Mag-log inBegitulah semuanya terjadi. Dante dan asisten pribadi Edward, langsung membungkam seluruh media yang hadir, juga memulangkan semua tamu undangan yang jumlahnya hampir memenuhi aula itu. Pernikahan ini, akan menjadi pernikahan tertutup yang penuh misteri, yang tidak akan bisa di ketahui oleh dunia luar. Lampu-lampu gantung kristal yang berkilau dingin kini hanya menyinari wajah-wajah yang tersisa: keluarga inti, pasukan bersenjata yang menjaga setiap pintu, dan saksi sah yang sudah dikontrol sepenuhnya.
"Buang semua rekaman. Tidak boleh ada satu pun gambar yang keluar dari aula ini," ucap Edward dengan nada berat. Matanya menyapu ruangan, yang sekarang sudah sepi, yang tersisa adalah keluarga Addison dan keluarga Orlov. Tatapan pria itu, berhenti tepat di depan perempuan yang sekarang berdiri di depannya ini, dengan mengenakan gaun putih sederhana yang panjang, dengan buket bunga yang ada di tangannya. Edward berjalan mendekat perlahan, langkah-langkahnya terdengar jelas di lantai marmer aula yang kini hening. Suara sepatu kulitnya bergema, membuat atmosfer semakin menyesakkan. Semua orang menunduk, menahan napas, menyadari bahwa momen ini bukan lagi sekadar pernikahan—melainkan sebuah pengikat takdir yang dipaksakan. "Tiga bulan." ucap Edward. "Saya beri waktu tiga bulan untuk keluarga Addison, menemukan pengantin wanita yang kabur. Jika dalam waktu itu, kalian tidak berhasil menemukannya atau membawanya kembali, maka perempuan yang ada di depan saya ini, akan menjadi istri saya sepenuhnya." suaranya rendah, namun setiap kata menusuk ruang yang membeku. Jonathan langsung terkejut mendengar ultimatum itu. Wajahnya pucat, keringat dingin mengalir di pelipisnya. "Tiga… tiga bulan…?" suaranya bergetar, setengah tak percaya dengan keputusan sepihak Edward. Edward menoleh, menatap lurus ke arah Jonathan dengan tatapan tajam penuh dominasi. "Ya. Tiga bulan. Itu bukan permintaan, tuan Addison. Itu perintah. Jika dalam tiga bulan putri sulungmu tidak kembali ke altar… maka adiknya ini—" jemari Edward terulur, menyentuh dagu Ophelia yang gemetar ketakutan, membuat semua orang menahan napas— "…akan resmi menjadi milik saya. Sepenuhnya." "Hmph," Dante menyeringai dari ujung ruangan, menyilangkan tangan. "Keluarga Addison benar-benar dalam posisi yang buruk sekarang. Satu putri kabur, yang satu lagi… dipaksa masuk ke kandang singa." Leonid Orlov, yang sejak tadi hanya duduk dengan tenang sambil menggenggam tongkat peraknya, akhirnya membuka suara. Suaranya dalam, berwibawa, namun ada nada dingin yang membuat ruangan makin membeku. "Keputusan Edward sudah final. Keluarga Addison, kalian harus mematuhinya. Jika dalam tiga bulan tak ada hasil… anggap saja putri bungsumu memang ditakdirkan menjadi pengantin putraku." Edward mendekat lebih jauh, berdiri tepat di depan Ophelia. Matanya menelusuri wajah pucat gadis itu, senyum tipis tersungging di bibirnya. "Tiga bulan bukanlah waktu yang lama, Ophelia. Jadi nikmatilah kebebasan kecilmu itu… selama masih bisa." Ophelia terhenyak, tubuhnya kaku seperti patung. Kata-kata Edward barusan menancap dalam ke jantungnya, seperti belati beracun yang perlahan meracuni setiap denyut nadinya. Buket bunga di tangannya nyaris terlepas, namun ia menggenggamnya erat, seolah itu satu-satunya pegangan yang membuatnya tidak runtuh di hadapan pria itu. Ibu Ophelia tersedu pelan, menutup mulutnya dengan sapu tangan renda, menahan tangis agar tidak meledak. Namun air matanya jatuh juga, membasahi pipi. Jonathan menunduk dalam-dalam, rahangnya terkunci, genggaman tangannya begitu keras hingga buku-bukunya memutih. Ia tahu… keluarganya sudah masuk ke dalam perangkap yang tak bisa lagi mereka