LOGINSudah 1 minggu berlalu sejak Ophelia menikah, tidak... lebih tepatnya di jadikan istri pengganti. Setelah menandatangani kontrak yang di tinggalkan oleh pria itu, Ophelia langsung kembali ke kehidupan kampusnya seperti biasa. Selama 1 minggu ini, ia tidak merasakan gerakan apapun, seperti di awasi, atau sebagainya seperti yang di katakan oleh pria itu. Karena itulah Ophelia bisa bernapas dengan sedikit lega.
Ophelia menutup laptopnya, dan memasukannya kembali ke dalam tas miliknya. Jadwal kelas selanjutnya adalah pukul 2 siang, karena itu Ophelia harus bergegas untuk pergi ke kelasnya. Di usianya yang baru menginjak 21 tahun ini, ia tidak menyangka akan mendapatkan perubahan paling besar dalam hidupnya, yaitu menjadi seorang istri, walaupun cuma di anggap sebagai pengganti sebelum pengantin yang sebenarnya kembali ke tempatnya. Ophelia merapikan rambutnya yang tergerai sambil menatap pantulan wajahnya di kaca jendela perpustakaan yang mulai kosong. Cahaya matahari siang menyorot matanya yang sedikit sembab, entah karena kurang tidur atau karena pikirannya yang masih terbelenggu pada satu hal: pernikahan itu. Pernikahan yang tidak pernah ia bayangkan, apalagi di usia semuda ini. Ia menggigit bibir bawahnya. Kontrak. Kata itu terus berputar di kepalanya. Setiap kalimat di atas kertas itu seakan mengekang napasnya. Ia hanyalah pengganti, sementara. Tidak lebih dari boneka yang dipakaikan gaun putih, agar nama keluarga itu tetap bersih di mata dunia. Namun… Siapa sebenarnya pria itu? Siapa sebenarnya pria yang menjadi suaminya itu? Walaupun ia tahu bahwa keluarga Orlov adalah keluarga yang tangguh, namun ia sama sekali tidak pernah mendengar nama pria itu di sebutkan di media dunia dan media lainnya. Ophelia tidak bisa berhenti mengingat tatapan matanya yang dingin dan penuh peringatan. Seolah dirinya hanyalah pion kecil di papan catur besar yang ia bahkan tidak tahu sedang dimainkan oleh siapa. "Ophelia!" Lara memanggil nama Ophelia, sambil melambaikan tangannya. Ophelia buru-buru mengangkat tasnya, menyunggingkan senyum tipis, lalu berjalan ke arahnya. "Aku kira kau sudah pulang." "Pulang? Belum. Aku masih ada kelas tambahan. Kau ke mana aja seminggu ini? Susah banget dihubungin. Jangan bilang kau lagi deket sama cowok?' goda Lara dengan mata menyipit. Ophelia tercekat. "Tidak. Aku cuma sibuk." "Hmm…" Lara mendengus, jelas tidak percaya. Tapi sebelum ia bisa melanjutkan, ponsel Ophelia bergetar di dalam tasnya. Ophelia menghentikan langkah. Getaran itu terasa aneh, seolah bukan sekadar pesan biasa. Ia merogoh ponselnya— dan matanya menyipit ketika melihat layar. Nomor asing. Tidak ada nama. Hanya satu pesan pendek. ?? : "Jangan terlalu lega, Amor. Saya selalu tahu di mana kau berada." Jantung Ophelia seakan berhenti berdetak. Telapak tangannya langsung dingin. Ia memandang ke sekeliling, lorong kampus yang ramai mendadak terasa menutup, menyesakkan, seolah mata-mata tak kasat mata sedang menatap dari berbagai arah. Lara menepuk lengannya. "Hei, mengapa wajahmu pucat seperti itu?" Ophelia buru-buru menyembunyikan ponselnya di balik punggung. Ia tersenyum paksa. "Tidak ada apapun. Aku sedikit lelah belakangan ini." namun dalam hatinya, ia tahu, minggu pertamanya sebagai "pengganti" sudah berakhir. Dan kini… permainan baru akan segera dimulai. ·–·–·–·–·–· Malam datang menyapa bumi dengan