Fadil mengecup lembut kedua telapak tangan Fahira. "Jangan pernah berpikir aku akan meninggalkanmu hanya karena kamu tidak bisa memberiku anak. Kamu lebih berharga dari apapun di dunia ini. Kehadiranmu dalam hidupku sudah lebih dari cukup."
Air mata Fahira kembali menetes, namun kali ini bukan karena sedih, melainkan karena terharu mendengar ketulusan ucapan suaminya. Ia menggenggam erat tangan Fadil dan menatapnya dengan penuh cinta. "Terima kasih, Mas," bisik Fahira dengan suara tercekat. "Terima kasih karena kamu selalu ada untukku, selalu menguatkanku." Fadil tersenyum lembut dan mengusap air mata di pipi Fahira. "Aku akan selalu ada untukmu, Sayang. Selamanya." Malam itu, di bawah rembulan yang bersinar lembut, diiringi aroma spaghetti aglio olio yang menggugah selera, Fahira dan Fadil saling bertukar tatapan penuh cinta. Pertanyaan yang selama ini menghantui Fahira akhirnya terjawab dengan ketulusan dan keyakinan dari hati seorang suami yang sangat mencintai istrinya. Meskipun perjalanan mereka belum berakhir dan tantangan mungkin masih akan datang, mereka tahu, cinta mereka akan menjadi jangkar yang akan selalu menjaga mereka tetap bersama. Fahira menundukkan kepalanya, air matanya kembali menetes membasahi pipinya. Ia merasa terharu dan sekaligus merasa bersalah. "Aku merasa Allah terlalu baik sama aku, Mas. Menemukan aku dengan pria seperti Mas Fadil. Aku nggak bisa kasih apa-apa ke Mas," ucap Fahira dengan suara lirih dan penuh kesedihan. Fadil segera mengangkat wajah Fahira dengan kedua tangannya, menatapnya dengan lembut namun penuh keyakinan. "Sayang, jangan pernah bicara seperti itu," kata Fadil dengan nada tegas namun penuh kasih. "Kamu sudah memberikan aku segalanya. Cinta kamu, kesetiaan kamu, kebaikan hati kamu, semua itu jauh lebih berharga dari apapun di dunia ini, termasuk seorang anak." Ia mengusap lembut pipi Fahira. "Kamu adalah istriku, kamu adalah rumahku. Setiap hari bersamamu adalah anugerah yang tak ternilai harganya. Jangan pernah merasa kamu tidak bisa memberikan apa-apa. Kehadiranmu dalam hidupku sudah lebih dari cukup, Sayang. Kamu adalah hadiah terindah yang pernah Allah berikan padaku." Fadil menarik napas sejenak, menatap mata Fahira dengan tatapan yang dalam dan tulus. "Kita adalah satu, Sayang. Kebahagiaanmu adalah kebahagiaanku, kesedihanmu adalah kesedihanku. Kita akan menghadapi ini bersama-sama, apapun yang terjadi. Jangan pernah merasa sendiri. Aku akan selalu ada di sampingmu." Ia memeluk Fahira dengan erat, menyalurkan kehangatan dan ketenangan. "Ingat, cinta kita bukan tentang apa yang bisa kita berikan secara fisik, tapi tentang bagaimana kita saling melengkapi, saling mendukung, dan saling mencintai tanpa syarat. Kamu sudah memberikan itu semua padaku, Fahira. Jangan pernah meragukan itu." Fahira membalas pelukan Fadil dengan erat, merasakan kehangatan dan ketulusan cinta suaminya. Air matanya kini bukan lagi hanya karena sedih, tetapi juga karena terharu dan bersyukur memiliki suami seperti Fadil. Kata-kata Fadil bagai oase di tengah gurun hatinya yang kering. Ia merasa dicintai dan dihargai apa adanya. "Terima kasih, Mas," bisik Fahira di dalam pelukan Fadil. "Terima kasih karena kamu mencintaiku tanpa syarat." Fadil mengeratkan pelukannya. "Aku akan selalu mencintaimu, Sayang. Selamanya." Malam