Tharumen sedikit menundukkan kepala, lalu kembali menatap Kinari.
Sesuatu dalam sorot matanya berubah—perlahan, namun mencengkeram seperti bayang-bayang yang merayap dari sudut waktu. Sebuah bayangan samar—bukan amarah yang meledak seperti gunung bintang, bukan murka yang menghanguskan dunia. tetapi kekecewaan arkais yang nyaris membatu. Karena dirinya sudah terlalu sering hadir dalam ribuan siklus yang tak lagi dikenang oleh nama, dalam reruntuhan zaman yang bahkan waktu sendiri enggan mencatat narasinya kembali. Sorot mata Tharumen tak menusuk, tapi menembus—menyentuh lapisan-lapisan dalam diri Kinari yang bahkan belum sempat ia pahami. Dan dalam sekejap, Kinari merasakan sesuatu yang lebih mengguncang daripada sebuah celaan—sebuah kilasan sunyi di mana dirinya tampak sebagai bayang-bayang dari harapan yang tak pernah benar-benar tumbuh. Namun telah terlalu lama dipikul. Tharumen menghela napas. Ia telah melihat hal ini sebelumnya—ratu yang terlalu besar untuk takhtanya, dan terlalu kecil untuk warisannya. Lalu ia menyeringai. Hanya sedikit. Tapi senyum itu bagai robekan di permukaan kenyataan—dingin, tak manusiawi, dan penuh pengetahuan kelam yang tak semestinya diketahui siapa pun yang hidup. "Aku telah menurunkan wibawaku," gumamnya. Suaranya mendalam, menggetarkan ubun-ubun seperti gong dari dasar laut. "untuk melangkah ke tempat yang bau akan ambisi muda ini... Dan sekarang, kau merendahkanku seperti jelaga di bawah kakimu." Kata-katanya tak teriak. Tapi di balik nada tenangnya, ada deru petaka. Seperti gempa dalam jantung benua yang tidur. Namun anehnya, arus yang tadinya melemah, kini mengalir kembali dengan deras. Waktu kembali normal, mengalir seperti riak tenang yang menipu. Tharumen melangkah mundur setapak, jubahnya yang lenyap oleh waktu bergetar perlahan, seperti helai bayangan yang enggan terurai. Ia tak menyerang, tak menunjukkan kekuatan, tapi justru itulah yang membuat ketegangan semakin menyesakkan. Kinari masih berdiri angkuh, kedua tangannya tetap mencengkeram Trident Aetheryn yang kini mulai terasa membakar. Tidak seperti api, tapi seperti pusaran ingatan—seakan senjata itu mengingat sesuatu, dan mencoba berbicara dalam bahasa yang tidak bisa dipahami Ratu Laut Selatan. Namun Kinari tetap kukuh. Matanya membara, rambutnya terangkat perlahan oleh arus yang mengikuti kemarahannya. Iia bukanlah makhluk yang dibentuk oleh rasa tunduk. Ia adalah anak dari badai, dibaptis oleh tsunami, dan dinobatkan oleh raungan guruh lautan. "Aku tidak butuh pengingat dari makhluk sekarat yang mengaku tua," Hardiknya, Suaranya nyaring dan mengiris. "Aku adalah yang memutus dan menentukan. Tidak ada warisan yang lebih sah daripada kehendakku saat ini. Kau datang ke sini, maka kau tunduk. Atau kau tenggelam!" Di sampingnya, Kael melangkah maju dengan wajah penuh gelisah. Sirip-sirip kecil di sepanjang punggungnya bergetar halus—tanda akan sebuah peringatan. Suaranya rendah, hanya cukup untuk Kinari dengar, namun penuh urgensi. "Yang Mulia... dia bukan seperti kita. Aku… aku pernah mendengar tentang sosok legenda yang terlupakan dalam Simfoni Arus Tua. Sosok yang… tidak hidup dalam waktu linier. Dia bukan ancaman biasa. Tolong... pertimbangkan" "Diam, Kael!" Kinari menoleh tajam. "Aku tidak memerintah dengan rasa takut. Aku memerintah karena aku ditakuti!" Kael mengatupkan bibirnya, tapi matanya tidak berhenti mengamati Tharumen, yang kini berdiri tenang, bahkan nyaris meditatif, seperti biksu