Fajar sangat tahu jika Indira menatap ke arahnya beberapa kali, memastikan bahwa semua baik-baik saja. Beberapa lirikan yang Indira lakukan membuat dirinya tidak nyaman sama sekali, perubahan dalam dirinya yang tiba-tiba semakin membuatnya tidak bisa mengendalikan diri.
“Apa anda baik-baik saja?” Indira membuka suara membuat keheningan mereka terhenti.
“Baik.” Fajar menjawab singkat, “kamu pelajari dengan baik mengenai kerjasama itu, saya yakin Rifan sudah memberikan penjelasan.”
“Saya sudah membaca, bahkan sampai ke titik koma. Kerjasama ini saya yang buat bukan Pak Rifan.” Indira menjawab kesal perkataan Fajar.
Fajar terdiam tidak tahu harus bersikap atau menjawab apa. Suasana kembali tenang, sibuk dengan pikiran masing-masing. Fajar mencoba mengingat mengenai keberadaan Indira disampingnya, biasanya yang ikut antara Kunto atau Rifan. Fajar yang mana membawa Indira berada disampingnya, menggelengkan kepala pelan tanda bahwa dirinya tidak bisa mengingat apapun.
“Bapak, tidak papa?” tanya Indira memegang lengan Fajar.
“Saya tidak suka ada yang memegang bagian tubuh saya, jadi jauhkan tanganmu dari lengan saya.” Fajar berkata datar tanpa menatap Indira.
Indira melepaskan sentuhan tangannya di lengan Fajar. “Maaf.”
Fajar membeku mendengar seseorang mengucapkan maaf, seluruh hidupnya tidak pernah mendengar kata itu dari orang lain. Fajar sendiri tidak pernah melakukannya, kata itu adalah kata-kata untuk pengecut dan bodoh. Wanita disampingnya hanya memegang bagian tubuhnya, dan dirinya tidak menyukainya langsung meminta maaf.
“Bodoh,” gumam Fajar dengan suara kecil yang hanya bisa didengar dirinya.
Melirik kesamping dimana Indira memilih menatap pemandangan yang ada disampingnya, wajah yang sangat berbeda dengan tunangannya membuat sesuatu dihati Fajar berdetak kencang. Mengalihkan pandangan ke samping, tindakan yang sangat bodoh menatap karyawannya.
Mobil tidak lama kemudian berhenti, Indira dan Fajar berjalan berdampingan. Klien yang satu ini memang sedikit sulit, beberapa kali Fajar bertemu tidak menemukan jalan terang. Fajar tidak ingat kapan tepatnya klien ini menyetujui kerjasama, langkah Fajar terhenti saat melihat salah satu pria mendatangi mereka dan berbicara dengan Indira, mereka terlihat akrab atau lebih tepatnya serius dalam berbicara entah apa.
Tidak ingin banyak bicara, mengikuti langkah pria itu. Fajar hanya mengamati apa yang dilakukan Indira, menggelengkan kepalanya pelan melihat wanita yang disampingnya. Sisi Fajar yang lain bisa menemukannya dengan baik, dibandingkan Fajar yang asli.
“Berkat penjelasan dari Ibu Indira, kami menerima kerjasama dengan perusahaan anda,” ucap pria yang memegang jabatan tertinggi di perusahaan ini, Fajar lupa siapa namanya.
“Memang sudah seharusnya dia melakukan yang terbaik untuk perusahaan.” Fajar berkata datar.
Suasana menjadi tenang, Fajar tidak peduli dengan semuanya. Memilih duduk kembali, menatap berkas yang harus mereka tanda tangani. Fajar membukanya, membaca sekilas isi dari perjanjian itu. Hembusan nafas panjang saat membaca ini semua, mengalihkan pandangan pada Indira dengan tajam.
“Mohon maaf, ada beberapa isi yang harus diubah.” Fajar mengatakan dengan suara datar, membuat semua mata memandang ke arahnya.
Indira berjalan mendekati Fajar dengan tatapan bingung, “bagian mana yang harus diubah, Pak?”
Fajar menunjukkan kata yang harus diubah. “Kamu salah menuliskan nama.” Indira membelalakkan matanya mendengar perkataan Fajar, “apa kamu tidak tahu nama atasanmu?”
Indira mencoba membaca, Fajar Herdianto itu namanya dan benar, “tertulisnya Fajar Herdianto, itu kan namanya?” menatap Fajar seakan meyakinkan.
“Dibaca sekali lagi.” Fajar mengetukkan tangan pada huruf yang dimaksud, tidak lama kemudian Indira membelalakkan matanya, “sudah tahu?”
“Maaf, Pak.” Indira menundukkan kepalanya. “Saya akan segera menggantinya.”