itu, di tengah kesederhanaan makan malam spaghetti, cinta antara Fahira dan Fadil terasa begitu kuat dan mendalam. Mereka saling menguatkan dan berjanji untuk terus bersama, menghadapi segala ujian hidup dengan cinta dan keyakinan. Mereka tahu, meskipun belum dikaruniai keturunan, kebahagiaan sejati mereka terletak pada kebersamaan dan cinta yang mereka miliki. Pagi yang sunyi menyelimuti rumah Fadil dan Fahira. Ayam berkokok bersahutan, menandakan waktu subuh telah tiba. Fahira perlahan membuka matanya dan segera bangkit dari tempat tidur. Ia selalu berusaha untuk tidak pernah melewatkan kewajibannya sebagai seorang muslimah. Dengan khusyuk, Fahira menunaikan sholat subuh. Dalam setiap sujudnya, ia selalu memanjatkan doa yang sama: memohon kepada Allah SWT agar segera diberikan keturunan yang saleh dan salehah, dan agar rumah tangganya selalu diliputi keberkahan dan kebahagiaan. Kali ini, air mata tak tertahankan mengalir di pipinya saat ia mencurahkan segala isi hatinya kepada Sang Pencipta. Ia menceritakan kerinduan yang mendalam akan hadirnya seorang anak, kekhawatiran akan masa depan rumah tangganya, dan harapannya yang tak pernah padam. Saat Fahira masih khusyuk dalam doanya, pintu kamar perlahan terbuka. Fadil baru saja kembali dari masjid setelah menunaikan sholat subuh berjamaah. Ia melihat istrinya sedang duduk bersimpuh di atas sajadah, dengan air mata yang membasahi pipinya. Hatinya terenyuh melihat ketulusan dan kepasrahan Fahira dalam berdoa. Ia tahu betul betapa besar keinginan istrinya untuk memiliki anak. Setelah Fahira selesai berdoa dan mengusap air matanya, Fadil mendekatinya perlahan. Ia duduk di samping Fahira dan mengusap lembut punggung istrinya. "Aamiin," ucap Fadil dengan suara berat, namun penuh ketulusan. "Kabulkan doa istriku yang cantik dan soleha ya Allah." Fahira menoleh dan menatap Fadil dengan mata yang masih basah. Ia tersenyum haru melihat suaminya yang selalu mengamini setiap doanya. Ia merasa begitu beruntung memiliki Fadil yang selalu mendukung dan menguatkannya dalam setiap keadaan. "Terima kasih, Mas," bisik Fahira lembut. Fadil memeluk istrinya dengan erat. "Kita akan terus berdoa dan berusaha, Sayang. Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui yang terbaik untuk kita." Pagi itu, di bawah cahaya subuh yang mulai menerangi jendela kamar mereka, Fahira dan Fadil saling menguatkan dalam doa dan harapan. Mereka percaya, di balik setiap ujian pasti ada hikmah dan rencana indah dari Allah SWT. Mereka akan terus menjalani hari-hari dengan sabar, ikhlas, dan penuh cinta, sambil tak pernah berhenti berharap akan datangnya keajaiban dalam rumah tangga mereka. Fahira melipat mukena dan sajadahnya dengan rapi, kemudian meletakkannya kembali di tempatnya. Ia kembali naik ke ranjang dan duduk bersandar di samping Fadil, menatap wajah suaminya dengan penuh kasih. Ada ketenangan terpancar dari wajah Fadil setelah menunaikan sholat subuh di masjid. "Mas," panggil Fahira lembut, memecah keheningan pagi. Fadil menoleh dan menatap mata istrinya dengan senyum teduh. "Ada apa, Sayang?" "Aku pernah dengar ceramah," ujar Fahira dengan suara pelan, mencoba merangkai kata-katanya. "Ustadz itu bilang, Allah itu Maha Baik. Setiap ujian yang diberikan, pasti ada hikmahnya. Mungkin... mungkin kita belum dikasih