“Selamat datang di Falseland Kinara!” suara Medusa menyadarkan Kinara.
Kinara berkedip-kedip untuk menyesuaikan diri pada cahaya terang di tempat yang amat asing. Pandangannya penuh selidik melihat ke segala penjuru. Kanan, kiri, depan, belakang, atas, bawah. Ia terkejut menatap makhluk aneh yang ada di depannya. Sepasang pegasus[1] berdiri di samping Anubis dan Medusa. Warnanya putih. Sayapnya lebar dan sangat indah. Sejenak Kinara tampak terpesona.
“Kami pergi dulu. Beradaptasilah dengan baik! Ingat misimu di sini adalah untuk menjadi manusia lagi. Baiklah pada semua makhluk meski mereka tampak berbeda dari dirimu,” Anubis berkata bijak seraya naik ke punggung pegasus. Medusa menyusulnya. Sedetik kemudian keduanya terbang ke langit dan meninggalkan Kinara seorang diri.
Falseland, tempat itu sangat jauh dari ekspektasi. Realitanya tempat ini begitu indah. Rumput hijau terbentang luas. Banyak pohon-pohon teduh dengan warna daun hijau tua, hijau muda, kebiru-biruan, kekuning-kuningan yang tampak berjejer bagaikan gradasi warna yang sempurna. Pandangan Kinara tertuju pada barisan bukit bunga berwarna-warni yang menawan. Bukit pertama adalah bunga amarilis merah. Sebelah kanannya merupakan bukit bunga mawar putih, disusul bukit bunga tulip orange, dan masih banyak lagi. Warna-warna bunganya dari kejauhan tampak seperti pelangi.
Rumputnya sangat lembut, bagaikan karpet bulu domba. Kinara merebahkan dirinya dan menatas ke atas. Langit terlihat istimewa dengan gugusan bintang yang beraneka ragam. Rasanya mirip di dalam planetarium[2]. Hembusan angin sepoi-sepoi membelai bulu-bulu barunya. Tempat ini tidak seburuk yang ada dalam bayangannya. Jauh sekali dengan tempat-tempat terkutuk lain dari buku dongeng. Biasanya diilustrasikan sebagai tempat yang gelap, kumuh, sarang hewan buas, dan penyihir jahat. Sepertinya Falseland baik-baik saja. Kelembaban udara normal dengan cuaca yang cerah meski langit tidak menampilkan suasana siang maupun malam.
Kinara bergulung-gulung di atas rerumputan. Aroma bunga melati tercium begitu kuat. Sayup-sayup terdengar bunyi perut yang keroncongan. Pertanda si empunya harus segera bangkit dan mencari makanan di alam liar. Bagaikan kembali ke masa lalu. Falseland berbeda dengan bumi manusia yang sudah canggih. Tempat ini lebih mirip hutan lahan terbuka bagi manusia-manusia primitif. Artinya, tidak ada akses jual beli apapun. Tidak tersedia toko, mall, dan sebagainya. Tantangan besar bagi Kinara untuk tetap menjaga kekuatan badannya dengan cara berburu dan meramu. Ia masih tampak tenang karena dirinya setengah burung sehingga makanan yang ia butuhkan hanya buah dan biji-bijian.
Keberuntungan masih berpihak padanya. Apa yang akan ia makan jika dikutuk menjadi manusia buaya? Bukankah mengerikan jika harus mencari mangsa, mencabik-cabik dagingnya, dan menelannya mentah-mentah? Ah, terlalu menjijikkan saat dibayangkan. Selama ini Kinara selalu makan daging yang dimasak sempurna. Ia selalu memesan steak dengan tingkat kematangan well done. Ia benci daging setengah matang apalagi mentah. Ia selalu menolak jika ada yang mengajaknya makan sushi. Kegiatan yang menantang baginya adalah cara mencari makanan. Darimanakah harus dimulai? Falseland sangat luas. Bagaikan tidak berujung dan tidak terhingga. Sejauh mata memandang tampak indah berwarna-warni.
