlihat melipat keningnya, mendengar pertanyaanku, padahal hanya pertanyaan sepele yang sangat wajar di tanyakan istri pada suaminya.
"Hmm, itu tadi Rizal, dia sedikit bingung dengan permintaan klien, makanya ingin aku yang langsung bicara dengan klien," jelasnya dengan sedikit salah tingkah.
Entah rasanya aku tak puas mendengar penjelasan dari suamiku, perasaanku juga sedikit tak enak, atau hanya perasaanku saja. Tapi aku berusaha untuk mempercayainya.
Usai menyelesaikan makan malam dan segera membereskan semuanya, kemudian menemani Rizki bermain sambil belajar berhitung dan mengenal huruf.
"Mah, kenapa Ayah sekarang jarang mau main sama Rizki? Apa karena Rizki nakal? Tapi Rizki udah janji sama Ayah, Rizki nggak akan nakal lagi,"
Aku terhenyak mendengar perkataan polos yang terlontar dari bibir mungil anakku.
"Sayang! Ayah bukannya nggak mau main sama Rizki, hanya saja belakangan ini Ayah sedang banyak pekerjaan, jadi belum sempat main sama Rizki," ucapku menangkup wajah tampan putraku yang sangat mirip dengan ayahnya ini.
Aku menatap mata indahnya, dengan penuh cinta, mencoba merasakan yang ia rasakan. Sebagai anak laki-laki mungkin ia merasa lebih seru jika bermain dengan ayahnya.
Ia pun mengangguk tersenyum, memahami kondisi ayahnya.
"Nanti kalau Ayah udah nggak sibuk, pasti nanti Ayah mau main lagi sama Rizki, sekarang Rizki bobok dulu yuk! Sekarang sudah waktunya bobok," ajakku mengalihkan perhatiannya.
Aku menggandeng tangan mungilnya menuju kamarnya, tak lupa rutinitas sebelum tidur yang aku ajarkan padanya, cuci tangan dan gosok gigi sebelum bersiap tidur.
Kubaringkan tubuhku di sampingnya, membacakan dongeng kesukaannya untuk menghantarkan tidurnya, sebelumnya doa sebelum tidur ia lafalkan dengan lancar.
Sepuluh menit berselang, kulihat ia sudah terlelap dengan dengkuran halus terdengar teratur. Aku menatap wajah damai dalam tidurnya. Aku menarik selimut tuk menutupi tubuh mungilnya, tak lupa kukecup lembut keningnya. Betapa aku sangat menyayanginya.
Yah, kehadiran Rizki dulu memang sangat kami tunggu. Baru pada tahun ke sepuluh usia pernikahan kami, Rizki hadir di rahimku. Tentu Mas Yudi pun sangat bahagia mendengar kabar kehamilanku, kehidupan kami nyaris sempurna dengan kehadiran Rizki.
Aku matikan lampu kamar,dan menggantinya dengan lampu tidur, kemudian meninggalkan Rizki lelap dalam tidurnya.
Aku melirik jam dinding yang berdetik di dalam kamarku, waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 tapi belum juga ada tanda-tanda Mas Yudi pulang. Kuraih benda pipih di atas nakas, dan mencoba menghubungi suamiku. Namun hasilnya nihil ponsel Mas Yudi mati, tidak dapat dihubungi.
Kemana kamu sebenarnya, Mas? tanyaku dalam hati.
Ah, Rizal, Yah aku coba telpon Rizal, mungkin sekarang ia sedang bersama Mas Yudi. Tanpa pikir panjang segera aku mencari kontak Rizal, beruntung aku punya kontak Rizal.
Segera aku menghubungi pegawai suamiku itu.
Tuut ...
Tuut ...
Suara panggilan tersambung, menunggu empunya nomer segera mengangkat ponselnya.
"Hallo, Assalamu 'alaikum, Mbak Sintya?"
Alhamdulillah suara Rizal terdengar dari seberang sana.
"Hallo, Rizal! Iya ini Mbak, cuma mau tanya, kamu sedang sama Mas Yudi?" tanyaku, langsung to the point.
"Mas Yudi? ...
Bersambung...
