Mentari pagi mulai menyinari jalanan Jakarta yang ramai. Fadil duduk di kursi belakang mobil, sesekali memijat keningnya. Semalam, percakapan dengan ibunya kembali mengganggu pikirannya, meskipun ia berusaha untuk tidak menunjukkannya pada Fahira. Tekanan untuk segera memiliki keturunan terus menghantuinya.
Pak Aji, sopir setia yang sudah bertahun-tahun mengantarnya, memperhatikan kegelisahan sang majikan dari kaca spion. Ia selalu peka terhadap perubahan suasana hati Fadil. "Masih pagi, Tuan, kok sudah terlihat lesu?" tanya Pak Aji dengan nada ramah sambil melirik ke arah Fadil melalui kaca spion, berusaha mencairkan suasana. Senyum tipis menghiasi wajahnya. Fadil menghela napas pelan dan mencoba membalas senyum Pak Aji. "Ah, nggak apa-apa, Pak Aji. Hanya sedikit kurang tidur saja." Pak Aji terkekeh pelan. "Kurang tidur karena mikirin laporan keuangan kantor yang bikin pusing tujuh keliling, ya Tuan?" tebak Pak Aji sambil melirik kembali ke kaca spion dengan tatapan jenaka. "Atau... jangan-jangan kurang tidur karena mikirin resep kue baru buatan Nyonya yang terlalu enak sampai kebawa mimpi?" Fadil sedikit tersenyum mendengar tebakan Pak Aji. "Dua-duanya ada benarnya, Pak Aji," jawab Fadil jujur. "Kerjaan memang lagi padat, dan kue buatan Fahira memang selalu bikin nagih." "Nah, kan! Saya bilang juga apa, Tuan," sahut Pak Aji dengan nada penuh kemenangan. "Kalau begitu, Tuan harus banyak-banyak makan kue buatan Nyonya biar otaknya encer, kerjanya lancar, tidurnya nyenyak, eh... tapi nanti malah jadi kebanyakan gula darah, ya?" Pak Aji pura-pura berpikir keras sambil mengetuk-ngetukkan jarinya di setir. Fadil tertawa kecil mendengar celotehan Pak Aji. "Ada-ada saja Bapak ini." "Lho, saya kan cuma kasih saran yang terbaik buat Tuan," balas Pak Aji dengan nada polos. "Dulu waktu saya masih muda, kalau lagi banyak pikiran, ibu saya selalu bilang, 'Sudah, Ji, kamu makan singkong rebus saja yang banyak. Biar otaknya nggak ngebul kayak knalpot motor tua.'" Fadil tergelak mendengar perumpamaan Pak Aji. "Ada-ada saja ibunya Bapak." "Iya, Tuan. Ibu saya itu memang orangnya sederhana tapi idenya suka aneh-aneh," kata Pak Aji sambil terkekeh. "Pernah waktu saya lagi patah hati, ibu saya malah nyuruh saya pelihara ayam jago. Katanya, biar semangatnya kayak ayam jago yang setiap pagi berkokok pantang menyerah." Tawa Fadil semakin pecah mendengar cerita-cerita lucu Pak Aji. Kegelisahan yang tadi menyelimuti pikirannya perlahan menghilang. "Wah, lain kali saya harus ketemu ibu Bapak nih. Kayaknya seru orangnya." "Wah, jangan kaget ya, Tuan. Nanti Tuan malah disuruh jualan jamu gendong biar rezekinya lancar," celetuk Pak Aji dengan nada bercanda. Fadil tersenyum lebar. "Yang penting halal dan berkah, Pak Aji. Saya sih manut saja." "Nah, itu baru Tuan Fadil yang saya kenal! Semangat terus, Tuan! Jangan biarkan pikiran kusut mengalahkan ketampanan Tuan yang sudah alami ini," ujar Pak Aji dengan nada penuh semangat sambil melirik Fadil melalui kaca spion dengan senyum jahil. Fadil tertawa lepas. "Terima kasih, Pak Aji. Bapak memang selalu bisa membuat suasana jadi lebih baik." "Siap, Tuan! Tugas saya kan bukan cuma nganterin Tuan, tapi juga menghibur Tuan biar nggak stress. Kalau Tuan stress, nanti kasihan Nyonya di rumah," balas Pak Aji bijak. Perjalanan ke kantor pagi itu terasa lebih ringan bagi Fadil. Celotehan lucu dan nasihat sederhana dari Pak Aji berhasil mengalihkan pikirannya dari tekanan pekerjaan dan masalah