Sembari menatap ke depan, Kinara melanjutkan misinya untuk mencari makanan meski kakinya penuh luka akibat tusukan duri tajam saat ia melarikan diri ke hutan pinus sebelum sampai ke Falseland. Apa jadinya jika orang-orang yang ikut mencarinya berhasil menangkap dirinya dalam wujud manusia burung? Tentu Mama Tar akan membawanya ke laboratorium. Pikiran tentang pisau bedah dan alat pembedah tengkorak membuatnya merinding.
Kini Kinara berada di tempat yang tepat. Entah itu lebih baik atau lebih buruk masih menjadi misteri. Sejauh ini tidak ada makhluk lain yang mengganggunya. Atau justru belum? Rasanya Kinara sudah berjalan begitu jauh. Namun, ia hanya melewati pohon-pohon rimbun berdaun kuning emas. Tidak ada buahnya sama sekali. Saat hampir putus asa karena lelah, ia melihat kolam kecil yang dikelilingi alang-alang. Ada air yang dapat menghilangkan haus dan dahaganya. Ia melompat kegirangan seperti anak kecil yang mendapatkan permen. Segera ia berlari dan hendak meminum sedikit air, tetapi sesuatu muncul kepermukaan dan hampir membuat jantungnya copot.
Manusia kura-kura menyembulkan kepalanya dan menampilkan badannya ke atas permukaan air. Ukurannya besar dengan mata sayu dan mulut menganga. Warnanya hijau tua penuh lumut. Pemandangan air ini sangat menakutkan. Kura-kura itu lebih mirip monster. Kukunya panjang dan runcing. Anehnya, tepat di atas punggungnya terdapat biola kecil lengkap dengan dawainya.
“Hai, manusia burung! Apa yang kau lakukan? Tidakkah kau tahu sopan santun? Atau kau baru saja tiba di sini?” manusia kura-kura bertanya penuh selidik.
“A-aku baru saja sampai. Kau siapa?” Kinara tampak ketakutan.
“Siapa namamu? Kau harus membiasakan diri dengan makhluk-makhluk yang tinggal di Falseland. Kita makhluk kutukan. Kenapa ekspresimu begitu kaget sembari manatapku? Seolah-olah baru pertama kali melihat monster. Bukankah penampilan barumu tidak jauh berbeda?”
“Maafkan aku yang belum terbiasa. Aku lupa bahwa kita menjelma menjadi makhluk mitilogi. Namaku A...” ucapannya terhenti mengingat nama aslinya tidak boleh disebutkan.
“Ah, hampir saja kebodohan pertamamu terungkap,” manusia kura-kura menghela napas panjang.
“Payah sekali. Aku begitu ceroboh. Oh iya, kenalkan namaku Kinara.”
“Kau bisa memanggilku Kappa. Kita adalah makhluk legenda yang menjadi nyata dengan jalan takdir berbeda. Persiapkan nyalimu untuk bertahan di dunia ini.”
“Bukankah tempat ini sangat indah?” Kinara mencoba mengutarakan pendapatnya.
Kappa beranjak keluar dari air. Tubuhnya agak sedikit berlendir membuat makhluk lain agak sedikit jijik. Ia mulai berjalan sangat lambat mengelilingi Kinara. Setelah itu sebuah pertanyaan menohok dilontarkan kepada manusia burung yang ada di dekatnya.
“Apakah dari tadi kau berjalan kaki?”
“hahahaha... Kau mau bercanda? Haruskah aku merayap seperti cicak? Atau melata seperti ular?” ucapan Kinara terhenti. Ia memikirkan perkataannya sendiri. Jika hewan-hewan itu berjalan sesuai kodratnya, maka...
“Terbanglah!” ucap Kappa membuyarkan lamunan Kinara.
“Tapi aku,” keraguan terpancar dari raut muka Kinara.
