Share

Kuliah Umum

Sepekan berlalu, kuliah umum yang direncanakan Khair dan kawan-kawan aktivis mahasiswa di kampusnya pun digelar. Sedari pagi pemuda itu sudah kebanjiran orderan kopi Kedai Khaira.

Sebagai panitia, Khair pun menjalankan tanggung jawab sembari tetap berdedikasi membantu sang kakak. Sebelum acara dimulai, kopi berhasil dia bagikan kepada para pemesan. Kebanyakan dari mereka adalah rekan panitia dan sebagian rekannya di Fakultas Tarbiyah.

Aula utama kampus jadi tempat perhelatan akbar kuliah umum pagi itu. Ratusan peserta yang terdiri dari mashasiswa fakultas Tarbiyah tingkat 1 dan beberapa orang perwakilan masing-masing tingkat, serta perwakilan mahasiwa dari fakultas lainnya bergabung memenuhi ruangan yang disekat menjadi dua itu. Bagian depan diisi mahasiswa, sementara bagian belakang diisi barisan mahasiswi. 

Suara Khair yang bertindak sebagai moderator terdengar. Dia membacakan profil Ustaz Ahsan yang menjadi pembicara utama dalam kuliah umum bertajuk  “Tradisi Literasi Muslim dalam Sejarah Peradaban Islam.”

“Nama lengkapnya Ahsanu Amala Zayyadien, MA. Beliau lahir di kota ini, tanggalnya dirahasiakan, mohon maaf ….” Khair berdehem setelahnya ditimpali beberapa keributan kecil di barisan peserta.

Orang yang namanya disebutkan tampak menyunggingkan senyum  dari atas podium menanggapi reaksi audience yang mulai gaduh itu. Sebagai dosen baru, banyak warga kampus yang penasaran dengan sosok Ustaz Ahsan. Sosok yang ramah itu terutama memikat kalangan mahasiswi.

Selain karena kesantunannya, mereka mengidolakan Ustaz Ahsan karena penampilannya yang manarik. Dosen satu ini selalu mengenakan kurta dengan desain kekinian. Dipadukan celana kain rapi dan licin. Meski sederhana, outfitnya classy tapi tetap trendy karena jam tangan sporty dan pembawaannya yang easy going.

Dengan perawakannya sedang, wajah jernih dan sifatnya yang kalem, tidak ada satu penilaian buruk pun tampak dari sosok itu. Tutur katanya halus, selaras dengan auranya yang menyejukkan. Itu membuat para mahasiswi di kampus berebut ingin berteduh di hati dosen tersebut.

“Ustaz Ahsan itu sosok imam panutan para mahasiswi,” begitu jawaban beberapa mahasiswi di luar fakultas tarbiyah saat ditanya alasan kenapa  ngotot ingin ikut berpartisipasi dalam kuliah umum ini.

Mereka berbondong-bondong mengajukan diri saat rencana menghadirkan Ustaz Ahsan dalam kuliah umum ini digulirkan beberapa waktu lalu.

Selain mengajar di Fakultas Tarbiyah, Ustaz Ahsan memang kerap mengisi kajian keislaman dan turut berperan dalam pembinaan organisasi mahasiswa.

“Saya lanjutkan,” kata Khair yang masih membacakan curriculum viatae dosen tersebut. “Beliau menamatkan pendidikan terakhirnya di The Aga Khan University: Institute for the Study of Muslim Civilisations (AKU-ISMC). Beliau menjabat sebagai dosen Sejarah Kebudayaan Islam pada fakultas Tarbiyah di kampus kita sejak satu setengah tahun lalu,” demikian penjelasan singkat Khair tentang Ustaz Ahsan.

Muncul perasaan kagum saat dirinya membaca profil singkat itu. Khair selaku moderator diminta Ustaz Ahsan untuk menyebutkan dua poin itu saja tentang dirinya. Padahal, Khair tahu, curriculum vitae pria itu tak sesingkat yang dia bacakan barusan.

Jika nama orang tua sang dosen idola tadi Khair sebut, sudah pasti barisan mahasiswi itu langsung menggelepar minta dijadikan mantu. Orang tua Ustaz Ahsan ini ternyata salah satu pengusaha property terbesar di Pulau Jawa. Apartemen dan villa yang dibangun dan dikembangkan Dean Yassa Realty Tbk, sudah tersebar kemana-mana.