keluarga. Ia bersyukur memiliki sopir yang bukan hanya sekadar mengantarnya, tetapi juga bisa menjadi teman dan penghibur di saat-saat sulit. Setibanya di kantor, Fadil langsung menuju ruang kerjanya. Ia duduk di kursi empuknya dan segera membuka tab di laptopnya. Matanya tertuju pada grafik investasi perusahaan yang terpampang di layar. Alisnya berkerut melihat pergerakan angka yang tidak sesuai dengan harapannya. Garis merah yang menurun tampak begitu jelas, membuatnya menghela napas panjang. "Hmm, sepertinya ada beberapa sektor yang perlu dievaluasi lagi," gumam Fadil pelan sambil memijat pelipisnya. Angka-angka dan persentase di layar seolah ikut menambah beban pikirannya. Ia tahu, sebagai seorang CEO, ia bertanggung jawab penuh atas kinerja perusahaan. Penurunan grafik investasi ini tentu menjadi perhatian utamanya. Ia mencoba fokus, menganalisis data dengan saksama. Dibandingkan dengan laporan bulan lalu, ada beberapa instrumen yang menunjukkan penurunan signifikan. Fadil mulai membuka dokumen-dokumen terkait, membaca catatan dan proyeksi yang telah dibuat tim analisnya. Ia berusaha mencari tahu akar permasalahan dan solusi yang tepat untuk mengatasi situasi ini. Namun, di tengah keseriusannya meneliti grafik dan laporan, bayangan wajah Fahira dan percakapannya dengan ibunya semalam kembali melintas di benaknya. Kekhawatiran akan masa depan perusahaan bercampur dengan kekhawatiran akan kebahagiaan rumah tangganya. Ia ingin menjadi suami yang sukses dan bisa membahagiakan Fahira dalam segala hal, termasuk memberikan keturunan jika Allah mengizinkan. Fadil menghela napas lagi. Ia menyadari, tekanan yang ia rasakan tidak hanya berasal dari pekerjaan, tetapi juga dari ekspektasi keluarga dan kerinduannya untuk memiliki anak. Ia berusaha memisahkan kedua beban pikiran ini agar bisa fokus mencari solusi untuk masalah perusahaan. Namun, keduanya terasa begitu terkait dan saling memengaruhi. Dengan tekad yang kuat, Fadil kembali menatap layar laptopnya. Ia harus profesional dan bertanggung jawab. Masalah investasi ini harus segera diatasi. Ia akan memanggil timnya untuk berdiskusi dan mencari strategi baru. Ia tidak boleh menyerah. Seperti kata Pak Aji tadi pagi, ia harus tetap semangat dan tidak membiarkan pikiran kusut mengalahkannya. Ia harus kuat, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk Fahira. Tiba-tiba, ketukan lembut terdengar dari pintu ruang kerja Fadil. "Masuk," sahut Fadil tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop. Pintu terbuka dan Sabrina, sekretaris Fadil, melangkah masuk. Sabrina bukan hanya seorang sekretaris profesional, tetapi juga memiliki kedekatan khusus dengan keluarga Fadil. Ia adalah putri dari sahabat ibunda Fadil sejak lama. Hubungan ini membuat Rissa merasa nyaman dan terkadang bersikap lebih santai kepada Fadil, meskipun tetap menjaga batasan profesional. "Selamat pagi, Pak Fadil," sapa Rissa dengan senyum ramahnya. "Ini laporan keuangan bulanan yang Bapak minta kemarin. Sudah saya rangkum sesuai dengan permintaan Bapak." Sabrina meletakkan sebuah map berwarna biru di atas meja Fadil. Fadil akhirnya mengalihkan pandangannya dari grafik investasi dan menatap Sabrina. "Terima kasih, Rissa. Kamu memang bisa diandalkan." Ia mengambil map tersebut dan meletakkannya di samping laptopnya. "Ada hal lain, Pak?" tanya Rissa, memperhatikan raut wajah Fadil yang tampak sedikit tegang. Ia sudah cukup lama bekerja dengan Fadil sehingga bisa membaca perasaannya. Rissa