BRAK
“SIALAN!” Fajar membanting semua yang dilihatnya sampai di rumah. “Siapa wanita itu?” menatap tajam pada Rifan.
Rifan mengernyitkan dahi mendengar pertanyaan Fajar “Wanita yang mana?” mencoba mengingat wanita yang dikatakan Fajar, “ah… cewek yang lo buat taruhan? Buat apaan? Udah nggak penting juga.”
Fajar menatap tajam, “gara-gara dia gue kalah.”
Rifan menatap bingung. “Dia salah apa? Deketin lo juga kagak terus gimana ceritanya dia bisa buat lo kalah taruhan? Ah...lo suka sama dia? Aduh… jangan macam-macam dia kesayangan semua karyawan lo.”
Rifan menggerakkan tangannya ke kiri dan kanan, Fajar memicingkan matanya melihat reaksi Rifan yang seakan melindungi cewek sialan satu itu.
“Lo nggak mau kasih tahu? Gue akan cari sendiri dia.” Fajar menatap tajam pada Rifan yang terdiam. “Lo bantuin gue atau gue yang akan cari sendiri dia? Lo tahu kan akibatnya kalau gue yang turun tangan?”
“Gue pikirkan nanti.” Rifan memilih menyerah dengan semuanya, “tapi gue minta lo jangan berbuat macam-macam sama dia.”
Fajar tersenyum simpul mendengar perkataan Rifan. “Lo pulang, gue mau tidur.”
Berjalan meninggalkan Rifan seorang diri, Fajar bahkan tidak peduli dengan keadaan ruangannya yang berantakan. Masuk kedalam kamar, menatap penampilannya depan cermin dengan mengangkat bibirnya. Fajar membayangkan reaksi gadis itu besok saat berada dalam ruangannya, otaknya sudah merencanakan apa saja yang harus dilakukan nanti ketika berhadapan dengan gadis itu. Memilih untuk beristirahat untuk kehidupannya besok, bertemu dengan gadis sialan itu.
Matahari sudah menampakkan sinarnya, Fajar sudah berada di meja makan menikmati sarapannya. Menatap sekitar dimana tampak baik-baik saja, tersenyum kecil terasa hidupnya sangat sempurna. Memastikan penampilannya tidak berantakan, memberikan lip balm di bibirnya agar terlihat segar.
Sapaan dari beberapa karyawan membuat Fajar tersenyum dengan melambaikan tangannya membuat beberapa karyawan bingung, perubahan sikap Fajar bukan hanya membuat karyawan yang ditemuinya bingung, tapi juga membalas sapaan dengan hormat.
“Pagi, Kunto.” Fajar menyapa dengan memberikan senyum lebarnya.
“Pagi, Pak.” Kunto menjawab sedikit ragu, “didalam ada Bu Mariska.”
Fajar menatap pintu dengan tatapan tidak suka, “kamu usir dia, aku malas ketemu.”
Kunto membelalakkan mata mendengar perintah Fajar. “Mengusir?” Fajar mengangguk pasti, “tapi...”
“Ah...ya aku lupa kalau kamu tidak berani mengusirnya.” Fajar mengibaskan tangannya ke arah Kunto.
Melangkah menuju ruangan, membuka dengan keras membuat wanita yang berstatus tunangannya terkejut. Mariska berdiri mendekati Fajar, tangan Fajar langsung menghadap lurus menghentikan gerakan Mariska yang ingin memeluk atau mencium dirinya. Bergidik ngeri membayangkan jika itu memang terjadi, melangkah menjauh dengan membiarkan pintu terbuka.
“Aku masih banyak kerjaan, jadi sebaiknya kamu pergi.” Fajar menatap datar pada Mariska.
“Biasanya kamu memberikan ciuman panas sebelum aku pergi, kenapa sekarang kamu menjauh?” menatap Fajar dengan tatapan sedih.
