Share

BAB 5

Author: Wendy081104
last update Last Updated: 2025-08-29 14:51:59

Suasana di ruang rapat itu sangat tenang, hanya ada satu orang yang berbicara, yaitu yang sudah di tunjuk oleh perusahaan yang ingin bekerjasama, menyampaikan rancangan mereka pada Edward. Sedangkan di ujung meja rapat, Edward duduk tenang, dan fokus memperhatikan penjelasan dengan seksama. Sama sekali tidak terganggu dengan keadaan di sekitarnya.

Di depannya, layar presentasi menampilkan deretan grafik dan proyeksi keuntungan yang dibuat sedemikian rapi, namun Edward tidak serta-merta percaya pada angka-angka itu. Ia tidak hanya melihat angka, tetapi juga membaca setiap detail sikap orang yang mempresentasikan—intonasi, gerakan tangan, bahkan ekspresi mata. Sesekali jemarinya yang panjang mengetuk permukaan meja rapat dengan irama pelan, tanda ia sedang menimbang sesuatu. Aura dinginnya membuat semua yang hadir menjaga sikap. Tidak ada yang berani mengeluarkan suara selain pembicara.

Bahkan direktur dari perusahaan kerjasama yang duduk di samping kirinya, juga tidak mengeluarkan suara.

"Presentasi Anda cukup rapi," Edward akhirnya membuka suara, nada bicaranya datar, nyaris tanpa emosi, namun justru itulah yang membuat semua orang menegang. "Tapi…" ia menatap tajam ke arah layar, lalu kembali menautkan pandangannya pada orang yang berdiri di depan. "…proyeksi ini terlalu indah untuk menjadi kenyataan. Saya tidak membeli mimpi. Saya membeli kepastian."

Kalimat itu meluncur dengan dingin, menusuk seperti belati.

Orang yang berdiri di depan itu menelan ludah, sedikit gugup, tapi mencoba mempertahankan wibawanya. "Tentu, Tuan Edward. Kami memiliki data tambahan yang bisa memperkuat proyeksi tersebut."

Edward menyandarkan tubuhnya sedikit ke belakang, lalu meraih tablet yang terletak di sampingnya. Dengan satu geseran jari, ia membuka file yang telah dikirimkan tim internalnya semalam. Ia sudah tahu apa yang kurang, bahkan sebelum pertemuan ini dimulai. "Menarik," gumamnya lirih, sebelum kembali menatap pria di depan. "Tapi jika saya menemukan satu celah kecil saja dalam laporan Anda… bukan hanya kontrak ini yang akan gagal, melainkan reputasi perusahaan anda juga akan ikut jatuh. Saya pastikan itu."

Ucapan Edward bagai cambuk tak kasat mata yang mencambuk seluruh ruangan. Tak ada yang berani menghela napas terlalu keras. Beberapa pasang mata saling melirik, tapi segera menunduk kembali ketika tatapan dingin Edward bergerak ke arah mereka.

Pria yang mempresentasikan itu mencoba mengganti slide, menampilkan grafik cadangan data—tapi tangannya sedikit bergetar saat memegang remote. "K-kami sudah menyiapkan opsi mitigasi risiko, Tuan Edward. Jika pasar tidak stabil, kami bisa menekan kerugian hingga—"

"Cukup." satu kata itu, sederhana tapi berat.

Edward meletakkan tabletnya di atas meja, kedua tangannya terjalin tenang. "Anda berbicara tentang mitigasi seolah hanya sekadar teori. Tapi angka anda tidak menyinggung satupun pergerakan pasar global enam bulan terakhir. Itu kelalaian yang fatal."

Pria itu membeku. Keringat mulai tampak di pelipisnya.

Edward mencondongkan tubuh sedikit ke depan, suaranya rendah tapi mematikan. "Apakah Anda pikir saya akan menaruh investasi miliaran dolar pada orang yang bahkan tidak bisa membaca tanda-tanda ekonomi dunia?"

Keheningan menggantung.

