"Rizki di sini aja dulu ya sama Mamah sama Bulek, Mbah mau bicara sama Ayah," titah Ayah pada cucunya yang secara otomatis juga berlaku padaku dan Nuri agar tidak ke depan dulu.Tempe sudah matang, aku segera mengangkatnya dan mematikan kompor."Rizki di sini aja dulu sama Bulek Nuri ya! Nuri, Mbak ke depan dulu ya! Tolong temani Rizki," ucapku, Nuri mengangguk paham.Dengan langkah cepat aku menyusul Ayah yang sudah lebih dulu di depan."A–Ayah!" ucap Mas Yudi dengan ekspresi kaget saat Ayah membuka pintu depan, langkahku terhenti di ambang pintu antara ruang tamu dan ruang tengah."Ayah, kapan datang?" tanya Mas Yudi seraya berjalan mendekat bermaksud hendak meraih tangan Ayah. Wajahnya terlihat pucat.Plak!Namun, bukanya Ayah memberikan tangannya untuk di cium oleh menantunya, justru dengan cepat tangan itu mengayun dan mendarat di pipi kiri Mas Yudi. Wajahnya yang pias kini memerah karena tamparan yang cukup keras.Mas Yudi tertunduk, mungkin ia menyadari apa sebab Ayah menamparn
"Semuanya sudah terlambat Mas! Maaf aku akan tetap melanjutkan gugatan cerai, sebaiknya Mas bersiap, sampai ketemu di pengadilan Mas!" ucapku mantap.Mas Yudi tampak menggelengkan kepalanya, perlahan ia lepaskan genggaman tangannya."Sudah jelas kan Yudi? Niat Sintya sudah bulat," ucap Ayah yang tengah memperhatikan kami."Ayah!" suara Rizki membuat pandangan kami beralih ke arahnya yang tengah berlari ke arah kami."Rizki! Maafkan Ayah ya Nak!" Mas Yudi menyambut hangat, dan mendekap erat tubuh kecilnya.Rizki hanya mengangguk, entah ia paham atau tidak perkataan maaf yang di maksud ayahnya."Ayah Ayo kota makan sama-sama! Sama Mbah Kakung, sama Bulek Nuri juga," ucap anakku pada ayahnya.Mas Yudi mengangguk, akhirnya kami semua duduk dan sarapan bersama, Suasana di meja makan hening, tak ada yang bersuara, hanya ada suara dentingan sendok dan piring yang terdengar bersahutan. "Mah hari ini aku berangkat ke Bimba di antar sama Ayah boleh nggak?" ucapnya tiba-tiba saat baru saja sele
Jemariku menari di atas layar ponsel, mencari kontak nama Budi setelah menemukannya, segera aku menelponnya."Halo Budi! Hari ini bisa aku datang ke kantor? Ada hal yang ingin aku sampaikan.""Baik Sintya, aku tunggu di kantor jam sembilan, ya!"Panggilan telepon aku matikan, setalah membuat janji dengan sang pengacara.Sesuai waktu yang disepakati, aku datang ke kantor pengacara seorang diri, tak lupa membawa surat perjanjian pra nikah yang sebelumnya di berikan Ayah. Aku melajukan kuda besiku membelai jalanan menuju perkotaan, kantornya bertengger di deretan area gedung perkantoran. Suasana hatiku sedikit tenang, karena kini langkahku semakin mudah dengan adanya surat perjanjian itu, dalam hati terus berharap semoga yang aku lakukan ini sedikit bisa memberi pelajaran pada suamiku, yang kini berada dalam pelukan wanita lain.Langit hari ini tampak begitu cerah, awan putih yang membentang di langit biru, nampak begitu indah nan cerah hari ini.Suasana jalanan yang ramai, menambah hir
"Eva, Akhirnya rencana Mbak menjodohkanmu dengan Yudi berhasil, dan sedikit lagi Yudi dan Sintya akan bercerai, kau akan menjadi satu-satunya di hidup Yudi."Degh!Apa? Aku seperti kenal pemilik suara itu, suara seorang perempuan yang di tepat di belakangku.Itu suara Mbak Siska, kakak iparku. Aku sedikit memiringkan tubuhku berusaha melirik ke belakang. Tepat dugaanku, Mbak Siska sedang duduk bersama Eva di meja belakangku, posisiku membelakanginya."Iya, Mbak! Tapi kapan donk mereka akan bercerai?" terdengar suara wanita pelak*r itu."Kamu tenang, secepatnya mereka akan bercerai, kemarin Mbak ketemu sama Yudi, dan dia bilang Sintya memang sudah mengajukan gugatan cerainya," ucap Mbak Siska, dengan semangat."Oh ya, bagus deh, biar nanti aku bisa jadi nyonya di rumah itu," sahut perempuan murahan itu."Mbak memang tidak cocok dengan Sintya sejak dulu, tapi Yudi sangat mencintai dia, jadi sulit untuk Mbak memisahkan mereka, dan saat Mbak kenal kamu, Mbak pikir kami lebih cocok berdamp
