Share

BAB IV Falseland

“Selamat datang di Falseland Kinara!” suara Medusa menyadarkan Kinara.

            Kinara berkedip-kedip untuk menyesuaikan diri pada cahaya terang di tempat yang amat asing. Pandangannya penuh selidik melihat ke segala penjuru. Kanan, kiri, depan, belakang, atas, bawah. Ia terkejut menatap makhluk aneh yang ada di depannya. Sepasang pegasus[1] berdiri di samping Anubis dan Medusa. Warnanya putih. Sayapnya lebar dan sangat indah. Sejenak Kinara tampak terpesona.

“Kami pergi dulu. Beradaptasilah dengan baik! Ingat misimu di sini adalah untuk menjadi manusia lagi. Baiklah pada semua makhluk meski mereka tampak berbeda dari dirimu,” Anubis berkata bijak seraya naik ke punggung pegasus. Medusa menyusulnya. Sedetik kemudian keduanya terbang ke langit dan meninggalkan Kinara seorang diri.

            Falseland, tempat itu sangat jauh dari ekspektasi. Realitanya tempat ini begitu indah. Rumput hijau terbentang luas. Banyak pohon-pohon teduh dengan warna daun hijau tua, hijau muda, kebiru-biruan, kekuning-kuningan yang tampak berjejer bagaikan gradasi warna yang sempurna. Pandangan Kinara tertuju pada barisan bukit bunga berwarna-warni yang menawan. Bukit pertama adalah bunga amarilis merah. Sebelah kanannya merupakan bukit bunga mawar putih, disusul bukit bunga tulip orange, dan masih banyak lagi. Warna-warna bunganya dari kejauhan tampak seperti pelangi.

            Rumputnya sangat lembut, bagaikan karpet bulu domba. Kinara merebahkan dirinya dan menatas ke atas. Langit terlihat istimewa dengan gugusan bintang yang beraneka ragam. Rasanya mirip di dalam planetarium[2]. Hembusan angin sepoi-sepoi membelai bulu-bulu barunya. Tempat ini tidak seburuk yang ada dalam bayangannya. Jauh sekali dengan tempat-tempat terkutuk lain dari buku dongeng. Biasanya diilustrasikan sebagai tempat yang gelap, kumuh, sarang hewan buas, dan penyihir jahat. Sepertinya Falseland baik-baik saja. Kelembaban udara normal dengan cuaca yang cerah meski langit tidak menampilkan suasana siang maupun malam.

            Kinara bergulung-gulung di atas rerumputan. Aroma bunga melati tercium begitu kuat. Sayup-sayup terdengar bunyi perut yang keroncongan. Pertanda si empunya harus segera bangkit dan mencari makanan di alam liar. Bagaikan kembali ke masa lalu. Falseland berbeda dengan bumi manusia yang sudah canggih. Tempat ini lebih mirip hutan lahan terbuka bagi manusia-manusia primitif. Artinya, tidak ada akses jual beli apapun. Tidak tersedia toko, mall, dan sebagainya. Tantangan besar bagi Kinara untuk tetap menjaga kekuatan badannya dengan cara berburu dan meramu. Ia masih tampak tenang karena dirinya setengah burung sehingga makanan yang ia butuhkan hanya buah dan biji-bijian.

            Keberuntungan masih berpihak padanya. Apa yang akan ia makan jika dikutuk menjadi manusia buaya? Bukankah mengerikan jika harus mencari mangsa, mencabik-cabik dagingnya, dan menelannya mentah-mentah? Ah, terlalu menjijikkan saat dibayangkan. Selama ini Kinara selalu makan daging yang dimasak sempurna. Ia selalu memesan steak dengan tingkat kematangan well done. Ia benci daging setengah matang apalagi mentah. Ia selalu menolak jika ada yang mengajaknya makan sushi. Kegiatan yang menantang baginya adalah cara mencari makanan. Darimanakah harus dimulai? Falseland sangat luas. Bagaikan tidak berujung dan tidak terhingga. Sejauh mata memandang tampak indah berwarna-warni.

            Sembari menatap ke depan, Kinara melanjutkan misinya untuk mencari makanan meski kakinya penuh luka akibat tusukan duri tajam saat ia melarikan diri ke hutan pinus sebelum sampai ke Falseland. Apa jadinya jika orang-orang yang ikut mencarinya berhasil menangkap dirinya dalam wujud manusia burung? Tentu Mama Tar akan membawanya ke laboratorium. Pikiran tentang pisau bedah dan alat pembedah tengkorak membuatnya merinding.

Kini Kinara berada di tempat yang tepat. Entah itu lebih baik atau lebih buruk masih menjadi misteri. Sejauh ini tidak ada makhluk lain yang mengganggunya. Atau justru belum? Rasanya Kinara sudah berjalan begitu jauh. Namun, ia hanya melewati pohon-pohon rimbun berdaun kuning emas. Tidak ada buahnya sama sekali. Saat hampir putus asa karena lelah, ia melihat kolam kecil yang dikelilingi alang-alang. Ada air yang dapat menghilangkan haus dan dahaganya. Ia melompat kegirangan seperti anak kecil yang mendapatkan permen. Segera ia berlari dan hendak meminum sedikit air, tetapi sesuatu muncul kepermukaan dan hampir membuat jantungnya copot.