Indira mengambil berkas, seorang staf dari perusahaan klien mengarahkannya ke suatu ruangan. Fajar mengangkat sudut bibirnya melihat bagaimana reaksi Indira, mengalihkan pandangan pada pimpinan perusahaan ini, sekali lagi Fajar tidak mengingat namanya.
“Reputasi mengenai anda memang benar adanya.” Pria itu berkata dengan nada meremehkan, “kesalahan kecil sangat terlihat jelas, apalagi kesalahan besar.”
“Bukankah sebagai pengusaha kita harus jeli, pada hal terkecil sekalipun.” Fajar menatap datar.
Menunggu kedatangan Indira membuat dirinya kesal, menatap jam di tangannya dengan perasaan tidak tenang. Pria dihadapannya sangat payah untuk diajak berdiskusi, menatap ruangan yang ditempatinya membuatnya tersenyum kecil. Kantor kliennya memang tidak sebesar kantornya, hanya saja kantor ini memberikan kerjasama yang luar biasa.
“Apa sudah selesai?” tanya pria itu membuat Fajar mengalihkan pandangan ke arah Indira.
“Maafkan saya.” Indira menunduk untuk meminta maaf atas kesalahan yang dibuatnya.
“Bukan hal yang besar, kita bisa melanjutkannya. Pak Fajar silahkan dibaca terlebih dahulu, siapa tahu masih ada kesalahan sehingga bisa diperbaiki kembali.” Indira menundukkan kepala mendengar sindiran dari pria pemilik perusahaan.
Perjanjian kerjasama berlangsung cepat, setelah kesalahan kecil yang dibuat Indira. Fajar merutuki pegawainya yang tidak teliti, nanti saat sudah sampai di kantor akan memarahi Rifan. Fajar menggelengkan kepalanya, semua ini karena semalam melakukan balapan liar dan wanita ini menjadi bahan taruhan. Fajar sangat tahu kepribadiannya yang lain Frans akan membuat onar, dan juga Silvi yang membawa serta dalam perjanjian besar ini.
“Katakan pada Rifan, jangan mengirim kamu untuk ikut serta dalam perjanjian dengan klien. Saya tidak suka keberadaan kamu, semuanya jadi berantakan karena sikap tidak profesionalmu.” Fajar berkata dengan nada dingin, tanpa menatap Indira yang hanya menelan saliva kasar.
“Baik,” jawab Indira langsung.
Perjalanan mereka dari tempat klien ke kantor berjalan cepat, Indira turun terlebih dahulu. Fajar menatap punggungnya dengan tatapan penuh tanda tanya, salah satu sudut hatinya tidak suka dengan apa yang dilakukannya tadi.
“Aish...kenapa sekarang jadi suka pusing,” ucap Fajar memegang kepalanya dengan keras “Langsung pulang.” Fajar memerintahkan supirnya untuk pulang.
Kepala Fajar semakin sakit, rasanya ingin sekali pecah. Memegang kepalanya dengan sesekali menarik rambutnya, berharap sakit kepalanya hilang. Memejamkan matanya saat merasakan sakitnya semakin keras, Fajar tidak tahan dengan apa yang terjadi pada kepalanya.
“Apa tidak sebaiknya ke rumah sakit?” tanya supirnya, Amir.
“PULANG! AKU BILANG PULANG YA PULANG! JANGAN PERNAH MEMBAWA AKU KE TEMPAT SIALAN ITU!” Fajar teriak membuat Amir diam.
Rasa sakitnya semakin menjadi, Fajar benar-benar tidak bisa menahannya. Sampai ke rumah langsung meminum obatnya, itu yang saat ini ingin dilakukannya. Mobil berhenti tidak lama kemudian, langkahnya terhenti saat melihat seseorang yang sangat dibencinya. Budi, pamannya yang selama ini merawatnya. Paman yang memberikan kenangan buruk untuknya, kepergian kedua orangtuanya membuat pria itu yang merawatnya dan memberikan kenangan buruk, membentuk kepribadiannya yang lain.
“Sudah pulang.” Budi berkata santai dengan menatap Fajar tajam. “Berhasilkan perjanjiannya? Jangan lupa persenan buatku.”
“PERGI! JANGAN PERNAH KAMU DATANG KESINI!” Fajar teriak dengan menunjuk Budi.
“Apa ini bentuk terima kasihmu pada paman yang merawat dari kecil? Anak tidak tahu diuntung...Cuih...” Budi meludah dekat Fajar dengan menarik rambutnya, “kamu harus membayar semua yang sudah aku keluarkan untukmu selama ini.”
Fajar tersenyum kecut. “Apa yang harus dibayar? Penyiksaanmu? Kalau memang itu maka akan aku lakukan dengan senang hati.”
PLAK
Tamparan keras membuat Fajar terdorong dan mengenai tembok, menatap Budi yang saat ini menatap dirinya tajam. Berusaha untuk tidak takut dengan apa yang dilakukan Budi, seperti apa yang dilakukannya saat Fajar kecil.
