Share

Gadis Berhijab Bernama Rumaysha

Tiga hari sebelumnya, pria itu duduk sendirian di perpustakaan. Setelah menyelesaikan bacaan beratnya berupa setumpuk jurnal, dia hendak menulis sesuatu di sebuah buku. Buku itu bersampul kulit warna cream. Berdesain klasik dan  memang khusus menyimpan catatan pribadinya.

Belum sempat membuka lembar halamannya, sekelompok mahasiswa datang menghampiri dan mengucapkan salam padanya, “Assalamualaikum, Ustaz.”

“W*’alaikumsalam,” jawabnya, seperti biasa dengan santun dan senyum. Secara spontan dia letakkan buku berdesain klasik ala vintage itu di meja dekat tumpukan jurnal dan buku-buku ilmiah yang baru selesai dibacanya.

“Apa kabar kalian?” sapanya. Masih tampak keramah-tamahan yang jadi ciri khasnya.

“Alhamdulillah, Ustaz,” sahut mereka serempak.

“Ada apa nih, ko kompak menemui saya?” tanya dia.

“Afwan, Ustaz,” seseorang dari mereka langsung menyampaikan maksud dan tujuannya, “Terkait kuliah umum pekan depan, ada sedikit perubahan agenda. Tadinya kan hanya untuk fakultas tarbiyah saja, tapi ternyata fakultas lain mau meramaikan juga. Jadi ada beberapa hal yang perlu kita bahas ulang nih, Ustaz.”

Pria yang dipanggil Ustaz oleh mahasiswa tersebut memang merupakan dosen fakultas Tarbiyah di sebuah kampus swasta ternama. Rencanya, pekan depan dia memang akan mengisi kuliah umum sesuai mata kuliah yang diampunya, Sejarah Kebudayaan Islam.

Sekelompok mahasiswa yang menghampirinya kali itu adalah kumpulan aktivis kampus yang jadi panitia kegiatan kuliah umum itu.

Seorang mahasiswa mengeluarkan laptop dan beberapa buku catatan. Mereka kemudian membahas banyak hal terkait persiapan kegiatan. Walaupun terbilang dosen baru di kampus tersebut, ‘ustaz’ ini punya kharisma yang bikin mahasiswa kagum dan hormat padanya. Padahal, usia mereka tidak terpaut jauh. Usianya baru di awal kepala tiga.

Sang dosen juga baru sekitar satu tahun lebih mengabdi di kampus mereka, tapi sosoknya sudah sangat mencuri perhatian. Tak sedikit mahasiswa yang bahkan berani mengirim surat cinta secara diam-diam. Namun, sejauh ini mereka semua dipastikan patah hati karena dia nyatanya sudah terikat khitbah dengan seorang gadis.

Pembicaraan tentang kuliah umum pun berjalan dengan hangat dan santai. Tak terasa menjelang Ashar, mereka pun harus bubar. Tepat saat itulah seorang gadis berhijab syar’i mendekat ke meja mereka.

“Afwan, apa Akhi sudah selesai?” tanya gadis yang tampak anggun dalam balutan gamis dan hijab syar’i itu. Suaranya terdengar  bergetar.

Sang dosen menoleh ke arah suara. Sedikit kaget mendapati calon istrinya ada di perpustakaan kampus, tapi dia bertanya dengan ringan, “Eh ... Rumi, kok bisa ada di sini?”

Mahasiswa yang masih berunding di sana sontak pamitan. Beberapa dari mereka berbisik-bisik saat meninggalkan perpustakaan.

“Itu calon istrinya, Ustaz Ahsan ya?”

“Kayaknya iya. Adem kayak pohon beringin. Cantik lagi ... kayak pernah lihat di mana gitu, ya.”

“Di mimpi kali …” timpal temannya.

“Aku juga mau loh punya calon istri kayak gitu. Cantik, shalihah, baik, tidak sombong dan rajin menabung deh kayaknya tuh …”

Diselingi gelak tawa dan canda, pembicaraan itu menguap bersama derap kaki mereka yang menjauh dari ruang perpustakaan. Namun, masih ada seorang yang tersisa. Dia masih duduk bagai terpaku di tempatnya. Bahkan menoleh pun tidak.

Gadis yang dipanggil dengan sapaan Rumi itu berdiri di belakang pemuda tersebut. Dia terlihat sedikit pucat. Pikirannya menebak-nebak siapa yang duduk di sana. Namun, wajahnya yang kalem dan teduh mampu menyembunyikan gejolak hatinya saat itu.

“Ibu menunggu di luar gerbang kampus. Dari tadi beliau menelepon, tapi sepertinya Akhi sibuk. Jadi saya disuruh masuk menemui langsung.” Suara serak itu bertutur menjernihkan kesalahpahaman yang mungkin timbul.

Namun, penjelasan yang seyogyanya  untuk calon suaminya itu justru terkesan disampaikan bukan hanya untuk satu orang. Ya, ada seorang pemuda yang turut mendengar suaranya.

Di telinga pemuda itu, suara gadis tadi pernah terasa akrab, hangat dan begitu dirindu. Namun, kini telah dingin. Bahkan membuat hatinya membeku.

Mahasiswa terakhir yang sedang terpaku dalam suasan penuh kebaperan itu, langsung menutup laptop.

“Saya pamit dulu, Ustaz,” ucapnya tiba-tiba, seraya tergesa menyabet beberapa buku catatan dan alat tulis yang tercecer di meja.

Dia tidak berani menoleh ke sosok wanita yang berdiri tepat di belakanngya. Namun apa daya, mereka berpapasan juga.

“Kh … Khair …” Bibir gadis itu bergumam samar. Tentu saja dia masih bisa menjaga pandangan walaupun jantungnya serasa ditikam.