hindari. Edward menarik kembali tangannya, melangkah mundur dengan tenang. Tatapannya singkat, dingin, tapi penuh kepastian. "Tiga bulan. Ingat baik-baik, Tuan Addison. Saya bukan pria yang sabar." Ketegangan itu seakan meremas seluruh udara dalam aula. Semua orang diam, tidak ada yang berani bergerak ataupun bernapas keras-keras. Lalu, dengan gerakan sederhana, Edward mengangkat tangannya memberi tanda. Pasukan bersenjata segera bergerak, mengawal keluarga Addison keluar dari ruangan. Sementara itu, Ophelia masih berdiri terpaku di tempat, hingga seorang pelayan keluarga Addison menuntunnya dengan lembut namun tergesa. Sebelum pintu besar aula tertutup, ia menoleh sekali lagi. Tatapannya bertemu dengan mata Edward— mata tajam itu menelanjangi seluruh ketakutannya, dan senyum tipis pria itu seolah berkata: kau tidak akan pernah bisa lari. Thak! Pintu aula tertutup rapat. Aula kembali hening setelah keluarga Addison dipaksa keluar. Hanya tersisa Edward, Dante, Leonid, dan beberapa orang kepercayaan yang berdiri tegak seperti patung. Kristal-kristal lampu gantung memantulkan cahaya yang dingin, menyinari wajah Edward yang kini meneguk wiski dari gelas kristalnya. Dante, dengan seringai setengah mengejek, berjalan mendekat. "Kau benar-benar percaya keluarga Addison akan menemukan si sulung itu dalam tiga bulan? Menurutku… wanita itu sudah lama lenyap. Atau mungkin sengaja menghilang." Edward menoleh sekilas, sorot matanya tajam. "Mereka tidak punya pilihan selain mencari. Dan saat mereka sibuk dengan pencarian itu…" senyumnya menyeringai, "…aku sudah menyiapkan sesuatu untuk pengantinku." Edward meletakkan gelasnya dengan bunyi cling pelan. Ia meraih sebuah map hitam dari atas meja marmer panjang di sampingnya, lalu melemparkannya ke arah Dante. Map itu terbuka, memperlihatkan lembaran-lembaran dokumen hukum dengan stempel resmi. "Kontrak pernikahan," ucap Edward dingin. "Mulai malam ini, Ophelia berada dalam pengawasan penuh saya. Setiap langkahnya, setiap nafasnya, harus terikat dengan tanda tangan keluarga Addison. Mereka tidak hanya kehilangan satu putri, tapi juga kebebasan putri bungsu mereka." Dante terkekeh, membolak-balik halaman itu. "Jadi, meskipun si sulung kembali, pengantinmu sudah lebih dulu terjerat. Edward. Kau memaksa mereka memilih… dan apapun pilihan mereka, Orlov tetap diuntungkan." Dante menyerahkan kembali map itu pada sepupunya. Edward hanya menyalakan rokoknya, kepulan asap putih melayang ke udara, menambah aura gelap di sekitarnya. "Mereka pikir saya hanya menginginkan pengantin? Tidak. Saya menginginkan kendali. Dan kontrak ini—" jemarinya mengetuk map itu, "…adalah rantai emas yang akan mengikat putri bungsu Addison." Leonid tersenyum tipis, bangga namun penuh perhitungan. "Begitulah seharusnya seorang Orlov. Ingat, Edward… darah kita tidak pernah menunggu takdir. Kita menciptakan takdir." ·–·–·–·–·–· Ophelia duduk dengan tenang di atas sofa kamar pribadi di hotel itu, sambil memejamkan matanya. Sekarang, ada satu tanggungjawab besar yang ia pikul di kedua bahunya. Meskipun tiga bulan adalah waktu yang singkat, namun bagi Ophelia yang melewatinya setelah ini, akan berpikir bahwa tiga bulan itu, adalah waktu yang sangat lama. Kedua tangan Ophelia yang tertumpu di atas kedua gaunnya, cekalan tangan pada gaunnya, membuktikan seberapa gelisah dirinya berada di situasi yang sama sekali tidak pernah ia bayangkan. Ophelia kembali membuka matanya, ia perlahan menolehkan kepalanya ke arah jendela kamar itu, yang menyajikan pemandangan malam Boston yang indah. Gedung-gedung pencakar langit yang berdiri tinggi di sekitar tempat di mana ia berada, lampu-lampu jalan yang terang, juga menunjukkan bahwa