“Anak nggak tahu diuntung! Pantas saja orang tuamu meninggal karena kamu memang membawa kesialan,” ucap Budi dengan tatapan tajam. “Kirim uangnya atau aku akan melakukan hal lebih dari ini.”
Menatap punggung Budi dengan tatapan benci, tapi bukan Budi yang dibencinya melainkan dirinya sendiri.
“Aku bilang apa, seharusnya dari awal aku hajar sampai mati dia.” Frans
Area balapan liar menjadi tempat dimana Fajar menghabiskan waktunya setiap apa yang dilakukan Budi, menatap datar pada keadaan sekitar membuat beberapa orang tidak berani mendatanginya. Melakukan kesalahan dengan tidak membawa Rifan bersama, hembusan nafas kasar terdengar ketika mengingat apa yang dilakukan Budi. Kepalan tangannya semakin memutih, keinginannya menghajar pria itu semakin besar.“Disini lagi ternyata.” Fajar menatap suara pria yang berada dihadapannya, pria yang sama mengajaknya bertaruh. “Mau taruhan lagi? Apa kali ini yang kamu gunakan?” pria itu menatap belakang Fajar. “Motor terbaru ternyata.” “Jangan macam-macam.” Fajar menatap tajam. “Pergi kalau tidak ingin aku hajar.” Pria itu tertawa membuat Fajar semakin emosi. “Hajar saja, pria lemah seperti kamu tidak akan mampu menghajar orang,” ucapnya memandang rendah Fajar, “pimpinan model apa yang tidak pernah membuat karyawannya bahagia?” pria itu meludah disamping Fajar.“KAU!” Fajar mengangkat tangannya untuk memuk
“Anda mau bersama dengan Indira lagi?” tanya Kunto tidak percaya yang diangguki Fajar.“Ada masalah?” Fajar menatap penasaran pada Kunto.Kunto langsung menggelengkan kepalanya “Sama sekali tidak, Pak.”Fajar menganggukkan kepala “Katakan pada Rifan kirim Indira setiap kita bertemu dengan klien, suka atau tidak suka.”“Baik, Pak.” Kunto mencatat semua perkataan Fajar.Sudah membayangkan apa yang ada akan terjadi setiap bersama dengan Indira nanti, tersenyum kecil dengan memainkan dagunya. Perasaannya saat ini tidak sabar, melakukan pekerjaan dengan Indira. Interaksi dengan Indira setiap bekerja, kesalahannya saat itu sudah terbayang di isi kepalanya.Kejadian bersama dengan Indira beberapa hari lalu, membuat Fajar tidak mengalami sakit kepala. Joe yang berada di tubuh Fajar asli sejak malam itu, belum mengalami perubahan sama sekali. Mengingat itu membuat Joe tersenyum kecil, bisa jadi Indira adalah obat dari semua ini. Joe tahu akan dampaknya, kepribadiannya yang lain tidak merasakan
Beberapa hari sudah menghabiskan waktu dengan Indira, meminta wanita itu melakukan sesuai dengan apa yang diinginkan. Joe, masih menempati posisi Fajar dan tidak berubah sama sekali. Mencoba menganalisa tentang keberadaan Indira yang mampu membuat kepribadiannya menjadi terkendali, tidak mungkin wanita itu memiliki kemampuan menyembuhkan dirinya.“Sayang,” ucap Mariska berjalan mendekati Fajar.Hembusan nafas terdengar melihat tunangan Fajar. Jika bisa memilih lebih baik bersama Indira dibandingkan wanita satu ini. Mariska yang langsung duduk di pangkuan Fajar, membuat Joe terkejut hanya saja tidak bisa berbuat apapun. Ciuman lembut di bibir dengan belaian tangan Mariska membuat Joe masuk kedalam permainannya, gerakan lidah Mariska yang bermain dengan lidahnya didalam, semakin memperdalam ciuman mereka. Joe tidak tinggal diam dengan menarik Mariska menjadi dekat dengannya, meremas bukit kembar dengan perlahan membuat suara erangan terdengar.Ciuman J
Memasuki mall dengan wajah bahagia, membuat Indira yang berada disampingnya menatap bingung. Tidak peduli dengan apa yang dipikirkan wanita disampingnya, terpenting adalah menghabiskan waktu bersama, memasuki salah satu toko pakaian wanita membuat Silvi melepaskan genggaman tangannya meninggalkan Indira yang menatap bingung.“Pilihlah apa yang kamu suka.” Silvi menghentikan langkah dengan menatap Indira sekilas sebelum berjalan ke tujuannya lagi.Menatap pakaian yang ada dihadapannya dengan tatapan bahagia, Indira hanya bisa berjalan mengikuti langkah Fajar. Beberapa kali terlihat Fajar mengambil pakaian yang ada dan mencocokkannya depan kaca pada tubuhnya, melihat itu semua membuat Indira menatap tidak percaya. Beberapa kali Fajar mengangkat pakaian wanita lalu dipaskan di badannya, tanpa merasa malu sama sekali.Karyawan toko pakaian menatap Indira dengan tatapan tanda tanya, memilih mengangkat bahunya karena memang tidak mengetahui apa-apa. Mengal