Manusia kura-kura menyembulkan kepalanya dan menampilkan badannya ke atas permukaan air. Ukurannya besar dengan mata sayu dan mulut menganga. Warnanya hijau tua penuh lumut. Pemandangan air ini sangat menakutkan. Kura-kura itu lebih mirip monster. Kukunya panjang dan runcing. Anehnya, tepat di atas punggungnya terdapat biola kecil lengkap dengan dawainya.

“Hai, manusia burung! Apa yang kau lakukan? Tidakkah kau tahu sopan santun? Atau kau baru saja tiba di sini?” manusia kura-kura bertanya penuh selidik.

“A-aku baru saja sampai. Kau siapa?” Kinara tampak ketakutan.

“Siapa namamu? Kau harus membiasakan diri dengan makhluk-makhluk yang tinggal di Falseland. Kita makhluk kutukan. Kenapa ekspresimu begitu kaget sembari manatapku? Seolah-olah baru pertama kali melihat monster. Bukankah penampilan barumu tidak jauh berbeda?”

“Maafkan aku yang belum terbiasa. Aku lupa bahwa kita menjelma menjadi makhluk mitilogi. Namaku A...” ucapannya terhenti mengingat nama aslinya tidak boleh disebutkan.

“Ah, hampir saja kebodohan pertamamu terungkap,” manusia kura-kura menghela napas panjang.

“Payah sekali. Aku begitu ceroboh. Oh iya, kenalkan namaku Kinara.”

“Kau bisa memanggilku Kappa. Kita adalah makhluk legenda yang menjadi nyata dengan jalan takdir berbeda. Persiapkan nyalimu untuk bertahan di dunia ini.”

“Bukankah tempat ini sangat indah?” Kinara mencoba mengutarakan pendapatnya.

            Kappa beranjak keluar dari air. Tubuhnya agak sedikit berlendir membuat makhluk lain agak sedikit jijik. Ia mulai berjalan sangat lambat mengelilingi Kinara. Setelah itu sebuah pertanyaan menohok dilontarkan kepada manusia burung yang ada di dekatnya.

“Apakah dari tadi kau berjalan kaki?”

“hahahaha... Kau mau bercanda? Haruskah aku merayap seperti cicak? Atau melata seperti ular?” ucapan Kinara terhenti. Ia memikirkan perkataannya sendiri. Jika hewan-hewan itu berjalan sesuai kodratnya, maka...

“Terbanglah!” ucap Kappa membuyarkan lamunan Kinara.

“Tapi aku,” keraguan terpancar dari raut muka Kinara.

“Panjatlah pohon yang ada di samping kolam ini! Coba bentangkan sayapmu!”

“Pohon ini sangat tinggi. mungkin bisa lebih dari tiga puluh meter. Tidak ada cabang yang lebih rendah. Apakah kau ingin aku bunuh diri di depanmu? Jika aku terjun dari atas, maka aku akan jatuh tepat di atas bebatuan di sekitar kolam ini.”

“Jadi, nyalimu ciut? Mau kupanggil pengecut? Kau akan mudah terkena seleksi alam. Tempat ini tidak pantas dihuni oleh seorang pecundang.”

            Perkataan Kappa begitu menohok. Seakan-akan Kinara telah direndahkan. Pengecut! Kata-kata itu terulang berkali-kali dalam benak Kinara. Kehidupan di Falseland memang baru. Jauh sekali jika dibandingkan dengan kehidupan di bumi. Dunia Kinara sebelumnya penuh dengan pujian. Ia dulunya adalah seorang MVP. Basket adalah sebagian dari hidupnya. Tiada hari tanpa bermain basket. Keunggulannya mencetak 3 point sudah terkenal di seluruh kota. Namanya dielu-elukan para gadis cantik yang selama ini ia abaikan. Jika tahu kehidupan akan berubah secepat ini, Kinara tidak akan menyia-nyiakan moment terbaik dalam hidupnya. Kini hanya tinggal penyesalan.

            Pohon di dekat kolam itu tampak seram. Bagaikan gedung pencakar langit yang lama tidak dihuni dan penuh hantu bergentayangan. Apakah Kinara hendak dijadikan tumbal? Selama ini ia tidak suka ketinggian. Balkon lantai tiga di rumahnya pun tidak pernah ia kunjungi. Namun, Kappa menunggu tindakan yang akan diambilnya. Pengecut, pengecut, pengecut.

“Bagaimana Kinara? Apakah kau berencana menjadi satu-satunya burung yang berjalan?” kata-kata Kappa membangkitkan adrenalinnya.

            Tiba-tiba Kinara berjalan menuju pohon yang tinggi itu. Jantungnya berdegub kencang. Ia memanjat perlahan. Sampai di tengah nyalinya meningkat. Namun, begitu sampai di puncak lututnya bergetar. Kinara menatap ke bawah dengan penuh kengerian. Kepalanya mendadak terasa pening. Pemandangan dari atas yang fantastis tidak memberinya semangat. Ia memegang batang pohon teramat kencang dengan posisi memeluk. Kappa terus berteriak dari bawah.

“Segera terjun Kinara! Terjun sekarang juga!”

            Muka Kinara pucat pasi. Angin berhembus kencang membuat pegangan Kinara mengendur. Seketika tubuhnya lemas dan ia jatuh ke bawah. Saat ia di antara hidup dan mati, terdengar teriakan Kappa.

[1] Kuda jantan bersayap. Menurut kepercayaan yunani kuno, pegasus adalah anak dari Poseidon (Dewa Air) dengan Medusa.

[2] Gedung teater yang memperagakan simulasi susunan bintang dan benda-benda langit.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status