anak sekarang, karena Allah tahu ada rencana yang lebih indah untuk kita di masa depan." Fadil menggenggam tangan Fahira dan mengusapnya lembut. "Kamu benar, Sayang. Aku juga percaya itu. Allah tidak pernah memberikan cobaan di luar batas kemampuan hamba-Nya. Mungkin ini cara Allah menguji kesabaran dan keimanan kita. Dan mungkin juga, Allah sedang mempersiapkan sesuatu yang lebih baik untuk kita." Fahira mengangguk pelan, mencoba meresapi kata-kata suaminya. Ada sedikit kelegaan dan harapan yang menyelimuti hatinya. "Ustadz itu juga bilang, kita nggak boleh putus asa dalam berdoa. Terus berusaha dan tawakal. Karena Allah suka dengan hamba-Nya yang gigih meminta." "Betul sekali," timpal Fadil dengan mantap. "Kita akan terus berusaha, Sayang. Kita sudah melakukan berbagai cara, dan kita akan terus mencari jalan. Yang terpenting, kita tidak pernah berhenti berdoa dan percaya pada rencana Allah." Fahira tersenyum tulus, merasa lebih tenang dan optimis. Kata-kata Fadil selalu menjadi sumber kekuatannya. "Terima kasih, Mas. Kamu selalu bisa menenangkan hatiku." "Kita kan satu, Sayang. Apa yang kamu rasakan, aku juga rasakan. Kita hadapi ini bersama," jawab Fadil sambil mengecup kening Fahira dengan lembut. Pagi itu, di ranjang mereka yang sederhana, terjalin kekuatan cinta dan keyakinan yang mendalam. Mereka berdua sepakat untuk terus berjalan bersama, bergandengan tangan menghadapi setiap ujian, sambil tak pernah lelah memanjatkan doa dan berharap akan keajaiban dari Sang Maha Kuasa. Mereka percaya, di balik setiap penantian, akan ada keindahan yang telah disiapkan untuk mereka.Usai makan malam yang diwarnai kehangatan dan sedikit ketegangan, Bu Nika dan Fatah dengan sigap membantu Bi Ida membereskan sisa-sisa hidangan. Sementara itu, Bu Rara sudah berpamitan pulang lebih awal. Di kamar mereka, Fadil dan Fahira khusyuk menunaikan sholat Isya berjamaah, memanjatkan rasa syukur atas segala nikmat yang telah diberikan.Di dapur, saat mereka sedang mencuci piring, Fatah menghela napas panjang. "Bun," celetuknya pelan, "kenapa sih mamanya Kak Fadil kayak gitu? Kayak si paling oke aja." Nada bicaranya menunjukkan ketidakmengertian dan sedikit kekesalan.Bu Nika mengusap lembut kepala putranya. "Nak... sudah, kamu jangan bicara seperti itu ya. Mungkin beliau juga khawatir sama Kakakmu dan cucunya. Setiap ibu punya cara sendiri untuk menunjukkan perhatiannya, meskipun terkadang caranya tidak selalu tepat di mata kita." Bu Nika berusaha memberikan pengertian, meskipun ia sendiri juga merasakan sikap kurang menyenangkan dari ibu mertua Fahira. Ia berharap Fatah tidak
Sabrina berdiri termenung di balkon vila yang menghadap pemandangan pegunungan Bandung yang asri. Angin sepoi-sepoi menerpa rambutnya yang tergerai. Kamila, sahabatnya sejak kuliah, menghampirinya dengan membawa secangkir teh hangat. "Kenapa, Na? Mikirin Pak Fadil lagi?" tanya Kamila dengan nada sedikit malas, sudah hafal dengan topik yang seringkali memenuhi pikiran sahabatnya itu. Sabrina di luar kantor, menunduk dan menghela napas panjang. "Gue sebenarnya udah interest sama beliau dari sebelum nikah," ujarnya lirih, menerawang jauh. "Dia kan nggak pernah publish siapa perempuan yang lagi dekat sama dia. Tiba-tiba aja dia nikah. Padahal gue udah jadi sekretaris dia udah lama. Gue pikir... ada kesempatan." Nada suaranya terdengar menyesal. Kamila menghela napas dan meletakkan cangkir teh di meja balkon. "Gue ngerti perasaan lo, Na. Nggak enak emang, udah lama suka, eh taunya dia udah punya istri. Tapi sekarang situasinya beda. Pak Fadil udah bahagia sama Mbak Fahira. Udah jelas, N
