Vaethûl Khazarûn menghilang—bukan menghilang dalam arti pergi, tetapi lenyap seperti bisikan yang tidak pernah ada.
Udara yang semula mencekam menjadi hampa, namun di dalam kehampaan itulah mereka tiba— di gerbang istana Tharumen. Istana itu tidak dibangun dari batu, melainkan dari pecahan waktu itu sendiri. Dinding-dindingnya terbuat dari fraktal cahaya dan bayangan, berkilau seperti jam pasir terbalik yang membeku di tengah momentum. Tangga-tangga di depan kastil mengambang, tak bersentuhan dengan tanah, melingkar seperti heliks tak berujung, dan di puncaknya berdiri satu sosok yang familiar. Tharumen. Ia tak mengenakan mahkota, karena waktu sendiri tunduk pada matanya. Kakinya tak menyentuh lantai, jubahnya berayun pelan tanpa angin, dan matanya menyimpan cahaya yang telah melihat akhir dari segala permulaan. Kael memapah Kinari. Langkah mereka pelan dan penuh kepasrahan. Setiap tarikan nafas seperti mencuri waktu dari sisa hidup mereka. Sebagian tubuh Kinari—terutama lengan kanannya—telah terkikis, seperti debu kuarsa yang perlahan larut oleh waktu. Kulitnya memudar, tak lagi seutuh warna, melainkan seperti sketsa yang belum selesai dituliskan takdirnya. Kael, meski tampak lebih kokoh, dirinya juga tak luput dari luka. Separuh wajahnya berkarat, tapi bukan karat logam—melainkan karat waktu, ciri dari Chronical Wound—luka yang timbul ketika waktu tak lagi mengenali eksistensi mereka di dalam narasi. Mereka berdua kini adalah retakan kecil dalam kronologi semesta, tak dikenali waktu atau sejarah. Dan hanya satu yang bisa mengikat mereka kembali. Tharumen—sang Penjelajah Awal, Penggenggam Gerigi Waktu. Kinari menunduk, matanya memantulkan Triden Agung di genggamannya. Senjata ilahi yang selama ini tak pernah tergores, kini patah di ujungnya, seperti sehelai bulu yang telah kehilangan esensinya. Kilauannya memudar, retakannya menjerit sunyi. Dan untuk pertama kalinya, hati Kinari mengendur. Keangkuhan yang dulu menjadi mahkotanya… kini terasa seperti beban dari masa silam. Ia bergumam, suaranya lirih dan getir. "Tharumen… bukan makhluk… bukan dewa… dia adalah waktu itu sendiri." Kael, menahan sakitnya. Ia lalu berlutut di hadapan sosok yang berdiri di puncak tangga, tangannya gemetar, tapi kata-katanya jelas. “Jika kau menginginkan harga… maka ambillah nyawaku. Untuk Ratu Kinari, untuk waktu yang akan kami luruskan kembali… aku mohon.” Namun Tharumen hanya menyeringai. Senyuman itu bukan milik manusia. Itu senyuman yang hanya bisa dibuat oleh makhluk yang telah melihat seluruh sejarah dan seluruh kehancuran, dan menyadari bahwa keduanya hanyalah pantulan dari sebuah cermin yang sama. Ia tak menjawab. Hanya menatap. dan di matanya, jam-jam surgawi mulai berputar kembali. Langit bergetar. Waktu menghela napas. Tharumen melangkah menuruni tangga tanpa suara, namun setiap jejak yang tak terlihat mengguncang ruang dan waktu. Udara di sekeliling mereka menggigil, tidak karena dingin, melainkan karena waktu itu sendiri sedang bergetar. Sadar akan kehadiran asal-muasalnya. Ia menatap Kinari dan Kael, mata yang tak berkedip sejak kelahiran langit, mata yang menyimpan jam-jam pertama dari penciptaan. Lalu dengan suara yang rendah dan dalam, Tharumen berkata: “Luka yang menempel pada tubuh kalian… bukan luka biasa. Itu adalah Chronical Wound. Luka yang tercipta ketika waktu tak lagi tahu ke mana menempatkan kalian—ketika narasi kalian tak cocok dengan bab dunia mana pun.” Ia mengangkat tangannya. Seketika langit di atas mereka terbelah perlahan, memunculkan seberkas lorong berpendar perak yang memancar tak seperti cahaya, tapi seperti ingatan purba. Di dalamnya, terlihat sebuah dunia yang nyaris tak terjelaskan dengan bahasa manusia—Time Realm. “Hanya di sana kalian bisa disembuhkan.” Tharumen menengadah. “Di tempat di mana waktu tidak hanya mengalir, tapi bernapas, mencatat, dan mengabadikan.” Tharumen berhenti sebentar. Seperti sedang menimbang sesuatu dari Kael dan Kinari. “Time Realm adalah inti dari segala hal. Tempat di mana semua realitas disimpan, semua luka dapat dikembalikan ke titik sebelum ia terjadi, dan semua jiwa bisa berdamai dengan awal… maupun akhir.” Tharumen lalu menatap mereka lekat, dan untuk pertama kalinya—nada penyesalan terdengar dalam suaranya. “Retakan waktu yang kalian perbaiki sebelumnya… menciptakan bias dan mengaburkan koordinat lintas-kronologi. Kalian dilempar ke Temporal-null, bukan karena kesalahan kalian…tapi karena waktuku sendiri terguncang.” Ia menunduk perlahan, seolah waktu meminta maaf melalui pembawanya. “Dan waktu tak pernah lupa membalas. Maka, sebagai penyeimbang, aku memberimu jalan ke jantung waktu itu sendiri.” Kinari ingin berbicara, namun darah birunya kembali mengalir dari sudut bibirnya. Kael memegang pundaknya erat, tapi ia tahu, pertanyaan yang terpenting belum dilontarkan: “Kau… tidak ikut dengan kami?” Tharumen menggeleng—pelan namun pasti. Kilatan waktu di belakang matanya membentuk fraktal sejarah yang tak bisa disentuh oleh siapapun, bahkan oleh dewa agung. “Tidak. Time Realm adalah lembaran kosong dan penuh dalam satu waktu yang sama. Hanya mereka yang memiliki ‘kronologi berjalan’ yang dapat masuk… aku adalah Waktu, aku adalah sumbu. Jika aku masuk, maka semua cerita akan jatuh, dan waktu akan berhenti mencintai geraknya.” Tharumen membalik tubuhnya, dan sebelum menghilang ke dalam istananya yang terbuat dari gema waktu, ia meninggalkan satu kalimat yang menggema dalam jiwa Kinari dan Kael. “Jangan hanya sembuhkan luka kalian—temukan kembali versi kalian yang sempat hilang. Sebab kadang waktu tidak hanya menguji tubuh… tapi juga keberanian untuk mengingat siapa kalian sebelum kalian retak.” Langit kembali berdenyut. Lorong menuju Time Realm terbuka sepenuhnya, dan di sana.. tidak ada cahaya, tidak ada gelap, hanya alur yang tak akan pernah selesai ditulis. Dan mereka melangkah. Menuju waktu yang belum pernah mereka kenali. Menuju takdir yang tak hanya menunggu, tapi bertanya. Lorong perak itu semakin membesar, memeluk mereka dalam pusaran cahaya yang bukan cahaya biasa, melainkan serpihan kenangan dan detik-detik yang tak terhitung. Saat langkah kaki mereka menyentuh ambang batas Time Realm. Udara berubah—menjadi cair, seperti arus sungai berwarna keperakan yang mengalir dari masa lalu ke masa depan. Setiap nafas terasa seperti ditarik dari pusaran yang tiada ujung, di mana waktu tidak lagi menjadi garis lurus, tetapi anyaman benang-benang takdir yang saling berpeluk. Tubuh mereka mulai melayang, terhisap dalam arus temporal yang lembut namun kuat. Di sekeliling mereka, bintang-bintang berdenyut dalam dimensi yang berbeda—bukan langit, melainkan ruang antara cerita dan takdir. Di sana, waktu berdansa dalam irama yang hanya bisa dirasakan oleh jiwa yang sadar. Detik dan abad bergabung tanpa pembeda, menjadi lukisan tak berujung yang terus berubah—sebuah simfoni di mana setiap nada adalah kisah yang belum selesai. Kinari dan Kael merasakan setiap partikel waktu mengalir dalam darah mereka, menggugah ingatan yang tersembunyi, membuka lapisan-lapisan yang selama ini terkubur oleh amarah, kesombongan, dan keraguan. Mereka melewati lorong-lorong kenangan, melihat bayangan diri mereka di masa lalu yang tak pernah mereka ketahui, dan masa depan yang belum ditulis oleh tangan manusia biasa. Setiap langkah membawa mereka lebih dalam ke inti dari waktu itu sendiri, di mana segala awal dan akhir bertemu dalam harmoni abadi. Di depan mereka, terbentang gerbang berkilauan yang terbuat dari kilatan cahaya tanpa sumber. Gerbang yang berdenyut dengan energi kehidupan dari seluruh alam semesta. Itulah pintu masuk ke Time Realm—tempat di mana luka bisa disembuhkan, dan jiwa yang retak dapat kembali utuh. Mereka tahu, perjalanan di dalam sana bukan hanya soal waktu, melainkan juga tentang menghadapi diri sejati. Menyusun kembali serpihan yang pernah hancur, dan menulis ulang takdir yang terdistorsi. Dengan tekad yang menyala… mereka melangkah maju, melintasi gerbang waktu, menuju jantung alam semesta yang tak pernah diam.Vaethûl Khazarûn menghilang—bukan menghilang dalam arti pergi, tetapi lenyap seperti bisikan yang tidak pernah ada.Udara yang semula mencekam menjadi hampa,namun di dalam kehampaan itulah mereka tiba—di gerbang istana Tharumen.Istana itu tidak dibangun dari batu, melainkan dari pecahan waktu itu sendiri.Dinding-dindingnya terbuat dari fraktal cahaya dan bayangan, berkilau seperti jam pasir terbalik yang membeku di tengah momentum.Tangga-tangga di depan kastil mengambang, tak bersentuhan dengan tanah, melingkar seperti heliks tak berujung, dan di puncaknya berdiri satu sosok yang familiar.Tharumen.Ia tak mengenakan mahkota, karena waktu sendiri tunduk pada matanya.Kakinya tak menyentuh lantai, jubahnya berayun pelan tanpa angin, dan matanya menyimpan cahaya yang telah melihat akhir dari segala permulaan.Kael memapah Kinari.Langkah mereka pelan dan penuh kepasrahan.Setiap tarikan nafas seperti mencuri waktu dari sisa hidup mereka.Sebagian tubuh Kinari—terutama lengan kanann
Kinari terhuyung sedangkan Kael mencengkeram erat dadanya.Napas mereka tersendat, tubuh mereka ringan seperti abu. Mereka terhempas ke tanah yang tidak sepenuhnya tanah.Permukaan itu retak dan bergerigi, seperti kulit dunia yang pernah dibakar dan dibekukan sekaligus.Setiap langkah menimbulkan gema ganjil, bukan suara, tapi pantulan dari masa lalu yang tak pernah mereka kenal.Sejauh mata memandang, hanya nampak padang tandus tak bernyawa.Puing-puing berterbangan tanpa arah, melayang dalam angin tanpa suara—seakan waktu sendiri telah patah dan berubah jadi debu.Di kejauhan, reruntuhan melingkar seperti bekas taman agung, kini menjadi makam terbuka bagi peradaban yang terlupakan.Lalu… mereka mendongak.Dan di atas sana—Jam-jam raksasa menggantung di langit, menjuntai dari rantai hitam yang lenyap ke balik awan merah tua.Jarum-jarumnya bergerak perlahan, namun tidak serempak.Masing-masing berdetak dalam irama berbeda, seolah waktu di tempat ini tidak sepakat.Waktu telah dibelah
