Home / Fantasi / Kinari dan Benang Waktu / Bab I: the Queen, and The Throne

Share

Kinari dan Benang Waktu
Kinari dan Benang Waktu
Author: Niskala

Bab I: the Queen, and The Throne

Author: Niskala
last update Last Updated: 2025-05-20 15:19:45

Di kedalaman Sea Realm, kerajaan abisal bernama Téun'Velatha, Kinari duduk anggun di atas singgasana karang hitam yang mengilap, bermahkotakan mahkota mutiara abadi.

Ia adalah Ratu Lautan Selatan—Thalumera, penguasa tunggal wilayah yang bahkan hiu purba yang bahkan leviathan pun enggan menyentuh tanpa izinnya.

Keberadaannya adalah legenda yang dilisankan oleh arus dan dicatat dalam nyanyian paus tua.

Di sisinya berdiri Kael—Asisten kepercayaan Kinari dari bangsa Névarûn, makhluk malam lautan terdalam yang setia hanya pada satu jiwa, Kinari.

Bersama, mereka telah menundukkan pasukan Khomari, bangsa pelaut dari dunia atas yang sebelumnya dikenal kejam dan tak terkendali.

Namun di tangan Kinari, mereka kini berlutut sebagai sekutu, terikat sumpah dengan darah laut dan api dalam upacara di bawah gerhana arus.

Riak ombak kecil menggulung ke dalam ruang tahta, membelah sunyi.

Tiba-Tiba seorang prajurit kerajaan dengan sirip perak berkilat berenang tergesa, tubuhnya mengguratkan cahaya di sepanjang lorong-lorong kristal air.

Ia bersujud rendah, nyaris mencium lantai koral biru tua di bawahnya.

Yang Mulia Kinari, napasnya tergagap dalam gelembung suara, seseorang dari permukaan memohon audiensi. Ia membawa sesuatu yang bukan berasal dari dunia kita.

Mata Kinari menyipit, dan cahaya kehijauan dari pupilnya menyala seperti obor di kedalaman kelam.

Suaranya menggema sampai ke perbatasan arus yang memisahkan dunia mereka dengan suku atas.

Biarkan dia masuk,ucapnya—sebuah perintah yang melepaskan gaung petir bawah laut, membangunkan ombak dari tidur panjangnya.

Tangannya menggenggam erat Trident Aetheryn, artefak agung warisan leluhur Lautan Selatan.

Benda itu bukan sekadar senjata—ia adalah segel kekuasaan yang bisa membelah badai atau menidurkan samudra dengan satu getarannya.

Dan dalam genggaman Kinari, Trident itu bergetar pelan, seolah merasakan getaran takdir yang sedang mendekat.

Kinari meluruskan punggungnya.

Seluruh samudra seakan berdetak selaras dengan nafasnya.

Ia bukan sekadar ratu.

Ia adalah esensi murni dari laut itu sendiri.

Dan tamu itu... siapa pun dia, akan segera memahami seperti apa rasanya berdiri di hadapan dewa yang hidup di dalam ombak.

Dari ujung lorong istana bawah laut, keheningan perlahan dilahap oleh bunyi langkah—bukan gemuruh sirip atau hentakan terompet air, melainkan suara yang menyerupai hela napas waktu itu sendiri.

Sesosok makhluk melangkah masuk, dan seketika, suhu lautan seolah menurun beberapa derajat.

Bahkan arus yang biasanya melayang lembut di sekeliling ruang tahta, kini diam seperti membatu, menunggu dalam hening penuh rasa takut.

Dia bukan Khomari. Bahkan bukan bagian dari ras mana pun yang dikenal oleh penghuni Sea Realm.

Sosok itu menjulang tinggi jika dibandingkan dengan Thévarin dan Névarûn, kurus, seolah tubuhnya disulam dari bayangan dalam lipatan kedalaman terdalam lautan.

Kulitnya pucat keperakan, nyaris transparan, seperti kelopak ubur-ubur kuno yang tersentuh oleh usia ribuan tahun.

Matanya kosong—bukan buta, tapi kosong, seakan telah melihat terlalu banyak dan lupa bagaimana caranya memandang.

Di antara semua itu, yang paling membuat Kinari tertarik adalah jubahnya.

Kainnya berwarna abu kehitaman, tapi bukan karena warna—melainkan karena waktu sendiri enggan menyentuh.

Ujung-ujung jubah itu seperti larut, terurai menjadi butiran yang bukan pasir atau air, tapi serpih-serpih ingatan yang melayang dan perlahan lenyap saat disentuh oleh arus. Seolah jubah itu sedang terurai dari realitas.

Langkahnya lambat namun pasti, dan setiap tapak seakan menulis ulang alur waktu lantai di bawahnya.

Kinari merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan selama memerintah.

Tarikan halus yang menantang auranya, tidak karena kekuatan, tetapi karena keberadaan yang bahkan lebih tua dari konsep kekuasaan itu sendiri.

Kael, yang biasanya tenang dan tak tergoyahkan, kini berdiri kaku.

Matanya yang meredup beralih pada Kinari, seakan bertanya tanpa kata. "Apa itu, Ratu?"

Namun Kinari tak merespon.

Ia berdiri dari tahtanya perlahan, Trident Aetheryn bergetar pelan di genggamannya. Tanda bahwa laut sendiri tengah gelisah.

Makhluk itu—yang kemudian dikenal sebagai Tharumen—berhenti beberapa langkah dari tangga tahta, lalu berbicara.

Tetapi yang keluar dari balik wajah abstrak-nya bukanlah suara—melainkan gema.

Sebuah gema yang menggeliat di dalam tulang, menyusup ke dalam ingatan, dan memanggil nama-nama yang telah dilupakan dunia.

"Aku datang bukan untuk tunduk… Ratu Lautan Selatan. Aku datang untuk mengingatkanmu… akan janji lama yang kau warisi… tapi tak pernah kau ketahui." Hardiknya.

Dan pada saat itu, Kinari tahu, makhluk ini bukan dari dunia mereka.

Ia adalah sesuatu yang tersisa dari zaman sebelum arus pertama mengalir, sebelum laut memiliki nama, sebelum Trident diciptakan.

Sesuatu yang mungkin… lebih tua dari lautan itu sendiri.

Ucapan Tharumen menggantung di air seperti kabut halus yang enggan larut.

Perkataannya menusuk sunyi, menggetarkan tulang-tulang karang dan membuat ubur-ubur penjaga di sekeliling ruangan mengerutkan cahaya mereka.

Namun Kinari hanya memandangnya dengan mata yang kini membara seperti pusaran magma laut dalam.

Bahunya tegak, mahkotanya berkilau di antara semburat cahaya bawah laut yang berpendar.

Tapi di balik sorot mata itu, ada kegelisahan yang tak ingin diakui.

Ia tak tahu apa janji yang disebut oleh sang Tharumen itu.

Janji dari leluhurnya. Janji yang diwariskan, namun tak pernah diucap atau diajarkan.

Dan bagi seorang ratu seperti Kinari, ketidaktahuan adalah bentuk penghinaan.

"Aku adalah Kinari, Darah pertama laut selatan, Penjaga arus dan penguasa atas Kedalaman!"

suaranya menggulung seperti badai bawah laut, membelah ruangan hingga pilar-pilar koral bergetar.

"Aku tak mengenal namamu, wahai Tharumen, sang hantu waktu. Dan aku tak mengakui janji yang tak pernah kuikat."

Tangannya terangkat tinggi, dan Trident Aetheryn memancarkan semburat cahaya kehijauan yang membelah kegelapan ruangan, seperti sambaran petir laut yang menyentuh dasar samudra.

Gelembung-gelembung berpendar terbentuk di sekelilingnya, menari seolah hendak menyambut kehendak sang tuan.

Dengan hentakan penuh kekuasaan, Kinari menancapkan Trident Aetheryn ke lantai koral tahta.

Suaranya menggema hingga ke batas arus, membangunkan kawanan leviathan tidur dan membelah jalur sonar para penjaga bawah laut.

Getarannya terasa sampai ke batas dimensi antara laut dan langit.

"Di bawah samudra ini, semua tunduk padaku" ujarnya.

Suaran sang Ratu menggelegar seperti gemuruh ombak yang pecah di dinding batu abadi.

"Jadi kau pun akan tunduk, wahai Tharumen. Entah kau datang dari celah waktu, dari kenangan dunia yang telah mati, atau dari rongga mimpi para dewa yang dilupakan... di hadapanku, kau hanyalah makhluk lain yang harus berlutut."

Tharumen tidak bergerak.

Wajahnya yang tak bisa ditakar usia tetap datar, namun seberkas senyum tipis—terlalu tipis, terlalu tua untuk disebut ekspresi—muncul di ujung bibirnya.

"Kesombongan… adalah hak penguasa yang lupa bahwa laut bukan miliknya, tapi pinjaman dari yang lebih dulu," Gunam Tharumen lirih.

Dan pada saat itu, arus di sekeliling ruangan mulai melambat.

Butiran waktu—yang biasanya tak kasat mata—muncul,

melayang seperti serpihan cahaya yang kehilangan arah.

Segalanya menjadi berat, seolah semesta sedang menahan nafasnya sendiri.

Trident Aetheryn mendadak bersinar tak terkendali.

Tetapi Kinari tetap berdiri tegak, meski seluruh realitas di sekitarnya mulai meretih dalam keasingan.

Langkahnya tak goyah.

Mahkotanya tetap utuh.

Di dadanya, ada sesuatu yang mulai berdesir—rasa yang tak pernah ia kenal, bukan takut… tapi gentar.

Dan dalam bisu yang membentang, ada satu hal yang pasti.

Apa pun yang menanti di balik lengkung waktu berikutnya… bukanlah sekadar ujian.

Tetapi penghakiman.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kinari dan Benang Waktu   Bab IX: Time Realm

    Vaethûl Khazarûn menghilang—bukan menghilang dalam arti pergi, tetapi lenyap seperti bisikan yang tidak pernah ada.Udara yang semula mencekam menjadi hampa,namun di dalam kehampaan itulah mereka tiba—di gerbang istana Tharumen.Istana itu tidak dibangun dari batu, melainkan dari pecahan waktu itu sendiri.Dinding-dindingnya terbuat dari fraktal cahaya dan bayangan, berkilau seperti jam pasir terbalik yang membeku di tengah momentum.Tangga-tangga di depan kastil mengambang, tak bersentuhan dengan tanah, melingkar seperti heliks tak berujung, dan di puncaknya berdiri satu sosok yang familiar.Tharumen.Ia tak mengenakan mahkota, karena waktu sendiri tunduk pada matanya.Kakinya tak menyentuh lantai, jubahnya berayun pelan tanpa angin, dan matanya menyimpan cahaya yang telah melihat akhir dari segala permulaan.Kael memapah Kinari.Langkah mereka pelan dan penuh kepasrahan.Setiap tarikan nafas seperti mencuri waktu dari sisa hidup mereka.Sebagian tubuh Kinari—terutama lengan kanann

  • Kinari dan Benang Waktu   Bab VII: Time Diversion

    Kinari terhuyung sedangkan Kael mencengkeram erat dadanya.Napas mereka tersendat, tubuh mereka ringan seperti abu. Mereka terhempas ke tanah yang tidak sepenuhnya tanah.Permukaan itu retak dan bergerigi, seperti kulit dunia yang pernah dibakar dan dibekukan sekaligus.Setiap langkah menimbulkan gema ganjil, bukan suara, tapi pantulan dari masa lalu yang tak pernah mereka kenal.Sejauh mata memandang, hanya nampak padang tandus tak bernyawa.Puing-puing berterbangan tanpa arah, melayang dalam angin tanpa suara—seakan waktu sendiri telah patah dan berubah jadi debu.Di kejauhan, reruntuhan melingkar seperti bekas taman agung, kini menjadi makam terbuka bagi peradaban yang terlupakan.Lalu… mereka mendongak.Dan di atas sana—Jam-jam raksasa menggantung di langit, menjuntai dari rantai hitam yang lenyap ke balik awan merah tua.Jarum-jarumnya bergerak perlahan, namun tidak serempak.Masing-masing berdetak dalam irama berbeda, seolah waktu di tempat ini tidak sepakat.Waktu telah dibelah

  • Kinari dan Benang Waktu   Bab VII: Time Lumination

    Sunyi.Tak ada ombak, tak ada angin. Hanya permukaan laut yang beriak pelan, memantulkan cahaya bagai cermin retak—masih menyimpan gema samar dari pertempuran yang telah usai.Di sana berdiri Kinari dan Kael, seperti dua bayang yang tercabut dari dunia yang mengenal batas dan waktu.Mereka tidak berbicara. Tidak bergerak. Hanya diam, terperangkap dalam keasingan yang nyaris tidak masuk akal.Tempat itu bukanlah Sea Realm mereka.Melainkan pantulan—atau mungkin residu dari masa yang pernah hidup, lalu dilupakan.Bangunan-bangunan karang di kejauhan tidak lagi menjulang megah. Mereka masih melengkung ganjil, seolah waktu dan gravitasi bertengkar dalam bisu.Udara di sekeliling pun terasa asing. Ada aroma samar—seperti dupa kuno yang terbawa dari kuil purba yang tak lagi dikenal dunia.Kinari menengadah.Langit di atasnya bukan langit yang ia kenali.Di balik warna laut kelam itu, tidak ada matahari, tidak pula bintang.Hanya pusaran samar yang perlahan menutup, seperti kelopak mata lang