Aku tertunduk dalam, lidahku terasa kelu, seolah tak mampu lagi untuk bicara, degup jantungku terasa semakin cepat, ada rasa malu, ada rasa bahagia bersua dengannya, ada rasa takut aku ditolak, semuanya campur aduk jadi satu di dalam sini. Aku hirup udara banyak-banyak, kemudian Perlahan mengangkat wajahku, tampak Hesti masih setia menunggu aku melanjutkan kata-kataku."Mas, semua yang sudah terjadi biarlah terjadi, jadikan itu semua sebagai pelajaran berharga untuk menapaki kehidupan masa depan, agar tak terulang kembali." Pelan Hesti bicara, seolah mengerti apa yang kini kurasakan.Aku mengangguk setuju dengan perkataannya."Beberapa bulan terakhir, kita semakin dekat, dan kurasa tidak ada lagi yang harus kita tunggu, aku berniat ingin meminangmu, jika kau bersedia, aku ingin kau menjadi istriku, tapi ...."Mendengar ucapanku yang menggantung, keningnya mengerenyit, namun ia tak bertanya apapun."Ta–Tapi, aku seperti ini kondisinya, mungkin, bisa dibilang aku lelaki tak tahu malu,
Satu Minggu sudah kepergian Mbak Siska, segala tetek bengek keperluan administrasi saat di rumah sakit, Dhani banyak membantu, bahkan tak segan membantu biaya administrasi untuk membawa pulang jenazah Mbak Sintya.Selama tujuh hari kemarin, aku memang mengadakan acara tahlil di rumah, walaupun rumah kecil, aku mengundang tetangga dekat untuk hadir dalam acara tahlil kepergian Mbak Siska, tak lain harapanku hanyalah Doa kebaikan untuk Mbak Siska, semoga Doa dari semua jamaah tahlil bisa mengiringi kepergian Mbak Siska ke alam sana dengan kedamaian.Dua hari acara tahlil, Sintya ikut datang kemari, dan hari ke tiga hingga selesai tujuh hari, Dhani datang berdua dengan Rizki. Karena Sintya kurang enak badan katanya.Tiga hari Mbak Siska berpulang, aku memang izin tak masuk kerja, dan hari keempat hingga tujuh hari aku masuk kerja tapi hanya sampai siang, tak sampai sore, karena aku harus mengurus keperluan acara tahlil, beruntung tetangga di sini semuanya baik dan mau membantu untuk semu
Aku lebih dulu ke bagian administrasi untuk mengurus semuanya, setelah semuanya selesai aku melenggang ke Musala rumah sakit ini. Setelah selesai aku kembali ke depan ruang UGD, tapi mereka semua sudah tidak ada di sana. Aku pun langsung masuk ke tempat dimana Mbak Siska terbaring. Kosong. "Maaf Pak, cari pasien atas nama Bu Siska ya?" tanya seorang perawat yang sedang jaga. "I–Iya Sus." "Tadi Dokter memutuskan untuk memindahkan ke ruang ICU Pak, Karen kondisinya Bu Siska terus menurun, ruang ICU ada di sebelah sana Pak," ucap perawat itu sambil menunjuk ke arah dimana ruang ICU itu berada. Degh. Mbak Siska semakin menurun. Sintya dan Dhani pasti sudah ikut ke ruang ICU tadi. "Terimakasih, Sus," ucapku kemudian setengah berlari aku menelusuri lorong rumah sakit menuju ruang ICU. Terlihat Sintya dan Dhani berdiri di depan sebuah ruangan berdinding kaca tebal. Juga ada Rizki diantara mereka. "Sintya, Dhani!" sapaku sembari mengatur napas. "Mbak Siska di dalam, Dokter masih men
Sintya membersihkan tangan Mbak Siska. Sedangkan Mbak Siska terlihat begitu lemas."Mas kita bawa Mbak Siska ke rumah sakit sekarang," tegas Sintya."I–Iya Sin.""Ayo Mas cepat, bawa dengan mobilku," ucap Dhani.Dengan sigap aku mengangkat tubuh Mbak Siska, Sintya pun mengekor di belakangku.Dhani yang sudah lebih dulu di depan, segera membuka pintu mobilnya, kemudian duduk di belakang kemudi, tak berapa lama Sintya dan Rizki, muncul dari dalam rumah, dan masuk ke dalam mobil, dengan langkah cepat, aku kembali masuk ke dalam rumah untuk mengambil dompet dan ponselku, juga mengunci pintu.Setelah itu aku pun ikut masuk mobil dan duduk di samping Dhani. Dhani mulai melajukan mobilnya. Aku menoleh ke belakang, tampak Mbak Siska terkulai lemah tak berdaya.Aku mohon Mbak, bertahanlah.Dhani mengemudikan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata, kami yang berada di dalam mobil, terdiam dengan pikiran masing-masing, Sintya menggenggam erat jemari Mbak Siska, seolah menyalurkan kekuatan d
"Cukup Mbak! Maaf saya bukan lelaki seperti itu. Jika Mbak Mau, silahkan cari orang lain, tapi bukan saya! Permisi!" Aku melenggang masuk usai mengucapkan itu, kemudian membuka pintu dan menutup serta mengunci pintunya, masih jelas kulihat bibirnya mencebik seperti tak suka dengan penolakan yang tadi aku katakan. Ada yah, wanita semurahan itu, bahkan menawarkan diri seperti itu. Memang awal aku tinggal di sini, dan berkenalan dengan Susi, kami sempat ngobrol dan Dia bertanya apa tidak ada niat untuk menikah lagi, dan waktu itu aku jawab belum ingin menikah lagi, karena memang aku belum menemukan sosok yang pas untuk mengisi ruang hati ini. Tapi bukan berarti aku mau menikah dengan Susi, Dia bukan wanita yang aku idamkan menjadi istri. Aku menarik napas panjang dan menghembuskanya perlahan, usai menutup rapat pintu rumah ini, tak kuperdulikan Susi yang masih berdiri di halaman rumah.Bergegas aku masuk untuk menengok kondisi Mbak Siska, Ia masih terbaring di tempat tidur, kemudian m