Pemuda yang amat sangat dikenalnya sejak masa remaja itu, bahkan tak menoleh sedikitpun apalagi menyapa. Meski wajahnya terlihat tenang namun jelas dia tak mampu menyingkirkan segumpal pedih di hatinya. Itu terlihat jelas di matanya.

Untung saja, dosen yang kerap disapa dengan sebutan ustaz itu tidak menyadari kecamuk batin kedua pemuda-pemudi yang sama-sama terikat hubungan dengannya itu.

“Hati-hati ya, Khair,” ucap sang dosen.

“Insya Allah. Assalamulaikum, Ustaz,” pamitnya.

“W*’alaikumsalam.”

♥♥♥

Hancur hati Khair. Bagaimana tidak, perasaan yang sudah dia tata, kenangan yang sudah dia kubur, muncul begitu saja bersama sosok Rumaysha, gadis yang disapa dengan nama Rumi tadi.

Satu tahun lalu, gadis yang selalu jadi saingannya di kelas sejak SMP hingga SMA itu, menorehkan sebuah luka. Ketertarikan mereka memang dimulai dari persaingan prestasi akademis, lama-lama mereka justru disatukan dalam sebuah organisasi siswa hingga terjalin lah kerja sama, menciptakan kedekatan antar mereka.

Dari diskusi hingga obrolan ringan, Khair serasa menemukan sosok impian dalam diri Rumaysha. Begitu pula gadis berparas manis itu. Dia menemukan sosok yang dikagumi dalam diri Khair. Hubungan mereka pun berjalan baik, rapi, teratur dan terjaga.

Khair bahkan tak pernah berucap kata cinta, pun demikian dengan Rumaysha. Namun, sahabat-sahabat  dekat mereka cukup tahu, perasaan yang tumbuh perlahan dan halus diantara keduanya.

Khair pernah berharap, kelak bisa melangkah ke gerbang masa depan yang sakinah, maww*dah w* rahmah bersama Rumaysha. Selain kuliah, memang ada satu hal yang Khair ingin wujudkan, yakni menjadikan Rumaysha sebagai pendamping hidupnya. Namun, dia lebih dulu mengambil tanggung jaw*b yang berat terkait Khaira, kakaknya.

Rumaysha tahu bagaimana perjuangan Khair sebagai anak yatim piatu yang mandiri. Rumaysha juga lah yang menyemangati Khair untuk sabar dan iklas menerima takdir. Sabar dan ikhlas menunda mimpinya, karena ada seseorang yang lebih butuh untuk dia perjuangkan, yaitu Khaira.

Khair tak mungkin lupa pada tatapan lembut dan teduh di wajah Rumaysha serta anggukan kecilnya kala itu. Walau tanpa suara, anggukan itu meneguhkan Khair untuk menjaga niat suci mereka hingga saatnya takdir menyatukan mereka. Khair berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia juga akan menjaga  Rumaysha di sisinya, sekeras dia memperjuangkan Khaira untuk bisa bersamanya.

Khaira pun tahu tentang Rumaysha. Khaira tahu tentang betapa pemalunya gadis itu dan betapa sifat tersebut begitu  memikat hati adiknya. Lebih dari itu, Khaira bahkan geregetan menganggap Khair terlalu santai.

“Gimana kalau dia diambil orang?” tanya Khaira tepat sehari sebelum akhirnya Khair memberanikan diri datang menemui orang tua Rumaysha.

Meski kondisi Khair belum memungkinkan secara materi untuk melamar anak orang, tetapi pertanyaan Khaira membuatnya berpikir ulang. Hanya satu cara mengamankan Rumaysha untuknya, yakni dengan mengikatnya lewat khitbah.

Nahas, Khair tidak memperhitungkan hal lainnya.

“Menurut kami, kamu tidak layak untuk putri kami,” kalimat itu telak dilontarkan orang tua Rumaysha di depan Khair. Bukan hanya sekedar tamparan, melainkan sebuah tikaman.

Kalimat ayah Rumaysha mengingatkan Khair pada sebuah kalimat menyakitkan lain yang pernah ditujukkan padanya beberapa tahun ke belakang.

“Bocah ingusan macam kamu mana bisa menjamin hidup Khaira! Kalau dia enggak sama kami, mau makan apa dia sama kamu?”

Itu adalah kalimat yang dilontarkan padanya saat dia nekat menyelamatkan kakaknya. Itu terjadi kala dia masih SMA, bocah ingusan yang sok jadi pahlawan.

Sejak itu hingga masa kuliah, Khair sadar dirinya memang bukan orang kaya. Namun, dia sudah membuktikan tanggunjawabnya. Bukan hanya dengan nyali yang besar, tapi juga dengan perjuangan yang keras menghidupi dirinya dan kakaknya, tanpa orang tua.

Merasa cukup kuat, Khair pun berharap bisa mewujudkan janji tak terucapnya untuk Rumaysha. Namun, kata-kata yang meluncur dari orang tua gadis itu menciutkan semangatnya.

Sadar dia bahwa Rumaysha jauh dari jangkauan. Mengharapkan gadis dari keluarga kaya dan terpandang seperti dia sama dengan halusinasi semata. Sejak itu, Khair tak pernah lagi melambungkan angan. Dia hanya lebih sering menengadahkan tangan, bersujud di sepertiga malam, memohon kepada Allah untuk memantaskannya bersanding dengan Rumaysha, pujaan hatinya.

Tak disangka, setahun lalu, Rumaysha malah memberinya kabar duka. Gadis itu dijodohkan orang tuanya. Ya, dengan Ustaz Ahsan, dosen baru di kampus tempat Khair kuliah.

♥♥♥

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Dito Adimia
episode 2 seru abis
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status