cepat, banyak dari orang-orang yang berlalu-lalang di pinggir jalan, di sekitar trotoar jalan untuk menghindari kecelakaan yang bisa saja terjadi. Ophelia berjalan melewati orang-orang yang ramai di pinggir jalan, ia turun dari stasiun terdekat, dan memilih jalan kaki hingga sampai di apartemen miliknya, karena jarak antara apartemen miliknya dan stasiun yang lumayan dekat. Langkah Ophelia beradu dengan trotoar yang dingin, beriringan dengan suara riuh kendaraan yang saling berkejaran di jalan raya. Lampu-lampu neon dari toko dan kafe menyinari wajahnya, namun cahaya itu tidak mampu mengusir bayangan resah yang menempel erat di dadanya. Saat tiba di depan gedung apartemen miliknya, Ophelia langsung melangkah dengan cepat melewati lorong apartemen itu, dan langsung masuk ke dalam lift. Ia kemudian menekan lantai 23, di mana tempatnya berada. Ting... saat pintu lift terbuka, Ophelia langsung berjalan menuju ke kamarnya. Langkahnya tidak tergesa, namun seperti menyeret sesuatu yang berat pada kedua kakinya. Ophelia berhenti tepat di depan pintu apartemennya. Tangannya bergetar kecil saat meraih kunci. Suara kecil dari besi yang beradu dengan gembok pintu terdengar jelas di lorong sunyi itu. Ia buru-buru masuk, menutup pintu rapat-rapat, lalu menyandarkan tubuhnya di balik pintu. Napasnya berat, dadanya naik-turun. Ia mencoba menenangkan diri, tapi perasaan tidak nyaman itu masih menempel. Apartemen kecilnya sunyi. Terlalu sunyi. Hanya ada suara pendingin ruangan yang berdengung pelan. Ophelia meletakkan tas di meja, lalu membuka lampu. Cahaya kuning temaram memenuhi ruangan. Ia melepaskan cardigan, berjalan menuju kulkas untuk mengambil sebotol air. "Sudah pulang?" Ophelia terkejut, hingga menjatuhkan botol air mineral hingga membasahi lantai apartemen miliknya, saat perempuan itu berbalik dengan cepat, ia mendapati Edward yang sedang duduk di sofa dengan santai, sambil menghisap rokoknya. Asap rokok melingkar pelan di udara, menari-nari di bawah cahaya lampu apartemen. Edward duduk dengan satu kaki disilangkan, jas hitamnya terlipat rapi, wajahnya setenang batu marmer. Seakan-akan tempat itu memang miliknya sejak lama. Ophelia membeku di tempat, tubuhnya menegang. "Ba… bagaimana… bagaimana anda bisa masuk?" suaranya gemetar, hampir tak terdengar. Edward mengangkat alis, bibirnya melengkung samar, tapi senyum itu lebih menyerupai peringatan. Ia mengetukkan abu rokok ke asbak di meja. "Kontrak, Amor. Kau sudah menandatanganinya. Apa kau lupa? Tidak ada pintu, tidak ada kunci, yang bisa menghalangi saya untuk masuk ke dalam sini." Edward mematikan rokoknya, lalu berdiri. Suara gesekan sol sepatunya dengan lantai kayu apartemen terdengar sangat jelas, menghantam syaraf Ophelia yang sudah rapuh. Ia berjalan perlahan, tiap langkah terasa seperti ancaman. "Selama seminggu ini… kau cukup patuh," ucapnya pelan, menatap lurus ke matanya. "Tapi jangan pernah salah paham, Amor. Hanya karena saya tidak muncul, bukan berarti saya tidak melihat." Ophelia menelan ludah, suaranya hampi pecah. "Anda… mengikuti aku… selama ini?" Edward berhenti tepat di hadapannya. Jarak mereka hanya sehelai rambut. Nafasnya yang hangat menyapu wajah Ophelia, membuat lututnya hampir goyah. "Saya tidak mengikuti," bisiknya, suaranya rendah namun menusuk. "Saya mengawasi." Ophelia ingin berteriak, tapi tubuhnya membeku. Edward menunduk