"Nak, Bapak mohon, sudilah kamu menggantikan Bapak mulai besok bekerja di tempat Pak Gatot," ucap pria bertubuh kurus memohon kepada putri sulungnya, dengan tatapan mengiba.
"Iya, Nak. Benar kata Bapakmu. Jika kamu tidak mau bekerja mulai besok, maka Pak Gatot akan mengambil paksa rumah kita. Karena Bapak tidak sanggup melunasi pinjaman."
Sebuah suara dari dalam tiba-tiba muncul.
"Kondisi Bapak kamu juga sedang tidak sehat, makanya Pak Gatot meminta kamu bekerja di sana, Nak," Imbuh wanita paruh baya dengan mata berkaca-kaca, menggenggam tangan sang putri penuh harap.
"Tapi Bu, Pak Gatot kan...." Gadis berparas cantik berusia dua puluh empat tahun itu menggantung ucapannya dengan wajah tertunduk lesu.
"Bapak mohon Nak, Kinanti mau ya besok bekerja di sana," Imbuh sang ayah memelas sekali lagi.
"Bukankah Bapak bilang Pak Gatot itu mata keranjang, suka ganti-ganti wanita Pak," protes sang putri menunjukkan wajah sedih berusaha menolak.
"Iya Nak, itu benar. Tapi Bapak sama Ibu tidak punya cara lagi, selain mengirim kamu bekerja di sana. Bapak mohon, mau ya Nak!"
Kesedihan terlihat di wajah pasutri ini.
Tak tega melihat kesedihan yang di alami kedua orang tuanya, gadis cantik ini terpaksa mengangguk, mengiyakan permintaan sang bapak. Karena kondisi pak Firman saat itu tengah sakit.
Derai air mata pun membasahi wajah ayu putri sulung pasangan suami istri ini. Demi menyelamatkan keluarga tercinta, ia harus rela menjadi penebus utang-piutang yang menjerat sang bapak.
*****
Pagi pun menjelang, seusai membantu sang ibu membereskan pekerjaan rumah, Kinanti berpamit kepada ibu dan bapaknya, dengan membawa tas butut bekas sekolah dulu, yang berisikan dua setel pakaian ganti.
"Pak, Bu, Kinanti pamit berangkat. Bapak sama Ibu jangan bersedih lagi. Kinanti akan bekerja dengan baik, agar bisa segera melunasi utang Bapak, doakan Kinanti betah dan baik-baik di sana," Pamit Kinanti dengan mata sembab.
"Jaga diri ya, Nak, di sana! Saat libur pulanglah!" Tandas sang ibu memeluk erat sang putri, air matanya pun tak dapat lagi di bendung untuk tidak jatuh.
"Maafkan Bapak, Nak!" Ucap sang bapak kembali berkaca-kaca saat di peluk oleh anak gadisnya.
"Bapak jangan bersedih lagi ya, Bapak harus sehat terus, agar bisa melihat keberhasilan Kinanti," Bisik gadis cantik itu, perlahan dan dengan berat hati melepas pelukannya.
Gadis ini berangkat bekerja dengan menaiki angkot, karena keterbatasan ongkos dan sesuai dengan permintaan sang majikan ia harus tinggal di rumah pak Gatot, dan pulang hanya saat libur saja.
"Assalamualaikum, Pak," Ucap gadis polos itu berdiri di depan pintu, di mana seorang pria tua tengah menunggunya sedari tadi di kursi kebesarannya.
"Wah akhirnya kamu sudah datang untuk menggantikan Bapak kamu, lumayan," Sapa Pak Gatot menyapa Kinanti dengan tatapan beringas, wajahnya dipenuhi nafsu saat pertama kali melihat putri pekerjanya.
"I- iya Pak, maaf sedikit terlambat. Perkenalkan nama sa saya Kinanti, Pak," Ujar gadis pengganti sang bapak tersebut terbata, sedikit gugup melihat wajah garang Pak Gatot.
"Cantik sekali dia, bagaimana bisa Firman menyembunyikan putri cantiknya dariku," Batin pria tua tersebut.
"Kulitnya mulus sekali, uh bibir ranum itu. Bodoh sekali jika aku harus melewatkannya."
Pikiran pria mata keranjang itu mulai berkelana ke setiap inci tubuh Kinanti. Gairahnya tiba-tiba bangkit seketika. Bahkan pria tua itu terlihat berkali-kali menelan salivanya. Terus menatap tubuh Kinanti tanpa berkedip.