"Kembaliannya ambil aja ya, dan tolong kasih tau mereka jika makanan mereka sudah di bayar, tapi katakan itu saat saya sudah bangkit dari tempat duduk ini," jelasku. Dia mengangguk paham dengan instruksiku."Baik, Bu! Terimakasih!" sahutnya.Aku mulai memasukkan ponselku dan dompetku ke dalam tas, dan beranjak dari tempat dudukku. Baru saja aku melangkah beberapa langkah, terdengar sang waiters memberitahu mereka jika makanan dan minuman mereka telah di bayar."Siapa yang bayar, Mbak!" tanya Mbak Siska."Mbak-Mbak itu yang bayar, Bu?" Aku melenggang hendak keluar kafe, sepertinya waiters itu menunjuk ke arahku.Langkahku semakin menjauh dari mereka tapi aku masih mendengar percakapan mereka, sengaja aku melangkah dengan pelan."Bukankah itu Sintya? Apa maksudnya dia membayar makanan kita? Apa jangan-jangan dia tadi denger semua obrolan kita?" ucap Mbak Siska, dari suaranya terdengar panik."Sintya!" panggil Mbak Siska.Aku yang sudah di ambang pintu keluar, menoleh sebentar ke arahny
POV YudiPagi ini aku datang ke rumah Sintya, kedatangan Eva yang menyusulku di rumah itu kemarin, membuat suasana semakin panas, entah harus bagaimana lagi caraku membujuk Sintya untuk mengurungkan niatnya untuk bercerai, memang tindakanku berselingkuh dengan Eva sudah menyakiti hatinya. Tapi apa dia tidak memikirkan perasaan Rizki, dia masih terlalu kecil, untuk memahami kondisi seperti ini.Aarrgghh!Teriakku yang masih berada di dalam kamar ini, menghadap cermin yang memantulkan bayangan wajahku sendiri. Aku mencintai mereka berdua, tak bisakah mereka berdamai, dan keduanya menjadi milikku?Eva sangat mempesona, bahkan dia sangat lihai di atas ranjang. Sintya ibu dari anakku, dia istri yang lembut, dan penurut, meskipun sikapnya menjadi berubah 180 derajat sejak aku ketahuan selingkuh."Ada apa, Mas? Kenapa kamu teriak-teriak begitu?" ucap Eva yang tiba-tiba sudah ada di ambang pintu, karena mendengar teriakanku."Ng–Nggak apa-apa, Va! Maaf, Sayang, aku harus ke rumah Sintya sekar
Mendengar kata maafku yang terucap, justru membuat Pak Imran Ayah mertuaku semakin marah, aku hanya pasrah duduk tertunduk di hadapanya, hingga beliau mengatakan sebuah surat perjanjian yang pernah aku tanda tangani sebelum menikahi Sintya.Sontak membuatku mengangkat kepalaku, dan membuat mataku terbuka lebar.Degh! "Su–Surat perjanjian?" tanyaku.Astaghfirullah, surat perjanjian itu, aku memang pernah menandatangani surat perjanjian pra nikah itu. Aku menepuk jidatku, dan berkali-kali aku mengusap kasar wajahku, betapa bodohnya aku. Itu artinya aku akan kehilangan semuanya. Ada rasa nyeri yang menyayat hati aku rasakan.Surat perjanjian yang di ajukan oleh Pak Imran sebelum aku menikahi putrinya, memang awalnya beliau tak menyetujui pernikahan kami, akan tetapi niatku menikahi Sintya begitu tulus, pun dengan Sintya, yang terus mengiba pada Ayahnya agar memberi restu dan bersedia menjadi wali nikah saat itu.Hingga akhirnya beliau mengajakku bicara dan akan merestui pernikahan kami
Aku mengantar Rizki ke tempat Bimbanya, usai kami sarapan bersama, jujur ini kali pertama aku mengantarnya ke bimbanya, biasanya ini menjadi rutinitas Sintya. Tapi kali ini, karena Rizki yang meminta, aku bersedia mengantarnya ke tempat bimba.Sepanjang perjalanan pikiranku kacau, beberapa meter lagi sampai ke tempat bimba anakku, tapi getar ponsel di saku celanaku sangat menggangu, beberapa kali aku abaikan, akhirnya aku menepi sebentar dan melihat siapa yang menghubungiku.Nama Eva tertera di layar ponselku yang masih bergetar, entah kenapa ada sedikit malas untuk mengangkat teleponnya, mungkin karena pikiranku sedang kacau, aku hanya ingin sedikit tenang.Tiga kali sudah aku mengabaikan panggilan masuk dari Eva, namun sepertinya ia tak menyerah, ponselku kembali bergetar. Hingga akhirnya aku geser tombol hijau."Halo Eva ada apa sih? Aku lagi di jalan nih!" ucapku ketus pada wanita yang sudah menjadi istri keduaku di seberang sana."Kamu kenapa sih Mas! Aku cuma mau bilang, aku ma