Direktur perusahaan partner yang duduk di samping Edward akhirnya memberanikan diri bicara, mencoba menyelamatkan situasi. "Tuan Edward, mungkin—"

Tatapan Edward beralih cepat, menohok seperti kilatan petir. "Diam."

Nada suaranya dingin, tegas, tak memberi ruang untuk perdebatan. Sang direktur langsung menutup mulutnya, wajahnya pucat pasi.

Kembali, Edward menatap pria yang masih berdiri di depan. "Anda punya waktu 48 jam. Perbaiki laporan ini, hadirkan data yang realistis, dan tunjukkan bahwa anda pantas mendapatkan meja kerjasama ini. Jika gagal…" Edward berhenti sejenak, membiarkan tekanan itu menusuk lebih dalam. "…saya akan memastikan pintu-pintu lain juga tertutup untuk anda." suara Edward tidak meninggi, tapi efeknya jauh lebih menghantam daripada teriakan.

Pria itu menunduk dalam-dalam, hampir gemetar. "Baik, Tuan Edward. Kami… akan memperbaikinya."

Edward menyandarkan tubuhnya kembali, ekspresinya dingin tak terbaca. "Rapat selesai."

Dan seketika, ruang rapat yang tadinya sunyi langsung terasa lebih berat, seperti semua orang menahan napas sampai Edward benar-benar berdiri dan melangkah keluar.

·–·–·–·–·–·

Ophelia menenteng dua kantong belanja berwarna putih, sambil melangkah masuk ke dalam lift. Setelah selesai dari kampus, ia langsung mampir ke supermarket untuk membeli kebutuhan kulkas yang sudah menipis. Beruntung hari ini tidak ada tugas dari profesor mereka, itu membuat Ophelia bisa bernapas lebih lega. Ophelia menurunkan kantong belanja ke lantai sebentar, menekan tombol lift menuju lantai paling atas. Lift yang dingin dan sunyi itu hanya diisi dirinya seorang. Sesekali ia merapikan rambutnya yang terurai, menahan senyum kecil ketika teringat wajah teman-temannya di kampus tadi yang sibuk membicarakan proyek hukum internasional.

"Aku benar-benar harus menyelesaikan draft untuk profesor Meyers minggu depan," gumamnya, meski nadanya terdengar santai. Ia sudah terbiasa mengatur waktu antara kuliah intensif Harvard Law School dan kehidupan pribadinya, meski bagian terakhir itu jauh lebih rumit daripada kuliah hukum sekalipun.

Ding!

Pintu lift terbuka. Ophelia melangkah keluar, sambil menenteng kedua kantong belanja di kedua tangannya. Begitu sampai di depan pintu apartemen, ia mengganti posisi kantong, merogoh kunci di tas kecilnya. Baru saja ia ingin membuka pintu, pintu itu terbuka lebih dulu dari dalam. Edward berdiri di ambang pintu. Dasi hitamnya sudah longgar, kemeja putihnya masih rapi meski terlihat jelas ia baru saja pulang dari perusahaan. Aura dingin yang melekat padanya masih terasa, membuat Ophelia refleks terhenti.

"Oh... anda sudah pulang?" Ophelia sedikit tergagap, tatapan pria di depannya ini cukup berbahaya.

Tatapan tajam Edward langsung tertuju pada dua kantong belanja di tangan Ophelia. Alisnya terangkat sedikit. "Belanja?" suaranya dalam, tenang, tapi ada ketegasan di baliknya.

"Iya." Ophelia mengangguk, sambil melangkah masuk ke dalam. "Bahan makanan di kulkas hampir habis, dan tepat sekali hari ini adalah jadwalku untuk berbelanja." Ophelia menaruh kedua kantong belanja itu di atas meja dapur.

Edward menyusul masuk tanpa suara, gerakannya tenang. Ia lalu berjalan mendekati meja dapur tempat Ophelia sibuk mengeluarkan belanjaan. Tangannya yang besar meraih salah satu kantong, dengan mudah mengeluarkan beberapa botol susu dan menaruhnya ke kulkas. Gerakan itu sederhana, tapi entah kenapa membuat Ophelia merasa seolah Edward mencampuri wilayah pribadinya.