Tak heran, Dean Yassa Atmaja, ayah Ustaz Ahsan bisa dibilang sudah setenar walikota. Bahkan terbersit di benak Khair, “Tak heran Rumaysha menerima perjodohan dengan Ustaz Ahsan ini.”

Selain dari keluarga terpandang, Ustaz Ahsan juga memiliki beberapa pencapaian yang sengaja dia tutupi dengan rendah hati. Selembar kertas di tangan Khair yang memuat CV lengkap sang Dosen, benar-benar jadi bahan tafakur pemuda itu.

Sungguh tak ada sebersit pun iri atau pun benci di hati Khair. Dia bahkan sangat kagum pada sosok calon suami dari wanita yang pernah jadi dambaan hatinya itu.

Berbeda dengan kekaguman di mata para mahasiswi, kekaguman Khair terhadap Ustaz satu ini justru menjadi pelecut semangatnya untuk maju, melangkah naik  meningkatkan kualitas dirinya agar bisa sehebat orang yang dikaguminya tersebut.

♥♥♥

Kuliah umum berjalan lancar. Ustaz Ahsan menyampaikan paparannya tentang tradisi literasi di masa Nabi serta kaitannya dengan masa keemasan Islam era Abbasiyah dan Ummayah.

“Jika meneliti tradisi literasi bangsa Arab pra Islam, ada silang pendapat diantara kalangan intelektual muslim mengenai dimulainya tradisi literasi atau baca-tulis di tengah-tengah masyarakat Arab. Pendapat pertama mengatakan masyarakat Arab pada masa itu ummiyin, tidak mengenal baca dan tulis. Namun, ada juga pendapat lain yang menyebut bahwa sebagian orang Arab telah mengenal baca tulis sebagai pengaruh dari interaksi dan aktivitas perdagangan mereka pada masa itu.

Intinya, literasi pada masa itu belum berkembang sebagaimana masa setelah munculnya Islam. Ini ditandai dengan wahyu pertama, yakni Quran surat Al Alaq ayat satu sampai lima.

Rasulullah shalallau alaihi w* salam memang dikenal sebagai seorang yang ummi, artinya beliau tidak bisa membaca dan dan menulis. Ini dalam arti tekstual. Namun, secara konstektual, Rasulullah shalallahu alaihi w* salam adalah seseorang yang sesungguhnya mampu membaca. Itu salah satu hal yang tersirat dari wahyu Alquran yang petama kali diturunkan tersebut, yakni perintah untuk membaca.” Ustaz Ahsan mengisyaratkan sebuah tanda kutip pada kalimat ‘membaca’ yang dia ucapkan di akhir.

Audience terpaku mendengar pemaparan yang begitu runut. Apalagi disuguhi dengan presentasi menarik yang dihadirkan di screen proyektor.  Pemandangan yang tak kalah menarik adalah ekspresi dan gestur sang dosen yang santai meski sedang menyampaikan materi berat.

“Rasulullah shalallau alaihi w* salam mampu membaca situasi dan kondisi di sekitarnya. Hal itu pula yang mengantarkannya melakukan uzlah ke gua Hira, tempat dimana akhirnya beliau mendapatkan wahyu Alquran.”

Ustaz Ahsan membacakan Quran Surat Al Alaq ayat 1-5 dari mushaf yang tergeletak di meja dekat podium.  Bukan tak hafal, sengaja dia membaca dari mushaf untuk menyambung pemaparan materi selanjutnya.

“Saat ini kita bisa dengan mudah membaca Alquran dari mushaf, bahkan sudah ada terjemahannya. Bagaimana dengan di masa lalu?” tanya Ustaz Ahsan kepada audience-nya.

Tak tunggu lama, jawabannya langsung dia ungkap.

“Sekalipun kita tahu ide pengumpulan Alquran dicetuskan pada masa Khulafaur Rasyidin, sesungguhnya penulisan ayat Alquran telah dilakukan para sahabat sejak masa Rasulullah Shalallau alaihi w* salam. Di Mekah, Beliau menyeleksi orang-orang yang pandai baca-tulis.