laut kuno yang mendengar kidung kematian yang belum terjadi. Tharumen mengangkat satu tangan, dan pada ujung jarinya, terbentuk satu titik kecil—bukan cahaya, bukan pula bayangan. Tapi sesuatu yang lebih tua dari terang, dan lebih sunyi dari kegelapan. Kekosongan murni. Seperti bagian dari dunia yang telah terhapus sejenak dari eksistensi. Titik itu tak berputar, tak bergetar, namun berdenyut—pelan, namun pasti. Seolah jantung dari kehampaan itu sendiri mengembuskan nafas pada kefanaan, untuk pertama kalinya. Ia tak berkata apa-apa. Ia bahkan tidak bergerak. Tapi titik itu menggantung di udara, tepat di antara keputusan dan takdir, dan bertanya. Bukan dengan suara, tetapi dengan keberadaannya yang tak bisa diabaikan. "Seberapa jauh lagi kau ingin melangkah, wahai Ratu? Seberapa dalam kau sanggup menulis ulang sejarahmu sendiri?” Dan dalam diam yang tak berdasar itu, Kinari tahu—babak selanjutnya tak akan menunggu dirinya siap. Waktu… Kini sudah mulai berjalan lagi.Vaethûl Khazarûn menghilang—bukan menghilang dalam arti pergi, tetapi lenyap seperti bisikan yang tidak pernah ada.Udara yang semula mencekam menjadi hampa,namun di dalam kehampaan itulah mereka tiba—di gerbang istana Tharumen.Istana itu tidak dibangun dari batu, melainkan dari pecahan waktu itu sendiri.Dinding-dindingnya terbuat dari fraktal cahaya dan bayangan, berkilau seperti jam pasir terbalik yang membeku di tengah momentum.Tangga-tangga di depan kastil mengambang, tak bersentuhan dengan tanah, melingkar seperti heliks tak berujung, dan di puncaknya berdiri satu sosok yang familiar.Tharumen.Ia tak mengenakan mahkota, karena waktu sendiri tunduk pada matanya.Kakinya tak menyentuh lantai, jubahnya berayun pelan tanpa angin, dan matanya menyimpan cahaya yang telah melihat akhir dari segala permulaan.Kael memapah Kinari.Langkah mereka pelan dan penuh kepasrahan.Setiap tarikan nafas seperti mencuri waktu dari sisa hidup mereka.Sebagian tubuh Kinari—terutama lengan kanann
Kinari terhuyung sedangkan Kael mencengkeram erat dadanya.Napas mereka tersendat, tubuh mereka ringan seperti abu. Mereka terhempas ke tanah yang tidak sepenuhnya tanah.Permukaan itu retak dan bergerigi, seperti kulit dunia yang pernah dibakar dan dibekukan sekaligus.Setiap langkah menimbulkan gema ganjil, bukan suara, tapi pantulan dari masa lalu yang tak pernah mereka kenal.Sejauh mata memandang, hanya nampak padang tandus tak bernyawa.Puing-puing berterbangan tanpa arah, melayang dalam angin tanpa suara—seakan waktu sendiri telah patah dan berubah jadi debu.Di kejauhan, reruntuhan melingkar seperti bekas taman agung, kini menjadi makam terbuka bagi peradaban yang terlupakan.Lalu… mereka mendongak.Dan di atas sana—Jam-jam raksasa menggantung di langit, menjuntai dari rantai hitam yang lenyap ke balik awan merah tua.Jarum-jarumnya bergerak perlahan, namun tidak serempak.Masing-masing berdetak dalam irama berbeda, seolah waktu di tempat ini tidak sepakat.Waktu telah dibelah
Sunyi.Tak ada ombak, tak ada angin. Hanya permukaan laut yang beriak pelan, memantulkan cahaya bagai cermin retak—masih menyimpan gema samar dari pertempuran yang telah usai.Di sana berdiri Kinari dan Kael, seperti dua bayang yang tercabut dari dunia yang mengenal batas dan waktu.Mereka tidak berbicara. Tidak bergerak. Hanya diam, terperangkap dalam keasingan yang nyaris tidak masuk akal.Tempat itu bukanlah Sea Realm mereka.Melainkan pantulan—atau mungkin residu dari masa yang pernah hidup, lalu dilupakan.Bangunan-bangunan karang di kejauhan tidak lagi menjulang megah. Mereka masih melengkung ganjil, seolah waktu dan gravitasi bertengkar dalam bisu.Udara di sekeliling pun terasa asing. Ada aroma samar—seperti dupa kuno yang terbawa dari kuil purba yang tak lagi dikenal dunia.Kinari menengadah.Langit di atasnya bukan langit yang ia kenali.Di balik warna laut kelam itu, tidak ada matahari, tidak pula bintang.Hanya pusaran samar yang perlahan menutup, seperti kelopak mata lang
