Ophelia melupakan yang satu ini. Apakah mereka berdua harus tidur satu ranjang? Ia fokus pada laptopnya, namun pikirannya tertuju pada bagaimana mereka berdua akan berbagi ranjang yang sama malam ini, Ophelia menatap layar laptopnya, namun huruf-huruf di depannya berloncatan seperti tarian aneh yang sama sekali tak bisa ia pahami. Jantungnya berdebar lebih cepat daripada biasanya, dan bukan karena tenggat tugas kuliah. Pikirannya terjebak pada satu hal, atau lebih tepatnya, satu tempat. Ranjang.
"Tidak mungkin…" bisiknya pelan, tangan meremas rok yang ia kenakan. "Apa… apa dia benar-benar akan tidur di ranjang yang sama denganku?" Ophelia menutup laptopnya dengan suara klik yang terdengar terlalu keras di tengah kamar yang sunyi. Ia menahan napas, seolah suara itu bisa membangunkan sesuatu yang lebih berbahaya dari sekadar rasa kantuk. Pintu kamar terbuka sedikit, lalu terdengar langkah kaki mendekat. Ophelia refleks menarik selimutnya, seakan itu bisa menjadi benteng terakhir untuk melindungi dirinya dari kenyataan. "Sudah selesai?" suara itu terdengar datar tapi dalam, membuat bulu kuduknya meremang. Ia tak berani menoleh. "Sudah." Ophelia menjawab pelan. Ia bisa mendengar desahan napasnya semakin dekat. Kasur bergoyang pelan saat tubuh Edward duduk di sisi ranjang yang lain. Ranjang terasa mengecil, udara menipis, dan ruang untuk berpikir hilang begitu saja. Ophelia menelan ludah. Ketegangan kian terasa saat tangan itu bergerak ke arah bantal, hanya beberapa sentimeter dari tempatnya. "Saya hampir lupa, jika kita akan berbagi ranjang bersama." suara Edward kembali terdengar. Ophelia langsung menegang. Ucapan itu terdengar begitu biasa di bibir Edward, seakan mereka hanyalah pasangan normal yang memang sudah seharusnya tidur bersama. Padahal bagi Ophelia, hanya mendengar kalimat itu saja sudah cukup untuk membuat detak jantungnya melonjak tak karuan. Ia membalikkan tubuhnya, membelakangi Edward dengan cepat, selimut ditarik sampai menutupi setengah wajahnya. "Aku… aku bisa tidur di sofa," gumamnya tergesa, hampir tak terdengar. Edward terkekeh pelan, tawa yang lebih menyerupai ejekan daripada hiburan. "Di sofa?" Kata-katanya seperti rantai dingin yang melilit pergelangan kaki Ophelia, menyeretnya kembali ke kenyataan bahwa ia tidak pernah benar-benar bebas. Kasur kembali bergoyang saat Edward merebahkan tubuhnya. Kini jarak mereka hanya sehelai bantal. Ophelia bisa merasakan kehangatan tubuhnya merembes melalui udara, juga aroma samar tembakau dan parfum mahal yang menempel di kulitnya. "Tenang saja, Amor," suaranya terdengar rendah, hampir berbisik di telinga Ophelia. "Saya tidak berniat menyentuhmu… kecuali kau yang memintanya." Ophelia memejamkan mata rapat-rapat, wajahnya memanas hebat. Tidak mungkin aku akan memintanya… pikirnya panik. Tapi semakin ia mencoba mengabaikan, semakin ia sadar betapa dekatnya pria itu. Jemari Edward tiba-tiba terulur, menarik selimut yang menutupi wajah Ophelia. Gerakannya pelan, tapi tak bisa dilawan. "Jangan sembunyikan dirimu. Kau akan terbiasa, cepat atau lambat." Mata Ophelia langsung terbuka, bertemu tatapan tajam itu dalam jarak yang terlalu dekat. Sejenak, waktu berhenti. ·–·–·–·–·–· Cahaya pagi menyelinap masuk melalui celah gorden, tipis tapi cukup untuk membuat Ophelia menggeliat pelan. Kelopak matanya terasa berat, tubuhnya masih diliputi kantuk—sampai ia menyadari sesuatu. Ada sesuatu yang hangat, kokoh, dan terlalu dekat menempel di tubuhnya. Ophelia langsung tersadar sepenuhnya. Matanya membelalak, napasnya tercekat ketika ia menunduk sedikit dan menemukan sebuah lengan yang melingkar erat di pinggang mungilnya. Lengan itu… besar, hangat, dan jelas bukan miliknya. Jantungnya berdegup kencang. Ia tak berani bergerak, bahkan sekadar bernapas terlalu keras. Perlahan, otaknya mencoba menyusun ulang potongan peristiwa semalam, Edward yang masuk, suara beratnya, kasur yang bergetar saat ia merebahkan diri, tatapan yang terlalu dekat… lalu… ia tak sadar kapan tepatnya ia terlelap. Tapi yang pasti, pagi ini ia terbangun dalam pelukan pria itu. Tubuhnya kaku, membelakangi Edward. Ia bisa merasakan dada bidang pria itu menempel di punggungnya, napas hangatnya berhembus di lehernya, membuat kulit Ophelia merinding tanpa bisa dicegah. "Aku harus keluar…" pikirnya panik. Jemarinya pelan-pelan mencoba menggeser lengan Edward dari pinggangnya. Namun, semakin ia berusaha, semakin kuat genggaman itu mengerat, seolah pria itu melakukannya dalam tidur. Ophelia menahan napasnya. "Astaga… dia… dia memelukku dalam tidurnya…" wajahnya terasa panas, telinganya ikut memerah. Ia ingin berteriak, tapi suaranya tak mau keluar. Tepat ketika ia hampir menyerah, sebuah suara rendah dan serak terdengar, begitu dekat hingga hampir membuat jantungnya berhenti. "Berisik sekali, Amor…" Mata Ophelia membesar. Edward… sudah bangun. "Jika anda sudah bangun... lepaskan aku..." ucap Ophelia panik. Edward tidak bergeming. Justru lengannya semakin mengerat, menarik tubuh mungil Ophelia makin menempel pada dadanya. "Lepaskan?" suaranya rendah, berat, dan entah kenapa terdengar lebih berbahaya saat baru bangun tidur. "Kau bilang seolah saya sedang menjebakmu, padahal saya hanya tidur." Ophelia berusaha menoleh, tapi malah makin terjebak dalam dekapan itu. Ia bisa merasakan dagu pria itu menyentuh puncak kepalanya, membuat wajahnya panas luar biasa. "Tidur?!" bisiknya dengan nada nyaris meledak. "Orang tidur tidak mungkin memeluk seerat ini!" Edward terkekeh pelan, napasnya berhembus di lehernya. "Lalu kau ingin saya bagaimana? Membiarkan istri saya menggelinjang gelisah sendirian sampai jatuh dari ranjang?" "Istri…" kata itu menusuk Ophelia lebih dalam daripada yang ia duga. Wajahnya memerah habis. "Jangan seenaknya memanggilku begitu…" Edward menundukkan wajahnya, cukup dekat hingga suara seraknya terasa langsung bergetar di telinga Ophelia. "Kau keberatan dipanggil begitu, atau keberatan karena kau menikmatinya?" Ophelia membeku. Napasnya kacau. Tubuhnya berusaha melawan, tapi otaknya mendadak kacau balau, tidak tahu harus marah atau menjerit. "Jika anda tidak segera melepaskan, aku… aku akan—" "Akan apa, hm?" Edward menyela, nada suaranya tenang tapi penuh tantangan. Jemarinya sedikit bergerak, menggeser di pinggang Ophelia, membuat gadis itu merinding seketika. "Teriak? Mengadu? Atau… tetap diam seperti ini, membiarkan saya memelukmu sampai siang?" Ophelia menutup wajahnya dengan kedua tangan, setengah ingin lenyap ditelan kasur. "Kenapa pagi-pagi harus seperti ini…" gumamnya putus asa. Ophelia masih menutup wajahnya dengan kedua tangan, berharap bumi segera membelah dan menelannya bulat-bulat. Namun dekapan Edward tetap tak terlepas, malah semakin erat, seakan pria itu sengaja menahan tubuhnya lebih lama. "Aku serius…" gumam Ophelia pelan, suaranya nyaris tenggelam di antara detak jantungnya yang memburu. Edward mengangkat alis, meski Ophelia tak melihat ekspresinya. "Serius apa? Bahwa kau ingin lepas, atau bahwa kau takut terlalu nyaman di sini?" tanyanya, nadanya setengah menggoda, setengah menguji. "Aku… aku tidak nyaman!" sergah Ophelia cepat, namun suaranya bergetar. Ia sendiri sadar betapa tidak yakinnya ia terdengar. Edward terkekeh, kali ini lebih dalam. Napasnya terasa di helai rambut Ophelia. "Kalau benar tidak nyaman, kenapa kau masih di sini? Kau bisa saja menendang saya sejak tadi." Ophelia membeku. Tentu saja ia tidak bisa. Bagaimana mungkin ia bisa menendang seorang pria seperti Edward? Pria itu terlalu dingin, terlalu berbahaya, dan terlalu… dekat. Sadar bahwa diamnya hanya membuat situasi semakin tak terkendali, Ophelia buru-buru menggeliat, mencoba melepaskan diri. "Aku… aku harus mandi! Kuliah! Aku bisa terlambat jika begini!" katanya tergesa, meski ia tahu jam masih terlalu pagi. Edward akhirnya mengendurkan pelukannya, tapi bukannya melepaskan, jemarinya justru menahan dagu Ophelia, memaksa gadis itu menoleh sedikit ke arahnya. Tatapan mereka bertemu. Mata biru yang dingin seperti es itu menatapnya dengan intensitas yang membuat Ophelia nyaris lupa bernapas. "Tidak perlu berbohong," ujar Edward pelan, tapi setiap katanya menusuk. "Kau gugup… karena saya." Wajah Ophelia memerah seketika. Ia buru-buru menepis tangan Edward. Edward tersenyum tipis— senyum samar yang lebih berbahaya daripada ekspresi dinginnya. Ia bangkit dari ranjang, tubuh jangkungnya menjulang, sementara Ophelia masih meringkuk di bawah selimut. Edward berdiri tegak di sisi ranjang, membetulkan lipatan kemejanya dengan tenang seolah momen barusan tidak pernah terjadi. Namun tatapan mata birunya masih menusuk, membuat Ophelia makin tak bisa menguasai diri. "Bangunlah," ucapnya singkat, nada suaranya datar tapi penuh perintah. "Kau butuh waktu lama untuk bersiap, bukan? Jangan buat saya menunggu." Ophelia menatapnya dari balik selimut, wajahnya masih merah padam. "Apa maksud anda?" Edward menghentikan gerakannya, lalu menoleh. Sekilas, senyum samar kembali muncul di bibirnya. "Kau pikir saya akan membiarkan istri saya pergi ke kampus sendirian? Amor, kau terlalu naif." Kata istri itu lagi. Ophelia buru-buru duduk, memelototinya. "Berhenti memanggilku seperti itu!" serunya spontan, meski suaranya justru terdengar lebih panik daripada marah. Edward mendekat, langkah kakinya terdengar berat di lantai kayu. Ia menunduk sedikit, hingga wajah mereka hanya terpisahkan jarak beberapa sentimeter. "Kalau begitu, bagaimana saya harus memanggilmu?" bisiknya lembut tapi berbahaya. "Ophelia? Atau… sayang?" Ophelia refleks mundur, tangannya meremas selimut. "Ja… jangan seenaknya!" Edward mengangkat tangan, ujung jarinya nyaris menyentuh dagu gadis itu, tapi ia menahan diri, sekadar membuat Ophelia semakin tegang. "Kalau begitu, buktikan. Cepat bersiap. Saya ingin melihat apakah kau benar-benar bisa berdiri di samping saya tanpa gemetar seperti sekarang." Ophelia tercekat. Ia tahu pria itu sengaja menguji batasnya, dan ia benci mengakuinya, tapi tubuhnya memang bergetar. Edward akhirnya berbalik, berjalan ke pintu kamar. Sebelum keluar, ia sempat menoleh sekali lagi, tatapannya menusuk bagai belati. "Sepuluh menit. Kalau kau terlambat, saya sendiri yang akan menjemputmu di kamar mandi." Pintu tertutup. Ophelia terdiam di ranjang, wajahnya merah sampai telinga. Tangannya menutup mulutnya yang bergetar. "Astaga… pria itu sudah gila…" namun jantungnya masih berdebar tak karuan, seolah tubuhnya justru merindukan sesuatu yang tak berani ia akui. ·–·–·–·–·–· Ophelia menyandarkan kepalanya sejenak pada kaca mobil, matanya menatap jalan raya Boston yang dipenuhi pepohonan musim gugur. Daun-daun maple jatuh berhamburan, membentuk hamparan emas di trotoar. Namun pikirannya tidak sedang tenang—ia memikirkan tumpukan bacaan untuk kelas pagi ini, Comparative Constitutional Law, dan presentasi yang harus ia berikan sore nanti untuk Advanced Legal Theory. Di sisi lain, Edward duduk di sampingnya, dengan asisten pribadi pria itu yang memegang kemudi di depan. Suasana di dalam mobil begitu tenang, saking tenangnya, Ophelia bahkan bisa mendengar suara napasnya yang teratur. "Kau terlihat seperti akan pergi berperang," ucap Edward secara tiba-tiba, menoleh sekilas pada Ophelia. "Bukan kuliah." "Memangnya anda pikir, kuliah itu bukan perang?" jelas Ophelia tanpa mengalihkan pandangannya dari luar kaca mobil. Edward mengamati wajah samping Ophelia beberapa detik, tatapannya dalam dan tajam, seolah sedang membaca lebih dari sekadar ekspresi. "Perang?" ia mengulang dengan nada rendah. "Kalau kau menyebut membaca ribuan halaman teori kering sebagai perang, maka saya ragu kau tahu arti sebenarnya dari perang." "Terserah. Mengobrol dengan anda juga tidak menghasilkan apa-apa." putus Ophelia, sepertinya ia menyerah jika beradu argumen dengan Edward. Mobil melaju mulus melewati gerbang Harvard, namun ketegangan di dalam kabin jauh lebih pekat daripada hiruk pikuk mahasiswa yang hilir mudik di trotoar. Ophelia merapatkan mantel hitamnya, seolah itu bisa melindunginya dari tatapan dingin Edward yang sejak tadi nyaris tak teralihkan darinya. "Aku bisa turun di sini," ucap Ophelia cepat, tepat ketika mobil berhenti di persimpangan. Suaranya datar, tapi jelas terburu-buru. Edward tidak menjawab. Ia hanya menyandarkan tubuhnya, menautkan jemari panjangnya, lalu menatap Ophelia seakan menunggu ia mengulangi permintaan konyol itu. "Pria ini..." umpat Ophelia, namun tidak berani mengatakannya. Hingga mobil itu berhenti tepat di depan fakultas hukum, dan itu mengundang semua mata menatap pada mobil ini. Ophelia hampir ingin merunduk ke bawah kursi, menutupi wajahnya dengan buku hukum setebal ensiklopedia yang ia bawa. Semua orang tahu mobil mewah itu bukanlah kendaraan biasa—dan tatapan mahasiswa yang kini berhenti menatap, jelas membuat darah Ophelia naik ke wajahnya. Edward sama sekali tidak terganggu. Ia malah turun lebih dulu, tubuh jangkungnya berdiri tegak, jas hitamnya memantulkan sinar matahari pagi Boston. Gerakannya tenang, penuh wibawa, seakan ia bukan sedang mengantar seorang mahasiswa, melainkan menghadiri sidang pengadilan tingkat dunia. Pintu mobil terbuka dari luar, dan Ophelia terpaksa keluar. Tumit sepatunya menyentuh aspal kampus yang dingin, namun kulitnya terasa jauh lebih panas karena puluhan pasang mata menatap penuh rasa ingin tahu. Beberapa mahasiswa bahkan saling berbisik, sebagian melirik Edward yang jelas terlihat seperti seseorang dari luar dunia mereka. "Terimakasih, sudah mengantarku." dengan itu, Ophelia langsung melesat pergi dari sana, dan berjalan masuk ke dalam fakultas, menghilang dari pandangan Edward. ·–·–·–·–·–· to be continue...Suasana di ruang rapat itu sangat tenang, hanya ada satu orang yang berbicara, yaitu yang sudah di tunjuk oleh perusahaan yang ingin bekerjasama, menyampaikan rancangan mereka pada Edward. Sedangkan di ujung meja rapat, Edward duduk tenang, dan fokus memperhatikan penjelasan dengan seksama. Sama sekali tidak terganggu dengan keadaan di sekitarnya.Di depannya, layar presentasi menampilkan deretan grafik dan proyeksi keuntungan yang dibuat sedemikian rapi, namun Edward tidak serta-merta percaya pada angka-angka itu. Ia tidak hanya melihat angka, tetapi juga membaca setiap detail sikap orang yang mempresentasikan—intonasi, gerakan tangan, bahkan ekspresi mata. Sesekali jemarinya yang panjang mengetuk permukaan meja rapat dengan irama pelan, tanda ia sedang menimbang sesuatu. Aura dinginnya membuat semua yang hadir menjaga sikap. Tidak ada yang berani mengeluarkan suara selain pembicara.Bahkan direktur dari perusahaan kerjasama yang duduk di samping kirinya, juga tidak mengeluarkan suar