tersenyum lagi dan meletakkan segelas kopi di meja Fadil, tepat di samping map laporan keuangan. "Oh iya, Pak. Tadi saya kebetulan lewat kedai kopi baru di lobi. Mereka lagi ada promo, beli satu gratis satu. Saya yakin Bapak akan suka. Ini masih hangat." Ucap Sabrina dengan nada ramah dan penuh perhatian. Fadil menatap gelas kopi itu, lalu kembali menatap Sabrina dengan senyum tipis. "Terima kasih banyak, Sabrina. Kamu memang tahu saja apa yang saya butuhkan." Ia meraih gelas kopi itu dan menyesapnya sedikit. Aroma kopi yang kuat langsung menyegarkan pikirannya yang sempat tegang. "Sama-sama, Pak. Semoga bisa membantu Bapak lebih semangat," balas Sabrina. Ia memperhatikan Fadil sejenak, tampak ragu untuk mengatakan sesuatu. "Ehm... Bapak terlihat sedikit kurang bersemangat pagi ini. Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanyanya hati-hati. Fadil menghela napas pelan, lalu menggelengkan kepalanya dengan senyum tipis. "Tidak apa-apa, Sabrina. Hanya sedikit masalah pekerjaan. Terima kasih atas kopinya. Kamu bisa kembali bekerja." Fadil mengisyaratkan dengan tangannya agar Sabrina keluar dari ruangannya. Sabrina mengangguk mengerti, meskipun raut wajahnya menunjukkan sedikit kekhawatiran. "Baik, Pak. Kalau ada yang Bapak butuhkan, jangan ragu untuk menghubungi saya," ucap Rissa sopan sebelum berbalik dan melangkah keluar dari ruangan Fadil, menutup pintu dengan pelan. Setelah Sabrina pergi, Fadil kembali menyesap kopinya. Kehangatan kopi dan perhatian kecil dari Sabrina sedikit meredakan ketegangan di hatinya. Namun, masalah investasi dan tekanan dari ibunya masih berputar-putar di benaknya. Ia tahu, ia tidak bisa terus-menerus memendamnya sendiri. Mungkin, nanti malam ia perlu berbicara lebih terbuka dengan Fahira. Mereka harus saling menguatkan dan mencari solusi bersama. Fadil kembali menatap layar laptopnya, mencoba fokus pada pekerjaannya dengan pikiran yang sedikit lebih segar.Usai makan malam yang diwarnai kehangatan dan sedikit ketegangan, Bu Nika dan Fatah dengan sigap membantu Bi Ida membereskan sisa-sisa hidangan. Sementara itu, Bu Rara sudah berpamitan pulang lebih awal. Di kamar mereka, Fadil dan Fahira khusyuk menunaikan sholat Isya berjamaah, memanjatkan rasa syukur atas segala nikmat yang telah diberikan.Di dapur, saat mereka sedang mencuci piring, Fatah menghela napas panjang. "Bun," celetuknya pelan, "kenapa sih mamanya Kak Fadil kayak gitu? Kayak si paling oke aja." Nada bicaranya menunjukkan ketidakmengertian dan sedikit kekesalan.Bu Nika mengusap lembut kepala putranya. "Nak... sudah, kamu jangan bicara seperti itu ya. Mungkin beliau juga khawatir sama Kakakmu dan cucunya. Setiap ibu punya cara sendiri untuk menunjukkan perhatiannya, meskipun terkadang caranya tidak selalu tepat di mata kita." Bu Nika berusaha memberikan pengertian, meskipun ia sendiri juga merasakan sikap kurang menyenangkan dari ibu mertua Fahira. Ia berharap Fatah tidak
Sabrina berdiri termenung di balkon vila yang menghadap pemandangan pegunungan Bandung yang asri. Angin sepoi-sepoi menerpa rambutnya yang tergerai. Kamila, sahabatnya sejak kuliah, menghampirinya dengan membawa secangkir teh hangat. "Kenapa, Na? Mikirin Pak Fadil lagi?" tanya Kamila dengan nada sedikit malas, sudah hafal dengan topik yang seringkali memenuhi pikiran sahabatnya itu. Sabrina di luar kantor, menunduk dan menghela napas panjang. "Gue sebenarnya udah interest sama beliau dari sebelum nikah," ujarnya lirih, menerawang jauh. "Dia kan nggak pernah publish siapa perempuan yang lagi dekat sama dia. Tiba-tiba aja dia nikah. Padahal gue udah jadi sekretaris dia udah lama. Gue pikir... ada kesempatan." Nada suaranya terdengar menyesal. Kamila menghela napas dan meletakkan cangkir teh di meja balkon. "Gue ngerti perasaan lo, Na. Nggak enak emang, udah lama suka, eh taunya dia udah punya istri. Tapi sekarang situasinya beda. Pak Fadil udah bahagia sama Mbak Fahira. Udah jelas, N
