Share

BAB 3

Author: Wendy081104
last update Last Updated: 2025-08-29 14:50:54

Sudah 1 minggu berlalu sejak Ophelia menikah, tidak... lebih tepatnya di jadikan istri pengganti. Setelah menandatangani kontrak yang di tinggalkan oleh pria itu, Ophelia langsung kembali ke kehidupan kampusnya seperti biasa. Selama 1 minggu ini, ia tidak merasakan gerakan apapun, seperti di awasi, atau sebagainya seperti yang di katakan oleh pria itu. Karena itulah Ophelia bisa bernapas dengan sedikit lega.

Ophelia menutup laptopnya, dan memasukannya kembali ke dalam tas miliknya. Jadwal kelas selanjutnya adalah pukul 2 siang, karena itu Ophelia harus bergegas untuk pergi ke kelasnya. Di usianya yang baru menginjak 21 tahun ini, ia tidak menyangka akan mendapatkan perubahan paling besar dalam hidupnya, yaitu menjadi seorang istri, walaupun cuma di anggap sebagai pengganti sebelum pengantin yang sebenarnya kembali ke tempatnya.

Ophelia merapikan rambutnya yang tergerai sambil menatap pantulan wajahnya di kaca jendela perpustakaan yang mulai kosong. Cahaya matahari siang menyorot matanya yang sedikit sembab, entah karena kurang tidur atau karena pikirannya yang masih terbelenggu pada satu hal: pernikahan itu. Pernikahan yang tidak pernah ia bayangkan, apalagi di usia semuda ini. Ia menggigit bibir bawahnya. Kontrak. Kata itu terus berputar di kepalanya. Setiap kalimat di atas kertas itu seakan mengekang napasnya. Ia hanyalah pengganti, sementara.

Tidak lebih dari boneka yang dipakaikan gaun putih, agar nama keluarga itu tetap bersih di mata dunia.

Namun…

Siapa sebenarnya pria itu? Siapa sebenarnya pria yang menjadi suaminya itu?

Walaupun ia tahu bahwa keluarga Orlov adalah keluarga yang tangguh, namun ia sama sekali tidak pernah mendengar nama pria itu di sebutkan di media dunia dan media lainnya.

Ophelia tidak bisa berhenti mengingat tatapan matanya yang dingin dan penuh peringatan. Seolah dirinya hanyalah pion kecil di papan catur besar yang ia bahkan tidak tahu sedang dimainkan oleh siapa.

"Ophelia!" Lara memanggil nama Ophelia, sambil melambaikan tangannya.

Ophelia buru-buru mengangkat tasnya, menyunggingkan senyum tipis, lalu berjalan ke arahnya. "Aku kira kau sudah pulang."

"Pulang? Belum. Aku masih ada kelas tambahan. Kau ke mana aja seminggu ini? Susah banget dihubungin. Jangan bilang kau lagi deket sama cowok?' goda Lara dengan mata menyipit.

Ophelia tercekat. "Tidak. Aku cuma sibuk."

"Hmm…" Lara mendengus, jelas tidak percaya.

Tapi sebelum ia bisa melanjutkan, ponsel Ophelia bergetar di dalam tasnya. Ophelia menghentikan langkah. Getaran itu terasa aneh, seolah bukan sekadar pesan biasa. Ia merogoh ponselnya— dan matanya menyipit ketika melihat layar. Nomor asing. Tidak ada nama. Hanya satu pesan pendek.

?? : "Jangan terlalu lega, Amor. Saya selalu tahu di mana kau berada."

Jantung Ophelia seakan berhenti berdetak. Telapak tangannya langsung dingin. Ia memandang ke sekeliling, lorong kampus yang ramai mendadak terasa menutup, menyesakkan, seolah mata-mata tak kasat mata sedang menatap dari berbagai arah.

Lara menepuk lengannya. "Hei, mengapa wajahmu pucat seperti itu?"

Ophelia buru-buru menyembunyikan ponselnya di balik punggung. Ia tersenyum paksa. "Tidak ada apapun. Aku sedikit lelah belakangan ini." namun dalam hatinya, ia tahu, minggu pertamanya sebagai "pengganti" sudah berakhir. Dan kini… permainan baru akan segera dimulai.

·–·–·–·–·–·

Malam datang menyapa bumi dengan cepat, banyak dari orang-orang yang berlalu-lalang di pinggir jalan, di sekitar trotoar jalan untuk menghindari kecelakaan yang bisa saja terjadi. Ophelia berjalan melewati orang-orang yang ramai di pinggir jalan, ia turun dari stasiun terdekat, dan memilih jalan kaki hingga sampai di apartemen miliknya, karena jarak antara apartemen miliknya dan stasiun yang lumayan dekat. Langkah Ophelia beradu dengan trotoar yang dingin, beriringan dengan suara riuh kendaraan yang saling berkejaran di jalan raya.

Lampu-lampu neon dari toko dan kafe menyinari wajahnya, namun cahaya itu tidak mampu mengusir bayangan resah yang menempel erat di dadanya. Saat tiba di depan gedung apartemen miliknya, Ophelia langsung melangkah dengan cepat melewati lorong apartemen itu, dan langsung masuk ke dalam lift. Ia kemudian menekan lantai 23, di mana tempatnya berada.

Ting... saat pintu lift terbuka, Ophelia langsung berjalan menuju ke kamarnya. Langkahnya tidak tergesa, namun seperti menyeret sesuatu yang berat pada kedua kakinya.

Ophelia berhenti tepat di depan pintu apartemennya. Tangannya bergetar kecil saat meraih kunci. Suara kecil dari besi yang beradu dengan gembok pintu terdengar jelas di lorong sunyi itu. Ia buru-buru masuk, menutup pintu rapat-rapat, lalu menyandarkan tubuhnya di balik pintu. Napasnya berat, dadanya naik-turun. Ia mencoba menenangkan diri, tapi perasaan tidak nyaman itu masih menempel.

Apartemen kecilnya sunyi. Terlalu sunyi. Hanya ada suara pendingin ruangan yang berdengung pelan. Ophelia meletakkan tas di meja, lalu membuka lampu. Cahaya kuning temaram memenuhi ruangan. Ia melepaskan cardigan, berjalan menuju kulkas untuk mengambil sebotol air.

"Sudah pulang?"

Ophelia terkejut, hingga menjatuhkan botol air mineral hingga membasahi lantai apartemen miliknya, saat perempuan itu berbalik dengan cepat, ia mendapati Edward yang sedang duduk di sofa dengan santai, sambil menghisap rokoknya. Asap rokok melingkar pelan di udara, menari-nari di bawah cahaya lampu apartemen. Edward duduk dengan satu kaki disilangkan, jas hitamnya terlipat rapi, wajahnya setenang batu marmer. Seakan-akan tempat itu memang miliknya sejak lama.

Ophelia membeku di tempat, tubuhnya menegang. "Ba… bagaimana… bagaimana anda bisa masuk?" suaranya gemetar, hampir tak terdengar.

Edward mengangkat alis, bibirnya melengkung samar, tapi senyum itu lebih menyerupai peringatan. Ia mengetukkan abu rokok ke asbak di meja. "Kontrak, Amor. Kau sudah menandatanganinya. Apa kau lupa? Tidak ada pintu, tidak ada kunci, yang bisa menghalangi saya untuk masuk ke dalam sini."

Edward mematikan rokoknya, lalu berdiri. Suara gesekan sol sepatunya dengan lantai kayu apartemen terdengar sangat jelas, menghantam syaraf Ophelia yang sudah rapuh. Ia berjalan perlahan, tiap langkah terasa seperti ancaman. "Selama seminggu ini… kau cukup patuh," ucapnya pelan, menatap lurus ke matanya. "Tapi jangan pernah salah paham, Amor. Hanya karena saya tidak muncul, bukan berarti saya tidak melihat."