sedikit, jemarinya terulur menyentuh rambut Ophelia yang tergerai, membenahi helai yang jatuh di wajahnya. Gerakan kecil itu membuat jantung Ophelia seperti hendak meledak. "Mulai malam ini…" suaranya kembali berat, tegas. "Saya tidak ingin hanya sekadar bayangan di belakangmu. Saya ingin kau terbiasa… dengan kehadiranku di sisimu." Ophelia terperangah, matanya melebar. "Apa maksudmu?" Senyum tipis itu kembali terbit di wajah Edward, senyum yang membuat bulu kuduk Ophelia meremang. Ia mencondongkan tubuhnya, hingga tatapan dinginnya memenuhi seluruh pandangan Ophelia. "Maksud saya sederhana, Amor," bisiknya. "Saya akan tinggal di sini. Di apartemenmu." "APA?" Ophelia langsung menutup mulutnya dengan cepat, saat ia terlambat menyadari bahwa suaranya sedikit meninggi. Ophelia tersentak, buru-buru mundur dua langkah, hampir tersandung botol air yang tumpah di lantai. "Apa?! Tidak! Anda tidak bisa seenaknya tinggal—" "Tidak bisa?" Edward menyela, suaranya tajam. Ia meraih sesuatu dari jasnya— selembar kertas terlipat rapi. Ia membentangkannya di hadapan Ophelia. "Kontrak ini. Kau menandatanganinya. Hitam di atas putih. Saya bisa menempati setiap ruang yang kau miliki. Termasuk dirimu." Ophelia membeku. Matanya terarah pada lembar kontrak itu, tulisan tanda tangannya sendiri menusuk matanya seperti belati. Ia ingin menyangkal, ingin berteriak bahwa ini tidak adil, tapi kata-katanya tercekat di tenggorokan. Edward kembali mendekat, jemarinya terulur menyingkirkan sehelai rambut basah di pipi Ophelia yang terkena cipratan air mineral. Sentuhan itu lembut, namun terasa seperti belenggu. Pria itu terus melangkah maju, hingga tubuh Ophelia perlahan mundur dan membentur pada meja dapur yang ada tepat di belakangnya. Edward tidak mundur, ia terus menghimpit tubuh Ophelia, dengan tubuhnya yang besar. "Kalau begitu, pilihlah. Apartemen atau mansion? Jika kau memilih mansion, maka aktivitasmu akan sangat di batasi, kecuali jika kau pergi ke kampus. Selebihnya—" "Oke. Oke. Mari kita tinggal bersama di sini. Aku setuju." Ophelia menjawab dengan cepat, ia tidak ingin terkurung di mansion pria ini. Edward menatap wajah Ophelia lama sekali, seolah ingin memastikan bahwa jawaban itu bukan sekadar kepanikan sesaat. Tatapannya menusuk, dalam, membuat Ophelia sulit bernapas. Senyum tipis itu akhirnya muncul di bibir Edward. "Good girl." Suaranya rendah, nyaris terdengar seperti pujian, tapi justru membuat Ophelia semakin merinding. Ia meraih jasnya yang terlipat di sofa, lalu menggantungnya di kursi seolah sudah resmi menjadi penghuni apartemen itu. Gerakannya tenang, menguasai ruangan. Tidak ada tanda bahwa ia berniat pergi lagi malam ini. Ophelia masih terdesak di meja dapur, tubuhnya kaku. "Aku tidak... tidak terbiasa tinggal dengan orang lain," ucapnya lirih, berusaha menjaga nada suaranya tetap stabil. Edward mendekat sekali lagi, jaraknya hanya beberapa inci. Ia mencondongkan kepala, menatap lurus ke mata Ophelia. "Maka biasakanlah. Mulai malam ini, setiap sudut tempat ini… akan selalu mengingatkanmu pada saya." Ophelia menelan ludah, mencoba mencari celah untuk mengalihkan pembicaraan. "Aku… aku masih punya tugas kuliah. Aku harus—" "Kerjakan." Edward menyela cepat, jemarinya tiba-tiba terulur, menyentuh dagu Ophelia, mengangkatnya sedikit. "Dan biarkan saya melihat, bagaimana istri kontrak saya menghabiskan