Home / Fantasi / Kinari dan Benang Waktu / Bab III: The Untold Covenant

Share

Bab III: The Untold Covenant

Author: Niskala
last update Last Updated: 2025-05-20 21:02:14

Keheningan itu retak.

Bukan oleh raungan, bukan oleh dentuman. Tapi oleh bisikan lirih, yang meluncur dari bibir Tharumen seperti embun jatuh ke permukaan cermin purba.

“Diam.”

Hanya satu kata.

Namun gaungnya tidak terpantul di dinding istana—melainkan di tulang-tulang realitas itu sendiri.

Lautan bergetar bukan karena suara, tapi karena perintah mutlak yang tak bisa dilawan.

Segala sesuatu—dari arus kecil yang menari di sela ganggang, hingga kilau mata mahkota Kinari—membeku dalam satu momen absolut.

Suara lenyap. Waktu menyerah. Udara asin pun menjadi kaku, seolah takut untuk bergerak.

Penjaga-penjaga istana yang bersenjata tombak mutiara membatu di tempat, pupil mereka tak lagi hidup.

Kael ikut membeku dalam posisi setengah membungkuk, bibirnya terbuka seolah hendak menyuarakan protes terakhir.

Bahkan gelembung-gelembung air yang biasa naik dari celah koral kini menggantung di tengah ruang, beku, membentuk mozaik waktu yang terhenti.

Namun Kinari…

…masih sadar.

Meski tubuhnya kaku, meski jari-jarinya tak dapat bergerak, pikirannya tetap menyala seperti api dalam badai.

Ia memaksakan kekuatannya melawan dinding tak kasatmata yang menahan tubuhnya, tapi tak ada yang bergeming.

Tharumen melangkah mendekat.

Setiap tapaknya tak mengeluarkan suara, namun bayangan di sekitarnya melengkung, seakan enggan bersentuhan sosoknya.

Tatapannya tak diselimuti oleh amarah, melainkan kejenuhan.

“Aku telah memberimu waktu,” ucapnya pelan, namun suaranya berdentum dalam kepala Kinari, seperti ribuan genderang purba.

“Aku melangkah keluar dari Retakan Ketujuh, meninggalkan singgasana sunyiku di ujung perbatasan waktu, untuk mengingatkanmu.”

Langkahnya terhenti hanya sejengkal dari Kinari, lalu menatap mata sang Ratu dalam-dalam.

Bukan seperti makhluk memandang makhluk, tapi seperti hukum semesta menatap sebutir debu yang menantang angin.

“Janji itu dibuat sebelum lautanmu memiliki nama. Sebelum kerajaanmu disusun dari arus dan karang. Leluhurmu—Ratu Auryn, sang Penjahit Gelombang—berlutut di bawah Cahaya Retakanku. Ia memohon kekuatan untuk menghentikan Anomali Waktu dari Retakan Ketiga, untuk melindungi singgahsana yang kau pimpin ini dari kemusnahan.”

Suaranya Tharumen semakin tenang, namun menusuk semakin dalam.

“Dan aku memberinya kekuatan. Bukan karena belas kasih. Tapi karena ia bersumpah—bahwa darah keturunannya akan menjaga gerbang antara alam dan kehampaan. Bahwa garis keturunannya akan menjadi Penutup Retakan, bukan pemecahnya.”

Tharumen kembali mengangkat tangannya perlahan.

Di sekelilingnya, dinding istana mencair menjadi riak bayangan, memperlihatkan narasi lampau yang sudah tertulis dalam rak-rak sejarah.

Terlihat sosok seorang ratu tua, berselimut mutiara, berlutut di bawah langit yang terbelah, sementara cahaya yang tak dapat dijelaskan membakar cakrawala.

“Itulah sumpah nenek moyangmu, Kinari. Kau adalah keturunan murninya. Dan sekarang, kau bermain dengan kekuasaan dan ambisi, menciptakan celah-celah baru dalam tenunan dunia. Kau menyulut arus kebangkitan retakan waktu keempat.”

Ia menatap Kinari, kali ini tatapannya lembut, hampir seperti seorang ayah yang menatap anak yang keras kepala.

“Aku telah diam. Aku telah menunggu. Tapi kini… kau telah melampaui batas. Dan aku tidak bisa membiarkan lautan ini—atau dunia ini—membayar harga kesombonganmu.”

Waktu masih membeku. Tapi Kinari mulai merasa sesuatu berubah di dalam dirinya.

Trident Aetheryn berdenyut keras di tangan—bukan karena amarah, tapi karena takut.

