Share

BAB 4

Penulis: Wendy081104
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-29 14:51:22

Ophelia melupakan yang satu ini. Apakah mereka berdua harus tidur satu ranjang? Ia fokus pada laptopnya, namun pikirannya tertuju pada bagaimana mereka berdua akan berbagi ranjang yang sama malam ini, Ophelia menatap layar laptopnya, namun huruf-huruf di depannya berloncatan seperti tarian aneh yang sama sekali tak bisa ia pahami. Jantungnya berdebar lebih cepat daripada biasanya, dan bukan karena tenggat tugas kuliah. Pikirannya terjebak pada satu hal, atau lebih tepatnya, satu tempat. Ranjang.

"Tidak mungkin…" bisiknya pelan, tangan meremas rok yang ia kenakan. "Apa… apa dia benar-benar akan tidur di ranjang yang sama denganku?"

Ophelia menutup laptopnya dengan suara klik yang terdengar terlalu keras di tengah kamar yang sunyi. Ia menahan napas, seolah suara itu bisa membangunkan sesuatu yang lebih berbahaya dari sekadar rasa kantuk. Pintu kamar terbuka sedikit, lalu terdengar langkah kaki mendekat. Ophelia refleks menarik selimutnya, seakan itu bisa menjadi benteng terakhir untuk melindungi dirinya dari kenyataan.

"Sudah selesai?" suara itu terdengar datar tapi dalam, membuat bulu kuduknya meremang. Ia tak berani menoleh.

"Sudah." Ophelia menjawab pelan.

Ia bisa mendengar desahan napasnya semakin dekat. Kasur bergoyang pelan saat tubuh Edward duduk di sisi ranjang yang lain. Ranjang terasa mengecil, udara menipis, dan ruang untuk berpikir hilang begitu saja. Ophelia menelan ludah. Ketegangan kian terasa saat tangan itu bergerak ke arah bantal, hanya beberapa sentimeter dari tempatnya.

"Saya hampir lupa, jika kita akan berbagi ranjang bersama." suara Edward kembali terdengar.

Ophelia langsung menegang. Ucapan itu terdengar begitu biasa di bibir Edward, seakan mereka hanyalah pasangan normal yang memang sudah seharusnya tidur bersama. Padahal bagi Ophelia, hanya mendengar kalimat itu saja sudah cukup untuk membuat detak jantungnya melonjak tak karuan.

Ia membalikkan tubuhnya, membelakangi Edward dengan cepat, selimut ditarik sampai menutupi setengah wajahnya. "Aku… aku bisa tidur di sofa," gumamnya tergesa, hampir tak terdengar.

Edward terkekeh pelan, tawa yang lebih menyerupai ejekan daripada hiburan. "Di sofa?"

Kata-katanya seperti rantai dingin yang melilit pergelangan kaki Ophelia, menyeretnya kembali ke kenyataan bahwa ia tidak pernah benar-benar bebas. Kasur kembali bergoyang saat Edward merebahkan tubuhnya. Kini jarak mereka hanya sehelai bantal. Ophelia bisa merasakan kehangatan tubuhnya merembes melalui udara, juga aroma samar tembakau dan parfum mahal yang menempel di kulitnya.

"Tenang saja, Amor," suaranya terdengar rendah, hampir berbisik di telinga Ophelia. "Saya tidak berniat menyentuhmu… kecuali kau yang memintanya."

Ophelia memejamkan mata rapat-rapat, wajahnya memanas hebat. Tidak mungkin aku akan memintanya… pikirnya panik. Tapi semakin ia mencoba mengabaikan, semakin ia sadar betapa dekatnya pria itu.

Jemari Edward tiba-tiba terulur, menarik selimut yang menutupi wajah Ophelia. Gerakannya pelan, tapi tak bisa dilawan. "Jangan sembunyikan dirimu. Kau akan terbiasa, cepat atau lambat."

Mata Ophelia langsung terbuka, bertemu tatapan tajam itu dalam jarak yang terlalu dekat. Sejenak, waktu berhenti.