Sahabat-sahabat penulis terbaik ini diperintahkan untuk mencatat berbagai macam urusan umat muslim, termasuk mencatat wahyu yang turun. Ada yang tahu, siapa saja sahabat yang bertugas menjadi juru tulis nabi?” tanya Ustaz Ahsan.

“Kalau ada yang bisa jawab dengan tepat, saya kasih hadiah, nih,” sambungnya disertai senyum khas.

Tak tunggu lama, umpan yang diberikan disambut antusias jajaran mahasiswa.

“Ijin menjawab, Ustaz.” Seorang mahasiswa dari fakultas jurnalistik berdiri di tengah barisan audience. “Sahabat yang jadi penulis di masa Nabi adalah Zaid bin Tsabit dan Ubay bin Ka’ab, Ustaz. Selain itu Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib pun membantu Nabi terkait penulisan untuk urusan kepentingan umat.”

“Benar,” timpal Ustaz Ahsan mantap, “Selesai acara kamu temui saya, ya, untuk ambil hadiahnya!”

Senyum sumringah pun terkembang di wajah sang mahasiswa.

Pembahasan tentang tradisi literasi di masa Nabi pun berlanjut. Dalam pemaparannya, Ustaz Ahsan mengutip beberapa sumber dan literatur.

“Sebenarnya banyak sahabat Nabi yang ditunjuk sebagai juru tulis. Bahkan, masing-masing punya jobdesk tertentu. Inilah kehebatan Rasulullah Shalallau alaihi w* salam. Beliau ummiy tapi mampu membaca kemampuan masing-masing sahabat bahkan mampu memberdayakan potensi mereka. Sementara para sahabat sendiri sungguh luar biasa dedikasinya terhadap Nabi dan syiar Islam ini. Sinergi yang dilandaskan pada keimanan dan ketakwaan inilah yang jadi pondasi berkembangnya tradisi literasi di masa itu.

Zaid bin Tsabit misalnya, dalam Siyar Alamun Nubala karya Adz Dzahabi disebutkan bahwa selain diperintahkan oleh Nabi untuk menuliskan wahyu, Zaid bin Tsabit juga ditugaskan oleh Abu Bakar Ash Shiddiq dan Umar bin Khattab dalam pengumpulan Alquran di masa kekhalifahan mereka. Jadi, tradisi menulis ini tidak putus, bahkan terus berkembang dan semakin meluas sepeninggal Nabi.” Demikian Ustaz Ahsan menjelasakan.

Dosen kharismatik yang tak hanya diidolakan mahasiswi, tapi juga dikagumi mahasiswa itu tak segan melempar pertanyaan, terutama sebelum memaparkan sesuatu terkait pengetahuan umum.

Dalam pendidikan, memang ada teori belajar yang dikenal sebagai  teori konstruksivisme. Teori ini memandang bahwa pembelajar membangun pengetahuan untuk dirinya. Jadi, seorang pembelajar pada dasarnya sudah punya dasar pengetahuan, tidak polos atau kosong sama sekali. Mungkin saja mereka memiliki pengetahuan atau pemahaman yang sudah terbangun sebelumnya. Maka, pengetahuan tersebut harus dipantik untuk dimunculkan  kembali sebelum dimasuki oleh pengetahuan-pengetahuan baru yang dapat menyempurnakannya. Inilah yang disebut perekonstruksian pengetahuan. Ustaz Ahsan mencoba menerapkannya.

Selain itu, dia memang ingin mendengar pendapat audiencenya tentang materi yang sedang dia paparkan. Sebab, pada dasarnya dia terbuka menerima pendapat dan senang bertukar pikiran.

“Lantas bagimana tradisi literasi yang dibangun Islam sampai pada kejayaan sebuah peradaban?” Itulah pertanyaan yang dia lempar kemudian.

Sebelum terjawab, seorang mahasiswi fakultas ekonomi syariah yang juga turut hadir di sana nyeletuk tak tahu malu, “Ada hadiahnya enggak, Ustaz?”

Hadirin ber-‘Huuuu’ ria menimpali itu. Sementara Ustaz Ahsan tersenyum maklum.

