Masuk
"Pengantin wanita kabur dari pernikahan?"
"Astaga, bukankah ini akan mencoreng kedua nama baik keluarga?" "Pasti pengantin prianya sungguh malu, kasihan sekali." "Bagaimana acara ini akan berjalan? Pasti keluarga pengantin wanita sungguh malu sekali." "Kasihan sekali pengantin pria itu. Belum acara pernikahan mereka, ia sudah di tinggal lebih dulu." "Ini pasti akan jadi berita pertama, yang menempati urutan nomor 1 di media dunia." Bisikan-bisikan terus terdengar dari kursi para tamu undangan, ada yang turut prihatin dan kasihan dengan pengantin pria, ada juga yang hanya duduk sambil merekam video untuk di upload ke internet. Padahal baru beberapa menit yang lalu, suasana begitu bersahabat dan penuh bahagia serta haru. Namun semuanya berubah dalam sekejap membalikan telapak tangan. Hanya beberapa kalimat. Pengantin. Wanita. Kabur. Ini merupakan tamparan keras bagi keluarga Addison maupun keluarga Orlov, mereka merencanakan pernikahan ini agar hubungan bisnis mereka semakin kuat, dan juga hubungan kekeluargaan mereka semakin erat. Namun semuanya lumrah dalam waktu beberapa menit, sebelum di mulainya pernikahan. Para tamu mulai riuh, sebagian berdiri, sebagian lagi memilih tetap duduk dengan ekspresi canggung. Kamera ponsel menyorot ke arah panggung pelaminan yang kosong, sementara MC berusaha menenangkan suasana dengan senyum kaku yang jelas terlihat dipaksakan. Di barisan depan, wajah keluarga Addison memucat. Ibu pengantin wanita hampir pingsan, ditopang oleh anak laki-lakinya yang panik. Sang ayah, Jonathan Addison, wajahnya menegang, rahang mengeras seolah menahan amarah sekaligus rasa malu yang luar biasa. "Bagaimana mungkin putriku melakukan ini…?!" desisnya di antara gigi yang terkatup rapat. Di sisi lain, keluarga Orlov duduk dengan ekspresi yang sangat berbeda. Alih-alih panik atau merasa malu, Leonid Orlov, justru duduk tenang. Tangan kirinya menggenggam tongkat berlapis perak, sementara matanya yang tajam menatap kosong ke arah altar yang tak jadi dipijak pengantin perempuan. "Hmph…" gumamnya rendah, nyaris tak terdengar. "Sepertinya gadis itu terlalu naif jika mengira bisa lari dari keluarga Orlov." Bisikan itu cukup untuk membuat bulu kuduk orang-orang terdekatnya berdiri. ·–·–·–·–·–· Sementara itu, di ruang pengantin pria, Edward masih duduk dengan tenang, jauh dari segala hiruk pikuk yang terjadi di aula. Ia menyalakan sebatang rokok, menatap percikan api di ujungnya, lalu menghembuskan asap tebal. Tidak ada ekspresi terluka, tidak ada tanda-tanda kecewa. Justru sebaliknya, ada sinar tipis di matanya, antara geli dan marah. "Benar-benar di luar prediksi." ucap Dante, yang melangkah masuk dengan tidak sopan. Padahal hari ini, Dante ingin melihat bagaimana wujud dari putri kedua keluarga Addison itu, namun yang di dapatinya sungguh sesuatu yang di luar ekspektasinya. Edward tidak segera menjawab. Asap rokok terus berputar di udara, menyelubungi ruangan dengan aroma tajam tembakau yang pekat. Matanya menatap kosong ke arah jendela, seolah pemandangan pesta di dalam aula, hanyalah pertunjukan kecil yang tidak berarti apa-apa. Senyum tipis terlukis di bibirnya. "Di luar prediksi?" suaranya berat, dalam, dan tenang. "Tidak ada yang di luar prediksi, Dante. Semua sudah saya hitung… bahkan kemungkinan wanita itu kabur." Dante, dengan setelan hitam elegan yang kontras dengan sikap kasualnya, mengangkat alis. Ia menyandarkan tubuhnya ke dinding, kedua tangan masuk ke dalam saku. "Lalu? Kau akan tetap duduk di sini, merokok, sementara ratusan tamu menertawakan namamu di luar sana? Atau… kau memang menunggu momen ini, Edward?" Seketika, tatapan Edward beralih