·–·–·–·–·–·

Cahaya pagi menyelinap masuk melalui celah gorden, tipis tapi cukup untuk membuat Ophelia menggeliat pelan. Kelopak matanya terasa berat, tubuhnya masih diliputi kantuk—sampai ia menyadari sesuatu.

Ada sesuatu yang hangat, kokoh, dan terlalu dekat menempel di tubuhnya. Ophelia langsung tersadar sepenuhnya. Matanya membelalak, napasnya tercekat ketika ia menunduk sedikit dan menemukan sebuah lengan yang melingkar erat di pinggang mungilnya. Lengan itu… besar, hangat, dan jelas bukan miliknya. Jantungnya berdegup kencang. Ia tak berani bergerak, bahkan sekadar bernapas terlalu keras.

Perlahan, otaknya mencoba menyusun ulang potongan peristiwa semalam, Edward yang masuk, suara beratnya, kasur yang bergetar saat ia merebahkan diri, tatapan yang terlalu dekat… lalu… ia tak sadar kapan tepatnya ia terlelap. Tapi yang pasti, pagi ini ia terbangun dalam pelukan pria itu. Tubuhnya kaku, membelakangi Edward. Ia bisa merasakan dada bidang pria itu menempel di punggungnya, napas hangatnya berhembus di lehernya, membuat kulit Ophelia merinding tanpa bisa dicegah.

"Aku harus keluar…" pikirnya panik. Jemarinya pelan-pelan mencoba menggeser lengan Edward dari pinggangnya. Namun, semakin ia berusaha, semakin kuat genggaman itu mengerat, seolah pria itu melakukannya dalam tidur.

Ophelia menahan napasnya. "Astaga… dia… dia memelukku dalam tidurnya…" wajahnya terasa panas, telinganya ikut memerah. Ia ingin berteriak, tapi suaranya tak mau keluar.

Tepat ketika ia hampir menyerah, sebuah suara rendah dan serak terdengar, begitu dekat hingga hampir membuat jantungnya berhenti.

"Berisik sekali, Amor…"

Mata Ophelia membesar. Edward… sudah bangun. "Jika anda sudah bangun... lepaskan aku..." ucap Ophelia panik.

Edward tidak bergeming. Justru lengannya semakin mengerat, menarik tubuh mungil Ophelia makin menempel pada dadanya. "Lepaskan?" suaranya rendah, berat, dan entah kenapa terdengar lebih berbahaya saat baru bangun tidur. "Kau bilang seolah saya sedang menjebakmu, padahal saya hanya tidur."

Ophelia berusaha menoleh, tapi malah makin terjebak dalam dekapan itu. Ia bisa merasakan dagu pria itu menyentuh puncak kepalanya, membuat wajahnya panas luar biasa. "Tidur?!" bisiknya dengan nada nyaris meledak. "Orang tidur tidak mungkin memeluk seerat ini!"

Edward terkekeh pelan, napasnya berhembus di lehernya. "Lalu kau ingin saya bagaimana? Membiarkan istri saya menggelinjang gelisah sendirian sampai jatuh dari ranjang?"

"Istri…" kata itu menusuk Ophelia lebih dalam daripada yang ia duga. Wajahnya memerah habis. "Jangan seenaknya memanggilku begitu…"

Edward menundukkan wajahnya, cukup dekat hingga suara seraknya terasa langsung bergetar di telinga Ophelia. "Kau keberatan dipanggil begitu, atau keberatan karena kau menikmatinya?"

Ophelia membeku. Napasnya kacau. Tubuhnya berusaha melawan, tapi otaknya mendadak kacau balau, tidak tahu harus marah atau menjerit. "Jika anda tidak segera melepaskan, aku… aku akan—"

"Akan apa, hm?" Edward menyela, nada suaranya tenang tapi penuh tantangan. Jemarinya sedikit bergerak, menggeser di pinggang Ophelia, membuat gadis itu merinding seketika. "Teriak? Mengadu? Atau… tetap diam seperti ini, membiarkan saya memelukmu sampai siang?"

