Share

Khair dan Khaira
Khair dan Khaira
Author: Eneng Susanti

Buku Harian Klasik Bersampul Kulit Warna Cream

Khaira menemukan sebuah diary yang tergeletak begitu saja di lantai kedai kopi, tepatnya di bawah meja. Entah milik siapa, tapi dia memutuskan untuk menyimpannya. Dia pikir, mungkin besok atau lusa, pemilik diary itu akan datang mencarinya. Namun, sebelum orang itu datang, Khaira bermaksud mengintip isinya.

Dia buka sembarang halaman.

Ya Allah, aku melihatnya. Masya Allah … aku tidak percaya, gadis seperti itu ada di dunia. Aku pikir dia bidadari surga.

Dia tidak sedikitpun melihatku atau tahu keberadaanku, tapi tolong maafkan aku yang tidak bisa berpaling dari wajah itu. Aku khilaf ya, Allah ….

Buru-buru Khaira tutup diary bersampul kulit warna cream yang bentuknya menyerupai agenda berstyle klasik itu.

“Ini sih pasti punya cowok genit,” pikir dia.

Setelah menutup kedai, Khaira pulang ke rumah. Mandi, ganti baju, dan menyiapkan makanan untuk adiknya, Khair. Mereka biasa makan malam selepas Isya.

Herannya, malam ini Khair gedebak-gedebuk sendiri di dalam kamar.

“Teh, lihat buku aku yang sampul kulit enggak?” tanya dia sambil melongo di pintu kamar tepat saat Khaira lewat di depan situ.

“Yang isinya curhatan?” tembak gadis itu spontan.

Khair mengerutkan kening heran.

♥♥♥

Keesokan harinya, Khaira seperti biasa berdinas di kedai kopi miliknya. Kedai itu baru dia rintis beberapa bulan lalu. Tak cukup kata untuk menggambarkan panjangnya perjuangan wanita 27 tahun itu hingga mampu membuka kedai kopi yang dia harap bisa sekeren caffe shop beken itu.

Buku harian bersampul kulit warna cream yang dia temukan kemarin sore, tak lupa dibawa. Awalnya mau langsung dia kembalikan kepada adiknya. Tetapi dasar Khaira, otak jailnya ada-ada saja. Mau dia khatamkan dulu isinya, baru dia kembalikan. Begitu rencananya.

Sambil menunggu pelanggan datang, dia baca lagi buku yang tidak terlalu tebal itu. Kali ini dari halaman pertama.

Ini malam pertama aku tiba di kota. Rasanya tak bisa memejamkan mata. Mungkin karena suasana yang berbeda dari biasa. Tapi … sepertinya bukan juga.

Aku kok jadi ingat terus dia. Perempuan yang tadi pagi aku lihat tanpa sengaja. Rambut kepangnya mengingatkan aku pada seseorang di masa lalu yang juga aku lihat tanpa sengaja.

Mungkin itu karena momen yang terasa sama, manis dan sangat klasik.

Perempuan itu kudapati berbicara dengan kucing. Mungkin banyak orang yang berbica dengan kucing di luar sana, tapi perempuan ini tidak sekedar bicara. Dia ngobrol dengan kucing itu, bersahut-sahutan. Itu membuatku terpana. Sungguh terpana.

“Kamu lagi cari makan, ya?” kata dia kepada kucing yang berkeliaran di kakinya.

“Miaw.”

“Sama. Aku juga lagi cari makan ….” Setelahnya, dia dan kucing itu bicara panjang lebar sampai akhirnya dia mengeluarkan dua ikat bacang dari tasnya. Dia gigit bagian bacang yang terbuat dari beras, setelah itu isian bacangnya yang berupa suwiran daging, dia keruk keluar dan diberikan untuk kucing tadi.

Mereka berdua makan bacang bersama. Aku yang melihatnya jadi ingin ikut makan bersama mereka juga. Hehe …

Di tengah kota dan modernitas seperti ini, sulit menemukan seseorang berhati tulus. Alhamdulillah sejauh ini lingkunganku baik, banyak orang-orang baik dan tulus yang aku temui. Tapi perempuan yang aku lihat tadi … ciri-cirinya tidak termasuk kategori baik seperti pandanganku selama ini.

Dia tidak berjilbab. Dia bahkan pakai celana jeans yang sobek-sobek. Hati kecilku menyayangkan hal itu.

Apa karena hal itu aku jadi ingat dia terus sampai tidak bisa tidur? Hm ….