Pagi ini seperti biasa aku akan bekerja, sebelum berangkat aku siapkan makanan untuk aku dan Mbak Siska sarapan, juga untuk Mbak Siska makan siang, semenjak Dia sakit aku memang harus ekstra melakukan ini dan itu agar Mbak Siska tidak perlu repot memasak untuk makan siangnya.Setelah semuanya siap, aku mengajaknya sarapan, aku tatap wajah yang kian hari kian pucat itu."Mbak hari ini kita ke rumah sakit aja yuk," ajakku."Ah, tak perlu lah Yud, kamu juga kan harus kerja, lagian obat Mbak yang dari klinik juga masih ada," tolaknya."Mbak, soal kerjaan gampang, aku bisa ijin datang siang hari setelah mengantar Mbak dari rumah sakit." Lagi aku berusaha meyakinkan Mbak Siska, apapun alasannya kesehatannya adalah jauh lebih penting."Gampang nanti saja Yud, nunggu obat yang sekarang ini habis aja, ya!" "Hm, baiklah kalau begitu Mbak. Yudi cuma pengin Mbak bisa segera sembuh," pungkasku.Usai sarapan aku langsung berangkat ke tempat kerjaku. Entah mengapa aku merasa Mbak Siska seolah pasra
Aku tersenyum dan kembali mendaratkan bobotku di sampingnya."Iya, Mbak. Aku baru pulang. Maaf ya Mbak, Yudi pulang malam karena memang baru selesai." Mbak Siska mengangguk."Mbak sudah makan? Obatnya sudah di minum?" tanyaku."Sudah, kamu sendiri sudah makan?" "Sudah Mbak, tadi makan di sana.""Gimana keadaan Mbak? Apa kita ke rumah sakit aja besok?" tawarku sesungguhnya aku tak tega melihat kondisinya yang semakin menurun. Tubuhnya kurus, kelopak matanya cekung, dengan bibir memucat, di tambah lagi batuk yang tak kunjung sembuh."Tak perlu lah Yud, lagi pula ke rumah sakit kan biayanya mahal, kita ndak punya banyak uang, Mbak nggak mau di sisa umur Mbak hanya merepotkan dan menjadi beban kamu," ucapnya lirih."Tapi Mbak, kondisi Mbak Siska makin menurun, Yudi nggak tega Mbak."Walaupun uang yang kupunya masih belum banyak tapi setidaknya cukup untuk berobat Mbak Siska.Namun, lagi-lagi Mbak Siska menolak untuk berobat ke rumah sakit. "Ya sudah sekarang sudah malam, Mbak istirahat
Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini tak pernah lepas dari ketentuan-Nya. Manusia di ciptakan dengan karakter dan watak yang berbeda, pun dengan nasib yang berbeda-beda, jika saat ini nasib kami seperti ini, mungkin ini adalah akibat dari perbuatan buruk di masa lalu.Setiap orang pasti akan menuai apa yang ditanamnya, hanya dengan Doa yang tulus aku persembahkan, agar Allah berkenan mengampuni semua dosa khilafku di masa lalu itu, karena kini aku hanya ingin hidup tenang dan tentram, dengan lembaran baru. Aku hanya ingin hidupku ke depan, lebih baik, dan lebih bermakna.Hari terus berganti hingga kini satu bulan sudah aku melewati waktu, kondisi kesehatan Mbak Siska makin menurun, badannya pun kurus, saat aku ajak untuk berobat ke rumah sakit, Ia selalu menolak, dengan berbagai alasan. Aku paham Mbak Siska mungkin berpikir seribu kali untuk berobat ke rumah sakit karena memikirkan biaya, kami berdua, untuk hidup dan makan saja pas-pasan. Penghasilanku bekerja di tempat fotokopi,
Hingga adzan Maghrib berkumandang, Pakde Mul mengajakku untuk salat berjamaah di masjid tak jauh dari rumah ini. Aku merasa seolah memiliki keluarga baru di sini, walaupun aku bukan siapa-siapa Mereka.Selepas Maghrib Ibunya Hesti mempersilahkan kami untuk makan bersama di ruang tengah, ada pula Bude Ning dan suaminya, Ibunya Hesti dan Hesti. Kami semua makan lesehan di ruang tengah, makanan yang tersaji bukanlah makanan mewah, tapi sangat enak dan dinikmati bersama. Beberapa kali aku melirik ke arah wanita cantik yang duduk di depanku, entah kenapa senyuman itu membuatku ingin selalu meliriknya.Setelah selesai makan, aku ngobrol-ngobrol santai dengan Pakde Mul, yang merupakan Suaminya Bude Ning, beliau seorang petani. Melihat perawakannya aku jadi teringat Pak Imran ayahnya Sintya. Jujur masih terselip di dalam sini rasa bersalah yang begitu besar terhadap Beliau. "Sudah mulai larut, saya pamit dulu Pakde," pamitku.Melihatku ngobrol dengan Pakde Mul, Hesti lebih banyak di dalam. K
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments