Keheningan itu retak.
Bukan oleh raungan, bukan oleh dentuman. Tapi oleh bisikan lirih, yang meluncur dari bibir Tharumen seperti embun jatuh ke permukaan cermin purba. “Diam.” Hanya satu kata. Namun gaungnya tidak terpantul di dinding istana—melainkan di tulang-tulang realitas itu sendiri. Lautan bergetar bukan karena suara, tapi karena perintah mutlak yang tak bisa dilawan. Segala sesuatu—dari arus kecil yang menari di sela ganggang, hingga kilau mata mahkota Kinari—membeku dalam satu momen absolut. Suara lenyap. Waktu menyerah. Udara asin pun menjadi kaku, seolah takut untuk bergerak. Penjaga-penjaga istana yang bersenjata tombak mutiara membatu di tempat, pupil mereka tak lagi hidup. Kael ikut membeku dalam posisi setengah membungkuk, bibirnya terbuka seolah hendak menyuarakan protes terakhir. Bahkan gelembung-gelembung air yang biasa naik dari celah koral kini menggantung di tengah ruang, beku, membentuk mozaik waktu yang terhenti. Namun Kinari… …masih sadar. Meski tubuhnya kaku, meski jari-jarinya tak dapat bergerak, pikirannya tetap menyala seperti api dalam badai. Ia memaksakan kekuatannya melawan dinding tak kasatmata yang menahan tubuhnya, tapi tak ada yang bergeming. Tharumen melangkah mendekat. Setiap tapaknya tak mengeluarkan suara, namun bayangan di sekitarnya melengkung, seakan enggan bersentuhan sosoknya. Tatapannya tak diselimuti oleh amarah, melainkan kejenuhan. “Aku telah memberimu waktu,” ucapnya pelan, namun suaranya berdentum dalam kepala Kinari, seperti ribuan genderang purba. “Aku melangkah keluar dari Retakan Ketujuh, meninggalkan singgasana sunyiku di ujung perbatasan waktu, untuk mengingatkanmu.” Langkahnya terhenti hanya sejengkal dari Kinari, lalu menatap mata sang Ratu dalam-dalam. Bukan seperti makhluk memandang makhluk, tapi seperti hukum semesta menatap sebutir debu yang menantang angin. “Janji itu dibuat sebelum lautanmu memiliki nama. Sebelum kerajaanmu disusun dari arus dan karang. Leluhurmu—Ratu Auryn, sang Penjahit Gelombang—berlutut di bawah Cahaya Retakanku. Ia memohon kekuatan untuk menghentikan Anomali Waktu dari Retakan Ketiga, untuk melindungi singgahsana yang kau pimpin ini dari kemusnahan.” Suaranya Tharumen semakin tenang, namun menusuk semakin dalam. “Dan aku memberinya kekuatan. Bukan karena belas kasih. Tapi karena ia bersumpah—bahwa darah keturunannya akan menjaga gerbang antara alam dan kehampaan. Bahwa garis keturunannya akan menjadi Penutup Retakan, bukan pemecahnya.” Tharumen kembali mengangkat tangannya perlahan. Di sekelilingnya, dinding istana mencair menjadi riak bayangan, memperlihatkan narasi lampau yang sudah tertulis dalam rak-rak sejarah. Terlihat sosok seorang ratu tua, berselimut mutiara, berlutut di bawah langit yang terbelah, sementara cahaya yang tak dapat dijelaskan membakar cakrawala. “Itulah sumpah nenek moyangmu, Kinari. Kau adalah keturunan murninya. Dan sekarang, kau bermain dengan kekuasaan dan ambisi, menciptakan celah-celah baru dalam tenunan dunia. Kau menyulut arus kebangkitan retakan waktu keempat.” Ia menatap Kinari, kali ini tatapannya lembut, hampir seperti seorang ayah yang menatap anak yang keras kepala. “Aku telah diam. Aku telah menunggu. Tapi kini… kau telah melampaui batas. Dan aku tidak bisa membiarkan lautan ini—atau dunia ini—membayar harga kesombonganmu.” Waktu masih membeku. Tapi Kinari mulai merasa sesuatu berubah di dalam dirinya. Trident Aetheryn berdenyut keras di tangan—bukan karena amarah, tapi karena takut. Sebuah rasa yang mungkin tertinggal dari masa lampau. Dari memori para leluhur yang tak pernah sempat diceritakan dalam salinan sejarah manapun. Dan di depan matanya, Tharumen mulai membentangkan satu tangannya—dan dari balik itu, bayangan retakan realitas mulai muncul. Retakan kecil. Tapi cukup untuk menghisap satu dunia bila dibiarkan tumbuh. Dalam keheningan yang melingkupi segalanya, suara Kinari terdengar seperti bisikan dari kedalaman palung yang terlupakan. Bibirnya gemetar, tubuhnya masih terkungkung oleh waktu yang tak mengalir—diam dalam jeda yang terasa seperti keabadian yang ringkih. Namun dari tenggorokannya, keluar gumaman lirih, pelan, tercekik, namun sarat makna yang tak bisa diingkari. “Aku… mendengarmu, Tharumen…” Dan seketika itu juga, seberkas cahaya biru redup berkedip di inti Trident Aetheryn—artefak agung itu merespons seperti jiwa purba yang mendengar kata sandi lama. Ia tidak bersinar terang. Tidak meledak dengan kilatan sihir. Namun cukup untuk memberi tahu dunia bahwa sesuatu telah berubah. Sebuah ketundukan… bukan dari kelemahan, bukan karena kalah. Tapi dari kesadaran mendalam akan warisan yang lebih tua dari kekuasaan, lebih kuat dari mahkota, dan lebih abadi dari takhta. Di tengah keheningan yang menelan segalanya, itu bukan akhir. Melainkan langkah pertama dari jalan yang akhirnya diakui oleh sang penguasa.Vaethûl Khazarûn menghilang—bukan menghilang dalam arti pergi, tetapi lenyap seperti bisikan yang tidak pernah ada.Udara yang semula mencekam menjadi hampa,namun di dalam kehampaan itulah mereka tiba—di gerbang istana Tharumen.Istana itu tidak dibangun dari batu, melainkan dari pecahan waktu itu sendiri.Dinding-dindingnya terbuat dari fraktal cahaya dan bayangan, berkilau seperti jam pasir terbalik yang membeku di tengah momentum.Tangga-tangga di depan kastil mengambang, tak bersentuhan dengan tanah, melingkar seperti heliks tak berujung, dan di puncaknya berdiri satu sosok yang familiar.Tharumen.Ia tak mengenakan mahkota, karena waktu sendiri tunduk pada matanya.Kakinya tak menyentuh lantai, jubahnya berayun pelan tanpa angin, dan matanya menyimpan cahaya yang telah melihat akhir dari segala permulaan.Kael memapah Kinari.Langkah mereka pelan dan penuh kepasrahan.Setiap tarikan nafas seperti mencuri waktu dari sisa hidup mereka.Sebagian tubuh Kinari—terutama lengan kanann
Kinari terhuyung sedangkan Kael mencengkeram erat dadanya.Napas mereka tersendat, tubuh mereka ringan seperti abu. Mereka terhempas ke tanah yang tidak sepenuhnya tanah.Permukaan itu retak dan bergerigi, seperti kulit dunia yang pernah dibakar dan dibekukan sekaligus.Setiap langkah menimbulkan gema ganjil, bukan suara, tapi pantulan dari masa lalu yang tak pernah mereka kenal.Sejauh mata memandang, hanya nampak padang tandus tak bernyawa.Puing-puing berterbangan tanpa arah, melayang dalam angin tanpa suara—seakan waktu sendiri telah patah dan berubah jadi debu.Di kejauhan, reruntuhan melingkar seperti bekas taman agung, kini menjadi makam terbuka bagi peradaban yang terlupakan.Lalu… mereka mendongak.Dan di atas sana—Jam-jam raksasa menggantung di langit, menjuntai dari rantai hitam yang lenyap ke balik awan merah tua.Jarum-jarumnya bergerak perlahan, namun tidak serempak.Masing-masing berdetak dalam irama berbeda, seolah waktu di tempat ini tidak sepakat.Waktu telah dibelah