Fajar seketika mual melihat reaksi yang berstatus tunangannya ini. “Aku tidak punya waktu untuk menghadapi kamu, jadi lebih baik kamu pergi.”
Fajar memilih duduk di kursi kebesarannya, menatap berkas di hadapannya dengan malas. Lebih malas lagi melihat wanita tunangannya yang ada di hadapannya kali ini, Fajar memilih membuka berkas di hadapan dan membiarkan Mariska tetap berdiri dihadapannya. Mencoba tidak peduli, lebih tepatnya lagi mencoba berinteraksi dengan berkas yang ada dihadapan.
“Permisi, Pak.” Kunto membuka pintunya membuat Fajar bernafas lega. “Pak Rifan ingin bertemu.”
Fajar langsung bersinar mendengar Rifan menginginkan bertemu dengannya, memilih menutup berkas dan meminta Kunto membawa Rifan masuk.
“Aku kira sudah tidak ada yang perlu dibahas, kamu sendiri tahu kalau aku sibuk jadi...silahkan keluar.”
Mariska menatap tidak percaya, mengambil barangnya dan langsung keluar. Melihat itu membuat Fajar tersenyum kecil, betapa bodohnya Fajar asli menyukai wanita tidak punya otak macam itu. Pintu terbuka membuat Fajar tersenyum lebar, bertemu dengan Rifan selalu membuat jantungnya berdetak kencang. Mengerutkan keningnya saat melihat Rifan masuk bersama dengan wanita, cantik dan pastinya berbeda jauh dengan Mariska dan satu lagi aura yang dimiliki wanita itu membuatnya menahan nafas.
“Saya membawakan Ibu Indira atas permintaan anda semalam.” Fajar menatap bingung pada Rifan. “Semalam anda meminta untuk membawakan Ibu Indira.” Rifan melanjutkan kata-katanya saat tidak mendapatkan tanggapan dari Fajar.
“Ah...aku ingat. Maafkan aku suka lupa akan beberapa hal.” Fajar menatap penuh sesal yang dibuat-buat “Bajingan itu telah melakukan apa semalam?” berkata lirih untuk dirinya sebelum akhirnya mengalihkan pandangan pada Indira berkali-kali. “Apa sebaiknya kita keluar? Aku bosan berada disini.”
Fajar mengambil tasnya, berjalan mendekati Indira. Menatap wajahnya dan memberikan kode untuk mengikutinya. Fajar mengalihkan pandangan pada Rifan dan Mariska bergantian, mereka berdua tampak bingung dengan perubahan sikap Fajar. Mariska berhenti melangkah saat Fajar berjalan kearah Indira dan Rifan, seakan menunggu apa yang dilakukannya.
“Ada yang saya ingin bicarakan pada Ibu Indira, berdua.” Fajar mencoba untuk berkata datar dengan memberikan tatapan tajam. “Anda masih mau disini atau bersiap?” mengalihkan pandangan pada Indira yang terdiam membisu. “Apa perlu diulang kembali?” Fajar menatap kesal pada Indria yang hanya diam.
“Baik, Pak.” Indira berkata terkejut.
Fajar tersenyum kecil melihat bagaimana reaksi Indira saat ini, keluar dari ruangannya dengan tergesa. Mengalihkan pandangan ke arah Rifan dan Mariska yang masih terkejut dan juga menilai kejadian tadi, tapi tidak dipedulikan sama sekali. Langkah Fajar menuju Kunto yang sibuk dengan pekerjaannya, Kunto menatap bingung dengan keberadaan Fajar dihadapannya.
“Bilang pada security atau resepsionis di bawah jika Mariska datang harus menunggu keputusan aku.” Fajar menatap datar pada Kunto yang hanya bisa mengangguk, “aku keluar dengan Indira, tolong bersihkan ruangan dari bakteri, satu lagi makanan yang ada disana suruh bawa OB.”