Ophelia menutup wajahnya dengan kedua tangan, setengah ingin lenyap ditelan kasur. "Kenapa pagi-pagi harus seperti ini…" gumamnya putus asa.

Ophelia masih menutup wajahnya dengan kedua tangan, berharap bumi segera membelah dan menelannya bulat-bulat. Namun dekapan Edward tetap tak terlepas, malah semakin erat, seakan pria itu sengaja menahan tubuhnya lebih lama.

"Aku serius…" gumam Ophelia pelan, suaranya nyaris tenggelam di antara detak jantungnya yang memburu.

Edward mengangkat alis, meski Ophelia tak melihat ekspresinya. "Serius apa? Bahwa kau ingin lepas, atau bahwa kau takut terlalu nyaman di sini?" tanyanya, nadanya setengah menggoda, setengah menguji.

"Aku… aku tidak nyaman!" sergah Ophelia cepat, namun suaranya bergetar. Ia sendiri sadar betapa tidak yakinnya ia terdengar.

Edward terkekeh, kali ini lebih dalam. Napasnya terasa di helai rambut Ophelia. "Kalau benar tidak nyaman, kenapa kau masih di sini? Kau bisa saja menendang saya sejak tadi."

Ophelia membeku. Tentu saja ia tidak bisa. Bagaimana mungkin ia bisa menendang seorang pria seperti Edward? Pria itu terlalu dingin, terlalu berbahaya, dan terlalu… dekat.

Sadar bahwa diamnya hanya membuat situasi semakin tak terkendali, Ophelia buru-buru menggeliat, mencoba melepaskan diri. "Aku… aku harus mandi! Kuliah! Aku bisa terlambat jika begini!" katanya tergesa, meski ia tahu jam masih terlalu pagi.

Edward akhirnya mengendurkan pelukannya, tapi bukannya melepaskan, jemarinya justru menahan dagu Ophelia, memaksa gadis itu menoleh sedikit ke arahnya. Tatapan mereka bertemu. Mata biru yang dingin seperti es itu menatapnya dengan intensitas yang membuat Ophelia nyaris lupa bernapas.

"Tidak perlu berbohong," ujar Edward pelan, tapi setiap katanya menusuk. "Kau gugup… karena saya."

Wajah Ophelia memerah seketika. Ia buru-buru menepis tangan Edward. Edward tersenyum tipis— senyum samar yang lebih berbahaya daripada ekspresi dinginnya. Ia bangkit dari ranjang, tubuh jangkungnya menjulang, sementara Ophelia masih meringkuk di bawah selimut. Edward berdiri tegak di sisi ranjang, membetulkan lipatan kemejanya dengan tenang seolah momen barusan tidak pernah terjadi. Namun tatapan mata birunya masih menusuk, membuat Ophelia makin tak bisa menguasai diri.

"Bangunlah," ucapnya singkat, nada suaranya datar tapi penuh perintah. "Kau butuh waktu lama untuk bersiap, bukan? Jangan buat saya menunggu."

Ophelia menatapnya dari balik selimut, wajahnya masih merah padam. "Apa maksud anda?"

Edward menghentikan gerakannya, lalu menoleh. Sekilas, senyum samar kembali muncul di bibirnya. "Kau pikir saya akan membiarkan istri saya pergi ke kampus sendirian? Amor, kau terlalu naif."

Kata istri itu lagi. Ophelia buru-buru duduk, memelototinya. "Berhenti memanggilku seperti itu!" serunya spontan, meski suaranya justru terdengar lebih panik daripada marah.

Edward mendekat, langkah kakinya terdengar berat di lantai kayu. Ia menunduk sedikit, hingga wajah mereka hanya terpisahkan jarak beberapa sentimeter. "Kalau begitu, bagaimana saya harus memanggilmu?" bisiknya lembut tapi berbahaya. "Ophelia? Atau… sayang?"

Ophelia refleks mundur, tangannya meremas selimut. "Ja… jangan seenaknya!"

Edward mengangkat tangan, ujung jarinya nyaris menyentuh dagu gadis itu, tapi ia menahan diri, sekadar membuat Ophelia semakin tegang. "Kalau begitu, buktikan. Cepat bersiap. Saya ingin melihat apakah kau benar-benar bisa berdiri di samping saya tanpa gemetar seperti sekarang."