Puas menatap buas tubuh calon pekerjanya, Pak Gatot akhirnya membawa Kinanti menuju kamar yang sudah disiapkan dua hari yang lalu, saat pria ini berhasil mengancam Firman. Dengan menakuti akan mengambil paksa rumah mereka satu-satunya.
Hari pertama bekerja di tempat yang sangat asing, membuat Kinanti merasa was-was, di tambah dengan tatapan sang majikan yang seolah ingin memangsa dirinya kapan saja. Saat menyambut kedatangan dirinya baru saja.
Setelah di perlihatkan sekeliling isi rumah oleh pak Gatot, maka Kinanti mulai bekerja saat itu juga. Pikiran gadis ini hanya tertumpu pada pekerjaan, berharap rumah yang menjadi tempat berlindung dan penuh kenangan sejak kecil, tidak diambil.
Hari itu juga Kinanti mulai bekerja di rumah Pak Gatot, hingga tanpa terasa ia bekerja seharian.
Malam kembali menyapa, setelah seharian kelelahan bekerja, gadis ini pun segera pergi mandi. Mengguyur tubuhnya agar kembali segar, beberapa menit kemudian gadis itu keluar dari kamar mandi.
Tubuh dan rambut yang masih basah serta harum aroma sabun serta sampo yang melekat di badan Kinanti, secara tidak langsung membuat pria hidung belang yang mengendus aroma tersebut, merasa bangkit kelelakiannya.
Kinanti mulai mengganti pakaiannya, dan mengeringkan rambut dengan handuk kecil pemberian pak Gatot, tadi siang. Dari balik pintu pria hidung belang itu terus mengawasi Kinanti sejak keluar dari kamar mandi hingga mengganti pakaian dan naik keatas tempat tidur.
Gadis yang sedang di intip tidak sadar sama sekali, malah menenggelamkan tubuhnya di balik selimut, karena lelah telah bekerja seharian.
"Cek lek," Pintu kamar yang rupanya lupa tidak dikunci, terbuka. Setelah beberapa saat menunggu gadis itu terlelap.
Pria hidung belang ini berjalan mengendap-endap, mendekati kasur Kinanti yang sudah terlelap dibuai mimpi.
"Emmmmm....emmmm....emmm...."
Gadis yang tengah dibekap mulutnya oleh Pak Gatot, tak dapat lagi bersuara untuk meminta tolong.
Bahkan saat bandot tua itu berhasil menindih tubuh Kinanti, matanya semakin tak dapat terkontrol. Menjelajah menatap seluruh tubuh gadis itu. Tangannya pun tak tinggal diam, merobek paksa pakaian gadis itu. Kulit putih mulus pun terlihat.
"Lepas, Pak, tolong jangan sakiti saya! Jangan lakukan itu Pak, hikss..."
Mohon Kinanti yang mulai pecah tangisnya, saat berhasil melepas bungkaman tangan pria yang kini sudah di atas tubuhnya dengan tatapan buas.
"Diamlah! Aku harus bisa merasakan kenikmatan pada tubuhmu ini."
Bandot tua itu makin mencoba menjelajahkan tangannya ke bagian sensitif, yaitu pada dua gundukan milik gadis itu.
Bantal serta guling yang ada dilempar oleh Kinanti ke wajah Pak Gatot. Berusaha melawan sekuat tenaga.
"Lepas, Pak, jangan!" Mohon Kinanti sambil menutupi kedua buah dadanya.
Tak berhasil menjamah kedua gunung kembar gadis itu, bandot tua itu kini mencoba beralih ke leher jenjang Kinanti, masih berusaha mendaratkan ciuman paksa. Berpindah ke paha dan sekitarnya.
Pria mesum itu seakan tengah kerasukan iblis. Tak memperdulikan raungan serta tangisan gadis tak berdaya itu. Membabi buta mencoba menjamah tubuh mulus Kinanti. Gadis itu pun terus melawan.
Tak hanya berhenti sampai di situ, dengan keberanian dan kekuatan yang dimiliki, Kinanti menendang bagian sensitif milik pria jahanam tersebut dan mendorong tubuhnya hingga terpental. Saat bandot tua itu mencoba membuka resleting celana.
"Au...."
Bandot tua mengaduh kesakitan.
Kinanti berlari dari kamar dan terus berlari menuju pintu utama, dengan pakaian yang sudah terkoyak dan derai tangis di pipi mulusnya. Dengan tubuh ketakutan dan langkah kaki yang gemetar, gadis itu akhirnya berhasil keluar dari kandang macan yang nyaris saja merenggut mahkota berharga satu-satunya.
BERSAMBUNG......
