Aku ke dapur, dan memasak bahan makanan seadanya di kulkas, hanya ada sayur bayam dan jagung, akhirnya aku masak sayur bening dan bakwan jagung. Tak butuh waktu lama kegiatan masakku selesai. Aku bergegas keluar rumah hendak memanggil Rizki.Baru saja aku melangkah keluar pagar, terlihat seseorang berjalan ke arahku.Aku terdiam sejenak memperhatikan orang itu, semakin dekat dan terlihat wajahnya. Mbak Siska–Kakak iparku.Ada apa dia datang kemari, aku baru teringat tempo hari aku melihat dia berjumpa dengan Eva, ada hubungan apa sebenarnya dia dengan Eva."Sintya!" panggilnya saat kaki ini hendak melangkah."Mbak Siska!" balasku."Kamu mau kemana, masa Mbak baru datang, kamu malah mau pergi," ucapnya melihat gerak gerikku hendak keluar."Nggak kemana-mana kok, Mbak! Tadinya mau panggil Rizki yang masih main di rumah tetangga, Mbak sendiri kok tumben kesini, ada apa?" tanyaku."Yudi mana? Mbak mau ketemu Yudi," cetusnya. Bukanya menjawab pertanyaanku malah dia menanyakan Mas Yudi."Ma
"Apa? Maksud kamu?""Nggak, enggak ada maksud apa-apa, sekarang Mbak udah selesai kan makannya, jadi sekarang gantian aku sama Rizki yang makan, silahkan Mbak hubungi Mas Yudi lagi, jangan ganggu kami lagi makan," jawabku ketus. Terlihat piring Mbak Siska sudah kosong dan masih duduk memainkan gawainya."Jangan lupa di cuci sendiri tuh piringnya, Mbak," ucapku lagi.Mbak Siska langsung menoleh ke arahku, sepertinya tersinggung dengan ucapanku."Kamu nyuruh Mbak? Sintya! Mbak di sini itu tamu, masa di suruh nyuci piring!" sahutnya."Kalo tamu ya harus tau diri donk! Udah numpang makan, ya tau diri cuci sendiri piring bekas makannya, aku nggak nyuruh nyuci semua piring kok!" jawabku tak mau kalah.Mbak Siska berdecak kesal, ia bangkit dan menghentakkan kakinya."Awas ya kamu, Sin! Aku aduin sama Yudi biar kamu di semprot sama dia!" tukasnya."Aduin aja sana! Memangnya aku takut," ucapku sambil memasukkan makanan ke mulutku.Rizki hanya diam menikmati makanannya, sepertinya dia juga sud
Deru suara mobil berhenti di depan rumahku, aku yang memang sudah menunggu kedatangannya, bergegas bangkit untuk membuka pintu. Jam dinding menunjukkan pukul 03.00 dini hari, aku hanya tidur sebentar selepas isya tadi, dan terbangun jam dua belas malam, karena Ayah akan tiba dini hari, jadi mata ini enggan terpejam lagi sampai sekarang.Aku masukkan anak kunci dan memutarnya ke kanan, meraih daun pintu kemudian membukanya.Sosok yang sangat kurindukan, kini ada di hadapanku, ialah pahlawanku, superhero yang selalu aku kagumi, yah beliau ayahku, Imran nama ayahku, datang bersama Nuri adikku yang masih kuliah. Kami dua bersaudara."Ayah!" Teriakku, sedetik kemudian menghambur ke arahnya dan memeluk beliau yang sudah memasuki pagar rumahku, terlihat Nuri masih membayar taksi online itu. Beliau melepaskan Tas travel bag yang ada di tangannya, dan menyambut hangat pelukanku.Aku meraih tangannya dan mencium takzim tangan yang mulai keriput, dengan pembuluh yang timbul di sekitarnya."Kamu
"Rizki di sini aja dulu ya sama Mamah sama Bulek, Mbah mau bicara sama Ayah," titah Ayah pada cucunya yang secara otomatis juga berlaku padaku dan Nuri agar tidak ke depan dulu.Tempe sudah matang, aku segera mengangkatnya dan mematikan kompor."Rizki di sini aja dulu sama Bulek Nuri ya! Nuri, Mbak ke depan dulu ya! Tolong temani Rizki," ucapku, Nuri mengangguk paham.Dengan langkah cepat aku menyusul Ayah yang sudah lebih dulu di depan."A–Ayah!" ucap Mas Yudi dengan ekspresi kaget saat Ayah membuka pintu depan, langkahku terhenti di ambang pintu antara ruang tamu dan ruang tengah."Ayah, kapan datang?" tanya Mas Yudi seraya berjalan mendekat bermaksud hendak meraih tangan Ayah. Wajahnya terlihat pucat.Plak!Namun, bukanya Ayah memberikan tangannya untuk di cium oleh menantunya, justru dengan cepat tangan itu mengayun dan mendarat di pipi kiri Mas Yudi. Wajahnya yang pias kini memerah karena tamparan yang cukup keras.Mas Yudi tertunduk, mungkin ia menyadari apa sebab Ayah menamparn