Sunyi.Tak ada ombak, tak ada angin. Hanya permukaan laut yang beriak pelan, memantulkan cahaya bagai cermin retak—masih menyimpan gema samar dari pertempuran yang telah usai.Di sana berdiri Kinari dan Kael, seperti dua bayang yang tercabut dari dunia yang mengenal batas dan waktu.Mereka tidak berbicara. Tidak bergerak. Hanya diam, terperangkap dalam keasingan yang nyaris tidak masuk akal.Tempat itu bukanlah Sea Realm mereka.Melainkan pantulan—atau mungkin residu dari masa yang pernah hidup, lalu dilupakan.Bangunan-bangunan karang di kejauhan tidak lagi menjulang megah. Mereka masih melengkung ganjil, seolah waktu dan gravitasi bertengkar dalam bisu.Udara di sekeliling pun terasa asing. Ada aroma samar—seperti dupa kuno yang terbawa dari kuil purba yang tak lagi dikenal dunia.Kinari menengadah.Langit di atasnya bukan langit yang ia kenali.Di balik warna laut kelam itu, tidak ada matahari, tidak pula bintang.Hanya pusaran samar yang perlahan menutup, seperti kelopak mata lang
Laut yang tadi kacau mulai tenang, dan pusaran waktu di sekitar mereka mulai mengering seperti tinta yang kembali masuk ke pena.Kinari jatuh berlutut, namun senyumnya tipis.Ia menatap ke arah tempat Zhaurekh menghilang. Tidak dengan bangga, tapi damai.Ketika debu kegelapan terakhir dari Zhaurekh menguap bersama hembusan arus waktu, Mirazûl pun ikut memudar.Tidak meledak, tidak menjerit. Ia menghilang seperti bayangan yang tersedot ke balik cermin—diam dan pasrah.Karena ia bukan bayangan Kael, bukan pula ciptaan hasrat buruknya.Namun bentukan semata dari ambisi tak terkendali seorang ratu, yang memaksa kesetiaan tanpa memilih kasih.Dan saat Kinari mengakui sisi rapuhnya, fondasi tempat Mirazûl berpijak pun ikut runtuh.Kael lalu berlari menghampiri sang ratu, wajahnya penuh kelegaan dan kekaguman.“Kau tak menaklukkannya dengan kekuatan,” katanya, “kau meluruhkannya dengan hati.”Kinari hanya tersenyum, lalu memandang jauh ke laut luas, di mana batas antara waktu dan kenyataan m
Udara di sekeliling mereka merapat, seperti selembar kain yang ditarik paksa ke pusat medan. Deburan ombak di bawah tidak lagi mengikuti hukum gravitasi—ia menari ke atas, membentuk pilar spiral yang menjulang seperti ular air. Langit pecah dalam suara retakan halus, seperti tulang rapuh yang diinjak waktu. Trident Aetheryn bersinar kebiruan, dan Kinari melesat, tubuhnya ditarik oleh kekuatan pusaka itu. Kilat laut berpendar di jejak langkah Kinari, membentuk tombak-tombak air yang melesat ke arah Zhaurekh bagaikan doa kemarahan yang terpatri dalam ombak. Namun Zhaurekh hanya mengangkat telapak tangannya, lembut namun mutlak, dan seketika serangan itu berhenti—menggantung di udara. Membentuk kristal bening yang menyimpan bayang kebencian. Kinari terhenti di dalamnya, sejenak terkekang oleh pantulan dirinya sendiri. “Kau memilih melawanku, Kinari?” bisiknya, suaranya seperti desir kabut yang enggan menempel di tanah. “Padahal akulah pantulanmu yang paling jujur.” Tanpa menjaw
Retakan yang menganga di ujung jari Tharumen perlahan menguncup.Bukan seperti pintu yang ditutup, melainkan seperti luka yang dijahit oleh jarum waktu itu sendiri.Dinding istana kembali mengeras, bentuknya stabil, dan arus-arus air kembali mengalir di sekitar takhta. Waktu kembali berdenyut.Di samping tahta, Kael terhuyung lemah.Para penjaga mengerjapkan mata mereka, dan suara desiran koral kembali terdengar.Tapi semuanya tahu… bahwa sesuatu telah berubah.Tharumen menundukkan wajahnya sedikit ke arah Kinari, matanya yang redup kini tak lagi keras, namun tetap membawa berat sejarah tak tertahankan. “Retakan itu belum sempurna. Ia masih muda, belum tumbuh menjadi luka yang memanggil kehampaan.Tapi bila dibiarkan, ia akan menelan seluruh Velâthun Thalé, menyalurkan racun waktu ke dunia atas dan bawah, dan membangunkan apa yang seharusnya tak pernah bangun.”Ia menatap Kinari, yang perlahan mengatur napasnya, jemari tangannya kembali dapat digerakkan.“Kau, keturunan murni Auryn…