Hari sudah larut malam, saat sesosok tubuh tanpa alas kaki tampak kelelahan setelah bermaraton, menempuh jarak yang entah berapa kilo meter.Dan sepertinya mengantarkan gadis ini pada sebuah jalan raya, entah apa nama desa tersebut, yang jelas saat itu tidak satupun kendaraan yang lewat. Telah meninggalkan perkampungan tempat asal gadis itu bekerja."Hah...hah..." Bunyi napas gadis yang baru saja selesai maraton, tampak ngos-ngosan. Sudah tak lagi menangis."Alhamdulillah ya Allah, akhirnya bisa keluar dari tempat biadab itu," Gumam gadis yang tengah mengatur napasnya, berdiri di balik pohon. Sementara taksi atau kendaraan lain sudah tak lagi melintas, selain mobil sport warna biru yang baru saja berhenti.Seorang pria berpawakan tinggi, putih, dan tampan menghentikan mobil, di depan rumah bercat biru. Di seberang jalan, hanya berjarak beberapa meter dari tempat gadis itu bersembunyi.Pria tersebut membuka bagasi mobil, mengelua
Kediaman keluarga Zain Abraham.... Seorang pria muda yang baru saja pulang dari tempat bekerja memasuki rumah, tampak letih setelah seharian jenuh dengan segudang pekerjaan yang selalu menguras otak dan tenaganya. "Baru pulang kamu," sapa sang ibunda kepada putra tunggalnya yang baru saja mendudukkan bokongnya di sofa. "Iya, Ma, seperti biasa banyak banget meeting yang harus Zain hadiri," timpal sang putra dengan wajah letih, membuang napas kasar. "Makanya nikah biar pas kamu pulang dan capek begini ada yang urus, memangnya mau sampai kapan kamu terus-menerus membujang seperti ini Zain? Usia kamu sudah tidak lagi muda, sudah saat nya kamu menikah," seru sang ibunda selalu dibuat kesal oleh sang putra, tiap kali ucapannya selalu diabaikan jika menyangkut perihal pernikahan. "Aduh, Ma, stop deh jangan bahas itu lagi! Zain itu capek Ma, pulang kerja pingin istirahat. selalu saja Mama sambut dengan omelan yang sama," dengus Zain kesal. "Ap
Untuk ke sekian kalinya malam itu mata Kinanti kembali tak dapat terpejam. Meski pria di sampingnya telah terlelap di buai mimpi, namun tidak dengan gadis ini. Hingga jam dua dini hari, ia tidak dapat tidur meski rasa kantuk mulai menghinggapinya.Kinanti masih terus berjaga-jaga, takut jikalau pria yang sudah membawanya entah di mana dia saat itu, akan terbangun dan menuntutnya untuk melayani."Terima kasih ya, Allah, akhirnya Tuan Zain tertidur pulas," batin Kinanti berusaha beranjak bangun dan perlahan meletakkan tangan Zain. Setelah berhasil lepas dari pelukan Zain, Kinanti segera meloncat ke lantai dan berusaha mencari kunci kamar, namun sepertinya pria itu sengaja menyembunyikan nya.Puas mencari entah kemana kunci kamar tersebut, gadis ini pun tak dapat menguasai rasa kantuk yang menderanya. Akhirnya ia terlelap di atas sofa dengan menutupi tubuhnya dengan selimut yang ada di atas kasur hingga pagi menjelang.Hembusan angin pagi hari mulai menyerua
"Maafkan saya sekali lagi Tuan, saya mengaku salah telah lancang mengambil barang milik Tuan tanpa izin," tandas Kinanti berusaha menahan tangisnya dibawah kaki Zain Abraham. "Bagaimana bisa kamu mengambilnya? Kapan kamu lakukan itu?" selidik Zain masih dengan suara menggelegar. "Tepatnya dua hari yang lalu, Tuan. Saat itu saya benar-benar tidak mempunyai pilihan lain, karena pakaian saya robek waktu itu," balas gadis itu membela diri. "Alasan. Sudah berani melanggar keluar kamar, masih pula di tambah mencuri. Dasar, semua wanita malam sama saja. Awalnya berlagak sok polos," hardik pria di hadapan Kinanti penuh amarah, ucapannya semakin membuat hati gadis yang tengah berlutut di bawah kakinya semakin sedih. "Tuan boleh memaki atau memarahi saya sesuka hati. Tapi jangan sebut aku wanita malam....!" kali ini kesabaran Kinanti telah habis. Ia pun tanpa sadar membalas membentak Zain dengan lantang. Melihat gadis yang tengah berlutut itu berani mem
