Share

BAB V Satir

“Bentangkan sayapmu! Cepat!” suara Kappa sangat jelas.

            Kinara mencoba membentangkan tangannya. Sayapnya terbuka lebar. Sedetik kemudian ia mengambang di udara. Tepat satu meter di atas permukaan tanah. Hampir saja ia mati konyol. Seperti burung kecil yang baru belajar terbang, Kinara merasa bahagia. Kepakan sayapnya kuat dan ia segera terbang bebas ke arah langit. Pengalaman yang sangat menakjubkan. Ternyata terbang lumayan melelahkan. Ia putuskan untuk berbincang kembali dengan Kappa.

“Bolehkah aku meminta sedikit air kolam ini? Aku kehausan.”

“Bravo! Akhirnya kau paham Kinara. Ijin untuk meminta sesuatu sangat penting di sini,” Kappa tersenyum ramah.

“Wow airnya segar. Rasanya mirip strawberry squash. Apakah ini air soda dicampur buah-buahan?” pertanyaan Kinara membuat Kappa tersenyum.

“Bukan seperti itu. Selama ini air di sini terasa tawar. Sama seperti air kolam biasa pada umunya.”

            Kinara mencicipi airnya sekali lagi. Tetap tidak hambar.

“Sebenarnya banyak hal yang harus kau pelajari dari awal tentang kehidupan di Falseland. Rasa air yang kau minum tergantung suasana hatimu. Kadang kau akan merasakan air berlumpur meski tampilannya bening. Kadang vanillalate atau apa saja yang enak. Aku hidup di sini sehingga air ini selalu hambar untukku,” jelas Kappa.

“Tunggu! Bagaimana kau tahu bahwa aku bisa terbang?”

“Tempat ini bagaikan dunia ajaib. Jangan kau samakan dengan duniamu yang lama.”

“Dari mana asalmu sebelum sampai di Falseland?” Kinara penasaran.

“Mungkin dari suatu tempat yang sama denganmu. Kita tidak boleh memberi tahu sembarang makhluk tentang kehidupan kita terdahulu. Ada tempat khusus untuk membahas hal itu lebih jauh. Saranku, tetap jaga ingatanmu tentang kehidupanmu yang asli. Namun, belajarlah untuk beradaptasi dan mengenal lebih dalam tentang Falseland. Kau sudah banyak minum di sini. Silahkan jelajahi tempat ini dan makanlah yang kenyaang di tempat lain. Percakapan kita cukup sampai di sini.”

“Wow, pertemuan yang singkat. Terimakasih atas nasehat dan tantangan yang kau berikan. Semoga kita bisa berjumpa lagi di lain waktu.

            Kappa tersenyum tulus kepada Kinara. Kemudian ia membenamkan dirinya ke dalam kolam. Beberapa detik berlalu air kolam menyusut dan mengering. Kappa menghilang bersamaan dengan itu. Kini tinggal Kinara yang masih takjub menyaksikan peristiwa yang baru saja ia alami. Beberapa menit yang lalu ia merasa gembira karena bertemu orang lain. Sekarang ia harus berjuang lagi secara independent untuk bertahan di dunia ajaib Flaseland.

            Menjaga kenangan merupakan pesan dari makhluk mitologi yang ia temui. Padahal mengenang sesuatu yang sangat berharga bagaikan menabur benih-benih rindu yang membuat sesak di dada. Hal-hal yang dahulu terlihat sangat sepele ternyata bisa berubah menjadi penting. Penyesalan adalah rasa bersalah yang tidak bisa mengubah keadaan. Pengecut, menyesal, sedih, ah, Kinara berusaha menepis dengan semangat mencari makanan.

            Terbang menjadi pengalaman baru yang luar biasa. badan Kinara terasa begitu ringan. Semua tampak berbeda dari atas.  Sejauh mata memandang, belum terlihat bahan makanan yang cocok.justru manusia kambing sedang asik memakan rumput tepat di bawah bukit alamanda. Mungkin bertanya kepada manusia kambing bukan ide yang buruk, pikir Kinara.