"Sayang, nanti sore aku ada Family Gathering ke Bandung sama rekan kerja aku. Kamu ikut ya?" Ujar Fadil sambil menuangkan air mineral ke gelasnya. Fahira duduk di kursi ruang makan dan mengoleskan selai ke rotinya. "Mas, itu kan acara kamu. Aku nggak akan ikut campur." "Tapi kan 2 hari sayang, nanti kalau mama kesini dan ngerecokin kamu lagi gimana? Mendingan kamu ikut aku aja ya." Fadil mulai memohon dan memeluk leher Fahira dari belakang dan mencium ujung kepala Fahira. "Nih, mas makan dulu. Nanti lapar loh kerjanya." Fahira memberikan roti selai kepada Fadil. Fadil pun menghela nafas. Tiba-tiba Fahira merasa mual dan pusing. "Mas... Kok kepala aku pusing banget ya? Aku... huekk." Fahira berlari ke kamar mandi dan ia muntah-muntah. "Kamu kenapa sayang?" Fadil mengusap punggung Fahira dengan lembut. Fahira masih lemas setelah muntah. Wajahnya pucat dan keringat dingin membasahi dahinya. "Nggak tahu, Mas... tiba-tiba aja perut aku nggak enak banget," jawab Fahira dengan suara le
Fadil menghela napas panjang, berusaha meredam gejolak emosi yang masih berkecamuk di dadanya. Ia menangkup wajah Fahira dengan kedua tangannya, menatap matanya dengan lembut namun penuh kesungguhan. "Fahira..." Fadil mulai menurunkan suaranya, berusaha berbicara dengan tenang dan bijak. "Duduklah, Sayang. Kita bicarakan ini baik-baik. Oke?" Ia menuntun Fahira untuk duduk di tepi ranjang, lalu berlutut di hadapannya, menggenggam erat kedua tangan istrinya. "Begini, Sayang. Kamu itu istriku. Kamu yang selalu ada di sampingku, dalam suka maupun duka. Kamu yang selalu mendoakan aku, mendukung setiap langkahku. Aku memang ingin berbakti kepada ibuku, dan aku sudah berusaha untuk bersikap adil. Tapi kamu adalah istriku. Kamu adalah amanah yang Allah titipkan padaku. Kamu yang seharusnya aku lindungi, aku sayangi lebih dari siapapun setelah ibuku." Fadil mengusap lembut punggung tangan Fahira. "Dan seharusnya ibuku lah yang menghargai kamu, Sayang. Karena kamu selalu berusaha menghargai
Fahira duduk di sebuah cafe. Jari telunjuknya berputar di bibir cangkir kopi. Ia mengangkat tangan kepada seorang wanita berjilbab dan cantik yang sedang kebingungan mencarinya. Wanita itu segera menghampiri Fahira. Ia menyapa Fahira dengan sopan. "Mbak Fahira, maaf kalau buat mbak menunggu." Ucap wanita itu. Fahira hanya tersenyum dan mempersilahkan wanita itu duduk."Rissa, ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan dan sampaikan kepada kamu." Fahira menghela nafas dan menatap Rissa dengan senyuman pahit. Rissa hanya menatap Fahira dengan tatapan yang penuh tanda tanya."Maaf sebelumnya, Ris. Apa kamu sudah punya pacar?" Tanya Fahira dengan suara yang lembut.Rissa menyandarkan punggungnya dan tersenyum, "Belum sih, Mbak. Memangnya ada apa?""Tapi sudah ingin menikah belum?" Tanya Fahira lagi. Suasana cafe yang ramai, kini tampak sepi setelah Rissa mendengar pertanyaan Fahira. "Saya... Mau menjodohkan kamu dengan seseorang. Boleh?" Lanjut Fahira."Sebenarnya, saya menyukai seseorang.