Sebuah rasa yang mungkin tertinggal dari masa lampau. Dari memori para leluhur yang tak pernah sempat diceritakan dalam salinan sejarah manapun.

Dan di depan matanya, Tharumen mulai membentangkan satu tangannya—dan dari balik itu, bayangan retakan realitas mulai muncul.

Retakan kecil. Tapi cukup untuk menghisap satu dunia bila dibiarkan tumbuh.

Dalam keheningan yang melingkupi segalanya, suara Kinari terdengar seperti bisikan dari kedalaman palung yang terlupakan.

Bibirnya gemetar, tubuhnya masih terkungkung oleh waktu yang tak mengalir—diam dalam jeda yang terasa seperti keabadian yang ringkih.

Namun dari tenggorokannya, keluar gumaman lirih, pelan, tercekik, namun sarat makna yang tak bisa diingkari.

“Aku… mendengarmu, Tharumen…”

Dan seketika itu juga, seberkas cahaya biru redup berkedip di inti Trident Aetheryn—artefak agung itu merespons seperti jiwa purba yang mendengar kata sandi lama.

Ia tidak bersinar terang. Tidak meledak dengan kilatan sihir. Namun cukup untuk memberi tahu dunia bahwa sesuatu telah berubah.

Sebuah ketundukan… bukan dari kelemahan, bukan karena kalah.

Tapi dari kesadaran mendalam akan warisan yang lebih tua dari kekuasaan, lebih kuat dari mahkota, dan lebih abadi dari takhta.

Di tengah keheningan yang menelan segalanya, itu bukan akhir.

Melainkan langkah pertama dari jalan yang akhirnya diakui oleh sang penguasa.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kinari dan Benang Waktu   Bab LXXVI The Rise of the Kings

    Kael memanfaatkan keributan itu. Saat Greed melompat ke arah Wrath, Beelzebub yang teralihkan menengadah untuk menenggak makanan baru—sesuatu yang membuatnya lengah. Kael menerjang, bukan untuk membunuh, tetapi menekan bagian perut Beelzebub sehingga lendir yang memulihkan kulitnya terciprat ke sisi; reaksi itu bukan berakhir, tetapi cukup untuk membuat pembukaan yang bisa dimanfaatkan. Kael memotong tali sensor di punggung sayap serangga — memutus sedikit sinkronisasi yang memberi makan pada massanya. Di sisi lain Lucia, terjepit oleh Lust dan Envy, menutup mata dan meremat relic. Ia berbisik nyanyian yang diajarkan neneknya—lagu-lagu penenang yang mengikat rasa dengan kenangan. Lust, yang mencari hangat, melihat bayangan yang lucu: wajah muda Lucia tersenyum; sementara Envy yang meniru, melihat dirinya sendiri memantulkan bayangan lain yang tidak puas—kedua itu terbuka kelemahan mereka: kerinduan untuk memiliki yang bukan milik mereka. Lucia menempelkan relic ke tanah;

  • Kinari dan Benang Waktu   Bab LXXV Materialized Shadows

    Kinari menangkis gempuran dengan seluruh tubuh yang masih berdenyut. Setiap tebasan tridentnya menimbulkan pilar air kecil yang retak; setiap ayun melepaskan jingga kilau Lunareth yang membakar kabut hitam menjadi uap dingin. Ia menahan, memutar, menangkis—tapi Wrath bukan lawan yang setengah hati. Makhluk itu menukar gerakannya dengan musik perang purba: satu kepakan sayap, dan guncangan tak bersuara merobohkan dua pohon yang berada di jalurnya, menghasilkan retakan di aspal. Kinari merasakan luka-luka itu: garis-garis sayatan yang menggores kulitnya, bau sengat yang melekat pada baja. Di garis belakang Lucia menjauh, melangkah ke sisi lapangan, menjaga jarak dengan medan pertempuran. Matanya terus mengawasi kota yang runtuh; relic tergenggam seperti obor. Di bawah, Kael bergerak seperti gelombang: menutup putaran warga yang baru “terbangun”, menolong yang tersungkur, menyingkirkan serpihan, mengangkat Deka yang terluka dan kawan-kawannya yang tersayat. Dia berjua