Beranjak dari tempat duduk di foodcourt menatap Indira dengan tatapan datar, membuatnya menelan saliva kasar. Berjalan cepat menuju tempat parkir dengan Indira yang ada disampingnya, langkah Fajar terhenti menatap Indira tajam yang membuat wanita itu menelan saliva kasar atas apa yang tidak diketahuinya. Fajar sendiri mencoba mengingat alasan apa yang membuat dirinya bersama karyawannya Rifan, tapi tidak mungkin bertanya langsung karena tidak ingin orang lain tahu kelemahannya.“Panggil supir untuk ke lobby sekarang.” Fajar mengatakan dengan nada datarnya.“Kita tidak bersama supir, Pak.” Fajar membelalakkan matanya yang lagi-lagi membuat Indira menelan saliva kasar, “bapak menyetir sendiri.”“Saya menyetir sendiri?” Indira mengangguk pelan membuat Fajar menatap tidak percaya, “dimana mobilnya?”“Mari saya tunjukkan, Pak.” Indira berjalan terlebih dahulu membuat Fajar menatap bingung.
Melangkah memasuki rumahnya setelah Indira mematikan mesin mobilnya, tidak peduli dengan mobilnya sama sekali. Kepalanya sangat pusing dan ingin segera istirahat dalam kamarnya, Fajar menyadari Indira mengikutinya dari belakang. Tampaknya ingin memastikan dirinya baik-baik saja, sekali lagi Fajar tidak peduli dengan Indira yang mengikutinya.Memasuki kamar dan langsung menutup pintunya dengan kencang, meninggalkan Indira seorang diri diluar. Memilih membuka pakaiannya semua tanpa tersisa, membaringkan tubuh tanpa busananya di ranjang kesayangan. Menutup kedua matanya sambil memijat keningnya pelan, menikmati pijatan pada keningnya secara perlahan masuk dalam mimpi meninggalkan Indira seorang diri diluar.Memejamkan matanya hanya beberapa menit, terbuka karena mencium aroma masakan yang langsung membuatnya lapar. Fajar menatap sekitar, rumahnya tidak ada siapapun sama sekali, petugas rumah yang biasanya membersihkan rumahnya sudah pulang dan security tidak mungkin lanca
“Ranjang?” Indira mendorong tubuh Fajar menjauh, “bapak mau melecehkan saya?” memberikan tatapan tajam.Frans mengangkat sudut bibirnya, “melecehkan jika wanitanya tidak mau, tapi kita melakukan atas dasar suka dan suka.”“Suka dan suka?” mengulang perkataan Fajar untuk memastikan pendengarannya, “anda menjebak saya.”Frans mendekati tubuh Indira yang membuatnya semakin mundur, tapi sialnya tidak ada tempat lagi untuk mundur. Tubuh mereka semakin dekat dan hanya berjarak beberapa sentimeter, kepala Indira mengangkat keatas agar bisa menatap kearahnya. Frans tersenyum kecil melihat bagaimana ekspresi Indira saat ini, mencoba berani padahal sebenarnya ketakutan.“Ya, suka dan suka.” Frans semakin mendekat membuat bibir mereka tinggal beberapa sentimeter, “kamu membalas ciumanku dengan penuh gairah, lidah kita saling bermain didalam sana dan pakaian kamu sudah terbuka membuat tanga
Menghabiskan waktu dengan mengobati luka Fajar ditangan setelah memukul pria yang mengaku sebagai paman, penolakan Indira membuat mereka menjadi tidak menentu. Keduanya tidak tahu harus melakukan apa, Indira yang memulai inisiatif setelah melihat luka ditangan Fajar. Frans menatap Indira dalam, selama ini dirinya akan mengalihkan diri dengan mengikuti balapan liar atau membuat rumah berantakan. Indira membuat sisi liarnya hilang entah kemana, hasratnya untuk melakukan hubungan intim semakin tinggi. Frans sendiri bisa merasakan jika bagian bawah Indira telah basah, artinya siap dengan miliknya yang akan masuk kesana.“Kamu sudah pernah melakukannya?” Frans membuka suaranya membuat Indira menatap bingung, “hubungan intim.”“Apa harus dijawab?” Indira memutar bola matanya malas.“Bagian bawah kamu sudah basah, kenapa tidak dilanjutkan saja tadi?”“Aku sudah bilang kalau tidak mau menyakiti tunanganm