Boston tidak pernah tidur walaupun di malam hari. Ophelia menatap pemandangan kota itu lama sekali, seolah mencari sedikit kebebasan di antara gemerlap lampu Boston. Namun yang ia rasakan hanyalah rasa sesak— karena ia tahu, semua cahaya di luar sana, tidak satu pun bisa menyentuhnya. Ia berada dalam kurungan tak terlihat yang lebih kuat daripada tembok besi mana pun. Tiba-tiba, pintu kamarnya terbuka. Ophelia sontak terlonjak, tubuhnya menegang. Suara itu bukan sekadar tamparan ringan, tapi ketukan yang mantap— seperti milik seseorang yang tahu dirinya berhak masuk kapan saja. Dan benar saja… orang yang berada di pikirannya tengah melangkah ke arahnya, setelah menutup pintu kamar itu. Edward masuk dengan langkah tenang. Jas hitamnya kini dilepas, hanya menyisakan kemeja putih yang kancing atasnya terbuka, membuatnya tampak santai sekaligus berbahaya. Sepasang mata tajamnya segera tertuju pada Ophelia. "Menikmati pemandangan?" tanyanya, suaranya dalam, namun terasa lebih seperti perintah daripada pertanyaan. Ophelia menelan ludah, berusaha mengatur napas. "Boston… terlihat indah di malam hari." Edward melangkah lebih dekat, hingga bayangannya menutupi cahaya lampu dari jendela. "Indah, ya. Tapi percayalah, keindahan itu bisa menipu. Sama seperti kebebasan. Kau mungkin melihatnya, merasakannya sejenak… tapi tidak akan pernah benar-benar memilikinya." Edward dengan tenang duduk di sofa tepat di depan Ophelia, hanya sebuah meja bulat kaca yang memisahkan mereka berdua. Ophelia terdiam, dadanya naik-turun cepat. Kata-kata pria itu menusuknya, membuatnya semakin sadar: ia bukan hanya pengantin pengganti— ia adalah pion dalam permainan besar pria di depannya ini. Edward meletakkan map hitam di meja kaca yang ada di depan mereka berdua. Sama seperti map yang tadi ditunjukkannya kepada Dante. "Ini kontrak kita. Baca baik-baik. Mulai malam ini, hidupmu bukan lagi milikmu. Semua sudah tertulis di situ." Ophelia menatap map hitam itu lama sekali, jantungnya berdetak kencang seperti hendak meledak. Ia bahkan tidak berani menyentuhnya. Kertas-kertas di dalam sana, ia tahu, bukan sekadar dokumen. Itu adalah belenggu, rantai tak kasatmata yang siap menjeratnya tanpa ampun. "Aku tidak… aku tidak mau menandatangani dokumen itu," ucap Ophelia akhirnya, suaranya gemetar, tapi matanya berusaha menatap Edward dengan keberanian yang rapuh. Edward mengangkat alis, sedikit miringkan kepala, lalu terkekeh pelan—tawa yang sama sekali tidak terdengar ringan. "Kau pikir ini negosiasi, hm?" Ia mencondongkan tubuh ke depan, kedua sikunya bertumpu di pahanya, membuat jarak mereka semakin dekat. "Ophelia Addison… saya tidak menawarkan pilihan. Saya memberi tahu nasibmu." Ophelia mundur sedikit, punggungnya menempel pada sofa. "Kalau begitu, kenapa memberiku map itu? Kenapa tidak langsung memaksaku tanda tangan?" Edward terdiam sesaat, lalu senyum tipis muncul di wajahnya. "Karena saya ingin melihatmu berjuang. Saya ingin melihat bagaimana kau menggenggam kebebasan kecilmu… sebelum saya merenggutnya satu per satu." Kata-katanya bagai pisau dingin yang menusuk jantung Ophelia. Air matanya menggenang, tapi ia buru-buru mengedip, menolak memperlihatkan kelemahannya di depan pria itu. Edward bersandar santai di sofa, menyulut sebatang rokok, asap putih perlahan memenuhi udara di antara mereka. "Dalam tiga bulan, keluarga Addison mungkin sibuk mencari kakakmu yang kabur. Tapi kau, Ophelia…" tatapannya tajam menusuk, "kau ada di sini. Bersamaku. Dan percayalah—tiga bulan adalah waktu yang cukup untuk mengubah segalanya." Percayalah, jika pria di depannya ini bukanlah Edward Orlov, maka Ophelia pasti sudah menampar mulut pria itu. "Maksud anda... nasib keluargaku, di tentukan dari kontrak ini?" Ophelia menatap Edward, hampir tidak percaya. Edward menoleh, matanya menyipit, lalu ia tertawa kecil. Bukan tawa bahagia— tawa seorang pria yang tahu, pada akhirnya, permainannya akan dimenangkan olehnya. Ia berdiri perlahan, menjulang di depan Ophelia. Tangannya terulur, dengan ringan menyentuh dagu perempuan itu, mengangkat wajahnya agar menatapnya langsung. "Jangan terlalu tegang, Moya Nevesta." bisiknya, dingin namun intim. "Saya selalu mendapatkan apa yang saya inginkan. Dan Saya menginginkanmu." Ophelia terdiam, jantungnya berdetak kacau. Tubuhnya gemetar, tapi tatapannya tetap terkunci pada mata kelam Edward. Ada rasa takut… tapi juga sesuatu yang lain. Sesuatu yang membuatnya semakin bingung pada dirinya sendiri. Edward tersenyum miring, lalu menurunkan tangannya perlahan. Ia melangkah menuju pintu, namun sebelum keluar, ia sempat menoleh sekali lagi. "Baca kontraknya, Moya Nevesta. Kau akan menandatanganinya cepat atau lambat. Bukan karena saya memaksamu… tapi karena kau tidak punya pilihan lain." Pintu menutup. Ruangan kembali sunyi, hanya terdengar detak jantung Ophelia yang berpacu kencang. Ia menatap map hitam di meja, air mata akhirnya jatuh membasahi pipinya. Dengan tangan gemetar, ia menyentuh map itu— seolah menyentuh ular berbisa yang siap mematuk kapan saja. ·–·–·–·–·–· to be continue...Ophelia terbangun lagi. Ini sudah yang kesekian kalinya, ia duduk dan menunggu Edward pulang. Namun pria itu tak kunjung sampai. Namun, kekhawatirannya buyar, saat mendapati coat basah milik Edward yang berada di atas sofa. Ophelia langsung bangun dan turun dari ranjang, tanpa menggunakan alas kaki. Ia sudah melihat beritanya. Berita yang menuduhnya sebagai orang ketiga dalam pernikahan kakaknya sendiri. Walaupun itu semua terjadi karena ulah kakaknya sendiri. “Karena berita ini, saham perusahaan Tuan turun 30℅.”Ophelia mengingat, bagaimana Noah datang kemari, dan mengatakan semuanya. Juga menunjukkan video kakaknya, dan berita itu yang sudah tersebar di seluruh media internasional dunia. Ophelia berdiri di tengah ruang tamu, tubuhnya masih berbalut gaun tidur satin berwarna abu muda, rambutnya terurai berantakan. Di luar, hujan mengguyur kota, menempelkan bayangan lampu jalan ke kaca jendela seperti garis air mata yang tak berhenti mengalir.Coat Edward yang basah menggantung di
Edward menatap iPadnya dengan datar, tapi sorot matanya bukan lagi ketenangan dingin seperti biasanya—melainkan badai yang nyaris tidak bisa dikendalikan. Layar iPad itu menampilkan siaran langsung dari stasiun berita internasional: wajah Alura, tersenyum anggun, duduk di depan kamera dengan gaun hitam elegan dan tatapan yang tenang, seolah dunia ada di bawah kendalinya.“Aku hanya ingin membuka mata publik,”suara Alura terdengar jelas, setiap katanya diatur dengan ketepatan seorang manipulator yang terlatih.Edward menekan jeda. Ujung jarinya mengetuk layar pelan, sekali… dua kali… lalu ia meletakkan iPad itu di atas meja. “Saya sudah memperingatkanmu, Alura,” gumamnya rendah. “Tapi kamu tidak tahu batas.”Edward berdiri perlahan dari kursinya. Gerakannya tenang, tapi udara di sekelilingnya seperti menegang bersamaan—seakan dinding ruang kerjanya tahu amarah macam apa yang sedang tumbuh di dalam dirinya. Ia berjalan menuju jendela besar yang menghadap ke pusat kota. Langit sore suda