padanya. Tajam. Dingin. Tatapan yang membuat Dante, meski seorang Orlov juga, sadar bahwa ia sedang berhadapan dengan sisi tergelap sepupunya. "Apa menurutmu, saya peduli dengan bisikan-bisikan mereka?" Edward berdiri, menjatuhkan puntung rokok ke lantai marmer, lalu menginjaknya dengan sepatu hitam mengilap. "Mereka hanya penonton, Dante. Boneka yang haus drama. Yang penting… bukan apa yang terjadi di altar." Edward mendekat ke meja panjang yang dipenuhi dengan botol minuman kristal, menuangkan segelas wiski seolah hari ini bukan hari pernikahannya, melainkan sekadar pesta kecil untuk dirinya sendiri. Jemarinya berputar di sekitar gelas, menatap cairan amber itu dengan pandangan penuh perhitungan. "Lalu, apa rencanamu sekarang?" tanya Dante tidak sabaran. Edward tersenyum tipis, "Memilih pengganti untuk menikah denganku, sekarang. Tepat di sini." Dante menyeringai tipis, meski di balik senyumnya ada rasa penasaran bercampur kagum pada sepupunya ini. Edward menegakkan tubuhnya, mengangkat gelas wiski itu lalu meneguknya perlahan. Aroma alkohol memenuhi udara. Ia lalu meletakkan gelas dengan bunyi thak keras di meja marmer. Dante terkekeh pelan, meski nada tawanya terdengar sinis. "Pengganti? Hah… kau bicara seolah-olah wanita bisa kau pilih seenaknya, Edward. Kau pikir keluarga Addison akan tinggal diam setelah putri mereka melarikan diri?" Edward menoleh perlahan, sorot matanya tajam seperti pisau. "Keluarga Addison sudah kehilangan harga diri mereka malam ini. Mereka tidak punya kekuatan menolak apapun yang aku putuskan. Justru… jika saya menikahi salah satu perempuan lain sekarang juga, mereka akan merasa ‘diselamatkan’." Dante menaikkan alisnya, jelas tertarik. "Lalu… siapa yang kau pilih?" Senyum tipis itu muncul lagi di wajah Edward, kali ini jauh lebih dingin. Ia melangkah mendekat ke jendela besar, menyingkap tirai dan menatap kerumunan tamu undangan di aula yang masih kacau. Jemarinya mengetuk perlahan bingkai kaca, irama yang membuat suasana makin mencekam. "Pengganti…" gumamnya pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri. "Harus seseorang yang cukup berharga… agar pernikahan ini tetap menjadi pondasi kekuatan. Seseorang yang tidak bisa menolak… meski nyawanya taruhannya." Dante menyipitkan mata, mengerti arah pikirannya. "Jangan bilang… kau akan—" Edward menoleh, senyum bengis terukir jelas. "Benar. Putri bungsu keluarga Addison. Ophelia." Suasana ruangan mendadak hening, bahkan detak jam dinding terdengar begitu nyaring. Dante terkekeh, tapi kali ini tawanya lebih seperti suara orang yang baru saja menyaksikan kebrutalan yang tak terbayangkan. "Kau benar-benar gila, Edward… mengambil adiknya sendiri, tepat setelah kakaknya kabur? Hah, ini akan jadi sejarah yang ditulis dengan darah." Edward kembali menuang wiski ke gelasnya, lalu mengangkatnya seakan bersulang pada dirinya sendiri. "Bukan sejarah, Dante. Ini peringatan… untuk siapa pun yang berpikir mereka bisa melawan keluarga Orlov." Ketukan pintu menyadarkan Dante yang terlihat serius, pria itu dengan cepat mengatur ekspresi wajahnya. Pintu ruangan kembali terbuka, seorang pria berjas hitam masuk dengan wajah tegang. "Tuan… dua keluarga menunggu keputusan Anda. Mereka… menanyakan apa yang akan dilakukan mengenai pernikahan ini." Edward meneguk wiski hingga habis, lalu menaruh gelasnya dengan bunyi keras. Ia meraih mantel hitam panjangnya, lalu berbalik dengan tatapan yang membuat orang-orang di ruangan itu bergidik. "Katakan pada mereka…" suaranya berat, tegas, dan penuh ancaman, "…pernikahan tetap berlangsung. Hanya saja, pengantinnya berganti." Dante tertawa lepas kali ini, penuh kepuasan sekaligus kegilaan. "Astaga… aku harus duduk di barisan depan untuk menyaksikan kekacauan ini. Kau benar-benar bukan manusia biasa, Edward." Edward hanya tersenyum tipis. "Manusia biasa tak pernah mampu menguasai dunia, Dante." ·–·–·–·–·–· Ophelia tidak tahu, bagaimana ia harus membaca situasi yang terjadi sekarang. Kakaknya kabur dari altar pernikahan, beberapa menit sebelum pernikahan di gelar. Sekarang, nama dua keluarga sedang di pertaruhkan di sini. Dan yang lebih membuatnya takut dan khawatir, adalah nama baik keluarganya. Ophelia... tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi satu hal yang penting, keluarganya tidak bisa mengambil keputusan secara mutlak, karena yang memegang kendali di sini adalah seseorang yang tingkatnya lebih tinggi dari keluarga Addison. Ophelia berdiri diam di ruangan keluarga Addison, tubuhnya gemetar hebat. Ia masih mengenakan gaun sederhana berwarna biru pucat, jelas bukan gaun pengantin. Sekarang, ia berada di ambang yang sangat ragu ia lewati. Bahkan ayahnya secara paksa dan penuh bentakan, langsung menunjuknya sebagai pengganti kakaknya. Jonathan, sang ayah langsung menunjuknya tanpa memikirkan keputusan Ophelia. "Ophelia! Kau satu-satunya jalan untuk menyelamatkan kehormatan keluarga ini. Jangan pernah berpikir menolak!" Mata Ophelia melebar, ia mundur setapak. "Ayah… tidak. Aku tidak bisa! Itu—" "Jangan menolak?!" Jonathan membentak, membuat semua orang di ruangan itu terdiam. "Apakah kau pikir ada ruang untuk berbicara di antara keluarga sekuat Orlov? Kakakmu sudah mempermalukan kita semua. Kau harus menebusnya, Ophelia. Kau harus!" Jantung Ophelia serasa ingin pecah. Nafasnya sesak, pandangannya berkunang. Tubuhnya seperti dikunci oleh ratusan pasang mata yang menuntutnya untuk tunduk. Pintu berderit terbuka. Seorang pria berjas hitam, utusan keluarga Orlov, masuk dengan langkah berat. Tatapannya lurus, dingin, tanpa belas kasihan. "Tuan Orlov menunggu. Pengantin harus segera dibawa ke altar." Ophelia merasakan dunia berhenti. Semua orang menatapnya, menuntutnya berjalan. Tangannya gemetar ketika dua pelayan keluarga Addison mendekat, mencoba menuntunnya. Namun Ophelia memberontak. "Tidak! Aku—" Satu tamparan keras dari ayahnya mendarat di pipinya. Ophelia terhuyung, tubuhnya hampir jatuh jika tidak ditahan oleh pelayan keluarga. Suasana ruang keluarga Addison membeku, hanya terdengar isak lirih sang ibu yang semakin lemah di kursinya. Jonathan mendekat, wajahnya merah padam, urat-urat lehernya menonjol. "Diam, Ophelia! Kau pikir kehormatan keluarga ini bisa kau injak sesuka hati? Jika kau menolak, maka bukan hanya kau… seluruh keluarga ini akan hancur! Itu yang kau mau?!" Ophelia menyentuh pipinya yang panas dan sakit, akibat tamparan dari ayahnya itu. Ophelia menggigit bibirnya sampai darah terasa di lidahnya. Air matanya menetes, namun masih dapat ia sembunyikan, tubuhnya gemetar. Ia ingin berteriak, ingin lari, ingin kabur sejauh mungkin dari neraka ini. Namun kedua lengannya digenggam kuat oleh pelayan, membuatnya seolah tak berdaya. Pintu kembali berderit terbuka. Suara langkah yang berat dan berwibawa terdengar. Semua orang refleks menunduk, ruangan terasa diselimuti udara dingin. Edward melangkah masuk dengan pasti. Mantel hitam panjangnya berkibar ringan saat ia berjalan. Wajahnya tanpa emosi, matanya tajam menusuk seperti singa yang baru saja memilih mangsanya. Sepatu hitam miliknya ikut mengetuk di atas lantai marmer itu, membuat orang-orang akan menyadari kedatangannya di ruangan itu. Ia menghentikan langkahnya tepat di depan Ophelia. "Lepaskan dia." suaranya rendah, tapi otoritasnya tak terbantahkan. Dua pelayan Addison langsung melepaskan cengkeraman mereka, mundur dengan kepala menunduk dalam. Ophelia mendongak, napasnya terengah. Pandangan matanya bertemu dengan sorot Edward. Tatapan itu dingin, penuh kuasa, dan sama sekali tidak memberi celah untuk menawar. "Ja… jangan… jangan lakukan ini…" suaranya lirih, hampir tak terdengar. Edward tidak menjawab. Ia hanya mengulurkan tangannya, meraih dagu Ophelia, memaksa wajah perempuan itu menengadah. "Kau pikir kau bisa memilih jalanmu sendiri? Tidak, Ophelia. Malam ini kau adalah pengantinku." Ophelia menggeleng cepat. Sungguh. "Tidak! Aku bukan—" Kata-katanya terhenti saat Edward menunduk sedikit, suaranya berbisik tapi cukup keras untuk membuat semua yang hadir merasakan ancaman dinginnya. "Jika kau menolak… keluarga Addison akan hancur saat ini juga. Kau tahu saya bisa melakukannya." Ophelia merasa darahnya mengalir membeku. Kata-kata Edward bukan sekadar ancaman kosong. Ia tahu, pria di depannya ini memiliki kuasa yang bisa meluluhlantakkan segalanya hanya dengan satu perintah. Tangannya bergetar hebat, tubuhnya lunglai, matanya berkaca-kaca. Ia ingin menjerit, tapi lidahnya kelu. Edward berbalik, suaranya tegas dan lantang, seolah memberi komando perang. "Persiapkan altar." ·–·–·–·–·–· to be continue...Ophelia terbangun lagi. Ini sudah yang kesekian kalinya, ia duduk dan menunggu Edward pulang. Namun pria itu tak kunjung sampai. Namun, kekhawatirannya buyar, saat mendapati coat basah milik Edward yang berada di atas sofa. Ophelia langsung bangun dan turun dari ranjang, tanpa menggunakan alas kaki. Ia sudah melihat beritanya. Berita yang menuduhnya sebagai orang ketiga dalam pernikahan kakaknya sendiri. Walaupun itu semua terjadi karena ulah kakaknya sendiri. “Karena berita ini, saham perusahaan Tuan turun 30℅.”Ophelia mengingat, bagaimana Noah datang kemari, dan mengatakan semuanya. Juga menunjukkan video kakaknya, dan berita itu yang sudah tersebar di seluruh media internasional dunia. Ophelia berdiri di tengah ruang tamu, tubuhnya masih berbalut gaun tidur satin berwarna abu muda, rambutnya terurai berantakan. Di luar, hujan mengguyur kota, menempelkan bayangan lampu jalan ke kaca jendela seperti garis air mata yang tak berhenti mengalir.Coat Edward yang basah menggantung di
Edward menatap iPadnya dengan datar, tapi sorot matanya bukan lagi ketenangan dingin seperti biasanya—melainkan badai yang nyaris tidak bisa dikendalikan. Layar iPad itu menampilkan siaran langsung dari stasiun berita internasional: wajah Alura, tersenyum anggun, duduk di depan kamera dengan gaun hitam elegan dan tatapan yang tenang, seolah dunia ada di bawah kendalinya.“Aku hanya ingin membuka mata publik,”suara Alura terdengar jelas, setiap katanya diatur dengan ketepatan seorang manipulator yang terlatih.Edward menekan jeda. Ujung jarinya mengetuk layar pelan, sekali… dua kali… lalu ia meletakkan iPad itu di atas meja. “Saya sudah memperingatkanmu, Alura,” gumamnya rendah. “Tapi kamu tidak tahu batas.”Edward berdiri perlahan dari kursinya. Gerakannya tenang, tapi udara di sekelilingnya seperti menegang bersamaan—seakan dinding ruang kerjanya tahu amarah macam apa yang sedang tumbuh di dalam dirinya. Ia berjalan menuju jendela besar yang menghadap ke pusat kota. Langit sore suda