“Fajar.” Mariska menatap tidak percaya dengan apa yang dibicarakan.
“Aku pinjam bawahanmu, bukankah kita ada perjanjian dengan salah satu perusahaan untuk kerjasama? Aku mau melihat bagaimana dia bekerja.” Fajar berkata dengan menatap Rifan datar, “bawa semua berkas dan aku tunggu di lobby.”
Berjalan meninggalkan mereka, sangat tahu jika mereka bertanya-tanya tentang apa yang terjadi pada dirinya. Fajar melangkah ke arah lobby, menunggu Indira dan memikirkan apa yang akan dirinya lakukan pada wanita satu itu. Fajar tidak menyadari apa yang diinginkan Fajar satunya, mendekati wanita yang sama sekali tidak sesuai dengan kriterianya. Bergidik ngeri membayangkan apa yang terjadi semalam pada Fajar lainnya itu, memikirkan apa yang dilakukan semalam membuatnya pusing.
“Saya sudah siap, Pak.” Fajar menatap sumber suara, menelan saliva kasar.
Berdehem singkat menghilangkan rasa gugup, “kita berangkat.”
Berdiri melangkah ke tempat dimana mobilnya berada, berangkat berdua dengan Indira membuat Fajar tidak tahu melakukan apa. Semua mata memandang ke arah mereka dengan tatapan bertanya-tanya, baik Fajar dan Indira tidak peduli dengan itu semua.
“Aw...sakit.” Fajar menghentikan langkahnya membuat Indira melakukan hal yang sama. “Sakit sekali kepalaku.”
“Bapak kenapa?” Indira menatap khawatir melihat Fajar memegang kepalanya, “kepalanya sakit? Tunggu saya mencari pertolongan.”
Fajar memijat kepalanya, tidak mendengarkan apa yang Indira katakan sama sekali. Rasa sakit di kepala yang sering terjadi akhir-akhir ini, membuat sesuatu dalam diri Fajar tidak bisa dikendalikan lagi. Mereka keluar tanpa bisa dicegah, hal ini membuat Fajar tidak bisa lagi mengontrol apa yang terjadi pada dirinya.
“Minta tolong bawa Pak Fajar duduk di sofa.” Indira berkata pelan.
“Apa yang kalian lakukan? Kembali ke pekerjaan masing-masing. Tidak ada yang boleh menyentuh tubuhku tanpa ijin.”
Fajar sangat tahu jika Indira menatap ke arahnya beberapa kali, memastikan bahwa semua baik-baik saja. Beberapa lirikan yang Indira lakukan membuat dirinya tidak nyaman sama sekali, perubahan dalam dirinya yang tiba-tiba semakin membuatnya tidak bisa mengendalikan diri. “Apa anda baik-baik saja?” Indira membuka suara membuat keheningan mereka terhenti.“Baik.” Fajar menjawab singkat, “kamu pelajari dengan baik mengenai kerjasama itu, saya yakin Rifan sudah memberikan penjelasan.”“Saya sudah membaca, bahkan sampai ke titik koma. Kerjasama ini saya yang buat bukan Pak Rifan.” Indira menjawab kesal perkataan Fajar.Fajar terdiam tidak tahu harus bersikap atau menjawab apa. Suasana kembali tenang, sibuk dengan pikiran masing-masing. Fajar mencoba mengingat mengenai keberadaan Indira disampingnya, biasanya yang ikut antara Kunto atau Rifan. Fajar yang mana membawa Indira berada disampingnya, menggelengkan kepala pelan tanda bahwa dirinya tidak bisa mengingat apapun.“Bapak, tidak papa?”