Sore hari menjelang senja, setelah menyelesaikan pekerjaannya di kantor, Fadil memutuskan untuk mampir ke rumah ibunya. Ia sengaja membeli beberapa makanan kesukaan ibunya dan sebuah kain batik halus sebagai hadiah kecil. Ia berharap, kehadirannya bisa sedikit menghibur ibunya dan meredakan suasana tegang yang mungkin masih terasa setelah percakapan pagi tadi dengan Fahira.Fadil mengetuk pintu rumah ibunya dengan sopan. Tak lama kemudian, pintu terbuka dan Bu Rara menyambutnya dengan wajah yang tidak terlalu cerah, namun tidak juga terlihat marah."Fadil? Tumben kamu mampir sore-sore begini," kata Bu Rara tanpa senyum, namun mempersilakan anaknya masuk."Iya, Bu. Ini Fadil bawakan makanan kesukaan Ibu. Sama ini, ada sedikit hadiah," jawab Fadil sambil menyerahkan kantong makanan dan bungkusan kain batik kepada ibunya.Bu Rara menerima pemberian anaknya dengan tanpa ekspresi. Ia meletakkan bungkusan batik di meja dan membuka kantong makanan, melihat isinya sekilas. "Terima kasih," uca
Raut wajah Fahira berubah sedikit pucat mendengar tuntutan mertuanya. Ia berusaha menjelaskan dengan nada setenang mungkin, meskipun hatinya terasa perih. "Ibu, maaf sekali. Saya tidak bisa minum susu. Dari kecil saya alergi susu. Apalagi susu murni, perut saya langsung sakit dan mual." Ucap Fahira dengan lembut, berharap ibu mertuanya bisa memahami kondisinya.Namun, penjelasan Fahira justru memicu emosi Bu Rara. Matanya memicing tajam menatap menantunya. "Kamu itu manja sekali! Alergi segala! Mau punya anak atau nggak?! Apa kamu sengaja ya nggak mau kasih Fadil anak? Kamu cinta nggak sih sama anak saya, Fahira?" tuduh Bu Rara dengan nada tinggi, suaranya meninggi dan penuh amarah."Ibu!" seru Fahira terkejut mendengar tuduhan yang sama sekali tidak berdasar itu. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Demi Allah, Bu, saya sangat mencintai Mas Fadil. Saya juga sangat ingin punya anak. Kami sudah berusaha berbagai cara. Alergi susu ini bukan kemauan saya, Bu. Saya tidak pernah
Rissa kembali ke mejanya di ruang sekretariat. Ia mendudukkan diri di kursinya dengan lesu. Pikirannya masih tertinggal pada raut wajah tegang Fadil tadi. Sebenarnya, jauh di lubuk hatinya, Rissa sudah lama menyimpan perasaan lebih dari sekadar rekan kerja terhadap Fadil. Ketampanan, karisma, dan kebaikan hati Fadil membuatnya diam-diam mengagumi atasannya itu. Namun, Rissa selalu sadar diri akan status Fadil yang sudah memiliki seorang istri yang sangat dicintainya. Ia berusaha keras untuk menjaga jarak profesional dan memendam perasaannya dalam-dalam.Tiba-tiba, ponsel di mejanya bergetar, menandakan ada pesan masuk. Rissa meraih ponselnya dan melihat notifikasi dari papanya. Matanya terpaku pada isi pesan singkat itu:"Rissa, papa mau menjodohkan kamu. Besok, ketika kamu libur, kita harus bicarakan ini."Rissa hanya membaca pesan itu melalui notifikasi tanpa membukanya. Ia menghela napas panjang, kali ini bercampur dengan rasa kesal. Dijodohkan? Di zaman sekarang? Pikirannya langsu
Mentari pagi mulai menyinari jalanan Jakarta yang ramai. Fadil duduk di kursi belakang mobil, sesekali memijat keningnya. Semalam, percakapan dengan ibunya kembali mengganggu pikirannya, meskipun ia berusaha untuk tidak menunjukkannya pada Fahira. Tekanan untuk segera memiliki keturunan terus menghantuinya. Pak Aji, sopir setia yang sudah bertahun-tahun mengantarnya, memperhatikan kegelisahan sang majikan dari kaca spion. Ia selalu peka terhadap perubahan suasana hati Fadil. "Masih pagi, Tuan, kok sudah terlihat lesu?" tanya Pak Aji dengan nada ramah sambil melirik ke arah Fadil melalui kaca spion, berusaha mencairkan suasana. Senyum tipis menghiasi wajahnya. Fadil menghela napas pelan dan mencoba membalas senyum Pak Aji. "Ah, nggak apa-apa, Pak Aji. Hanya sedikit kurang tidur saja." Pak Aji terkekeh pelan. "Kurang tidur karena mikirin laporan keuangan kantor yang bikin pusing tujuh keliling, ya Tuan?" tebak Pak Aji sambil melirik kembali ke kaca spion dengan tatapan jenaka. "Atau.