Ophelia tercekat. Ia tahu pria itu sengaja menguji batasnya, dan ia benci mengakuinya, tapi tubuhnya memang bergetar.

Edward akhirnya berbalik, berjalan ke pintu kamar. Sebelum keluar, ia sempat menoleh sekali lagi, tatapannya menusuk bagai belati. "Sepuluh menit. Kalau kau terlambat, saya sendiri yang akan menjemputmu di kamar mandi."

Pintu tertutup.

Ophelia terdiam di ranjang, wajahnya merah sampai telinga. Tangannya menutup mulutnya yang bergetar. "Astaga… pria itu sudah gila…" namun jantungnya masih berdebar tak karuan, seolah tubuhnya justru merindukan sesuatu yang tak berani ia akui.

·–·–·–·–·–·

Ophelia menyandarkan kepalanya sejenak pada kaca mobil, matanya menatap jalan raya Boston yang dipenuhi pepohonan musim gugur. Daun-daun maple jatuh berhamburan, membentuk hamparan emas di trotoar. Namun pikirannya tidak sedang tenang—ia memikirkan tumpukan bacaan untuk kelas pagi ini, Comparative Constitutional Law, dan presentasi yang harus ia berikan sore nanti untuk Advanced Legal Theory. 

Di sisi lain, Edward duduk di sampingnya, dengan asisten pribadi pria itu yang memegang kemudi di depan. Suasana di dalam mobil begitu tenang, saking tenangnya, Ophelia bahkan bisa mendengar suara napasnya yang teratur.

"Kau terlihat seperti akan pergi berperang," ucap Edward secara tiba-tiba, menoleh sekilas pada Ophelia. "Bukan kuliah."

"Memangnya anda pikir, kuliah itu bukan perang?" jelas Ophelia tanpa mengalihkan pandangannya dari luar kaca mobil.

Edward mengamati wajah samping Ophelia beberapa detik, tatapannya dalam dan tajam, seolah sedang membaca lebih dari sekadar ekspresi. "Perang?" ia mengulang dengan nada rendah. "Kalau kau menyebut membaca ribuan halaman teori kering sebagai perang, maka saya ragu kau tahu arti sebenarnya dari perang."

"Terserah. Mengobrol dengan anda juga tidak menghasilkan apa-apa." putus Ophelia, sepertinya ia menyerah jika beradu argumen dengan Edward.

Mobil melaju mulus melewati gerbang Harvard, namun ketegangan di dalam kabin jauh lebih pekat daripada hiruk pikuk mahasiswa yang hilir mudik di trotoar. Ophelia merapatkan mantel hitamnya, seolah itu bisa melindunginya dari tatapan dingin Edward yang sejak tadi nyaris tak teralihkan darinya.

"Aku bisa turun di sini," ucap Ophelia cepat, tepat ketika mobil berhenti di persimpangan. Suaranya datar, tapi jelas terburu-buru.

Edward tidak menjawab. Ia hanya menyandarkan tubuhnya, menautkan jemari panjangnya, lalu menatap Ophelia seakan menunggu ia mengulangi permintaan konyol itu.

"Pria ini..." umpat Ophelia, namun tidak berani mengatakannya.

Hingga mobil itu berhenti tepat di depan fakultas hukum, dan itu mengundang semua mata menatap pada mobil ini. Ophelia hampir ingin merunduk ke bawah kursi, menutupi wajahnya dengan buku hukum setebal ensiklopedia yang ia bawa. Semua orang tahu mobil mewah itu bukanlah kendaraan biasa—dan tatapan mahasiswa yang kini berhenti menatap, jelas membuat darah Ophelia naik ke wajahnya. Edward sama sekali tidak terganggu. Ia malah turun lebih dulu, tubuh jangkungnya berdiri tegak, jas hitamnya memantulkan sinar matahari pagi Boston.