Ophelia menelan ludah, suaranya hampi pecah. "Anda… mengikuti aku… selama ini?"

Edward berhenti tepat di hadapannya. Jarak mereka hanya sehelai rambut. Nafasnya yang hangat menyapu wajah Ophelia, membuat lututnya hampir goyah. "Saya tidak mengikuti," bisiknya, suaranya rendah namun menusuk. "Saya mengawasi."

Ophelia ingin berteriak, tapi tubuhnya membeku. Edward menunduk sedikit, jemarinya terulur menyentuh rambut Ophelia yang tergerai, membenahi helai yang jatuh di wajahnya. Gerakan kecil itu membuat jantung Ophelia seperti hendak meledak.

"Mulai malam ini…" suaranya kembali berat, tegas. "Saya tidak ingin hanya sekadar bayangan di belakangmu. Saya ingin kau terbiasa… dengan kehadiranku di sisimu."

Ophelia terperangah, matanya melebar. "Apa maksudmu?"

Senyum tipis itu kembali terbit di wajah Edward, senyum yang membuat bulu kuduk Ophelia meremang. Ia mencondongkan tubuhnya, hingga tatapan dinginnya memenuhi seluruh pandangan Ophelia.

"Maksud saya sederhana, Amor," bisiknya. "Saya akan tinggal di sini. Di apartemenmu."

"APA?" Ophelia langsung menutup mulutnya dengan cepat, saat ia terlambat menyadari bahwa suaranya sedikit meninggi. Ophelia tersentak, buru-buru mundur dua langkah, hampir tersandung botol air yang tumpah di lantai. "Apa?! Tidak! Anda tidak bisa seenaknya tinggal—"

"Tidak bisa?" Edward menyela, suaranya tajam. Ia meraih sesuatu dari jasnya— selembar kertas terlipat rapi. Ia membentangkannya di hadapan Ophelia. "Kontrak ini. Kau menandatanganinya. Hitam di atas putih. Saya bisa menempati setiap ruang yang kau miliki. Termasuk dirimu."

Ophelia membeku. Matanya terarah pada lembar kontrak itu, tulisan tanda tangannya sendiri menusuk matanya seperti belati. Ia ingin menyangkal, ingin berteriak bahwa ini tidak adil, tapi kata-katanya tercekat di tenggorokan. Edward kembali mendekat, jemarinya terulur menyingkirkan sehelai rambut basah di pipi Ophelia yang terkena cipratan air mineral. Sentuhan itu lembut, namun terasa seperti belenggu. Pria itu terus melangkah maju, hingga tubuh Ophelia perlahan mundur dan membentur pada meja dapur yang ada tepat di belakangnya.

Edward tidak mundur, ia terus menghimpit tubuh Ophelia, dengan tubuhnya yang besar. "Kalau begitu, pilihlah. Apartemen atau mansion? Jika kau memilih mansion, maka aktivitasmu akan sangat di batasi, kecuali jika kau pergi ke kampus. Selebihnya—"

"Oke. Oke. Mari kita tinggal bersama di sini. Aku setuju." Ophelia menjawab dengan cepat, ia tidak ingin terkurung di mansion pria ini.

Edward menatap wajah Ophelia lama sekali, seolah ingin memastikan bahwa jawaban itu bukan sekadar kepanikan sesaat. Tatapannya menusuk, dalam, membuat Ophelia sulit bernapas. Senyum tipis itu akhirnya muncul di bibir Edward. "Good girl." Suaranya rendah, nyaris terdengar seperti pujian, tapi justru membuat Ophelia semakin merinding.

Ia meraih jasnya yang terlipat di sofa, lalu menggantungnya di kursi seolah sudah resmi menjadi penghuni apartemen itu. Gerakannya tenang, menguasai ruangan. Tidak ada tanda bahwa ia berniat pergi lagi malam ini.