Sunyi.Tak ada ombak, tak ada angin. Hanya permukaan laut yang beriak pelan, memantulkan cahaya bagai cermin retak—masih menyimpan gema samar dari pertempuran yang telah usai.Di sana berdiri Kinari dan Kael, seperti dua bayang yang tercabut dari dunia yang mengenal batas dan waktu.Mereka tidak berbicara. Tidak bergerak. Hanya diam, terperangkap dalam keasingan yang nyaris tidak masuk akal.Tempat itu bukanlah Sea Realm mereka.Melainkan pantulan—atau mungkin residu dari masa yang pernah hidup, lalu dilupakan.Bangunan-bangunan karang di kejauhan tidak lagi menjulang megah. Mereka masih melengkung ganjil, seolah waktu dan gravitasi bertengkar dalam bisu.Udara di sekeliling pun terasa asing. Ada aroma samar—seperti dupa kuno yang terbawa dari kuil purba yang tak lagi dikenal dunia.Kinari menengadah.Langit di atasnya bukan langit yang ia kenali.Di balik warna laut kelam itu, tidak ada matahari, tidak pula bintang.Hanya pusaran samar yang perlahan menutup, seperti kelopak mata lang
Laut yang tadi kacau mulai tenang, dan pusaran waktu di sekitar mereka mulai mengering seperti tinta yang kembali masuk ke pena.Kinari jatuh berlutut, namun senyumnya tipis.Ia menatap ke arah tempat Zhaurekh menghilang. Tidak dengan bangga, tapi damai.Ketika debu kegelapan terakhir dari Zhaurekh menguap bersama hembusan arus waktu, Mirazûl pun ikut memudar.Tidak meledak, tidak menjerit. Ia menghilang seperti bayangan yang tersedot ke balik cermin—diam dan pasrah.Karena ia bukan bayangan Kael, bukan pula ciptaan hasrat buruknya.Namun bentukan semata dari ambisi tak terkendali seorang ratu, yang memaksa kesetiaan tanpa memilih kasih.Dan saat Kinari mengakui sisi rapuhnya, fondasi tempat Mirazûl berpijak pun ikut runtuh.Kael lalu berlari menghampiri sang ratu, wajahnya penuh kelegaan dan kekaguman.“Kau tak menaklukkannya dengan kekuatan,” katanya, “kau meluruhkannya dengan hati.”Kinari hanya tersenyum, lalu memandang jauh ke laut luas, di mana batas antara waktu dan kenyataan m
Udara di sekeliling mereka merapat, seperti selembar kain yang ditarik paksa ke pusat medan. Deburan ombak di bawah tidak lagi mengikuti hukum gravitasi—ia menari ke atas, membentuk pilar spiral yang menjulang seperti ular air. Langit pecah dalam suara retakan halus, seperti tulang rapuh yang diinjak waktu. Trident Aetheryn bersinar kebiruan, dan Kinari melesat, tubuhnya ditarik oleh kekuatan pusaka itu. Kilat laut berpendar di jejak langkah Kinari, membentuk tombak-tombak air yang melesat ke arah Zhaurekh bagaikan doa kemarahan yang terpatri dalam ombak. Namun Zhaurekh hanya mengangkat telapak tangannya, lembut namun mutlak, dan seketika serangan itu berhenti—menggantung di udara. Membentuk kristal bening yang menyimpan bayang kebencian. Kinari terhenti di dalamnya, sejenak terkekang oleh pantulan dirinya sendiri. “Kau memilih melawanku, Kinari?” bisiknya, suaranya seperti desir kabut yang enggan menempel di tanah. “Padahal akulah pantulanmu yang paling jujur.” Tanpa menjaw
Retakan yang menganga di ujung jari Tharumen perlahan menguncup.Bukan seperti pintu yang ditutup, melainkan seperti luka yang dijahit oleh jarum waktu itu sendiri.Dinding istana kembali mengeras, bentuknya stabil, dan arus-arus air kembali mengalir di sekitar takhta. Waktu kembali berdenyut.Di samping tahta, Kael terhuyung lemah.Para penjaga mengerjapkan mata mereka, dan suara desiran koral kembali terdengar.Tapi semuanya tahu… bahwa sesuatu telah berubah.Tharumen menundukkan wajahnya sedikit ke arah Kinari, matanya yang redup kini tak lagi keras, namun tetap membawa berat sejarah tak tertahankan. “Retakan itu belum sempurna. Ia masih muda, belum tumbuh menjadi luka yang memanggil kehampaan.Tapi bila dibiarkan, ia akan menelan seluruh Velâthun Thalé, menyalurkan racun waktu ke dunia atas dan bawah, dan membangunkan apa yang seharusnya tak pernah bangun.”Ia menatap Kinari, yang perlahan mengatur napasnya, jemari tangannya kembali dapat digerakkan.“Kau, keturunan murni Auryn…