“Astaga mengagetkan sekali!” seru manusia kambing akibat kedatangan Kinara yang terlalu mendadak seperti sidak.

“Maaf aku telah mengganggu kenyamananmu. Perkenalkan namaku Kinara. Siapa namamu?”

“Aku Satir[1]. Apa keperluanmu denganku? Kau terlihat masih baru.”

“ya, tebakanmu tepat. Aku berencana mencari makan, tetapi tidak tahu harus terbang ke arah mana. Sudah kucoba berputar-putar. Namun, belum kutemukan buah-buahan maupun biji-bijian.”

“Pohon buah terlalu jauh. Lebih baik kau terbang ke arah kiri. Di sana terdapat lahan biji-bijian,” Satir menjelaskan sambil makan. Badannya tergolong kurus. Ia memakai kalung berbandul bintang. Ada seruling kecil di kakinya.

“Terimakasih. Bolehkah aku bertanya sekali lagi?”

“ya, tanyalah sesukamu. Aku senang jika bisa membantu.”

“Untuk apa seruling di kakimu? Apakah kau suka musik?”

“Oh, benda ini sangat sakral. Sudah ku coba meniupnya berkali-kali tetapi belum pernah berbunyi. Aku harus menjaga seruling ini hingga waktunya tiba. Apa alat musik yang kau bawa?”

            Pertanyaan Satir membuat Kinara panik. Sejak tiba di tempat ini Kinara tidak membawa apa-apa. Kenapa? Apa hanya dirinya yang berbeda?

“Sudahlah tidak usah memikirkan hal yang membuatmu frustasi. Jalani saja hidupmu dengan baik di sini. Mumpung aku masih di sini, silahkan tanya sesuatu yang lebih penting.”

“Oh, iya. Aku hampir lupa. Apakah kau tahu sesuatu tentang Kinari?”

“Sebentar, sepertinya aku pernah mendengar nama itu di suatu tempat.”

“Benarkah? Di mana tepatnya?”

            Angin tiba-tiba bertiup kencang. Langit berubah menjadi gelap. Selama beberaoa detik mata mendadak menjadi buta. Hanya warna hitam pekat yang terlihat. Oksigen seperti menipis menjadikan napas sesak. Peristiwa ini miri dengan fenomena alam gerhana matahari total. Perlahan-lahan cahaya redup datang hingga terang sempurna. Satir telah menjauh dari Kinara.

“Segeralah pergi ke arah kiri! Fenomena alam mengisyaratkan bahwa kau belum waktunya mendapatkan jawaban atas pertanyaanmu. Sampai jumpa!” Satir menghilang dibalik rerumputan.

            Pantas saja, belum pernah sekalipun Kinara berbuat kebaikan. Misinya kali ini harus berhasil. Pesan dari Satir memang nyata. Ia kini tengah berada di kebun jelai[2] dan jewawut[3] yang luas. Terlintas di benaknya tentang orang-orang Mesir kuno yang mengolah biji-bijian ini sebagai sumber bahan makanan utama dijadikan olahan roti dan sebagainya. Dulu, Kinara mengejek mereka makan seperti burung. Kini, ia sendiri menjelma menjadi burung. Sungguh ironi kehidupan.

“Permisi, bolehkah aku meminta biji-bijian di sini?”

            Muncul manusia banteng yang baru saja bangun tidur. Matanya masih merah. Ada gitar di atas punggungnya.

“Namaku Kinara. Aku kelaparan dari tadi belum makan.”

“Oh begitu. Aku Minotaur[4]. Jika kau ingin makan di sini, pungutlah semua daun kering yang ada di ladang ini!”

“Semua? Di ladang seluas ini?”

“Iya. Terserah kau mau apa tidak. Keputusan ada di tanganmu!”

            Gila! Luas ladang biji-bijian ini mungkin mencapai 1 hektar. Butuh puluhan pekerja agar bisa cepat selesai. Namun, perut Kinara sudah mulai memberontak. Entah kapan selesainya, tetapi patut dicoba. Tugas seperti ini semacam bakti sosial. Hampir tiga jam Kinara melakukan pekerjaannya. Kini ladang itu sudah tampak bersih meski belum selesai sempurna.