"Ngomong-ngomong ini luar biasa." ucap Ophelia.

"Apanya?" tanya Edward.

Edward kemudian mengikuti arah pandang Ophelia, menatap ke layar proyektor yang ada di ruangan itu, terbuka lebar tanpa permisi. Di sana Ophelia bisa melihat berbagai diagram laporan, sepertinya itu adalah laporan perusahaan milik Edward.

"Sudah lama sekali... aku melihat presentasi menggunakan diagram seperti itu." Ophelia menggelengkan kepalanya.

Edward menatap layar proyektor yang masih menampilkan sisa-sisa laporan yang tadi ia buka sebelum Ophelia tiba. Diagram keuntungan, tabel pasar global, hingga laporan evaluasi risiko—semuanya terpampang begitu jelas di ruangan apartemen itu.

Ophelia menoleh sekilas, matanya sempat membulat. "Laporan perusahaan?" tanyanya setengah tak percaya. "Aku mengira setelah anda pulang dari perusahaan, anda akan bersantai setidaknya sedikit." lanjutnya.

Edward menutup kulkas perlahan, lalu menegakkan tubuhnya. Tatapannya singgah pada layar, kemudian kembali ke wajah Ophelia. "Bisnis tidak pernah mengenal tempat. Dimanapun saya berada, angka-angka ini tetap akan mengikuti." nada suaranya sama dinginnya seperti di ruang rapat tadi, tegas, dalam, seolah ia berbicara bukan kepada seorang mahasiswi hukum, melainkan kepada bawahannya.

Ophelia tersenyum tipis, meski ada sedikit rasa canggung. "Tapi… kalau aku lihat sekilas, grafik itu memang terlihat menjanjikan."

Edward mendengus pelan, hampir seperti ejekan. Ia melangkah mendekat, hingga jaraknya hanya beberapa langkah dari Ophelia. "Itulah masalahnya. Terlalu menjanjikan." Jemarinya mengetuk meja dapur sekali, suara ketukan itu sama persis dengan ritme dingin yang tadi ia lakukan di meja rapat. "Orang yang hanya percaya pada apa yang terlihat indah di grafik… biasanya akan berakhir hancur."

Ophelia terdiam, menelan kalimat itu dalam-dalam. Ada sesuatu dalam intonasi Edward yang membuatnya merasakan kembali aura dingin ruang rapat, meski mereka hanya berdua di apartemen. "Lalu mengapa anda tidak langsung turun dan memeriksanya sendiri?" ucapan Ophelia keluar begitu saja, begitu santai hingga dirinya terdiam sendiri.

Edward berhenti mengetuk meja. Tatapannya langsung terkunci pada Ophelia, seolah kalimat sederhana itu adalah tantangan. Suasana di dapur mendadak menegang. "Turun dan memeriksa sendiri?" suaranya rendah, dingin, tapi tajam. Edward perlahan mendekat, hingga jaraknya hanya beberapa langkah dari Ophelia. Aura otoritasnya terasa begitu menekan. "Amor, dalam dunia bisnis kelas atas… satu langkah yang salah bisa membuat miliaran dolar menguap. Saya tidak ‘turun’ untuk memeriksa. Saya mengendalikan dari atas. Itulah mengapa saya duduk di kursi tertinggi, bukan di bangku mahasiswa lagi."

Ophelia menelan ludah, tapi matanya justru tak berpaling. Ada getaran kecil di dadanya, bukan hanya karena intimidasinya, tapi juga karena ia tahu kalimat barusan seperti cambuk—tajam, tapi penuh kebenaran. "Kalau begitu," Ophelia akhirnya bersuara lagi, nada suaranya lebih lembut tapi sarat keberanian, "Bukankah justru berbahaya kalau anda hanya mengandalkan laporan dari orang lain, tanpa pernah melihat kenyataan di lapangan?"