Mobil Edward masuk ke arah gedung yang menjulang tinggi di tengah kota. Ophelia yang sedari tadi duduk di sampingnya, belum mengatakan apapun.Ophelia yang duduk di sana, menatap gedung pencakar langit itu dengan malas. Terjebak macet selama satu jam, membuatnya sungguh bosan. Sesekali ia menutup mata dan meringis pelan, perutnya seperti di aduk dari dalam, kram di seluruh pinggangnya.Edward membuka pintu mobil, namun yang ia lihat, adalah Ophelia yang sepertinya menahan sesuatu. Edward memperhatikan perubahan kecil itu, wajah Ophelia yang sedikit memucat, keringat tipis di keningnya, dan cara jemarinya menggenggam rok dengan begitu kuat. Ekspresinya langsung berubah, dari tegas menjadi waspada. “Ophelia.” Suaranya rendah tapi dalam, nyaris seperti peringatan. “Apa yang terjadi?”Ophelia menggeleng pelan. “Tidak apa-apa.”Namun nada suaranya terdengar rapuh, seperti benang yang siap putus kapan saja. Ia mencoba membuka sabuk pengamannya, tapi gerakannya terhenti ketika rasa nyeri taj
Lara menatap Ophelia yang terpaku di tangga perpustakaan. Orang yang mereka berdua bicarakan, sedang berdiri di lantai bawah perpustakaan, dan mengobrol bersama profesor mereka.“Ini seperti karmamu, Lia.” Lara mendekat pada Ophelia.“Memangnya siapa yang tahu bahwa dia akan muncul begitu saja?” Ophelia memutar matanya malas.“Dia datang menjemputmu pastinya.”Nada Lara terdengar setengah menggoda, setengah menahan tawa.Ophelia mengerutkan kening. “Menjemputku?” suaranya merendah, hampir tak percaya. “Jangan bercanda, Lar. Dia bahkan tidak bertemu denganku dua minggu.”Namun matanya, tanpa bisa ia kendalikan, tetap tertuju pada sosok pria tinggi berjas hitam di bawah sana—Edward. Ia berdiri dengan posisi sedikit condong, berbicara santai dengan profesor mereka, sementara satu tangannya diselipkan ke saku celana. Sikapnya tampak santai, tapi ada sesuatu dalam caranya menatap sekeliling… tajam, mengamati, seolah setiap detail ruangan tidak luput dari perhatiannya.“Haruskah kita kembal
“Edward…” ia berusaha tertawa kecil, menurunkan pandangannya. “Kamu terlalu berlebihan.”“Terlalu jujur,” potong Edward pelan, langkahnya maju satu lagi hingga jarak mereka kembali lenyap. Jemarinya terangkat, menyentuh dagu Ophelia dengan lembut, memaksanya menatap kembali. “Tahu tidak?” lanjutnya dengan suara rendah yang nyaris seperti bisikan di telinga, “Sudah lama sekali saya tidak menerima hadiah apa pun… dan malam ini, kamu memberikannya dengan cara yang membuat saya tidak tahu apakah saya harus berterima kasih… atau takut kehilanganmu setelah ini.”Hati Ophelia seolah berhenti berdetak. Tatapan Edward begitu dekat hingga napas mereka bertemu di udara yang kini terasa panas, padahal ruangan itu dingin.“Kamu bicara seperti aku akan pergi,” ujar Ophelia lirih.Edward menatapnya lama — matanya gelap, ada sesuatu yang berat berputar di sana, sesuatu yang tak pernah ia biarkan siapa pun lihat sebelumnya. “Mungkin… hanya ingin memastikan kamu tahu,” katanya, suaranya nyaris bergetar
Ophelia membuka pintu kulkas dengan hati yang masih berdetak tak karuan. Cahaya dingin dari dalam kulkas menerangi wajahnya yang lembut, membuat pipinya tampak berpendar samar di bawah cahaya lilin yang menari di meja ruang tengah. Di dalam sana, tersimpan kue kecil dengan lapisan krim putih dan hiasan sederhana dari buah stroberi—kue yang semestinya ia berikan besok pagi, tapi kini... malam ini, rasanya segalanya terlalu tepat untuk menunggu.Tangannya sedikit gemetar saat ia mengambil piring berputih porselen itu. Empat lilin kecil berwarna biru muda sudah tertancap di atasnya, persis seperti rencana awalnya. Ia menyalakan satu per satu dengan korek, dan cahaya kecil itu menari di udara—lemah tapi hangat, seperti harapan kecil di antara badai yang belum ia ketahui datang. Ketika keempat lilin menyala, Ophelia tersenyum, lalu menatap bayangannya sendiri di permukaan logam kulkas yang mengkilap.“Mari kita berikan kenangan indah untuknya.” bisiknya, sambil menatap kue sederhana di ked