malamnya. Kau tidak perlu menyembunyikan apapun lagi, Amor. Dunia kecilmu ini…" ia melirik sekeliling apartemen sederhana itu, "…sekarang adalah milik saya juga." Tubuh Ophelia bergetar. Ia merasa seperti seekor burung kecil yang baru saja disekap di dalam sangkar. Edward akhirnya menjauh setengah langkah, tapi hanya untuk membuka kancing pertama kemejanya. Dengan santai, ia duduk kembali di sofa, menyandarkan tubuhnya, lalu menyalakan rokok lain. Asap tipis kembali memenuhi udara. Ophelia menarik napas dalam, berusaha mengendalikan dirinya. Malam ini menjadi awal, awal dari kehidupan yang benar-benar berbeda— dan ia tahu, garis batas antara kebebasan dan kepemilikan kini sudah hancur. ·–·–·–·–·–· to be continue...Ophelia terbangun lagi. Ini sudah yang kesekian kalinya, ia duduk dan menunggu Edward pulang. Namun pria itu tak kunjung sampai. Namun, kekhawatirannya buyar, saat mendapati coat basah milik Edward yang berada di atas sofa. Ophelia langsung bangun dan turun dari ranjang, tanpa menggunakan alas kaki. Ia sudah melihat beritanya. Berita yang menuduhnya sebagai orang ketiga dalam pernikahan kakaknya sendiri. Walaupun itu semua terjadi karena ulah kakaknya sendiri. “Karena berita ini, saham perusahaan Tuan turun 30℅.”Ophelia mengingat, bagaimana Noah datang kemari, dan mengatakan semuanya. Juga menunjukkan video kakaknya, dan berita itu yang sudah tersebar di seluruh media internasional dunia. Ophelia berdiri di tengah ruang tamu, tubuhnya masih berbalut gaun tidur satin berwarna abu muda, rambutnya terurai berantakan. Di luar, hujan mengguyur kota, menempelkan bayangan lampu jalan ke kaca jendela seperti garis air mata yang tak berhenti mengalir.Coat Edward yang basah menggantung di
Edward menatap iPadnya dengan datar, tapi sorot matanya bukan lagi ketenangan dingin seperti biasanya—melainkan badai yang nyaris tidak bisa dikendalikan. Layar iPad itu menampilkan siaran langsung dari stasiun berita internasional: wajah Alura, tersenyum anggun, duduk di depan kamera dengan gaun hitam elegan dan tatapan yang tenang, seolah dunia ada di bawah kendalinya.“Aku hanya ingin membuka mata publik,”suara Alura terdengar jelas, setiap katanya diatur dengan ketepatan seorang manipulator yang terlatih.Edward menekan jeda. Ujung jarinya mengetuk layar pelan, sekali… dua kali… lalu ia meletakkan iPad itu di atas meja. “Saya sudah memperingatkanmu, Alura,” gumamnya rendah. “Tapi kamu tidak tahu batas.”Edward berdiri perlahan dari kursinya. Gerakannya tenang, tapi udara di sekelilingnya seperti menegang bersamaan—seakan dinding ruang kerjanya tahu amarah macam apa yang sedang tumbuh di dalam dirinya. Ia berjalan menuju jendela besar yang menghadap ke pusat kota. Langit sore suda
Mobil Edward masuk ke arah gedung yang menjulang tinggi di tengah kota. Ophelia yang sedari tadi duduk di sampingnya, belum mengatakan apapun.Ophelia yang duduk di sana, menatap gedung pencakar langit itu dengan malas. Terjebak macet selama satu jam, membuatnya sungguh bosan. Sesekali ia menutup mata dan meringis pelan, perutnya seperti di aduk dari dalam, kram di seluruh pinggangnya.Edward membuka pintu mobil, namun yang ia lihat, adalah Ophelia yang sepertinya menahan sesuatu. Edward memperhatikan perubahan kecil itu, wajah Ophelia yang sedikit memucat, keringat tipis di keningnya, dan cara jemarinya menggenggam rok dengan begitu kuat. Ekspresinya langsung berubah, dari tegas menjadi waspada. “Ophelia.” Suaranya rendah tapi dalam, nyaris seperti peringatan. “Apa yang terjadi?”Ophelia menggeleng pelan. “Tidak apa-apa.”Namun nada suaranya terdengar rapuh, seperti benang yang siap putus kapan saja. Ia mencoba membuka sabuk pengamannya, tapi gerakannya terhenti ketika rasa nyeri taj