"Ada apa dengan Tuan Zain, aku kan hanya mau memasangkan dasi seperti perintahnya. Kenapa juga dia sampai merem senyum-senyum begitu," gumam Kinanti mengerutkan dahi, tak habis pikir dengan sikap CEO di hadapannya.Tangan Kinanti masih terkalung di leher sang CEO. Terdiam ambigu menatap wajah Zain, sekaligus otaknya terus berpikir. Mengingat bagaimana cara memasang dasi."Lama sekali sih," dengus Zain mulai hilang kesabaran."Maaf, Tuan, sepertinya saya lupa," ujar Kinanti, wajahnya tertunduk.Zain yang sedari tadi dalam mode on, siap menerima serangan Kinanti, tiba-tiba kesal seketika mendengar jawaban gadis bayarannya."Lupa, apanya yang lupa? Kelamaan kamu," keluh Zain bersungut dan membuka kembali matanya.Melihat gadis bayarannya yang tertunduk dan memasang wajah manyun, menambah keimutan bibir indah Kinanti. Nafsu Zain pun makin tak dapat dikontrol.Tanpa menunggu lama, tiba-tiba Zain meraih dagu gadis bayarannya, dan mula
Seusai sarapan pagi, Zain kembali menggendong tubuh Kinanti kembali ke kamar."Lepas Tuan! Saya bisa sendiri." pinta Kinanti yang kini untuk kedua kalinya berada dalam gendongan sang CEO."Berisik!" pungkas Zain, terus melangkah menuju kamar.Sesampainya di dalam kamar, Zain meletakkan Kinanti di atas kasur. Tangannya menuju handphone yang tergeletak di atas meja. Mengusap layar benda pipih tersebut, mencari nomor seseorang."Hallo, segeralah kemari! jangan lupa bawa obat-obatan untuk kaki melepuh karena air panas." ucap Zain kepada lawan bicaranya."Tuan kalau mau berangkat kerja, berangkat saja. Nanti saya bisa kembali naik taksi." sela Kinanti menatap wajah tampah Zai Abraham."Tuan Zain kalau tidak marah, wajahnya tampan sekali." gumam gadis yang terlihat terkesima oleh ketampanan sang CEO."Siapa yang memberimu ijin kembali ke sana?" Kali ini suara sang CEO terdengar kembali garang."Sampai aku sendiri ya
Setibanya di perusahaan, seluruh komite dan jajaran dewan direksi sudah duduk rapi, menunggu kedatangan sang CEO. Tak perlu lama dan berbasa-basi, Zain pun segera memimpin rapat tersebut. Meski sesekali bayangan wajah Kinanti terlintas di otaknya.Berbeda dengan Kinanti, setelah meminum obat dari dokter Andika, rasa kantuk pun mulai menghinggapinya. Dan gadis itu kini terlelap di balik selimut. Sementara bi Ijah dengan setia masih menunggu Kinanti sembari duduk di sofa yang ada di kamar, seraya menghidupkan televisi.******Rapat pun akhirnya selesai setelah hampir satu jam lebih Zain berdiskusi dengan bawahannya. Sesuai janjinya kepada Kinanti, maka ia pun segera kembali ke villa bersama dengan pak Shodik."Kenapa cepat sekali, Tuan?" tanya pak Shodik, saat mobil yang dikendarainya telah membelah jalanan menuju arah villa."Iya, Pak. Kebetulan hari ini jadwal saya kosong setelah rapat," balas Zain singkat.Meski terbilang dingin dan angkuh,
Selepas mandi, Zain mengajak Kinanti pergi ke sebuah butik ternama. Keduanya tampak turun dari mobil sport warna biru, berjalan beriringan. Kinanti berjalan dengan kaki tertatih."Apa sakit sekali kah untuk berjalan?" tanya Zain penuh perhatian, mengamati Kinanti yang berjalan di sampingnya dengan tertatih. Gadis itu pun membalas dengan gelengan kepala.Saat tiba di depan butik, seluruh pegawai menatap ke arah gadis di samping Zain. Masih dengan pakaian setelan kaos oblong beserta celana pendek."Selamat sore, Tuan Zain!" sapa salah satu pegawai butik yang sedang membuka pintu. Membungkukkan badannya kepada Zain."Sore juga. Bantu dia memilih pakaian. Pastikan yang paling bagus!" Perintah Zain kepada pegawai butik."Baik, Tuan. Mari, Nona!" ujar pegawai yang menyapa Zain dan Kinanti, lalu segera menuju ke ruangan di dalam. Tempat koleksi baju-baju di pajang.Kinanti tampak malu dan bingung, saat di harus kan untuk memilih beberapa baju, oleh