Gerakannya tenang, penuh wibawa, seakan ia bukan sedang mengantar seorang mahasiswa, melainkan menghadiri sidang pengadilan tingkat dunia. Pintu mobil terbuka dari luar, dan Ophelia terpaksa keluar. Tumit sepatunya menyentuh aspal kampus yang dingin, namun kulitnya terasa jauh lebih panas karena puluhan pasang mata menatap penuh rasa ingin tahu. Beberapa mahasiswa bahkan saling berbisik, sebagian melirik Edward yang jelas terlihat seperti seseorang dari luar dunia mereka.

"Terimakasih, sudah mengantarku." dengan itu, Ophelia langsung melesat pergi dari sana, dan berjalan masuk ke dalam fakultas, menghilang dari pandangan Edward.

·–·–·–·–·–·

to be continue... 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • King of Trouble   BAB 55

    Ophelia terbangun lagi. Ini sudah yang kesekian kalinya, ia duduk dan menunggu Edward pulang. Namun pria itu tak kunjung sampai. Namun, kekhawatirannya buyar, saat mendapati coat basah milik Edward yang berada di atas sofa. Ophelia langsung bangun dan turun dari ranjang, tanpa menggunakan alas kaki. Ia sudah melihat beritanya. Berita yang menuduhnya sebagai orang ketiga dalam pernikahan kakaknya sendiri. Walaupun itu semua terjadi karena ulah kakaknya sendiri. “Karena berita ini, saham perusahaan Tuan turun 30℅.”Ophelia mengingat, bagaimana Noah datang kemari, dan mengatakan semuanya. Juga menunjukkan video kakaknya, dan berita itu yang sudah tersebar di seluruh media internasional dunia. Ophelia berdiri di tengah ruang tamu, tubuhnya masih berbalut gaun tidur satin berwarna abu muda, rambutnya terurai berantakan. Di luar, hujan mengguyur kota, menempelkan bayangan lampu jalan ke kaca jendela seperti garis air mata yang tak berhenti mengalir.Coat Edward yang basah menggantung di

  • King of Trouble   BAB 54

    Edward menatap iPadnya dengan datar, tapi sorot matanya bukan lagi ketenangan dingin seperti biasanya—melainkan badai yang nyaris tidak bisa dikendalikan. Layar iPad itu menampilkan siaran langsung dari stasiun berita internasional: wajah Alura, tersenyum anggun, duduk di depan kamera dengan gaun hitam elegan dan tatapan yang tenang, seolah dunia ada di bawah kendalinya.“Aku hanya ingin membuka mata publik,”suara Alura terdengar jelas, setiap katanya diatur dengan ketepatan seorang manipulator yang terlatih.Edward menekan jeda. Ujung jarinya mengetuk layar pelan, sekali… dua kali… lalu ia meletakkan iPad itu di atas meja. “Saya sudah memperingatkanmu, Alura,” gumamnya rendah. “Tapi kamu tidak tahu batas.”Edward berdiri perlahan dari kursinya. Gerakannya tenang, tapi udara di sekelilingnya seperti menegang bersamaan—seakan dinding ruang kerjanya tahu amarah macam apa yang sedang tumbuh di dalam dirinya. Ia berjalan menuju jendela besar yang menghadap ke pusat kota. Langit sore suda

  • King of Trouble   BAB 53

    Mobil Edward masuk ke arah gedung yang menjulang tinggi di tengah kota. Ophelia yang sedari tadi duduk di sampingnya, belum mengatakan apapun.Ophelia yang duduk di sana, menatap gedung pencakar langit itu dengan malas. Terjebak macet selama satu jam, membuatnya sungguh bosan. Sesekali ia menutup mata dan meringis pelan, perutnya seperti di aduk dari dalam, kram di seluruh pinggangnya.Edward membuka pintu mobil, namun yang ia lihat, adalah Ophelia yang sepertinya menahan sesuatu. Edward memperhatikan perubahan kecil itu, wajah Ophelia yang sedikit memucat, keringat tipis di keningnya, dan cara jemarinya menggenggam rok dengan begitu kuat. Ekspresinya langsung berubah, dari tegas menjadi waspada. “Ophelia.” Suaranya rendah tapi dalam, nyaris seperti peringatan. “Apa yang terjadi?”Ophelia menggeleng pelan. “Tidak apa-apa.”Namun nada suaranya terdengar rapuh, seperti benang yang siap putus kapan saja. Ia mencoba membuka sabuk pengamannya, tapi gerakannya terhenti ketika rasa nyeri taj