Lara menatap Ophelia yang terpaku di tangga perpustakaan. Orang yang mereka berdua bicarakan, sedang berdiri di lantai bawah perpustakaan, dan mengobrol bersama profesor mereka.“Ini seperti karmamu, Lia.” Lara mendekat pada Ophelia.“Memangnya siapa yang tahu bahwa dia akan muncul begitu saja?” Ophelia memutar matanya malas.“Dia datang menjemputmu pastinya.”Nada Lara terdengar setengah menggoda, setengah menahan tawa.Ophelia mengerutkan kening. “Menjemputku?” suaranya merendah, hampir tak percaya. “Jangan bercanda, Lar. Dia bahkan tidak bertemu denganku dua minggu.”Namun matanya, tanpa bisa ia kendalikan, tetap tertuju pada sosok pria tinggi berjas hitam di bawah sana—Edward. Ia berdiri dengan posisi sedikit condong, berbicara santai dengan profesor mereka, sementara satu tangannya diselipkan ke saku celana. Sikapnya tampak santai, tapi ada sesuatu dalam caranya menatap sekeliling… tajam, mengamati, seolah setiap detail ruangan tidak luput dari perhatiannya.“Haruskah kita kembal
“Edward…” ia berusaha tertawa kecil, menurunkan pandangannya. “Kamu terlalu berlebihan.”“Terlalu jujur,” potong Edward pelan, langkahnya maju satu lagi hingga jarak mereka kembali lenyap. Jemarinya terangkat, menyentuh dagu Ophelia dengan lembut, memaksanya menatap kembali. “Tahu tidak?” lanjutnya dengan suara rendah yang nyaris seperti bisikan di telinga, “Sudah lama sekali saya tidak menerima hadiah apa pun… dan malam ini, kamu memberikannya dengan cara yang membuat saya tidak tahu apakah saya harus berterima kasih… atau takut kehilanganmu setelah ini.”Hati Ophelia seolah berhenti berdetak. Tatapan Edward begitu dekat hingga napas mereka bertemu di udara yang kini terasa panas, padahal ruangan itu dingin.“Kamu bicara seperti aku akan pergi,” ujar Ophelia lirih.Edward menatapnya lama — matanya gelap, ada sesuatu yang berat berputar di sana, sesuatu yang tak pernah ia biarkan siapa pun lihat sebelumnya. “Mungkin… hanya ingin memastikan kamu tahu,” katanya, suaranya nyaris bergetar
Ophelia membuka pintu kulkas dengan hati yang masih berdetak tak karuan. Cahaya dingin dari dalam kulkas menerangi wajahnya yang lembut, membuat pipinya tampak berpendar samar di bawah cahaya lilin yang menari di meja ruang tengah. Di dalam sana, tersimpan kue kecil dengan lapisan krim putih dan hiasan sederhana dari buah stroberi—kue yang semestinya ia berikan besok pagi, tapi kini... malam ini, rasanya segalanya terlalu tepat untuk menunggu.Tangannya sedikit gemetar saat ia mengambil piring berputih porselen itu. Empat lilin kecil berwarna biru muda sudah tertancap di atasnya, persis seperti rencana awalnya. Ia menyalakan satu per satu dengan korek, dan cahaya kecil itu menari di udara—lemah tapi hangat, seperti harapan kecil di antara badai yang belum ia ketahui datang. Ketika keempat lilin menyala, Ophelia tersenyum, lalu menatap bayangannya sendiri di permukaan logam kulkas yang mengkilap.“Mari kita berikan kenangan indah untuknya.” bisiknya, sambil menatap kue sederhana di ked