Sejenak, Edward tidak menjawab. Hening. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar di antara mereka. Lalu perlahan, Edward tersenyum tipis—bukan senyum hangat, melainkan senyum predator yang menemukan lawan berani. "Kau bicara seperti pengacara muda yang ingin menantang hakim di ruang sidang." Jemarinya yang besar menepuk meja sekali, pelan, tapi suaranya menggema. "Kau tahu risikonya, Amor? Menantangku berarti kau harus siap membuktikan diri lebih tajam dari siapapun yang pernah duduk di hadapanku."

"Jika aku menjadi anda..." Ophelia menjeda ucapannya, ia menatap proyektor yang menampilkan diagram laporan itu. "Aku tidak akan meminta bukti laporan, tapi langsung turun sendiri dan melihat, apakah yang mereka katakan itu, sudah sesuai dengan laporan yang mereka tampilkan atau tidak." Ophelia mengambil tas miliknya, kemudian ia langsung melangkah ke lantai atas, menuju kamarnya. Meninggalkan Edward yang terdiam di tempatnya.

·–·–·–·–·–·

Saat makan malam tiba, Ophelia dengan tenang menyajikan makanan di meja makan, ia terlihat santai seolah kejadian siang tadi tidak pernah terjadi. Begitu juga dengan Edward yang duduk dengan tenang di meja makan. Pisau dan garpu beradu pelan di atas piring, mengisi keheningan ruang makan yang diterangi cahaya lampu kristal. Aroma masakan memenuhi ruangan, namun suasana di antara keduanya tetap hening, seperti ada sesuatu yang menggantung di udara.

Edward mengangkat pandangan dari piringnya, menatap Ophelia yang duduk di hadapannya. Perempuan itu begitu tenang, gerakannya anggun, seolah seluruh dirinya terlatih untuk menjaga ekspresi agar tidak terbaca. Namun Edward tahu, di balik ketenangan itu, ada sesuatu yang ia sembunyikan.

"Kau memasak dengan baik," ucap Edward akhirnya, suaranya rendah namun dalam, lebih terdengar seperti pernyataan daripada pujian.

Ophelia menegakkan tubuhnya sedikit, lalu tersenyum tipis. "Aku hanya melakukan apa yang seharusnya kulakukan. Sekarang mari kita makan, aku sudah sangat lapar."

Edward hanya menatapnya beberapa detik lebih lama dari seharusnya, sebelum akhirnya menggeser pisau di tangannya, memotong daging dengan gerakan tenang. Bunyi gesekan pisaunya di piring terdengar jelas dalam hening itu.

"Kau selalu berusaha terlihat tenang." Edward akhirnya bicara lagi, suaranya datar, tapi tajam. "Tapi saya bisa membaca lebih dari itu."

Ophelia tersenyum samar, garpunya terhenti di udara sebelum menyentuh bibir. "Mungkin anda terlalu sering terbiasa membaca orang. Sampai-sampai… anda lupa bagaimana rasanya menikmati sesuatu tanpa menaruh curiga."

Edward meletakkan pisaunya perlahan. Matanya menatap lurus ke arah Ophelia, dingin, menusuk. "Curiga menyelamatkan nyawa dan bisnis. Naif, adalah alasan orang lain jatuh."

Ophelia menelan potongan kecil makanannya, lalu menaruh garpu dengan anggun. Tatapannya menaut pada Edward, kali ini lebih berani. "Tapi terlalu curiga… hanya akan membuat anda sendirian. Pada akhirnya, siapa yang bisa anda percayai?"

Sejenak, keheningan menggantung. Kata-kata Ophelia bagaikan pisau balasan yang tajam, berani menantang kilatan dingin Edward.

Edward menyandarkan tubuhnya ke kursi, menautkan jari-jarinya. Senyum tipis melintas di wajahnya, namun bukan senyum ramah. Lebih menyerupai senyum predator yang mengintai mangsanya. "Mungkin saya tidak butuh percaya pada siapa pun. Selama orang-orang tetap berguna… mereka akan tetap di mejaku. Begitu mereka kehilangan nilainya, mereka akan kuenyahkan."