  • King of Trouble   BAB 52

    Lara menatap Ophelia yang terpaku di tangga perpustakaan. Orang yang mereka berdua bicarakan, sedang berdiri di lantai bawah perpustakaan, dan mengobrol bersama profesor mereka.“Ini seperti karmamu, Lia.” Lara mendekat pada Ophelia.“Memangnya siapa yang tahu bahwa dia akan muncul begitu saja?” Ophelia memutar matanya malas.“Dia datang menjemputmu pastinya.”Nada Lara terdengar setengah menggoda, setengah menahan tawa.Ophelia mengerutkan kening. “Menjemputku?” suaranya merendah, hampir tak percaya. “Jangan bercanda, Lar. Dia bahkan tidak bertemu denganku dua minggu.”Namun matanya, tanpa bisa ia kendalikan, tetap tertuju pada sosok pria tinggi berjas hitam di bawah sana—Edward. Ia berdiri dengan posisi sedikit condong, berbicara santai dengan profesor mereka, sementara satu tangannya diselipkan ke saku celana. Sikapnya tampak santai, tapi ada sesuatu dalam caranya menatap sekeliling… tajam, mengamati, seolah setiap detail ruangan tidak luput dari perhatiannya.“Haruskah kita kembal

  • King of Trouble   BAB 51

    “Edward…” ia berusaha tertawa kecil, menurunkan pandangannya. “Kamu terlalu berlebihan.”“Terlalu jujur,” potong Edward pelan, langkahnya maju satu lagi hingga jarak mereka kembali lenyap. Jemarinya terangkat, menyentuh dagu Ophelia dengan lembut, memaksanya menatap kembali. “Tahu tidak?” lanjutnya dengan suara rendah yang nyaris seperti bisikan di telinga, “Sudah lama sekali saya tidak menerima hadiah apa pun… dan malam ini, kamu memberikannya dengan cara yang membuat saya tidak tahu apakah saya harus berterima kasih… atau takut kehilanganmu setelah ini.”Hati Ophelia seolah berhenti berdetak. Tatapan Edward begitu dekat hingga napas mereka bertemu di udara yang kini terasa panas, padahal ruangan itu dingin.“Kamu bicara seperti aku akan pergi,” ujar Ophelia lirih.Edward menatapnya lama — matanya gelap, ada sesuatu yang berat berputar di sana, sesuatu yang tak pernah ia biarkan siapa pun lihat sebelumnya. “Mungkin… hanya ingin memastikan kamu tahu,” katanya, suaranya nyaris bergetar

  • King of Trouble   BAB 50

    Ophelia membuka pintu kulkas dengan hati yang masih berdetak tak karuan. Cahaya dingin dari dalam kulkas menerangi wajahnya yang lembut, membuat pipinya tampak berpendar samar di bawah cahaya lilin yang menari di meja ruang tengah. Di dalam sana, tersimpan kue kecil dengan lapisan krim putih dan hiasan sederhana dari buah stroberi—kue yang semestinya ia berikan besok pagi, tapi kini... malam ini, rasanya segalanya terlalu tepat untuk menunggu.Tangannya sedikit gemetar saat ia mengambil piring berputih porselen itu. Empat lilin kecil berwarna biru muda sudah tertancap di atasnya, persis seperti rencana awalnya. Ia menyalakan satu per satu dengan korek, dan cahaya kecil itu menari di udara—lemah tapi hangat, seperti harapan kecil di antara badai yang belum ia ketahui datang. Ketika keempat lilin menyala, Ophelia tersenyum, lalu menatap bayangannya sendiri di permukaan logam kulkas yang mengkilap.“Mari kita berikan kenangan indah untuknya.” bisiknya, sambil menatap kue sederhana di ked

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status