“Panjatlah pohon yang ada di samping kolam ini! Coba bentangkan sayapmu!”
“Pohon ini sangat tinggi. mungkin bisa lebih dari tiga puluh meter. Tidak ada cabang yang lebih rendah. Apakah kau ingin aku bunuh diri di depanmu? Jika aku terjun dari atas, maka aku akan jatuh tepat di atas bebatuan di sekitar kolam ini.”
“Jadi, nyalimu ciut? Mau kupanggil pengecut? Kau akan mudah terkena seleksi alam. Tempat ini tidak pantas dihuni oleh seorang pecundang.”
Perkataan Kappa begitu menohok. Seakan-akan Kinara telah direndahkan. Pengecut! Kata-kata itu terulang berkali-kali dalam benak Kinara. Kehidupan di Falseland memang baru. Jauh sekali jika dibandingkan dengan kehidupan di bumi. Dunia Kinara sebelumnya penuh dengan pujian. Ia dulunya adalah seorang MVP. Basket adalah sebagian dari hidupnya. Tiada hari tanpa bermain basket. Keunggulannya mencetak 3 point sudah terkenal di seluruh kota. Namanya dielu-elukan para gadis cantik yang selama ini ia abaikan. Jika tahu kehidupan akan berubah secepat ini, Kinara tidak akan menyia-nyiakan moment terbaik dalam hidupnya. Kini hanya tinggal penyesalan.
Pohon di dekat kolam itu tampak seram. Bagaikan gedung pencakar langit yang lama tidak dihuni dan penuh hantu bergentayangan. Apakah Kinara hendak dijadikan tumbal? Selama ini ia tidak suka ketinggian. Balkon lantai tiga di rumahnya pun tidak pernah ia kunjungi. Namun, Kappa menunggu tindakan yang akan diambilnya. Pengecut, pengecut, pengecut.
“Bagaimana Kinara? Apakah kau berencana menjadi satu-satunya burung yang berjalan?” kata-kata Kappa membangkitkan adrenalinnya.
Tiba-tiba Kinara berjalan menuju pohon yang tinggi itu. Jantungnya berdegub kencang. Ia memanjat perlahan. Sampai di tengah nyalinya meningkat. Namun, begitu sampai di puncak lututnya bergetar. Kinara menatap ke bawah dengan penuh kengerian. Kepalanya mendadak terasa pening. Pemandangan dari atas yang fantastis tidak memberinya semangat. Ia memegang batang pohon teramat kencang dengan posisi memeluk. Kappa terus berteriak dari bawah.
“Segera terjun Kinara! Terjun sekarang juga!”
Muka Kinara pucat pasi. Angin berhembus kencang membuat pegangan Kinara mengendur. Seketika tubuhnya lemas dan ia jatuh ke bawah. Saat ia di antara hidup dan mati, terdengar teriakan Kappa.
[1] Kuda jantan bersayap. Menurut kepercayaan yunani kuno, pegasus adalah anak dari Poseidon (Dewa Air) dengan Medusa.
[2] Gedung teater yang memperagakan simulasi susunan bintang dan benda-benda langit.