  • Kinari dan Benang Waktu   Bab LXXVI Wrath's Terror

    Untuk sesaat, semuanya tampak berhasil. Air menelan kegelapan, dan seluruh kubah berpendar—sebuah pembersihan. Lucia menitikkan air Relic ke beberapa dahi, membantu proses purifikasi, suaranya memetik lagu-lagu kurun yang membuat anak-anak menatap heran. Kael, yang berputar di kerumunan, memanfaatkan celah itu: ia menolong Deka, mengangkat tubuh teman yang terjepit, menaburkan tali pada kaki-kaki yang gemetar. Ratusan tangan saling meraih, ada pelukan, ada tangisan lega. Kota menaruh harap dalam ritme baru itu. Namun di pinggir kubah, jauh menjulang melebihi pilar air, muncul sesuatu yang tak diharapkan.Wrath — ia tidak lenyap, ia tidak tercerabut. Bayangan besar yang selama ini menggerakkan daging adalah inti dari hukum itu. Ia mengamuk; caranya berbeda dari manusia yang dirasuki: ia bukan boneka, melainkan komando. Tubuhnya membakar kabut menjadi serpih api, dan setiap kali ia menggetarkan sayap, hembusan itu seakan menguras warna dari langit. Ia berputar dengan amarah ya

  • Kinari dan Benang Waktu   Bab LXXV Ocean's Purification

    Kinari menarik napas, panjang seperti gelombang yang sedang mundur sebelum melompat. Lumpur taman menempel di lututnya, rambutnya basah oleh percikan saat terhempas; namun matanya sekarang tidak lagi penuh luka, melainkan sebuah tujuan yang membatu. Lucia meraih tangannya dengan cepat, jemarinya kecil namun tegas, dan membantu sang ratu berdiri. Trident Aetheryn yang sempat terlempar bertaut kembali ke genggaman Kinari—seperti tongkat raja yang dipanggil pulang oleh kewajiban. El’Thyren di leher Kinari berdenyut; cahayanya, yang tadi samar, kini berpendar putih bersih seperti mercu suar di samudra gelap. Dari jauh, ada nada halus — bukan lagi rasa takut, melainkan panggilan purba: Lunareth. Sisi terang dari jiwa Kinari menghapus tepi amarah, memberi ruang agar sesuatu yang lebih murni mengalir. Di dalamnya, Kinari merasakan lagi bisik itu. “Kupinjamkan kekuatanku.” Bukan perintah, tetapi pemberian — sebuah warisan dari laut yang lebih tua dari sejarah. Dengan sopan,

  • Kinari dan Benang Waktu   Bab LXXIV The Ominous Plan of Harrison

    Di ketinggian, di balik kaca berlapis yang memantulkan kota yang hancur, Harrison menonton. Di tangannya secangkir teh yang tak lagi ia minum, ia menyeringai ketika melihat warganya menjelma menjadi penghapus suara. “Hancurkan semuanya,” bisiknya kepada bayangan wrath yang menjadi perintah. “Kau sudah kuberikan tumbal. Balaskan dendam untuk setiap manusia yang menentangku.” Suaranya tipis, namun pada ucapannya ada nada komando: bukan sekadar kemarahan, melainkan kepuasan seorang penjahit yang melihat kainnya terurai lalu dirapikan menjadi pola baru. Di bawah, Wrath bergemuruh, menjalankan permintaan itu. Ia bukan lagi hanya amarah; ia adalah undang-undang yang berwujud, memerintahkan mereka yang ditelan kabut untuk menuntaskan tugasnya: mencabut akar, menghancurkan saksi, merobek cerita. Harrison menatap, matanya seperti kaca yang memantulkan bintang yang ia sendiri yang menyalakan. “Hancurkan kedua kotoran itu—Kael dan Kinari,” ia memerintah. “Buat kota ini tenang

  • Kinari dan Benang Waktu   Bab LXXIII Night of the Silent Maw

    Hari itu berat seperti batu basah. Matahari tenggelam tanpa seremonial; kota seolah menghembuskan napas panjang sebelum kembali menekuk dirinya pada malam. Wanita yang pagi tadi terperangkap dalam Water-Realm kini berangsur pulih — bekas hitam di pelupuk matanya memudar, dan ketika Lucia menyentuh dahi perempuan itu, relic mengeluarkan kilau lembut yang menempel seperti perban cahaya. Untuk sedetik, semua terasa aman. Mereka menyiapkan makanan, menunggu kabut yang datang sebagai ancaman—tetapi tidak ada yang benar-benar siap untuk apa yang penglihatan manusia sebut monster. Ketika malam mulai mencabik, kabut itu turun kembali. Bukan kabut biasa: pekatnya seperti tinta kristal, bergerak perlahan menutup jalanan, masuk ke selasar, melekat pada genting. Dari sela-sela asap, menjelma manusia-manusia yang hilang—wajah-wajah yang kemarin mereka rencanakan untuk lindungi. Mereka terhenti, lalu membuka mata—dan mata itu bukan lagi mata yang pernah tertawa; ia memekat, hitam peka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status