Ophelia masih terdesak di meja dapur, tubuhnya kaku. "Aku tidak... tidak terbiasa tinggal dengan orang lain," ucapnya lirih, berusaha menjaga nada suaranya tetap stabil.

Edward mendekat sekali lagi, jaraknya hanya beberapa inci. Ia mencondongkan kepala, menatap lurus ke mata Ophelia. "Maka biasakanlah. Mulai malam ini, setiap sudut tempat ini… akan selalu mengingatkanmu pada saya."

Ophelia menelan ludah, mencoba mencari celah untuk mengalihkan pembicaraan. "Aku… aku masih punya tugas kuliah. Aku harus—"

"Kerjakan." Edward menyela cepat, jemarinya tiba-tiba terulur, menyentuh dagu Ophelia, mengangkatnya sedikit. "Dan biarkan saya melihat, bagaimana istri kontrak saya menghabiskan malamnya. Kau tidak perlu menyembunyikan apapun lagi, Amor. Dunia kecilmu ini…" ia melirik sekeliling apartemen sederhana itu, "…sekarang adalah milik saya juga."

Tubuh Ophelia bergetar. Ia merasa seperti seekor burung kecil yang baru saja disekap di dalam sangkar. Edward akhirnya menjauh setengah langkah, tapi hanya untuk membuka kancing pertama kemejanya. Dengan santai, ia duduk kembali di sofa, menyandarkan tubuhnya, lalu menyalakan rokok lain. Asap tipis kembali memenuhi udara. Ophelia menarik napas dalam, berusaha mengendalikan dirinya. Malam ini menjadi awal, awal dari kehidupan yang benar-benar berbeda— dan ia tahu, garis batas antara kebebasan dan kepemilikan kini sudah hancur.

·–·–·–·–·–·

to be continue...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • King of Trouble   BAB 5

    Suasana di ruang rapat itu sangat tenang, hanya ada satu orang yang berbicara, yaitu yang sudah di tunjuk oleh perusahaan yang ingin bekerjasama, menyampaikan rancangan mereka pada Edward. Sedangkan di ujung meja rapat, Edward duduk tenang, dan fokus memperhatikan penjelasan dengan seksama. Sama sekali tidak terganggu dengan keadaan di sekitarnya.Di depannya, layar presentasi menampilkan deretan grafik dan proyeksi keuntungan yang dibuat sedemikian rapi, namun Edward tidak serta-merta percaya pada angka-angka itu. Ia tidak hanya melihat angka, tetapi juga membaca setiap detail sikap orang yang mempresentasikan—intonasi, gerakan tangan, bahkan ekspresi mata. Sesekali jemarinya yang panjang mengetuk permukaan meja rapat dengan irama pelan, tanda ia sedang menimbang sesuatu. Aura dinginnya membuat semua yang hadir menjaga sikap. Tidak ada yang berani mengeluarkan suara selain pembicara.Bahkan direktur dari perusahaan kerjasama yang duduk di samping kirinya, juga tidak mengeluarkan suar

  • King of Trouble   BAB 4

    Ophelia melupakan yang satu ini. Apakah mereka berdua harus tidur satu ranjang? Ia fokus pada laptopnya, namun pikirannya tertuju pada bagaimana mereka berdua akan berbagi ranjang yang sama malam ini, Ophelia menatap layar laptopnya, namun huruf-huruf di depannya berloncatan seperti tarian aneh yang sama sekali tak bisa ia pahami. Jantungnya berdebar lebih cepat daripada biasanya, dan bukan karena tenggat tugas kuliah. Pikirannya terjebak pada satu hal, atau lebih tepatnya, satu tempat. Ranjang."Tidak mungkin…" bisiknya pelan, tangan meremas rok yang ia kenakan. "Apa… apa dia benar-benar akan tidur di ranjang yang sama denganku?"Ophelia menutup laptopnya dengan suara klik yang terdengar terlalu keras di tengah kamar yang sunyi. Ia menahan napas, seolah suara itu bisa membangunkan sesuatu yang lebih berbahaya dari sekadar rasa kantuk. Pintu kamar terbuka sedikit, lalu terdengar langkah kaki mendekat. Ophelia refleks menarik selimutnya, seakan itu bisa menjadi benteng terakhir untuk m