"Sayang, nanti sore aku ada Family Gathering ke Bandung sama rekan kerja aku. Kamu ikut ya?" Ujar Fadil sambil menuangkan air mineral ke gelasnya. Fahira duduk di kursi ruang makan dan mengoleskan selai ke rotinya. "Mas, itu kan acara kamu. Aku nggak akan ikut campur." "Tapi kan 2 hari sayang, nanti kalau mama kesini dan ngerecokin kamu lagi gimana? Mendingan kamu ikut aku aja ya." Fadil mulai memohon dan memeluk leher Fahira dari belakang dan mencium ujung kepala Fahira. "Nih, mas makan dulu. Nanti lapar loh kerjanya." Fahira memberikan roti selai kepada Fadil. Fadil pun menghela nafas. Tiba-tiba Fahira merasa mual dan pusing. "Mas... Kok kepala aku pusing banget ya? Aku... huekk." Fahira berlari ke kamar mandi dan ia muntah-muntah. "Kamu kenapa sayang?" Fadil mengusap punggung Fahira dengan lembut. Fahira masih lemas setelah muntah. Wajahnya pucat dan keringat dingin membasahi dahinya. "Nggak tahu, Mas... tiba-tiba aja perut aku nggak enak banget," jawab Fahira dengan suara le
Fadil menghela napas panjang, berusaha meredam gejolak emosi yang masih berkecamuk di dadanya. Ia menangkup wajah Fahira dengan kedua tangannya, menatap matanya dengan lembut namun penuh kesungguhan. "Fahira..." Fadil mulai menurunkan suaranya, berusaha berbicara dengan tenang dan bijak. "Duduklah, Sayang. Kita bicarakan ini baik-baik. Oke?" Ia menuntun Fahira untuk duduk di tepi ranjang, lalu berlutut di hadapannya, menggenggam erat kedua tangan istrinya. "Begini, Sayang. Kamu itu istriku. Kamu yang selalu ada di sampingku, dalam suka maupun duka. Kamu yang selalu mendoakan aku, mendukung setiap langkahku. Aku memang ingin berbakti kepada ibuku, dan aku sudah berusaha untuk bersikap adil. Tapi kamu adalah istriku. Kamu adalah amanah yang Allah titipkan padaku. Kamu yang seharusnya aku lindungi, aku sayangi lebih dari siapapun setelah ibuku." Fadil mengusap lembut punggung tangan Fahira. "Dan seharusnya ibuku lah yang menghargai kamu, Sayang. Karena kamu selalu berusaha menghargai
Fahira duduk di sebuah cafe. Jari telunjuknya berputar di bibir cangkir kopi. Ia mengangkat tangan kepada seorang wanita berjilbab dan cantik yang sedang kebingungan mencarinya. Wanita itu segera menghampiri Fahira. Ia menyapa Fahira dengan sopan. "Mbak Fahira, maaf kalau buat mbak menunggu." Ucap wanita itu. Fahira hanya tersenyum dan mempersilahkan wanita itu duduk."Rissa, ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan dan sampaikan kepada kamu." Fahira menghela nafas dan menatap Rissa dengan senyuman pahit. Rissa hanya menatap Fahira dengan tatapan yang penuh tanda tanya."Maaf sebelumnya, Ris. Apa kamu sudah punya pacar?" Tanya Fahira dengan suara yang lembut.Rissa menyandarkan punggungnya dan tersenyum, "Belum sih, Mbak. Memangnya ada apa?""Tapi sudah ingin menikah belum?" Tanya Fahira lagi. Suasana cafe yang ramai, kini tampak sepi setelah Rissa mendengar pertanyaan Fahira. "Saya... Mau menjodohkan kamu dengan seseorang. Boleh?" Lanjut Fahira."Sebenarnya, saya menyukai seseorang.