Ophelia melupakan yang satu ini. Apakah mereka berdua harus tidur satu ranjang? Ia fokus pada laptopnya, namun pikirannya tertuju pada bagaimana mereka berdua akan berbagi ranjang yang sama malam ini, Ophelia menatap layar laptopnya, namun huruf-huruf di depannya berloncatan seperti tarian aneh yang sama sekali tak bisa ia pahami. Jantungnya berdebar lebih cepat daripada biasanya, dan bukan karena tenggat tugas kuliah. Pikirannya terjebak pada satu hal, atau lebih tepatnya, satu tempat. Ranjang."Tidak mungkin…" bisiknya pelan, tangan meremas rok yang ia kenakan. "Apa… apa dia benar-benar akan tidur di ranjang yang sama denganku?"Ophelia menutup laptopnya dengan suara klik yang terdengar terlalu keras di tengah kamar yang sunyi. Ia menahan napas, seolah suara itu bisa membangunkan sesuatu yang lebih berbahaya dari sekadar rasa kantuk. Pintu kamar terbuka sedikit, lalu terdengar langkah kaki mendekat. Ophelia refleks menarik selimutnya, seakan itu bisa menjadi benteng terakhir untuk m
Sudah 1 minggu berlalu sejak Ophelia menikah, tidak... lebih tepatnya di jadikan istri pengganti. Setelah menandatangani kontrak yang di tinggalkan oleh pria itu, Ophelia langsung kembali ke kehidupan kampusnya seperti biasa. Selama 1 minggu ini, ia tidak merasakan gerakan apapun, seperti di awasi, atau sebagainya seperti yang di katakan oleh pria itu. Karena itulah Ophelia bisa bernapas dengan sedikit lega.Ophelia menutup laptopnya, dan memasukannya kembali ke dalam tas miliknya. Jadwal kelas selanjutnya adalah pukul 2 siang, karena itu Ophelia harus bergegas untuk pergi ke kelasnya. Di usianya yang baru menginjak 21 tahun ini, ia tidak menyangka akan mendapatkan perubahan paling besar dalam hidupnya, yaitu menjadi seorang istri, walaupun cuma di anggap sebagai pengganti sebelum pengantin yang sebenarnya kembali ke tempatnya.Ophelia merapikan rambutnya yang tergerai sambil menatap pantulan wajahnya di kaca jendela perpustakaan yang mulai kosong. Cahaya matahari siang menyorot matan
Begitulah semuanya terjadi. Dante dan asisten pribadi Edward, langsung membungkam seluruh media yang hadir, juga memulangkan semua tamu undangan yang jumlahnya hampir memenuhi aula itu. Pernikahan ini, akan menjadi pernikahan tertutup yang penuh misteri, yang tidak akan bisa di ketahui oleh dunia luar. Lampu-lampu gantung kristal yang berkilau dingin kini hanya menyinari wajah-wajah yang tersisa: keluarga inti, pasukan bersenjata yang menjaga setiap pintu, dan saksi sah yang sudah dikontrol sepenuhnya."Buang semua rekaman. Tidak boleh ada satu pun gambar yang keluar dari aula ini," ucap Edward dengan nada berat. Matanya menyapu ruangan, yang sekarang sudah sepi, yang tersisa adalah keluarga Addison dan keluarga Orlov.Tatapan pria itu, berhenti tepat di depan perempuan yang sekarang berdiri di depannya ini, dengan mengenakan gaun putih sederhana yang panjang, dengan buket bunga yang ada di tangannya. Edward berjalan mendekat perlahan, langkah-langkahnya terdengar jelas di lantai marm
"Pengantin wanita kabur dari pernikahan?""Astaga, bukankah ini akan mencoreng kedua nama baik keluarga?""Pasti pengantin prianya sungguh malu, kasihan sekali." "Bagaimana acara ini akan berjalan? Pasti keluarga pengantin wanita sungguh malu sekali." "Kasihan sekali pengantin pria itu. Belum acara pernikahan mereka, ia sudah di tinggal lebih dulu." "Ini pasti akan jadi berita pertama, yang menempati urutan nomor 1 di media dunia." Bisikan-bisikan terus terdengar dari kursi para tamu undangan, ada yang turut prihatin dan kasihan dengan pengantin pria, ada juga yang hanya duduk sambil merekam video untuk di upload ke internet. Padahal baru beberapa menit yang lalu, suasana begitu bersahabat dan penuh bahagia serta haru. Namun semuanya berubah dalam sekejap membalikan telapak tangan. Hanya beberapa kalimat.Pengantin. Wanita. Kabur. Ini merupakan tamparan keras bagi keluarga Addison maupun keluarga Orlov, mereka merencanakan pernikahan ini agar hubungan bisnis mereka semakin kuat,