  • King of Trouble   BAB 3

    Sudah 1 minggu berlalu sejak Ophelia menikah, tidak... lebih tepatnya di jadikan istri pengganti. Setelah menandatangani kontrak yang di tinggalkan oleh pria itu, Ophelia langsung kembali ke kehidupan kampusnya seperti biasa. Selama 1 minggu ini, ia tidak merasakan gerakan apapun, seperti di awasi, atau sebagainya seperti yang di katakan oleh pria itu. Karena itulah Ophelia bisa bernapas dengan sedikit lega.Ophelia menutup laptopnya, dan memasukannya kembali ke dalam tas miliknya. Jadwal kelas selanjutnya adalah pukul 2 siang, karena itu Ophelia harus bergegas untuk pergi ke kelasnya. Di usianya yang baru menginjak 21 tahun ini, ia tidak menyangka akan mendapatkan perubahan paling besar dalam hidupnya, yaitu menjadi seorang istri, walaupun cuma di anggap sebagai pengganti sebelum pengantin yang sebenarnya kembali ke tempatnya.Ophelia merapikan rambutnya yang tergerai sambil menatap pantulan wajahnya di kaca jendela perpustakaan yang mulai kosong. Cahaya matahari siang menyorot matan

  • King of Trouble   BAB 2

    Begitulah semuanya terjadi. Dante dan asisten pribadi Edward, langsung membungkam seluruh media yang hadir, juga memulangkan semua tamu undangan yang jumlahnya hampir memenuhi aula itu. Pernikahan ini, akan menjadi pernikahan tertutup yang penuh misteri, yang tidak akan bisa di ketahui oleh dunia luar. Lampu-lampu gantung kristal yang berkilau dingin kini hanya menyinari wajah-wajah yang tersisa: keluarga inti, pasukan bersenjata yang menjaga setiap pintu, dan saksi sah yang sudah dikontrol sepenuhnya."Buang semua rekaman. Tidak boleh ada satu pun gambar yang keluar dari aula ini," ucap Edward dengan nada berat. Matanya menyapu ruangan, yang sekarang sudah sepi, yang tersisa adalah keluarga Addison dan keluarga Orlov.Tatapan pria itu, berhenti tepat di depan perempuan yang sekarang berdiri di depannya ini, dengan mengenakan gaun putih sederhana yang panjang, dengan buket bunga yang ada di tangannya. Edward berjalan mendekat perlahan, langkah-langkahnya terdengar jelas di lantai marm

  • King of Trouble   BAB 1

    "Pengantin wanita kabur dari pernikahan?""Astaga, bukankah ini akan mencoreng kedua nama baik keluarga?""Pasti pengantin prianya sungguh malu, kasihan sekali." "Bagaimana acara ini akan berjalan? Pasti keluarga pengantin wanita sungguh malu sekali." "Kasihan sekali pengantin pria itu. Belum acara pernikahan mereka, ia sudah di tinggal lebih dulu." "Ini pasti akan jadi berita pertama, yang menempati urutan nomor 1 di media dunia." Bisikan-bisikan terus terdengar dari kursi para tamu undangan, ada yang turut prihatin dan kasihan dengan pengantin pria, ada juga yang hanya duduk sambil merekam video untuk di upload ke internet. Padahal baru beberapa menit yang lalu, suasana begitu bersahabat dan penuh bahagia serta haru. Namun semuanya berubah dalam sekejap membalikan telapak tangan. Hanya beberapa kalimat.Pengantin. Wanita. Kabur. Ini merupakan tamparan keras bagi keluarga Addison maupun keluarga Orlov, mereka merencanakan pernikahan ini agar hubungan bisnis mereka semakin kuat,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status