"Cukup Mbak! Maaf saya bukan lelaki seperti itu. Jika Mbak Mau, silahkan cari orang lain, tapi bukan saya! Permisi!" Aku melenggang masuk usai mengucapkan itu, kemudian membuka pintu dan menutup serta mengunci pintunya, masih jelas kulihat bibirnya mencebik seperti tak suka dengan penolakan yang tadi aku katakan. Ada yah, wanita semurahan itu, bahkan menawarkan diri seperti itu. Memang awal aku tinggal di sini, dan berkenalan dengan Susi, kami sempat ngobrol dan Dia bertanya apa tidak ada niat untuk menikah lagi, dan waktu itu aku jawab belum ingin menikah lagi, karena memang aku belum menemukan sosok yang pas untuk mengisi ruang hati ini. Tapi bukan berarti aku mau menikah dengan Susi, Dia bukan wanita yang aku idamkan menjadi istri. Aku menarik napas panjang dan menghembuskanya perlahan, usai menutup rapat pintu rumah ini, tak kuperdulikan Susi yang masih berdiri di halaman rumah.Bergegas aku masuk untuk menengok kondisi Mbak Siska, Ia masih terbaring di tempat tidur, kemudian m
Sintya membersihkan tangan Mbak Siska. Sedangkan Mbak Siska terlihat begitu lemas."Mas kita bawa Mbak Siska ke rumah sakit sekarang," tegas Sintya."I–Iya Sin.""Ayo Mas cepat, bawa dengan mobilku," ucap Dhani.Dengan sigap aku mengangkat tubuh Mbak Siska, Sintya pun mengekor di belakangku.Dhani yang sudah lebih dulu di depan, segera membuka pintu mobilnya, kemudian duduk di belakang kemudi, tak berapa lama Sintya dan Rizki, muncul dari dalam rumah, dan masuk ke dalam mobil, dengan langkah cepat, aku kembali masuk ke dalam rumah untuk mengambil dompet dan ponselku, juga mengunci pintu.Setelah itu aku pun ikut masuk mobil dan duduk di samping Dhani. Dhani mulai melajukan mobilnya. Aku menoleh ke belakang, tampak Mbak Siska terkulai lemah tak berdaya.Aku mohon Mbak, bertahanlah.Dhani mengemudikan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata, kami yang berada di dalam mobil, terdiam dengan pikiran masing-masing, Sintya menggenggam erat jemari Mbak Siska, seolah menyalurkan kekuatan d
Aku lebih dulu ke bagian administrasi untuk mengurus semuanya, setelah semuanya selesai aku melenggang ke Musala rumah sakit ini. Setelah selesai aku kembali ke depan ruang UGD, tapi mereka semua sudah tidak ada di sana. Aku pun langsung masuk ke tempat dimana Mbak Siska terbaring. Kosong. "Maaf Pak, cari pasien atas nama Bu Siska ya?" tanya seorang perawat yang sedang jaga. "I–Iya Sus." "Tadi Dokter memutuskan untuk memindahkan ke ruang ICU Pak, Karen kondisinya Bu Siska terus menurun, ruang ICU ada di sebelah sana Pak," ucap perawat itu sambil menunjuk ke arah dimana ruang ICU itu berada. Degh. Mbak Siska semakin menurun. Sintya dan Dhani pasti sudah ikut ke ruang ICU tadi. "Terimakasih, Sus," ucapku kemudian setengah berlari aku menelusuri lorong rumah sakit menuju ruang ICU. Terlihat Sintya dan Dhani berdiri di depan sebuah ruangan berdinding kaca tebal. Juga ada Rizki diantara mereka. "Sintya, Dhani!" sapaku sembari mengatur napas. "Mbak Siska di dalam, Dokter masih men
Satu Minggu sudah kepergian Mbak Siska, segala tetek bengek keperluan administrasi saat di rumah sakit, Dhani banyak membantu, bahkan tak segan membantu biaya administrasi untuk membawa pulang jenazah Mbak Sintya.Selama tujuh hari kemarin, aku memang mengadakan acara tahlil di rumah, walaupun rumah kecil, aku mengundang tetangga dekat untuk hadir dalam acara tahlil kepergian Mbak Siska, tak lain harapanku hanyalah Doa kebaikan untuk Mbak Siska, semoga Doa dari semua jamaah tahlil bisa mengiringi kepergian Mbak Siska ke alam sana dengan kedamaian.Dua hari acara tahlil, Sintya ikut datang kemari, dan hari ke tiga hingga selesai tujuh hari, Dhani datang berdua dengan Rizki. Karena Sintya kurang enak badan katanya.Tiga hari Mbak Siska berpulang, aku memang izin tak masuk kerja, dan hari keempat hingga tujuh hari aku masuk kerja tapi hanya sampai siang, tak sampai sore, karena aku harus mengurus keperluan acara tahlil, beruntung tetangga di sini semuanya baik dan mau membantu untuk semu