"Semuanya sudah terlambat Mas! Maaf aku akan tetap melanjutkan gugatan cerai, sebaiknya Mas bersiap, sampai ketemu di pengadilan Mas!" ucapku mantap.Mas Yudi tampak menggelengkan kepalanya, perlahan ia lepaskan genggaman tangannya."Sudah jelas kan Yudi? Niat Sintya sudah bulat," ucap Ayah yang tengah memperhatikan kami."Ayah!" suara Rizki membuat pandangan kami beralih ke arahnya yang tengah berlari ke arah kami."Rizki! Maafkan Ayah ya Nak!" Mas Yudi menyambut hangat, dan mendekap erat tubuh kecilnya.Rizki hanya mengangguk, entah ia paham atau tidak perkataan maaf yang di maksud ayahnya."Ayah Ayo kota makan sama-sama! Sama Mbah Kakung, sama Bulek Nuri juga," ucap anakku pada ayahnya.Mas Yudi mengangguk, akhirnya kami semua duduk dan sarapan bersama, Suasana di meja makan hening, tak ada yang bersuara, hanya ada suara dentingan sendok dan piring yang terdengar bersahutan. "Mah hari ini aku berangkat ke Bimba di antar sama Ayah boleh nggak?" ucapnya tiba-tiba saat baru saja sele
Jemariku menari di atas layar ponsel, mencari kontak nama Budi setelah menemukannya, segera aku menelponnya."Halo Budi! Hari ini bisa aku datang ke kantor? Ada hal yang ingin aku sampaikan.""Baik Sintya, aku tunggu di kantor jam sembilan, ya!"Panggilan telepon aku matikan, setalah membuat janji dengan sang pengacara.Sesuai waktu yang disepakati, aku datang ke kantor pengacara seorang diri, tak lupa membawa surat perjanjian pra nikah yang sebelumnya di berikan Ayah. Aku melajukan kuda besiku membelai jalanan menuju perkotaan, kantornya bertengger di deretan area gedung perkantoran. Suasana hatiku sedikit tenang, karena kini langkahku semakin mudah dengan adanya surat perjanjian itu, dalam hati terus berharap semoga yang aku lakukan ini sedikit bisa memberi pelajaran pada suamiku, yang kini berada dalam pelukan wanita lain.Langit hari ini tampak begitu cerah, awan putih yang membentang di langit biru, nampak begitu indah nan cerah hari ini.Suasana jalanan yang ramai, menambah hir
"Eva, Akhirnya rencana Mbak menjodohkanmu dengan Yudi berhasil, dan sedikit lagi Yudi dan Sintya akan bercerai, kau akan menjadi satu-satunya di hidup Yudi."Degh!Apa? Aku seperti kenal pemilik suara itu, suara seorang perempuan yang di tepat di belakangku.Itu suara Mbak Siska, kakak iparku. Aku sedikit memiringkan tubuhku berusaha melirik ke belakang. Tepat dugaanku, Mbak Siska sedang duduk bersama Eva di meja belakangku, posisiku membelakanginya."Iya, Mbak! Tapi kapan donk mereka akan bercerai?" terdengar suara wanita pelak*r itu."Kamu tenang, secepatnya mereka akan bercerai, kemarin Mbak ketemu sama Yudi, dan dia bilang Sintya memang sudah mengajukan gugatan cerainya," ucap Mbak Siska, dengan semangat."Oh ya, bagus deh, biar nanti aku bisa jadi nyonya di rumah itu," sahut perempuan murahan itu."Mbak memang tidak cocok dengan Sintya sejak dulu, tapi Yudi sangat mencintai dia, jadi sulit untuk Mbak memisahkan mereka, dan saat Mbak kenal kamu, Mbak pikir kami lebih cocok berdamp
"Kembaliannya ambil aja ya, dan tolong kasih tau mereka jika makanan mereka sudah di bayar, tapi katakan itu saat saya sudah bangkit dari tempat duduk ini," jelasku. Dia mengangguk paham dengan instruksiku."Baik, Bu! Terimakasih!" sahutnya.Aku mulai memasukkan ponselku dan dompetku ke dalam tas, dan beranjak dari tempat dudukku. Baru saja aku melangkah beberapa langkah, terdengar sang waiters memberitahu mereka jika makanan dan minuman mereka telah di bayar."Siapa yang bayar, Mbak!" tanya Mbak Siska."Mbak-Mbak itu yang bayar, Bu?" Aku melenggang hendak keluar kafe, sepertinya waiters itu menunjuk ke arahku.Langkahku semakin menjauh dari mereka tapi aku masih mendengar percakapan mereka, sengaja aku melangkah dengan pelan."Bukankah itu Sintya? Apa maksudnya dia membayar makanan kita? Apa jangan-jangan dia tadi denger semua obrolan kita?" ucap Mbak Siska, dari suaranya terdengar panik."Sintya!" panggil Mbak Siska.Aku yang sudah di ambang pintu keluar, menoleh sebentar ke arahny