“Bentangkan sayapmu! Cepat!” suara Kappa sangat jelas. Kinara mencoba membentangkan tangannya. Sayapnya terbuka lebar. Sedetik kemudian ia mengambang di udara. Tepat satu meter di atas permukaan tanah. Hampir saja ia mati konyol. Seperti burung kecil yang baru belajar terbang, Kinara merasa bahagia. Kepakan sayapnya kuat dan ia segera terbang bebas ke arah langit. Pengalaman yang sangat menakjubkan. Ternyata terbang lumayan melelahkan. Ia putuskan untuk berbincang kembali dengan Kappa.“Bolehkah aku meminta sedikit air kolam ini? Aku kehausan.”“Bravo! Akhirnya kau paham Kinara. Ijin untuk meminta sesuatu sangat penting di sini,” Kappa tersenyum ramah.“Wow airnya segar. Rasanya mirip strawberry squash. Apakah ini air soda dicampur buah-buahan?” pertanyaan Kinara membuat Kappa tersenyum.“Bukan seperti itu. Selama ini air di sini
Hujan deras disertai petir menggelegar membuat suasana rumah Tar bertambah suram. Sudah sebulan sejak Alex menghilang belum ada sama sekali petunjuk yang berarti. Pihak kepolisian sudah menangani kasus itu dengan usaha yang maksimal. Dua orang detektif muda masih terus mencari jejak dan bukti-bukti demi menemukan kembali orang bernama Alex yang dilaporkan hilang secara misterius di sebuah villa dekat dengan hutan pinus.“Kasus ini membuatku gila. Apakah kau percaya takhayul?” salah satu detektif yang bernama Marko bertanya kepada rekannya.“Aku tipikal orang yang selalu realistis. Bisa jadi ini kasus penculikan untuk penjualan organ vital. Susah dipecahkan karena sang pelaku sangat jeli dan teliti. jika kita mampu memecahkannya mungkin sindikat penjualan organ ini bisa segera kita ringkus,” jawab detektif Devgan.“Please! Beberapa saksi di lokasi kejadian menyebut melihat monster menyerupai manusia burung. Jika itu satu orang saksi,
Suasana hutan menjadi riuh. Burung-burung beterbangan karena kaget mendengar suara keras. Tar berlari mengikuti detektif Devgan. Hutan itu seakan menolak kehadiran mereka berdua. Akhirnya ada sebuah batu yang besar dan memiliki lubang di bagian tengah. Sepintas bentuknya mirip gua dan menjadi alternatif terbaik sebagai tempat sembunyi. Baik Tar maupun detektif Devgan belum bisa bernapas lega. Keduanya sulit berhirup oksigen dan penuh keringat dingin. Senter yang mereka bawa benar-benar berguna dalam keadaan seperti itu. Mereka berdua segera membersihkan sedikit tempat untuk sekedar duduk dan bersandar. Sebenarnya tempat itu berbau menyengat. Sisa-sisa buah busuk bercampur kotoran hewan bertebaran di mana-mana. Namun, mereka berdua tetap bertahan.“Bagaimana keadaanmu? Apakah baik-baik saja?” tanya detektif Devgan.“Buruk. Napasku masih belum stabil. Jantungku hampir copot. Suara apa itu tadi? Kenapa kita harus melarikan diri seperti ini?” Tar be
Secepatnya polisi segera di TKP (tempat kejadian perkara) penemuan tulang belulang manusia. Detektif Devgan menyalakan alarm bantuan. Kini, hutan itu menjadi semakin ramai oleh polisi bersama tim forensik dan media yang hendak meliput berita. Hewan-hewan penghuni hutan semakin kuwalahan menghadapi para manusia yang tingkat kepekaannya rendah untuk sedikit memahami tata krama saat berada di alam terbuka.“Bodoh! Mengapa kau bergerak sendiri tanpa berdiskusi dengan tim?” suara detektif Marko meninggi. Mukanya memerah karena menahan amarah.“ya, kuakui bahwa tindakanku gegabah. Namun, kau sama sekali tidak peduli dengan penuturan dari saksi kunci sehingga kita belum bisa menemukan apa-apa,” detektif Devgan merasa lelah dan banyak tanah mengotori baju serta celananya.“Mitologi lagi yang kau bahas. Sadarlah! Kau telah membawa saksi ke dalam keadaan berbahaya. Jika kerangka yang kau temukan itu adalah korban pembunuhan, berarti pelaku bi