Mobil Edward masuk ke arah gedung yang menjulang tinggi di tengah kota. Ophelia yang sedari tadi duduk di sampingnya, belum mengatakan apapun.Ophelia yang duduk di sana, menatap gedung pencakar langit itu dengan malas. Terjebak macet selama satu jam, membuatnya sungguh bosan. Sesekali ia menutup mata dan meringis pelan, perutnya seperti di aduk dari dalam, kram di seluruh pinggangnya.Edward membuka pintu mobil, namun yang ia lihat, adalah Ophelia yang sepertinya menahan sesuatu. Edward memperhatikan perubahan kecil itu, wajah Ophelia yang sedikit memucat, keringat tipis di keningnya, dan cara jemarinya menggenggam rok dengan begitu kuat. Ekspresinya langsung berubah, dari tegas menjadi waspada. “Ophelia.” Suaranya rendah tapi dalam, nyaris seperti peringatan. “Apa yang terjadi?”Ophelia menggeleng pelan. “Tidak apa-apa.”Namun nada suaranya terdengar rapuh, seperti benang yang siap putus kapan saja. Ia mencoba membuka sabuk pengamannya, tapi gerakannya terhenti ketika rasa nyeri taj
Lara menatap Ophelia yang terpaku di tangga perpustakaan. Orang yang mereka berdua bicarakan, sedang berdiri di lantai bawah perpustakaan, dan mengobrol bersama profesor mereka.“Ini seperti karmamu, Lia.” Lara mendekat pada Ophelia.“Memangnya siapa yang tahu bahwa dia akan muncul begitu saja?” Ophelia memutar matanya malas.“Dia datang menjemputmu pastinya.”Nada Lara terdengar setengah menggoda, setengah menahan tawa.Ophelia mengerutkan kening. “Menjemputku?” suaranya merendah, hampir tak percaya. “Jangan bercanda, Lar. Dia bahkan tidak bertemu denganku dua minggu.”Namun matanya, tanpa bisa ia kendalikan, tetap tertuju pada sosok pria tinggi berjas hitam di bawah sana—Edward. Ia berdiri dengan posisi sedikit condong, berbicara santai dengan profesor mereka, sementara satu tangannya diselipkan ke saku celana. Sikapnya tampak santai, tapi ada sesuatu dalam caranya menatap sekeliling… tajam, mengamati, seolah setiap detail ruangan tidak luput dari perhatiannya.“Haruskah kita kembal
“Edward…” ia berusaha tertawa kecil, menurunkan pandangannya. “Kamu terlalu berlebihan.”“Terlalu jujur,” potong Edward pelan, langkahnya maju satu lagi hingga jarak mereka kembali lenyap. Jemarinya terangkat, menyentuh dagu Ophelia dengan lembut, memaksanya menatap kembali. “Tahu tidak?” lanjutnya dengan suara rendah yang nyaris seperti bisikan di telinga, “Sudah lama sekali saya tidak menerima hadiah apa pun… dan malam ini, kamu memberikannya dengan cara yang membuat saya tidak tahu apakah saya harus berterima kasih… atau takut kehilanganmu setelah ini.”Hati Ophelia seolah berhenti berdetak. Tatapan Edward begitu dekat hingga napas mereka bertemu di udara yang kini terasa panas, padahal ruangan itu dingin.“Kamu bicara seperti aku akan pergi,” ujar Ophelia lirih.Edward menatapnya lama — matanya gelap, ada sesuatu yang berat berputar di sana, sesuatu yang tak pernah ia biarkan siapa pun lihat sebelumnya. “Mungkin… hanya ingin memastikan kamu tahu,” katanya, suaranya nyaris bergetar
Ophelia membuka pintu kulkas dengan hati yang masih berdetak tak karuan. Cahaya dingin dari dalam kulkas menerangi wajahnya yang lembut, membuat pipinya tampak berpendar samar di bawah cahaya lilin yang menari di meja ruang tengah. Di dalam sana, tersimpan kue kecil dengan lapisan krim putih dan hiasan sederhana dari buah stroberi—kue yang semestinya ia berikan besok pagi, tapi kini... malam ini, rasanya segalanya terlalu tepat untuk menunggu.Tangannya sedikit gemetar saat ia mengambil piring berputih porselen itu. Empat lilin kecil berwarna biru muda sudah tertancap di atasnya, persis seperti rencana awalnya. Ia menyalakan satu per satu dengan korek, dan cahaya kecil itu menari di udara—lemah tapi hangat, seperti harapan kecil di antara badai yang belum ia ketahui datang. Ketika keempat lilin menyala, Ophelia tersenyum, lalu menatap bayangannya sendiri di permukaan logam kulkas yang mengkilap.“Mari kita berikan kenangan indah untuknya.” bisiknya, sambil menatap kue sederhana di ked