Sore hari menjelang senja, setelah menyelesaikan pekerjaannya di kantor, Fadil memutuskan untuk mampir ke rumah ibunya. Ia sengaja membeli beberapa makanan kesukaan ibunya dan sebuah kain batik halus sebagai hadiah kecil. Ia berharap, kehadirannya bisa sedikit menghibur ibunya dan meredakan suasana tegang yang mungkin masih terasa setelah percakapan pagi tadi dengan Fahira.Fadil mengetuk pintu rumah ibunya dengan sopan. Tak lama kemudian, pintu terbuka dan Bu Rara menyambutnya dengan wajah yang tidak terlalu cerah, namun tidak juga terlihat marah."Fadil? Tumben kamu mampir sore-sore begini," kata Bu Rara tanpa senyum, namun mempersilakan anaknya masuk."Iya, Bu. Ini Fadil bawakan makanan kesukaan Ibu. Sama ini, ada sedikit hadiah," jawab Fadil sambil menyerahkan kantong makanan dan bungkusan kain batik kepada ibunya.Bu Rara menerima pemberian anaknya dengan tanpa ekspresi. Ia meletakkan bungkusan batik di meja dan membuka kantong makanan, melihat isinya sekilas. "Terima kasih," uca
Raut wajah Fahira berubah sedikit pucat mendengar tuntutan mertuanya. Ia berusaha menjelaskan dengan nada setenang mungkin, meskipun hatinya terasa perih. "Ibu, maaf sekali. Saya tidak bisa minum susu. Dari kecil saya alergi susu. Apalagi susu murni, perut saya langsung sakit dan mual." Ucap Fahira dengan lembut, berharap ibu mertuanya bisa memahami kondisinya.Namun, penjelasan Fahira justru memicu emosi Bu Rara. Matanya memicing tajam menatap menantunya. "Kamu itu manja sekali! Alergi segala! Mau punya anak atau nggak?! Apa kamu sengaja ya nggak mau kasih Fadil anak? Kamu cinta nggak sih sama anak saya, Fahira?" tuduh Bu Rara dengan nada tinggi, suaranya meninggi dan penuh amarah."Ibu!" seru Fahira terkejut mendengar tuduhan yang sama sekali tidak berdasar itu. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Demi Allah, Bu, saya sangat mencintai Mas Fadil. Saya juga sangat ingin punya anak. Kami sudah berusaha berbagai cara. Alergi susu ini bukan kemauan saya, Bu. Saya tidak pernah
Rissa kembali ke mejanya di ruang sekretariat. Ia mendudukkan diri di kursinya dengan lesu. Pikirannya masih tertinggal pada raut wajah tegang Fadil tadi. Sebenarnya, jauh di lubuk hatinya, Rissa sudah lama menyimpan perasaan lebih dari sekadar rekan kerja terhadap Fadil. Ketampanan, karisma, dan kebaikan hati Fadil membuatnya diam-diam mengagumi atasannya itu. Namun, Rissa selalu sadar diri akan status Fadil yang sudah memiliki seorang istri yang sangat dicintainya. Ia berusaha keras untuk menjaga jarak profesional dan memendam perasaannya dalam-dalam.Tiba-tiba, ponsel di mejanya bergetar, menandakan ada pesan masuk. Rissa meraih ponselnya dan melihat notifikasi dari papanya. Matanya terpaku pada isi pesan singkat itu:"Rissa, papa mau menjodohkan kamu. Besok, ketika kamu libur, kita harus bicarakan ini."Rissa hanya membaca pesan itu melalui notifikasi tanpa membukanya. Ia menghela napas panjang, kali ini bercampur dengan rasa kesal. Dijodohkan? Di zaman sekarang? Pikirannya langsu
Mentari pagi mulai menyinari jalanan Jakarta yang ramai. Fadil duduk di kursi belakang mobil, sesekali memijat keningnya. Semalam, percakapan dengan ibunya kembali mengganggu pikirannya, meskipun ia berusaha untuk tidak menunjukkannya pada Fahira. Tekanan untuk segera memiliki keturunan terus menghantuinya. Pak Aji, sopir setia yang sudah bertahun-tahun mengantarnya, memperhatikan kegelisahan sang majikan dari kaca spion. Ia selalu peka terhadap perubahan suasana hati Fadil. "Masih pagi, Tuan, kok sudah terlihat lesu?" tanya Pak Aji dengan nada ramah sambil melirik ke arah Fadil melalui kaca spion, berusaha mencairkan suasana. Senyum tipis menghiasi wajahnya. Fadil menghela napas pelan dan mencoba membalas senyum Pak Aji. "Ah, nggak apa-apa, Pak Aji. Hanya sedikit kurang tidur saja." Pak Aji terkekeh pelan. "Kurang tidur karena mikirin laporan keuangan kantor yang bikin pusing tujuh keliling, ya Tuan?" tebak Pak Aji sambil melirik kembali ke kaca spion dengan tatapan jenaka. "Atau.