Ophelia terdiam sesaat, tapi bukannya gentar, ia justru menundukkan wajahnya sedikit, menyembunyikan senyum samar yang nyaris tak terbaca. "Lalu bagaimana kalau… suatu saat anda menemukan seseorang yang tidak bisa anda enyahkan begitu saja?"

Pertanyaan itu meluncur begitu ringan, tapi atmosfer ruangan seketika berubah. Edward memicingkan mata, pandangannya terkunci pada Ophelia. Perempuan itu kembali mengangkat garpunya, makan dengan tenang seolah tidak menyadari bahwa ia baru saja menyalakan api dalam tatapan pria di hadapannya.

·–·–·–·–·–·

to be continue...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • King of Trouble   BAB 55

    Ophelia terbangun lagi. Ini sudah yang kesekian kalinya, ia duduk dan menunggu Edward pulang. Namun pria itu tak kunjung sampai. Namun, kekhawatirannya buyar, saat mendapati coat basah milik Edward yang berada di atas sofa. Ophelia langsung bangun dan turun dari ranjang, tanpa menggunakan alas kaki. Ia sudah melihat beritanya. Berita yang menuduhnya sebagai orang ketiga dalam pernikahan kakaknya sendiri. Walaupun itu semua terjadi karena ulah kakaknya sendiri. “Karena berita ini, saham perusahaan Tuan turun 30℅.”Ophelia mengingat, bagaimana Noah datang kemari, dan mengatakan semuanya. Juga menunjukkan video kakaknya, dan berita itu yang sudah tersebar di seluruh media internasional dunia. Ophelia berdiri di tengah ruang tamu, tubuhnya masih berbalut gaun tidur satin berwarna abu muda, rambutnya terurai berantakan. Di luar, hujan mengguyur kota, menempelkan bayangan lampu jalan ke kaca jendela seperti garis air mata yang tak berhenti mengalir.Coat Edward yang basah menggantung di

  • King of Trouble   BAB 54

    Edward menatap iPadnya dengan datar, tapi sorot matanya bukan lagi ketenangan dingin seperti biasanya—melainkan badai yang nyaris tidak bisa dikendalikan. Layar iPad itu menampilkan siaran langsung dari stasiun berita internasional: wajah Alura, tersenyum anggun, duduk di depan kamera dengan gaun hitam elegan dan tatapan yang tenang, seolah dunia ada di bawah kendalinya.“Aku hanya ingin membuka mata publik,”suara Alura terdengar jelas, setiap katanya diatur dengan ketepatan seorang manipulator yang terlatih.Edward menekan jeda. Ujung jarinya mengetuk layar pelan, sekali… dua kali… lalu ia meletakkan iPad itu di atas meja. “Saya sudah memperingatkanmu, Alura,” gumamnya rendah. “Tapi kamu tidak tahu batas.”Edward berdiri perlahan dari kursinya. Gerakannya tenang, tapi udara di sekelilingnya seperti menegang bersamaan—seakan dinding ruang kerjanya tahu amarah macam apa yang sedang tumbuh di dalam dirinya. Ia berjalan menuju jendela besar yang menghadap ke pusat kota. Langit sore suda

  • King of Trouble   BAB 53

    Mobil Edward masuk ke arah gedung yang menjulang tinggi di tengah kota. Ophelia yang sedari tadi duduk di sampingnya, belum mengatakan apapun.Ophelia yang duduk di sana, menatap gedung pencakar langit itu dengan malas. Terjebak macet selama satu jam, membuatnya sungguh bosan. Sesekali ia menutup mata dan meringis pelan, perutnya seperti di aduk dari dalam, kram di seluruh pinggangnya.Edward membuka pintu mobil, namun yang ia lihat, adalah Ophelia yang sepertinya menahan sesuatu. Edward memperhatikan perubahan kecil itu, wajah Ophelia yang sedikit memucat, keringat tipis di keningnya, dan cara jemarinya menggenggam rok dengan begitu kuat. Ekspresinya langsung berubah, dari tegas menjadi waspada. “Ophelia.” Suaranya rendah tapi dalam, nyaris seperti peringatan. “Apa yang terjadi?”Ophelia menggeleng pelan. “Tidak apa-apa.”Namun nada suaranya terdengar rapuh, seperti benang yang siap putus kapan saja. Ia mencoba membuka sabuk pengamannya, tapi gerakannya terhenti ketika rasa nyeri taj