“Bangunlah! Ayo bangun! Kumohon, jangan mati di sini!” Sebuah suara yang masih asing bagi Kinara terdengar dari samping kirinya. Perlahan mata Kinara mulai terbuka. Ia berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya redup yang ada di dalam ruangan sempit. Udaranya pengab dan terasa panas. Bulu-bulunya seperti mengering. Kepalanya masih pening. Tangan kanannya terasa ngilu, berat, perih, dan macam-macam bercampur menjadi satu. Alas tidurnya keras. Meski begitu terlalu hangat seperti di samping perapian. Tenaganya terkuras habis. Entah kenapa ia sangat ingin minum. Perutnya juga lapar.“Di mana aku?” suara Kinara terdengar lirih seperti orang berbisik.“Astaga, terimakasih. Akhirnya kau sadar juga. Kita sudah berada di tempat ini selama dua hari,” manusia kelinci memegang kakinya dan tersenyum senang.“Kau siapa? Tempat apa ini?”“Rupanya
Hujan api telah berhenti. Kinara dan Rhara masih berada di dalam terowongan dengan persediaan makanan yang semakin menipis. Rasa haus mencekik kerongkongan Kinara. Rhara masih memantau sekeliling menggunakan teropong tahan api.“Bagaimana keadaan di luar? Kapan kita mulai mencari air? Aku mulai dehidrasi,” Kinara terbatuk-batuk sedikit dan mengusap keringat yang terus bermunculan di dahinya.“Lihatlah sendiri keadaan di luar!” Rhara menyerahkan teropongnya. Mata Kinara terasa pedih. Terlihat suasana di luar terowongan masih penuh kabut disertai asap. Lama-lama api mulai mengecil kemudian benar-benar padam. Semua pohon, rumput, dan bunga-bunga habis dilalap api. Langit berwarna abu-abu pekat. Negeri dongeng itu luluh lantah dalam waktu singkat. Sekarang menyerupai pada abu. Dominasi warna masih hitam dan sedikit putih dari kepulan asap. Kering kerontang tanpa ada air.
“Badanku terasa bugar kembali. Berhari-hari kita terjebak di dalam terowongan. Terimakasih Rhara. Kau telah mencegahku bertindak bodoh. Jika kau bukan kelinci, aku tidak tahu harus berlindung di mana saat ada bencana.”“Sama-sama. Kenyataannya kau menolongku lebih dulu. Aku sudah mengalami hujan api dua kali. Setiap hal ini terjadi, aku merasa sedih. Kasihan mereka yang harus menghabiskan hidupnya di Blackland. Tidak ada kebahagiaan di sana.”“Sudahlah. Kita akan segera bertemu dengan Ganesha.”“Di mana kebun Blackberry itu? Kita akan kesulitan menemukannya karena tidak ada peta di sini.”“Tenanglah! Kita akan mencarinya lewat jalur udara.”“Maksudmu?” Rhara tidak mengerti dengan ide Kinara.“naiklah ke punggungku!”“A-aku, ragu-ragu. Apa yang akan kau lakuka?”“Percayalah padaku. Kau tidak akan pernah menyesal.”&
Tanah di sekitar Kinara sedikit bergetar karena Rhara masih melompat-lompat kegirangan seolah-olah mendapatkan juara I dalam sebuah perlombaan basket antar sekolah. Ia mengayun-ayunkan tangannya yang memegang gulungan kertas itu tanpa tahu apa isinya. Sedangkan Kinari masih terpekur menengadahkan kedua telapak tangannya yang membawa sebuah kunci terbuat dari berlian asli pemberian dari Ganesha. Terpaan matahari membuat benda itu berkilauan indah sekali. Ganesha pergi begitu saja tanpa memberi tahu kunci apa yang ia berikan. Banyak misteri yang menyelimuti hidup Kinara. Pikirannya penuh tanda tanya. Mengapa dirinya harus bertemu banyak makhluk-makhluk aneh yang selalu memberinya teka-teki? Seharusnya ada sedikiut clu tentang kunci itu. Terlepas dari informasi tentang Kinari yang sangat membantu, Ganesha tidak membuka sejujurnya tentang kunci hingga Kinara menjadi penasaran luar biasa.“hore..