Cepat ditutupnya buku harian tersebut. Membaca kisah singkat itu, entah kenapa Khaira merasa tak enak badan. Jantungnya terasa berdegup lebih kencang dari biasa. Entah kenapa hati kecilnya merasa dia lah sosok perempuan yang dibicarakan di dalam buku itu.

“Apa benar Khair yang menulisnya?” itulah tanya yang terlintas seketika di benak Khaira.

♥♥♥

Sementara itu, di sebuah sudut perpustakaan, dekat jendela kaca yang menjdi dinding bangunan, tampak seseorang sedang tenggelam dalam bacaannya. Nun jauh di seberang perpustakaan, terhalang oleh bentang taman, disembunyikan perdu dan pepohonan rindang, aroma kopi menyeruak di dapur sebuah kedai.

Aromanya seakan turut meliuk diantara barisan huruf di sebuah buku bersampul kulit berwarna cream di tangan pria yang tengah duduk di perpustakaan itu.

Berembun mataku tiap kali mengingatnya. Seseorang yang menyalakan langit kelabuku dengan warna cahayanya. Sang pemilik senyum matahari. Dan, di saat yang sama mata rembulannya mampu meneduhkan segala penat dan risau. Hitam putih hidupku menjadi berwarna olehnya. Musim gugur dan musim dingin diisinya dengan semi.

Dia, lelaki biasa. Jauh lebih biasa dari sekedar biasa. Lebih sederhana dari yang paling sederhana. mengenangnya aku selalu berkaca-kaca.

Peliknya hidupku tak seberat beban yang dipikul bahunya selama puluhan tahun. Dia hanya 'rakyat jelata' yang tak pernah sepintas pun memimpikan jadi raja. Jemarinya yang kasar dan kulitnya yang terbakar, bagiku itu adalah ukiran terindah yang dipahatkan tuhan. Hingga hanya aliran do'a yang bisa kusembahkan seraya mencium tangannya. Tangan yang mulia, seperti kata nabi.

Sedikit sekali yang dia miliki. Sedikit sekali dibanding apa-apa yang kumiliki namun luput dari kusyukuri selama ini.

masih banyak mimpi yang belum bisa aku wujudkan kini, tapi dia. Dia bahkan rela untuk tidak bermimpi demi menghidupkan mimpi-mimpi orang lain di sekitarnya. Ibu, adiknya, dan aku.

Dia bukan seseorang yang gila harta dan hormat. Uang bukanlah sumber kebahagiaan sejati. Darinya aku melihat sebuah pertunjukkan nyata bahwa manusia bisa hidup tanpa harta yang berlimpah. Dan, dia selalu bahagia bahkan tanpa perlu memiliki apa-apa.

Belum pernah aku melihat manusia seperti dia. Yang tidak pernah mengaduh meski kakinya telah berdarah-darah diatas jalan hidup yang berduri. tidak pernah mengeluh meski lelah dan hanya dibayar murah. Justru dialah yang selalu mampu menghapus kabut dan hujan di sepanjang jalanku.

Dia malaikat di muka bumi. Bahkan lebih. Rasanya sembah sujud pun tak kan cukup untuk menunjukkan betapa berartinya dia bagiku.

Aa, aku mencintaimu karena Allah. Karena Allah yang selalu ada dalam hati dan jiwamu di sepanjang hidup.

Cinta yang tak terkata dengan bisikan, ataupun teriakan. Cinta yang tak bisa diwakilkan oleh simbol hati semerah jambu apapun itu. Cinta ini bening. Maka, hanya beningnya air mata yang bisa mengungkapkan itu padamu.

Air mata cinta yang muatannya adalah rasa syukur kepada Allah ... syukur tak terperi bahwa Dia menghadirkan malaikat sepertimu di bumi. Dan, Dia menuliskan takdir kita menjadi sepasang suami istri.

Aa, terima kasih atas semua keajaiban yang kau persembahkan di hidupku sehingga pahit dan sedih deritaku kau ubah menjadi kebahagiaan yang indah dan manis bagiku.

“Masya Allah…” gumam pria yang sedang tenggelam membaca catatan di buku harian itu.

Sungguh dia tak menduga bahwa buku harian berdesain klasik ala vintage di tangannya itu adalah milik seseorang  wanita yang entah siapa identitasnya. Dia baru menyadari hal itu saat membuka halaman pertama, Didapatinya sebuah foto lawas wanita memakai toga bersama seorang pria. Wanita itu seperti menggendong bayi di pelukannya. Tidak begitu jelas, karena gambarnya sudah tampak pudar.

Kini muncul sebuah tanya dibenaknya. “Diary bersampul kulit warna cream ini milik siapa?”

♥♥♥

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nurfa Latif.
Wah, ceritanya bagus.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status