Laut yang tadi kacau mulai tenang, dan pusaran waktu di sekitar mereka mulai mengering seperti tinta yang kembali masuk ke pena.Kinari jatuh berlutut, namun senyumnya tipis.Ia menatap ke arah tempat Zhaurekh menghilang. Tidak dengan bangga, tapi damai.Ketika debu kegelapan terakhir dari Zhaurekh menguap bersama hembusan arus waktu, Mirazûl pun ikut memudar.Tidak meledak, tidak menjerit. Ia menghilang seperti bayangan yang tersedot ke balik cermin—diam dan pasrah.Karena ia bukan bayangan Kael, bukan pula ciptaan hasrat buruknya.Namun bentukan semata dari ambisi tak terkendali seorang ratu, yang memaksa kesetiaan tanpa memilih kasih.Dan saat Kinari mengakui sisi rapuhnya, fondasi tempat Mirazûl berpijak pun ikut runtuh.Kael lalu berlari menghampiri sang ratu, wajahnya penuh kelegaan dan kekaguman.“Kau tak menaklukkannya dengan kekuatan,” katanya, “kau meluruhkannya dengan hati.”Kinari hanya tersenyum, lalu memandang jauh ke laut luas, di mana batas antara waktu dan kenyataan m
Udara di sekeliling mereka merapat, seperti selembar kain yang ditarik paksa ke pusat medan. Deburan ombak di bawah tidak lagi mengikuti hukum gravitasi—ia menari ke atas, membentuk pilar spiral yang menjulang seperti ular air. Langit pecah dalam suara retakan halus, seperti tulang rapuh yang diinjak waktu. Trident Aetheryn bersinar kebiruan, dan Kinari melesat, tubuhnya ditarik oleh kekuatan pusaka itu. Kilat laut berpendar di jejak langkah Kinari, membentuk tombak-tombak air yang melesat ke arah Zhaurekh bagaikan doa kemarahan yang terpatri dalam ombak. Namun Zhaurekh hanya mengangkat telapak tangannya, lembut namun mutlak, dan seketika serangan itu berhenti—menggantung di udara. Membentuk kristal bening yang menyimpan bayang kebencian. Kinari terhenti di dalamnya, sejenak terkekang oleh pantulan dirinya sendiri. “Kau memilih melawanku, Kinari?” bisiknya, suaranya seperti desir kabut yang enggan menempel di tanah. “Padahal akulah pantulanmu yang paling jujur.” Tanpa menjaw
Retakan yang menganga di ujung jari Tharumen perlahan menguncup.Bukan seperti pintu yang ditutup, melainkan seperti luka yang dijahit oleh jarum waktu itu sendiri.Dinding istana kembali mengeras, bentuknya stabil, dan arus-arus air kembali mengalir di sekitar takhta. Waktu kembali berdenyut.Di samping tahta, Kael terhuyung lemah.Para penjaga mengerjapkan mata mereka, dan suara desiran koral kembali terdengar.Tapi semuanya tahu… bahwa sesuatu telah berubah.Tharumen menundukkan wajahnya sedikit ke arah Kinari, matanya yang redup kini tak lagi keras, namun tetap membawa berat sejarah tak tertahankan. “Retakan itu belum sempurna. Ia masih muda, belum tumbuh menjadi luka yang memanggil kehampaan.Tapi bila dibiarkan, ia akan menelan seluruh Velâthun Thalé, menyalurkan racun waktu ke dunia atas dan bawah, dan membangunkan apa yang seharusnya tak pernah bangun.”Ia menatap Kinari, yang perlahan mengatur napasnya, jemari tangannya kembali dapat digerakkan.“Kau, keturunan murni Auryn…