“Saya hadiahi senyum, mau?” candanya.

“Mauuuuu ….” Barisan mahasiswi riuh menyambut tawaran itu disusul sorak  “Huuuuuu ….” dari barisan mahasiswa.

Khair yang bertugas sebagai moderator pun tak tinggal diam.

“Harap tenang,” Tegasnya, “Jika ada yang ingin mengutarakan pendapat atas pertanyaan Ustaz tadi, silakan acungkan tangan. Jika tidak ada, maka saya persilakan Ustaz Ahsan melanjutkan paparannya. Hadirin mohon tenang!”

Sekilas Khair menatap tajam ke arah mahasiswi yang memicu kegaduhan tadi. Sedangkan mahasiswi berhijab pashmina lilit tersebut malah membalasnya dengan cengiran sok imut.

Khair langsung mengalihkan pandangan ke arah lain sambil beristighfar berkali-kali.

Si gadis pashmina yang sesungguhnya memang mengincar Khaira itu bersorak dalam hati, “Akhirnya dia ngelirik ke sini.”

♥♥♥

 “Perkembangan ilmu pengetahuan di segala bidang pada masa keemasan Islam, tak lepas dari tradisi literasi yang terus hidup di masa sahabat dan tabi’in. Bukan hanya terkait periwayatan hadis, melainkan juga penerjemahaan kitab-kitab.

Kitab apa? Banyak kitab yang diterjemahkan adalah kitab-kitab Yunani dan romawi era klasik. Dalam pembahasan filsafat umum, kita pasti sudah mengetahui bahwa era tersebut jadi periode awal munculnya pemikir dan filsuf. Apakah hal itu salah?” Ustaz Ahsan menjawab sendiri pertanyaan kali ini.

 “Tidak,” katanya, “Justru berkembangnya filsafat itulah yang mendorong para pemikir menggali ilmu pengetahuan baru yang pada akhirnya memunculkan inovasi dan terobosan di berbagai bidang kehidupan.  Jadilah peradaban Islam sebagai etafeta yang menjembatani  era klasik Yunani hingga bisa sampai kepada era kebangkitan di Eropa yang dikenal dengan sebutan  Ranaissance. Inilah yang kadang luput dari kesadaran kita semua.”

Semakin dalam Ustaz Ahsan mengupas tentang sejarah gemilang Islam, semakin para mahasiswa terbawa ke abad 8 Masehi hingga abad 13 Masehi, saat Khalifah Harun Ar Rasyid  dan Al Ma’mun menyuburkan kehidupan dengan menyokong perkembangan ilmu pengetahuan, sains, dan budaya. Ustaz Ahsan tak lupa menggambarkan kemegahan Bayt al Hikmah yang berdiri pada 750 sampai 1258. Bangunan yang didirikan sang Khalifah tersebut merupakan pusat studi, perpustakaan, sekaligus universitas terbesar di dunia pada saat itu.

“Selama 500 tahun pada periode keemasan Islam, bisa dikatakan tidak ada peradaban lain di muka bumi, termasuk Eropa, China, ataupun India, yang bisa menandingi pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam,” jelas Ustaz Ahsan.

Dia pun mengenalkan beberapa tokoh ilmuwan muslim yang popular bahkan kontribusinya di akui di dunia barat, mulai dari Bapak Bedah Al Zakhrawi, Bapak Kedokteran Ibnu Sina, Bapak Aljabar Al Khawarizmi, Pelopor optik dan Robotik Al Jazari, dan sederet ilmuwan lain yang tak kalah hebat.

“Melaui pemikiran dan penemuan mereka, ilmu pengetahuan bergulir dan berkembang dari masa ke masa hingga dapat dirasakan manfaatnya oleh semua orang saat ini,” kata Ustaz Ahsan.

“Tidak akan ada perubahan jika  kita diam. Tidak akan berdiri sebuah peradaban gemilang tanpa upaya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Tidak akan berkembang ilmu pengetahuan tanpa hidupnya tradisi literasi,” pungkasnya.

Sebuah pertanyaan sengaja ia gantungkan di penghujung kuliahnya, “Apakah kita siap mengemban amanah peradaban ini?”

♥♥♥

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Dito Adimia
so far so good
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status