  • King of Trouble   BAB 52

    Lara menatap Ophelia yang terpaku di tangga perpustakaan. Orang yang mereka berdua bicarakan, sedang berdiri di lantai bawah perpustakaan, dan mengobrol bersama profesor mereka.“Ini seperti karmamu, Lia.” Lara mendekat pada Ophelia.“Memangnya siapa yang tahu bahwa dia akan muncul begitu saja?” Ophelia memutar matanya malas.“Dia datang menjemputmu pastinya.”Nada Lara terdengar setengah menggoda, setengah menahan tawa.Ophelia mengerutkan kening. “Menjemputku?” suaranya merendah, hampir tak percaya. “Jangan bercanda, Lar. Dia bahkan tidak bertemu denganku dua minggu.”Namun matanya, tanpa bisa ia kendalikan, tetap tertuju pada sosok pria tinggi berjas hitam di bawah sana—Edward. Ia berdiri dengan posisi sedikit condong, berbicara santai dengan profesor mereka, sementara satu tangannya diselipkan ke saku celana. Sikapnya tampak santai, tapi ada sesuatu dalam caranya menatap sekeliling… tajam, mengamati, seolah setiap detail ruangan tidak luput dari perhatiannya.“Haruskah kita kembal

  • King of Trouble   BAB 51

    “Edward…” ia berusaha tertawa kecil, menurunkan pandangannya. “Kamu terlalu berlebihan.”“Terlalu jujur,” potong Edward pelan, langkahnya maju satu lagi hingga jarak mereka kembali lenyap. Jemarinya terangkat, menyentuh dagu Ophelia dengan lembut, memaksanya menatap kembali. “Tahu tidak?” lanjutnya dengan suara rendah yang nyaris seperti bisikan di telinga, “Sudah lama sekali saya tidak menerima hadiah apa pun… dan malam ini, kamu memberikannya dengan cara yang membuat saya tidak tahu apakah saya harus berterima kasih… atau takut kehilanganmu setelah ini.”Hati Ophelia seolah berhenti berdetak. Tatapan Edward begitu dekat hingga napas mereka bertemu di udara yang kini terasa panas, padahal ruangan itu dingin.“Kamu bicara seperti aku akan pergi,” ujar Ophelia lirih.Edward menatapnya lama — matanya gelap, ada sesuatu yang berat berputar di sana, sesuatu yang tak pernah ia biarkan siapa pun lihat sebelumnya. “Mungkin… hanya ingin memastikan kamu tahu,” katanya, suaranya nyaris bergetar

  • King of Trouble   BAB 50

    Ophelia membuka pintu kulkas dengan hati yang masih berdetak tak karuan. Cahaya dingin dari dalam kulkas menerangi wajahnya yang lembut, membuat pipinya tampak berpendar samar di bawah cahaya lilin yang menari di meja ruang tengah. Di dalam sana, tersimpan kue kecil dengan lapisan krim putih dan hiasan sederhana dari buah stroberi—kue yang semestinya ia berikan besok pagi, tapi kini... malam ini, rasanya segalanya terlalu tepat untuk menunggu.Tangannya sedikit gemetar saat ia mengambil piring berputih porselen itu. Empat lilin kecil berwarna biru muda sudah tertancap di atasnya, persis seperti rencana awalnya. Ia menyalakan satu per satu dengan korek, dan cahaya kecil itu menari di udara—lemah tapi hangat, seperti harapan kecil di antara badai yang belum ia ketahui datang. Ketika keempat lilin menyala, Ophelia tersenyum, lalu menatap bayangannya sendiri di permukaan logam kulkas yang mengkilap.“Mari kita berikan kenangan indah untuknya.” bisiknya, sambil menatap kue sederhana di ked

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status