  • Kinari dan Benang Waktu   Bab VI: The Beginning of an Unknown

    Laut yang tadi kacau mulai tenang, dan pusaran waktu di sekitar mereka mulai mengering seperti tinta yang kembali masuk ke pena.Kinari jatuh berlutut, namun senyumnya tipis.Ia menatap ke arah tempat Zhaurekh menghilang. Tidak dengan bangga, tapi damai.Ketika debu kegelapan terakhir dari Zhaurekh menguap bersama hembusan arus waktu, Mirazûl pun ikut memudar.Tidak meledak, tidak menjerit. Ia menghilang seperti bayangan yang tersedot ke balik cermin—diam dan pasrah.Karena ia bukan bayangan Kael, bukan pula ciptaan hasrat buruknya.Namun bentukan semata dari ambisi tak terkendali seorang ratu, yang memaksa kesetiaan tanpa memilih kasih.Dan saat Kinari mengakui sisi rapuhnya, fondasi tempat Mirazûl berpijak pun ikut runtuh.Kael lalu berlari menghampiri sang ratu, wajahnya penuh kelegaan dan kekaguman.“Kau tak menaklukkannya dengan kekuatan,” katanya, “kau meluruhkannya dengan hati.”Kinari hanya tersenyum, lalu memandang jauh ke laut luas, di mana batas antara waktu dan kenyataan m

  • Kinari dan Benang Waktu   Bab V: The Fight of Faith

    Udara di sekeliling mereka merapat, seperti selembar kain yang ditarik paksa ke pusat medan. Deburan ombak di bawah tidak lagi mengikuti hukum gravitasi—ia menari ke atas, membentuk pilar spiral yang menjulang seperti ular air. Langit pecah dalam suara retakan halus, seperti tulang rapuh yang diinjak waktu. Trident Aetheryn bersinar kebiruan, dan Kinari melesat, tubuhnya ditarik oleh kekuatan pusaka itu. Kilat laut berpendar di jejak langkah Kinari, membentuk tombak-tombak air yang melesat ke arah Zhaurekh bagaikan doa kemarahan yang terpatri dalam ombak. Namun Zhaurekh hanya mengangkat telapak tangannya, lembut namun mutlak, dan seketika serangan itu berhenti—menggantung di udara. Membentuk kristal bening yang menyimpan bayang kebencian. Kinari terhenti di dalamnya, sejenak terkekang oleh pantulan dirinya sendiri. “Kau memilih melawanku, Kinari?” bisiknya, suaranya seperti desir kabut yang enggan menempel di tanah. “Padahal akulah pantulanmu yang paling jujur.” Tanpa menjaw

  • Kinari dan Benang Waktu   Bab IV: Twisted Reality

    Retakan yang menganga di ujung jari Tharumen perlahan menguncup.Bukan seperti pintu yang ditutup, melainkan seperti luka yang dijahit oleh jarum waktu itu sendiri.Dinding istana kembali mengeras, bentuknya stabil, dan arus-arus air kembali mengalir di sekitar takhta. Waktu kembali berdenyut.Di samping tahta, Kael terhuyung lemah.Para penjaga mengerjapkan mata mereka, dan suara desiran koral kembali terdengar.Tapi semuanya tahu… bahwa sesuatu telah berubah.Tharumen menundukkan wajahnya sedikit ke arah Kinari, matanya yang redup kini tak lagi keras, namun tetap membawa berat sejarah tak tertahankan. “Retakan itu belum sempurna. Ia masih muda, belum tumbuh menjadi luka yang memanggil kehampaan.Tapi bila dibiarkan, ia akan menelan seluruh Velâthun Thalé, menyalurkan racun waktu ke dunia atas dan bawah, dan membangunkan apa yang seharusnya tak pernah bangun.”Ia menatap Kinari, yang perlahan mengatur napasnya, jemari tangannya kembali dapat digerakkan.“Kau, keturunan murni Auryn…

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status