“Cukup Kinara! Kemarilah!” Minotaur memanggil dengan suara lantang.

            Tangan Kinara serasa mau copot. Tenaganya sudah terkuras habis. Akhirnya pekerjaan yang melelahkan ini selesai juga.

“Sini, makanlah dulu!” Minotaur telah menyiapkan jelai dan jewawut kupas. Rasanya Kinara ingin menangis saking senangnya.

“Ini enak sekali. Aku hampir pingsan tadi. Semua ini bolehkah kumakan sendiri?”

“Makanlah sepuasmu! Pasti melelahkan untukmu berusaha beradaptasi di sini. Sama sepertiku. Namun, lama-lama akan terbiasa juga.”

“Kalau boleh tahu sudah berapa lama kau di sini?”

“Lumayan lama. Aku tahu mengenai beberapa hal yang penting di Falseland.”

            Waktunya sepertinya tepat. Ada kemungkinan minotaur bisa membantu Kinara.

“Ada pesan dari alam untukmu Kinara,” perkataan Minotaur membuat jantung Kinara berdegub lebih cepat.

“Apa itu?”

“hanya satu pesan dan kau tidak diijinkan menanyakan apapun lagi padaku.”

“Baik. Aku setuju. Setelah ini aku akan pergi ke arah kanan.”

“Makhluk yang kau cari memiliki sayap sepertimu.”

“Maksudmu Kinari? Ia bersayap?”

            Manusia banteng hanya tersenyum. Kemudian berlari sangat kencang hingga tidak tampak sama sekali. Satu pertanyaan penting telah terjawab sebelum Kinara mengutarakannya. Ternyata memang benar pesan dari Anubis. Satu kebaikan yang ia lakukan akan mendekatkannya kepada Kinari. Semangatnya kembali meluap-luap. Harapannya kini terbuka lebar.

            Kinara kembali terbang dengan senyuman penuh kegembiraan. Kinari, seperti apakah dirimu? Bisa saja wujudnya kupu-kupu, kumbang, mungkin juga capung. Spesies hewan bersayap mengindikasikan dirinya. Kali ini petunjuknya sangat berharga. Bisa jadi Kinari adalah manusia burung seperti dirinya. Makhluk mitologi yang tinggal di Falseland begitu banyak. Tidak mungkin akan menanyai mereka satu persatu.

“Tolong! Tolong!”

            Terdengar teriakan penuh ketakutan. Suara itu berasal dari bawah pohon berdaun abu-abu. Kemudian disusul auman harimau yang membuat manusia serangga yang tinggal di pohon itu terbang menjauh karena takut. Kinara segera mendarat. Ternyata ada seorang manusia kelinci yang sedang diserang oleh manusia harimau. Manusia kelinci tidak berdaya menghadapi lawannya yang kelihatan lapar dan beringas. Kesempatan untuk berbuat baik lagi. Pikir Kinara. Tanpa berpikir panjang Kinara terbang dan hendak membawa manusia kelinci bersamanya. Namun, kecepatannya kurang akurat. Pemangsa yang butuh daging segera menerkam tubuh Kinara dan mencengkeram leher buruannya itu dengan kuku-kukunya yang tajam. Kinara tercekik, kesakitan, dan semua menjadi gelap.

[1] Berasal dari mitologi yunani kuno. Biasanya diilustrasikan menyerupai manusia bertanduk, berkaki kambing, memiliki ekor yang tebal dan panjang, berambut keriting, dan telinganya runcing.

[2] Sejenis biji-bijian dengan tekstur kenyal dan rasa seperti kacang.

[3] Tanaman pangan sejenis serelia berbiji kecil. Kandungan nutrisinya lebih baik dibandingkan beras dan jagung.

[4] Monster dengan wujud manusia berkepala banteng. Berasal dari mitologi Yunani kuno.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status