Area balapan liar menjadi tempat dimana Fajar menghabiskan waktunya setiap apa yang dilakukan Budi, menatap datar pada keadaan sekitar membuat beberapa orang tidak berani mendatanginya. Melakukan kesalahan dengan tidak membawa Rifan bersama, hembusan nafas kasar terdengar ketika mengingat apa yang dilakukan Budi. Kepalan tangannya semakin memutih, keinginannya menghajar pria itu semakin besar.“Disini lagi ternyata.” Fajar menatap suara pria yang berada dihadapannya, pria yang sama mengajaknya bertaruh. “Mau taruhan lagi? Apa kali ini yang kamu gunakan?” pria itu menatap belakang Fajar. “Motor terbaru ternyata.” “Jangan macam-macam.” Fajar menatap tajam. “Pergi kalau tidak ingin aku hajar.” Pria itu tertawa membuat Fajar semakin emosi. “Hajar saja, pria lemah seperti kamu tidak akan mampu menghajar orang,” ucapnya memandang rendah Fajar, “pimpinan model apa yang tidak pernah membuat karyawannya bahagia?” pria itu meludah disamping Fajar.“KAU!” Fajar mengangkat tangannya untuk memuk
“Anda mau bersama dengan Indira lagi?” tanya Kunto tidak percaya yang diangguki Fajar.“Ada masalah?” Fajar menatap penasaran pada Kunto.Kunto langsung menggelengkan kepalanya “Sama sekali tidak, Pak.”Fajar menganggukkan kepala “Katakan pada Rifan kirim Indira setiap kita bertemu dengan klien, suka atau tidak suka.”“Baik, Pak.” Kunto mencatat semua perkataan Fajar.Sudah membayangkan apa yang ada akan terjadi setiap bersama dengan Indira nanti, tersenyum kecil dengan memainkan dagunya. Perasaannya saat ini tidak sabar, melakukan pekerjaan dengan Indira. Interaksi dengan Indira setiap bekerja, kesalahannya saat itu sudah terbayang di isi kepalanya.Kejadian bersama dengan Indira beberapa hari lalu, membuat Fajar tidak mengalami sakit kepala. Joe yang berada di tubuh Fajar asli sejak malam itu, belum mengalami perubahan sama sekali. Mengingat itu membuat Joe tersenyum kecil, bisa jadi Indira adalah obat dari semua ini. Joe tahu akan dampaknya, kepribadiannya yang lain tidak merasakan
Beberapa hari sudah menghabiskan waktu dengan Indira, meminta wanita itu melakukan sesuai dengan apa yang diinginkan. Joe, masih menempati posisi Fajar dan tidak berubah sama sekali. Mencoba menganalisa tentang keberadaan Indira yang mampu membuat kepribadiannya menjadi terkendali, tidak mungkin wanita itu memiliki kemampuan menyembuhkan dirinya.“Sayang,” ucap Mariska berjalan mendekati Fajar.Hembusan nafas terdengar melihat tunangan Fajar. Jika bisa memilih lebih baik bersama Indira dibandingkan wanita satu ini. Mariska yang langsung duduk di pangkuan Fajar, membuat Joe terkejut hanya saja tidak bisa berbuat apapun. Ciuman lembut di bibir dengan belaian tangan Mariska membuat Joe masuk kedalam permainannya, gerakan lidah Mariska yang bermain dengan lidahnya didalam, semakin memperdalam ciuman mereka. Joe tidak tinggal diam dengan menarik Mariska menjadi dekat dengannya, meremas bukit kembar dengan perlahan membuat suara erangan terdengar.Ciuman J