Aku tertunduk dalam, lidahku terasa kelu, seolah tak mampu lagi untuk bicara, degup jantungku terasa semakin cepat, ada rasa malu, ada rasa bahagia bersua dengannya, ada rasa takut aku ditolak, semuanya campur aduk jadi satu di dalam sini. Aku hirup udara banyak-banyak, kemudian Perlahan mengangkat wajahku, tampak Hesti masih setia menunggu aku melanjutkan kata-kataku."Mas, semua yang sudah terjadi biarlah terjadi, jadikan itu semua sebagai pelajaran berharga untuk menapaki kehidupan masa depan, agar tak terulang kembali." Pelan Hesti bicara, seolah mengerti apa yang kini kurasakan.Aku mengangguk setuju dengan perkataannya."Beberapa bulan terakhir, kita semakin dekat, dan kurasa tidak ada lagi yang harus kita tunggu, aku berniat ingin meminangmu, jika kau bersedia, aku ingin kau menjadi istriku, tapi ...."Mendengar ucapanku yang menggantung, keningnya mengerenyit, namun ia tak bertanya apapun."Ta–Tapi, aku seperti ini kondisinya, mungkin, bisa dibilang aku lelaki tak tahu malu,
"Mas, ini tehnya," ucapku meletakkan secangkir teh hangat untuk Mas Yudi suamiku, dan menjatuhkan bobotku di sampingnya. "Hmm," jawab Mas Yudi tanpa menoleh sedikitpun ke arahku, jemarinya sibuk dengan ponselnya. Seperti biasa usai pulang kerja, selalu aku suguhkan teh panas untuk lelaki yang sudah membersamaiku selama 16 tahun ini. Melihat responnya cuek seperti itu membuatku jadi kikuk sendiri, aku menatap lelaki yang duduk di sampingku ini, namun tak juga bergeming. Bahkan seolah tak menganggapku ada, sepertinya gawainya lebih menarik perhatiannya. "Ya sudah, Aku siapkan makan malam buat Mas, ya!" Aku bangkit, Mas Yudi hanya mengangguk, sepertinya memang dia sedang sibuk, sampai-sampai untuk menjawab ucapanku saja enggan. Segera aku panaskan makanan yang sudah aku masak siang tadi, hari ini sengaja aku masak menu spesial, lain dari hari biasanya, berharap Mas Yudi kembali hangat padaku. Beberapa hari ini memang aku rasakan sikapnya sedikit berubah, entahlah atau mungkin cuma
Bab 2 (Awal Kecurigaan)"Hallo, Assalamu 'alaikum, Mbak Sintya?"Alhamdulillah suara Rizal terdengar dari seberang sana."Halo, Rizal! Iya ini Mbak, cuma mau tanya, kamu sedang sama Mas Yudi?" tanyaku, langsung to the point."Mas Yudi? Nggak Mbak! Kan Mas Yudi pulang sore tadi dari galery." Degh!Seketika hatiku tersentak, mendengar jawaban Rizal.Aku sejenak berpikir, kemana Mas Yudi sebenarnya, jika tidak bersama Rizal sekarang, sedangkan lepas Maghrib tadi ia pamit akan bertemu Rizal, bahkan sampai Rizal menelponnya sebelum ia pergi."Halo, Mbak! Mbak masih dengar saya?" suara Rizal di sambungan telepon mengagetkanku yang tengah sibuk dengan kecemasan."I-iya, Zal! jadi kamu tidak sedang bersama Mas Yudi? Apa setelah Maghrib tadi Mas Yudi menemuimu?" tanyaku yang masih dilanda kecemasan."Nggak, Mbak! hari ini ketemu Mas Yudi ya pas di galery aja Mbak!" ucapnya mantap, meyakinkanku bahwa ia berkata jujur."Oh, begitu ya, terimakasih ya, Rizal!"Aku putuskan sambungan telepon setel
Aku melanjutkan mengecek media sosial berwarna biru akun suamiku, dan berselancar di sana, tak ada postingan Mas Yudi yang ganjal. Ibu jariku kemudian mengarah pada fitur messenger.Seketika mataku membulat sempurna melihat chat suamiku, yang dengan seorang wanita bernama Evalina Yulianti, yang aku yakini dia adalah orang yang sama.[Kapan kamu akan menceraikan istrimu, Mas?][Aku akan memikirkannya nanti, selagi dia belum curiga, tak perlu lah buru-buru menceraikannya][Tapi aku mau memilikimu seutuhnya, Mas!][Iya sayang, kamu sabar ya.][Iya tapi jangan lama-lama.] Itu rentetan isi chat mereka. Hatiku semakin hancur, istri mana yang tak sakit hatinya mendapati suami tercintanya telah berpaling pada wanita lain. Semua bukti ini sudah cukup jelas bagiku, sudah cukup memberi jawaban atas perubahan sikapmu, Mas!Aku segera memotret semua percakapan mereka itu dengan ponsel pintarku.Aku segera masuk ke kamar, dan kuletakkan kembali ponsel Mas Yudi ke tempat semula. Jam di dinding menu