Memasuki mall dengan wajah bahagia, membuat Indira yang berada disampingnya menatap bingung. Tidak peduli dengan apa yang dipikirkan wanita disampingnya, terpenting adalah menghabiskan waktu bersama, memasuki salah satu toko pakaian wanita membuat Silvi melepaskan genggaman tangannya meninggalkan Indira yang menatap bingung.“Pilihlah apa yang kamu suka.” Silvi menghentikan langkah dengan menatap Indira sekilas sebelum berjalan ke tujuannya lagi.Menatap pakaian yang ada dihadapannya dengan tatapan bahagia, Indira hanya bisa berjalan mengikuti langkah Fajar. Beberapa kali terlihat Fajar mengambil pakaian yang ada dan mencocokkannya depan kaca pada tubuhnya, melihat itu semua membuat Indira menatap tidak percaya. Beberapa kali Fajar mengangkat pakaian wanita lalu dipaskan di badannya, tanpa merasa malu sama sekali.Karyawan toko pakaian menatap Indira dengan tatapan tanda tanya, memilih mengangkat bahunya karena memang tidak mengetahui apa-apa. Mengal
Beranjak dari tempat duduk di foodcourt menatap Indira dengan tatapan datar, membuatnya menelan saliva kasar. Berjalan cepat menuju tempat parkir dengan Indira yang ada disampingnya, langkah Fajar terhenti menatap Indira tajam yang membuat wanita itu menelan saliva kasar atas apa yang tidak diketahuinya. Fajar sendiri mencoba mengingat alasan apa yang membuat dirinya bersama karyawannya Rifan, tapi tidak mungkin bertanya langsung karena tidak ingin orang lain tahu kelemahannya.“Panggil supir untuk ke lobby sekarang.” Fajar mengatakan dengan nada datarnya.“Kita tidak bersama supir, Pak.” Fajar membelalakkan matanya yang lagi-lagi membuat Indira menelan saliva kasar, “bapak menyetir sendiri.”“Saya menyetir sendiri?” Indira mengangguk pelan membuat Fajar menatap tidak percaya, “dimana mobilnya?”“Mari saya tunjukkan, Pak.” Indira berjalan terlebih dahulu membuat Fajar menatap bingung.
Melangkah memasuki rumahnya setelah Indira mematikan mesin mobilnya, tidak peduli dengan mobilnya sama sekali. Kepalanya sangat pusing dan ingin segera istirahat dalam kamarnya, Fajar menyadari Indira mengikutinya dari belakang. Tampaknya ingin memastikan dirinya baik-baik saja, sekali lagi Fajar tidak peduli dengan Indira yang mengikutinya.Memasuki kamar dan langsung menutup pintunya dengan kencang, meninggalkan Indira seorang diri diluar. Memilih membuka pakaiannya semua tanpa tersisa, membaringkan tubuh tanpa busananya di ranjang kesayangan. Menutup kedua matanya sambil memijat keningnya pelan, menikmati pijatan pada keningnya secara perlahan masuk dalam mimpi meninggalkan Indira seorang diri diluar.Memejamkan matanya hanya beberapa menit, terbuka karena mencium aroma masakan yang langsung membuatnya lapar. Fajar menatap sekitar, rumahnya tidak ada siapapun sama sekali, petugas rumah yang biasanya membersihkan rumahnya sudah pulang dan security tidak mungkin lanca
“Ranjang?” Indira mendorong tubuh Fajar menjauh, “bapak mau melecehkan saya?” memberikan tatapan tajam.Frans mengangkat sudut bibirnya, “melecehkan jika wanitanya tidak mau, tapi kita melakukan atas dasar suka dan suka.”“Suka dan suka?” mengulang perkataan Fajar untuk memastikan pendengarannya, “anda menjebak saya.”Frans mendekati tubuh Indira yang membuatnya semakin mundur, tapi sialnya tidak ada tempat lagi untuk mundur. Tubuh mereka semakin dekat dan hanya berjarak beberapa sentimeter, kepala Indira mengangkat keatas agar bisa menatap kearahnya. Frans tersenyum kecil melihat bagaimana ekspresi Indira saat ini, mencoba berani padahal sebenarnya ketakutan.“Ya, suka dan suka.” Frans semakin mendekat membuat bibir mereka tinggal beberapa sentimeter, “kamu membalas ciumanku dengan penuh gairah, lidah kita saling bermain didalam sana dan pakaian kamu sudah terbuka membuat tanga